Kamis, 25 April 2019

BERHENTI MERAGU, PERCAYA DAN BERSAKSILAH

“Karena kata-kata saja tidaklah cukup, harus ada yang bertindak.”
Albert Schweitzer

Perkataan Schweitzer tidaklah sama seperti ucapan salah seorang dari dua belas murid Yesus, Tomas. Schweitzer ingin membuktikan buah dari imannya, yakni : kesaksian. Kesaksian itu menurutnya tidak cukup dengan kata-kata, melainkan harus disertai tindakan nyata. Sementara bagi Tomas - ketika menanggapi perkataan teman-temannya bahwa Yesus sudah bangkit dan telah menampakkan diri kepada mereka - tidaklah cukup. Baginya, harus ada bukti, yakni: melihat sendiri Yesus dan meraba luka-luka-Nya!

Tomas, tidak hadir ketika untuk pertama kalinya Yesus yang bangkit itu menampakkan diri-Nya kepada para murid. Lalu, delapan hari berikutnya Tomas ada bersama-sama dengan mereka, mereka berkata kepada Tomas, bahwa mereka telah melihat Tuhan. Tomas menolak untuk percaya sebelum ada bukti nyata. 

Ada pelbagai praduga terhadap ketidak percayaan Tomas. Banyak yang geregetan dan menilai Tomas dari sisi negatif: tidak punya iman, peragu, pesimistis. Namun, bagaimana pun juga Tomas dapat mewakili orang banyak. Barang kali termasuk kita. Bukankah kita juga sering menuntut pembuktian untuk mempercayai segala sesuatu. Dan tuntutan kita itu bisa berbeda dari nalar kebanyakan orang. Pendeknya, kita ingin dipuaskan! Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengapresiasi sikap Tomas. Tomas adalah orang yang jujur. Percaya itu tidak bisa dipaksakan, harus melewati proses panjang. Dan keraguan merupakan proses alami manusia menuju sikap iman yang sehat. Banyak orang yang dengan lantang mengaku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia Raja di atas segala raja. Namun, prakteknya itu semua hanya ucapan semu belaka. Kenyataannya, ketika situasi dan kondisi tidak sesuai dengan harapan, mereka berbalik bahkan menyangkal Tuhannya. Tomas tidak mau seperti itu!

Lalu, apakah Yesus membiarkan Tomas dalam keraguannya? Tidak! Seperti terhadap murid-murid yang lain. Dengan cara-Nya yang unik Yesus meneguhkan iman mereka kembali. Sangat mengesankan melihat bagaimana Yesus menjumpai Tomas dan menerima sebagaimana apa adanya dia. Yesus menerima tantangan Tomas tanpa mencela dan menyalahkannya. Ia menanggapi kebutuhan Tomas yang terucap dalam kata-katanya, kalaupun itu keluar dari sikap kurang percayanya.

Yesus menampakkan luka-luka-Nya kepada Tomas. Luka yang besar di lambung yang telah robek cukup untuk memasukkan tangan. Luka yang besar juga pada kedua tangan dan kaki cukup untuk memasukkan jari. Luka-luka itu tetap tinggal untuk selama-lamanya. Luka itu merupakan tanda cinta kasih Yesus yang tulus dan mengampuni, yang dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit tidak menampakkan diri sebagai yang berkuasa, digdaya, namun sebagai yang terluka dan mengampuni. Dia yang bangkit dan hadir di depan si peragu, tidak mencela dan mengolok-olok ketidak percayaan Tomas.

Melalui Tomas, Yesus mengundang kita untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya, melainkan luka-luka yang ada dalam diri sesama dan diri kita sendiri; luka-luka yang dapat membuat kita membenci sesama dan diri kita sendiri, yang dapat menjadi sumber perpecahan dan perpisahan. Di dalam Yesus, luka-luka ini diubah menjadi sumber pengampunan, dan akan menghimpunkan orang dalam cinta kasih. Luka-luka ini menyatakan bahwa kita saling membutuhkan. Luka-luka ini menjadi ruang untuk mengembangkan saling bela rasa dan menanggalkan keegoisan diri.

Tampaknya Albert Schweitzer melihat luka-luka itu. Luka akibat Perang Dunia II dan kolonialisasi, kemiskinan dan keterbelakangan dunia Afrika. Sambil membayangkan Afrika, Schweitzer bergumam, “Mengapa Tuhan membuat mereka jauh dari peradaban?” Apa yang dilakukannya kemudian? Di usia yang relative muda Schweitzer telah menjadi doctor filsafat sekaligus teologi serta bakat bermain music luar biasa dan berhasil di berbagai pementasan. Pada tahun 1905 di usia tiga puluh tahun ia memutuskan kembali ke sekolahnya yang dulu. Ia masuk sebagai mahasiswa kedokteran. Semua orang terkejut melihat Schweitzer yang telah meraih popularitas sebagai pemain music dan pengajar. Enam tahun ia berhasil lulus dan menjadi seorang dokter. Lalu?...

Ia berangkat ke Afrika. Bahkan sang ayah sempat berusaha menghentikan niatnya, “Kamu telah mendapat pengakuan sebagai seorang yang terpelajar, serta sebagai seorang pemain music, bukan? Apakah masih kurang, sehingga engkau harus pergi ke Afrika yang penuh bahaya?” Tampaknya, mata hati Schweitzer benar-benar melihat “luka-luka” itu dan ia menjawab, “Di bandingkan banyak tempat lain di dunia, saat ini Afrika yang benar-benar sedang membutuhkan dokter. Sampai detik ini aku hidup untuk kebahagiaanku saja. Tetapi mulai saat ini aku akan mencurahkan pikiran dan pengabdian demi orang lain.” Akhirnya pada tahun 1913 Schweitzer mendirikan rumah sakit di pinggir Sungai Ogooué, di seberang Persekutuan Perancis Afrika. Suatu kali orang Afrika pernah bertanya kepadanya, “Mengapa Anda mau datang ke tempat seperti ini dan mau menjalani hidup sulit?” 

Ia menjawab, “Karena kata-kata saja tidaklah cukup, harus ada yang bertindak!”

Di tengah kecamuk Perang Dunia II Schweitzer tidak pulang kembali ke Eropa. Ia berkonsentrasi dalam Pekabaran Injil dan perawatan medis sehingga saat itu ia mendapat gelar World Great Man, Saint of Virgin Forest, dan juga “bapak hutan”. Kemudian pada 1952, ia menerima penghargaan Nobel Perdamaian, lalu uang hadia Nobel itu ia pergunakan untuk membangun desa bagi penderita penyakit lepra.

Tomas melihat luka di tubuh Yesus yang bangkit. Ia percaya dan kemudian menjadi saksi kebangkitan itu. Banyak cerita mengenai kisahnya memberitakan Injil. Gereja Mar Thoma di Kerala, India Selatan, mereka menamakan diri Orang Kristen Malabar atau Orang Kristen Thomas adalah bukti bagaimana Tomas telah dengan sepenuh hati dan mempergunakan hidupnya untuk menyaksikan Kristus yang mengasihi dunia. 

Albert Schweitzer melihat luka dan duka dunia. Ia menanggalkan segala kenyamanan dirinya. Baginya, kesaksian tidak cukup hanya dengan ucapan bibir belaka. Dia harus menghidupi dan mewujudkannya dalam tindakan konkrit. Suatu kali orang bertanya kepadanya tentang apa yang terpenting dalam sebuah ajaran. Ia menjawab, “Pertama adalah contoh, kedua contoh, ketiga pun contoh!”

Jika Anda pernah seperti Tomas, meragukan kebangkitan-Nya, menyangsikan kasih-Nya, bahkan tidak percaya kuasa dan pertolongan-Nya, Dia tidak pernah akan mencelamu. Sama seperti terhadap Tomas dan juga rasul-rasul yang lain, Ia akan menjumpai Anda. Memperlihatkan bukan tanda-tanda kejayaan yang sering diagungkan dan dipuja dunia, melainkan luka-luka – dan itu merupakan tanda cinta kasih-Nya. Percayalah bahwa melalui luka-luka itu adalah bukti cinta-Nya kepada Anda. Satu hal yang diharapkan-Nya, yakni: Anda dan saya melihat tanda cinta kasih itu. Luka-luka itu tidak jauh dari kita. Ia begitu dekat dan mungkin melekat dalam diri kita. Biarlah kita pun bersedia memperlihatkan luka itu agar dijamah oleh bilur-bilur-Nya dan menjadi sembuh. Pada saat yang sama kita juga terpanggil untuk menjadi saksi-Nya dengan cara memulihkan luka-luka orang lain. 

Dunia tidak cukup hanya mendengar cerita kita tentang kebangkitan Yesus. Dunia kini menantikan Anda dan saya membalut luka-luka-Nya. Kesaksian yang dinantikan dunia bukan sekedar cerita menjelang tidur, melainkan bukti nyata bahwa Anda dan saya mengasihi seperti Yesus mengasihi dunia ini.

Jakarta, Paskah II 2019

Jumat, 19 April 2019

EMAUS : PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN

Benar saja, untuk meyakinkan dan menghadirkan kehidupan tidaklah mudah. Para perempuan yang tadi pagi telah menyaksikan kubur kosong kemudian memberikan penjelasan tentang dua orang lelaki utusan Tuhan bahwa Yesus sudah bangkit, kini berusaha membawa dan menghadirkan pesan itu pada komunitas mereka. Namun, tetap saja ditanggapi dingin. Sebagian besar dari mereka tidak percaya. Ketidak-percayaan itu setidaknya diwakili oleh dua orang murid Yesus. Alih-alih seperti Petrus pergi ke kubur Yesus, Klopas dan temannya justeru menjauh dari Yerusalem. Mereka menuju 5 – 7 km ke arah barat; ke Emaus.

Sebenarnya Klopas dan temannya itu juga menyimak apa yang disampaikan oleh para perempuan itu. Ini tergambar dalam percakapan mereka dengan Yesus yang bangkit dalam perjalanan ke Emaus itu  – Yesus yang pada saat itu belum mereka kenali. “Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat yang mengatakan bahwa Ia hidup. Beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu, dan mendapati persis seperti yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat.”(Lukas 24:22-24).

“…dan mendapati persis seperti yang dikatakan perempuan-perempuan itu,..” Sebuah kenyataan mengherankan, mereka telah mendengar penjelasan dari para perempuan yang pagi-pagi buta telah pergi ke kubur Yesus ditambah dengan para murid lain yang mendatangi kubur Yesus itu, mereka menegaskan bahwa benar faktanya seperti itu. Namun, mereka tetap tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit! Lebih mengherankan lagi, kini mereka bahkan tidak menyadari bahwa orang yang berjalan bersama dengan mereka adalah Yesus sendiri!

Apa yang menyebabkan begitu kuatnya rasa tidak percaya mereka? “… ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenali Dia.”(Lukas 24:16). Mata mereka terhalang oleh kuatnya bayang-bayang kematian. Kematian adalah akhir dari segala pengharapan. Tidaklah mungkin manusia mati bangkit kembali. Itulah sebabnya mereka menolak segala bentuk kesaksian yang diberitakan oleh para murid perempuan dan kesaksian Petrus yang telah menyambangi kubur Yesus itu. Di samping itu, mereka mempunyai harapan besar terhadap Yesus, “Padahal kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang akan membebaskan bangsa Israel.”(Lukas 24:21a). Harapan itu kandas ketika mereka menyaksikan bahwa Mesias itu tunduk dan menyerah kalah: Yesus mati disalibkan!

Pernyataan kedua orang murid ini menggambarkan secara umum harapan mesianik dari bangsa Yahudi. Dalam suatu tulisan Yahudi, yang terbit lima puluh tahun sebelum Masehi, dikatakan, “Mesias, yang dilengkapi Allah dengan kekuatan, akan meremukkan pemerintah yang lalim; Ia akan mentahirkan Yerusalem dari orang-orang kafir, dan membinasakan bangsa-bangsa yang tidak bertuhan…” tetapi harapan mereka itu sudah runtuh sekarang. Sebab hari Minggu itu sudahlah “hari yang ketiga” dihitung dari hari kematian Yesus (menurut perhitungan Yahudi). Dan menurut bayangan rakyat Yahudi, jiwa seseorang yang meninggal masih melayang-layang berkeliling di sekitar mayat itu tiga hari lamanya, tetapi sesudah itu tidak ada harapan lagi bahwa nyawa hidup itu akan kembali.

Menarik, Yesus tidak melepas begitu saja kedua murid yang diliputi kekecewaan ini. Kedua orang yang menuju Emaus ini tidak diingatkan pada apa yang dikatakan Yesus dahulu di Galilea (seperti kepada para perempuan yang mengunjungi kubur Yesus). Kali ini, Yesus menerangkan isi Kitab Suci orang Yahudi. Bahwa Mesias bukanlah tokoh pahlawan politis yang menempuh jalan kemenangan dan kemulian dengan cara menaklukkan lawannya dengan pedang. Namun, menurut Kitab Suci, Mesias itu harus terlebih dahulu menempuh jalan penderitaan, sebagai hamba TUHAN dan sebagai Anak Manusia, supaya selanjutnya Ia memperoleh kemuliaan dengan menyeberangi penderitaan dan kematian itu. Pada akhirnya, Yesus mencela mereka sebagai orang-orang yang berhati lamban, artinya orang-orang yang dalam spiritualitas berat kepala, sulit untuk menerima kebenaran karena telah begitu rupa tertutup oleh keinginan mereka sendiri.

Bisa saja dalam kehidupan spiritualitas, kita sama seperti Klopas dan temannya itu. Kita mengikut Yesus, menjadikan-Nya Guru dan Tuhan dengan maksud untuk memenuhi segala keinginan kita. Bukan kita yang berusaha menundukkan diri pada kehendak-Nya, melainkan Dia yang harus memenuhi keinginan-keinginan kita itu. Manakala, tidak terpenuhi, kita pun meninggalkan “Yerusalem” menuju ‘Emaus”. Kita meninggalkan Yesus dan menjauh dari-Nya.

Sesudah sampai ke Emaus, maka Yesus membuat seolah-olah Ia mau berjalan terus, sesuai adab sopan-santun pada masa itu. Tetapi bagi Yesus, sikapnya seperti itu lebih daripada sebuah kebiasaan: Ia hanya mau datang kalau sungguh-sungguh diundang, dan tidak mendesak-desak diri-Nya. “Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya, Tinggallah Bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam. Lalu masuklah Ia untuk tinggal Bersama-sama dengan mereka.”(Lukas 24:29). Undangan ini menarik, seolah-olah dua orang murid itu bermurah hati, tidak membiarkan tamunya pergi, padahal hari menjelang malam dan kalau terus pergi, entah di mana ia akan memperoleh tempat perteduhan.

Namun, dalam konteks kesedihan dan kekecewaan, bukanlah Kleopas dan temannya itu yang menjadi penolong terhadap Yesus sehingga mereka menyediakan tempat bagi-Nya. Namun, justeru merekalah yang memerlukan pertolongan dalam memulihkan kedukaan dan spiritualitas mereka yang hancur!

Selanjutnya mereka mengadakan jamuan makan malam Bersama. Mereka makan malam biasa dan tidak mustahil seorang tamu didaulat untuk mengambil peran seorang bapa (toh waktu itu juga Yesus memerankan peran bapa yang mengajarkan kitab suci kepada anak-anaknya) yakni dengan memecah-mecah dan membagi-bagikan roti itu, sesudah terlebih dahulu Ia mengucap syukur kepada Allah. Pada saat itu terjadilah mukzijat: “terbukalah mata mereka”, artinya tiba-tiba mereka sekarang dapat mengenali siapa yang selama ini berjalan dan berbicara dengan mereka, yakni Yesus! Segera sesudah mereka mengenali-Nya, Yesus segera lenyap dari hadapan mereka!

Perjumpaan dalam kesadaran yang begitu singkat ternyata mampu memulihkan kedua orang murid tadi. Kini, mereka bergegas untuk kembali ke Yerusalem. Yerusalem yang baru saja ditinggalkan karena kekecewaan mereka kini menjadi kota untuk mereka tuju dan bersaksi di sana. Perjumpaan itu telah mengubahkan mereka. Perspektif iman yang keliru telah diluruskan. Harapan yang hanya mementingkan kenyamanan diri kini diubahkan. Bukan melulu diri sendiri yang menjadi pusat kehidupan namun kini mereka dapat melihat dari perspektif Allah.

Perjumpaan Yesus yang bangkit dengan kedua orang yang menuju Emaus telah mengubahkan mata hati dan iman mereka. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita juga mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit itu? Sangat mungkin saat ini kita sedang berada pada titik nadir kekecewaan. Kecewa karena harapan-harapan kita mengikut Yesus ternyata tidak terpenuhi. Masalah tetap ada bahkan terus bertambah, kesulitan silih berganti datang dan berbagai macam penderitaan seolah tidak kunjung reda. Dalam kondisi ini bayang-bayang kematian begitu kuat, dan kita mempertanyakan di manakah Yesus yang bangkit itu?

Percayalah Dia ada dalam setiap pergumulan kita. Dia terus mengetuk meminta pintu hati kita dibukakan. Dia tidak akan pernah memaksa untuk menerobos masuk ke dalam pintu hati kita. Seperti kedua murid di Emaus, marilah kita mengundang-Nya. Bukan seolah-olah Dia yang membutuhkan kita, melainkan justeru kitalah yang memerlukan pertolongan-Nya. Biarkan Yesus menguasai hati dan kehidupan kita, maka perlahan tapi pasti kita akan mengalami perubahan. Tidak lagi menjadi pengecut: lari dari permasalahan, melainkan menghadapinya sama seperti Yesus menghadapi penderitaan. Bahkan Ia memenangkan-Nya!

Jakarta, Paskah Sore 2019

MENGHADIRKAN KEHIDUPAN

Perempuan dalam strata patriakal kerap kali terabaikan. Namun hari ini, perempuan menjadi subyek utama! Betapa tidak, dari pinggiran, para perempuan ini ditarik ke tengah-tengah epicentrum tonggak iman Kristiani: Paskah!

Pada pagi buta hari minggu pertama itu beberapa orang perempuan sudah berjalan menuju tempat di mana mayat Yesus dibaringkan. Sementara para murid lain – yang dulu berlomba menjadi paling utama – larut dalam duka kecewa dan frustasi. Para perempuan itu pertama-tama datang ke makam Yesus bukan untuk menyaksikan pemenuhan janji Sang Guru, bahwa pada hari yang ketiga Ia akan bangkit. Bukan, bukan untuk itu! Mereka datang membawa rempah-rempah yang sudah disiapkan. Rempah-rempah dan minyak mur; mur adalah minyak wangi khusus untuk mengurapi mayat. Itu semua telah mereka siapkan pada hari penguburan Yesus sesuai adat tradisi Yahudi. Para perempuan itu adalah Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yokubus. Selain nama-nama itu, ada juga perempuan-perempuan lain yang ikut serta dengan mereka.

Barangkali harapan mereka tidaklah muluk-muluk. Mereka ingin memulasara jasad Yesus sesuai tradisi sebagai ungkapan cinta mereka kepada Sang Guru. Namun apa yang terjadi? Para perempuan ini menemukan tiga fakta yang mencengangkan. Pertama, batu yang menutupi makam sudah terguling. Seperti apakah makam itu? Makam di Palestina pada zaman Yesus berupa lubang datar masuk ke dalam batu karang, cukup besar sehingga orang dewasa dapat berdiri. Di Yerusalem, satu macam kuburan disebut kokim, bentuknya seperti kotak Panjang dengan tinggi kira-kira 40 cm, yang digali secara mendatar ke dalam batu karang, gua sedalam kira-kira 120-140 cm. Makam dapat juga berupa ceruk setengah lingkaran, kira-kira satu meter dari lantai yang digali menembus batu karang. Kemudian mayat diletakan di dalam ceruk itu, lalu lubang kubur ditutup dengan batu besar.

Fakta kedua, ketika mereka memasuki makam Yesus, mereka tidak menemukan jenazah Yesus. Di sinilah pukulan telak kedua. Pukulan mematikan pertama adalah ketika mereka melihat orang yang sangat dikasihi menderita sengsara dan akhirnya mati dengan cara mengenaskan. Kini, saat-saat terakhir mereka ingin menyatakan cinta kasih mereka melalui pemulasaraan jenazah, ternyata jasad itu sudah tidak ada. Itulah pukulan kedua yang tidak kalah mematikannya dari yang pertama. Pastilah bayang-bayang maut Bukit Tengkorak itu mengubur pikiran bahwa raibnya mayat Yesus disebabkan Ia sudah bangkit!

Beruntunglah dalam kegalauan para perempuan itu hadir fakta ketiga, yakni: datang kepada mereka dua orang lelaki dengan pakaian yang berkilau-kilauan. Berbeda dari penutur Markus, Lukas menceritakan bahwa para perempuan itu memasuki kubur Yesus atas inisiatif mereka sendiri, bukan diminta oleh siapa pun. Mereka berjumpa dengan kedua lelaki itu di dalam kubur. Dalam kebingungan karena mayat Yesus tidak ada di dalam kubur itu, lelaki itu memberi kabar bahwa Yesus telah bangkit seperti yang telah dikatakan-Nya ketika mereka masih di Galilea (Lukas 24:6).

Lelaki itu memutar kembali memori para murid perempuan. Seakan ia berkata, “Bukankah Yesus yang kamu cari ini, dulu, di Galilea pernah mengatakan bahwa setelah kematian-Nya, pada hari ketiga Ia akan bangkit? Dan sekarang mengapa kamu mencari Dia di sini, di tempat orang mati dibaringkan? Tidakkah kalian percaya dan mengimani apa yang sudah diucapkan-Nya dahulu?” Utusan Tuhan itu menegaskan bahwa mereka mencari Yesus di tempat yang salah. Ia tidak dapat dijumpai di tempat orang-orang mati!

Bisa jadi para perempuan itu bertambah bingung dengan penjelasan Sang utusan Tuhan di makam itu. Namun, setidaknya ingatan mereka terhubung kembali dengan perkataan Yesus terdahulu. Sekarang, mereka mengerti bahwa Yesus dulu sudah pernah menunjuk kepada penderitaan dan kematian serta kebangkitan-Nya. Maka sekarang mereka menjadi percaya akan kebangkitan itu. Di ruang kubur itu mereka yakin Sang Mesias telah bangkit. Di tempat kematian mereka melihat kehidupan! Kini, ketika mereka telah menyaksikan kehidupan di situs kematian, mereka terpanggil menghadirkan kehidupan itu kepada teman-temannya.

Perempuan, kaum nomor dua dalam strata patriakal harus menghadirkan berita yang teramat besar, kebangkitan! Para perempuan itu menceritakan apa yang mereka alami kepada kesebelas murid Yesus dan kepada semua saudara yang lain. Namun, kuasa maut begitu luar biasa. Mereka menanggapi kabar itu dengan dingin. Mereka tidak percaya pada berita yang disampaikan oleh kaum hawa itu! Namun, Petrus segera bangun dan ia berlari ke kubur Yesus itu. Ia ingin membuktikan apakah para perempuan itu mengigau di pagi hari ataukah benar bahwa Yesus sudah bangkit.

Para perempuan sangat mewarnai kisah kebangkitan dalam Injil Lukas. Para perempuan ini tidak hanya kali ini saja tampil dalam kisah Yesus. Mereka telah menjadi saksi penyaliban Yesus. Mereka juga hadir ketika Yesus dimakamkan (Lukas 23:55). Pengalaman para perempuan itu memuat tiga hal: makam yang sudah kosong, pemberitahuan dua orang lelaki tentang Yesus yang bangkit, dan ingatan mereka akan kata-kata Yesus ketika Ia masih bersama-sama dengan mereka. Ketiga unsur inilah yang mendasari kepercayaan mereka akan kebangkitan Yesus. Makam kosong dan pemberitahuan di dalam makam membuat mereka teringat akan kata-kata yang telah diucapkan Yesus. Meski tidak ada perintah untuk mewartakan apa yang telah mereka lihat dan alami, para perempuan ini pergi menyatakan apa yang mereka alami.

Para perempuan, kaum nomor dua dalam strata patriakal telah menjadi saksi kebangkitan Yesus. Mereka yang dianggap lemah telah melihat kehidupan di tempat kematian. Mereka yang sering direndahkan ternyata menjadi alat ditangan-Nya untuk menghadirkan kehidupan. Jangan pernah menjadikan alasan bahwa diri kita lemah, minoritas, atau terpinggirkan. Tuhan dapat memakai kita seperti para perempuan yang menjadi saksi pertama dan utama dalam peristiwa kebangkitan Yesus. Tidak mudah memang menghadirkan kehidupan di tengah-tengah pesimisme kematian. Bisa saja, seperti para perempuan itu, kita tidak dipercaya atau ditertawakan dan dilecehkan.

Namun, persoalannya bukan terletak pada orang percaya atau tidak; ditertawakan, dilecehkan atau diapresiasi. Kunci utamanya adalah – seperti kaum perempuan itu – mereka menyaksikan, melihat, kubur kosong, dan mengingat kembali akan perkataan Yesus. Mengingat perkataan Yesus berarti sungguh-sungguh meyakini kebenaran-Nya. Pengalaman dan kesadaran itulah yang akan mendorong kita untuk tidak hanya sekedar mewartakan kebangkitan, namun mampu menghadirkan kehidupan. Tentu kehidupan bukan asal hidup, melainkan kehidupan yang berkualitas sebagai lawan dari ancaman kematian dan kepunahan.

Kaum perempuan dalam Injil Lukas ini tidak pernah disuruh atau diminta oleh dua orang utusan Tuhan itu untuk menyampaikan berita gembira itu. Namun, mereka tergerak sendiri untuk menyampaikan pesan kebangkitan itu. Saya kira, setiap orang yang terkonfirmasi dengan ucapan, ajaran, dan teladan Yesus, tidak lagi perlu disuruh-suruh untuk dapat menghadirkan kehidupan. Dengan sendirinya, ia akan terdorong menyampaikan kabar itu. Betapa pun sulit, keras dan penolakan itu, ia akan tetap menyampaikan dan menghadirkan kabar baik itu!

Pertanyaannya sekarang, apakah Anda dan saya telah terkonfirmasi dengan kabar baik itu? Apakah Anda dan saya telah menjadikan kebangkitan itu bukan hanya sebagai doktrin, namun terkait erat dalam kehidupan kita? Jika itu yang terjadi, maka menjadi saksi dan menghadirkan kehidupan adalah sebuah keniscayaan!

Jakarta, Paskah Pagi 2019

SUNYINYA KEMATIAN

Bacaan Alkitab Sabtu Sunyi kali ini, seperti tahun-tahun sebelumnya adalah sama (Ayub 14:1-14, Matius 27:57-66). Namun, ada banyak kekayaan yang bisa kita gali di dalamnya. Tahun lalu, tema khotbah Sabtu Sunyi  dalam buku Rancangan Khotbah Dian Penuntun "Memento Mori"yang berarti, Ingatlah akan hari kematianmu!Tahun lalu umat diajak untuk menghayati bahwa suatu saat kita akan mati, dengan ingatan itu umat diharapkan dapat memberi makna pada kualitas hidup yang masih dianugerahkan Tuhan.

Sabtu Sunyikali ini mengajak kita untuk lebih dapat memahami kematian itu sendiri. Kita menyadari bahwa semua makhluk hidup akan berujung dengan kematian, sebab semuanya fana. Namun, ketika kematian itu belum bersentuhan dengan kita atau menimpa orang-orang terdekat, maka kematian sering dipandang sebagai fenoma kehidupan yang biasa-biasa saja; wajar, setiap yang hidup pasti akan mati! Hal ini tentu sangat berbeda sekali ketika kita mengalami sendiri. Misalnya saja pengalaman yang disebut little death: pada saat kita melewati sakit yang sudah divonis tidak dapat sembuh, penderitaan yang amat sangat dan berpotensi mematikan, atau lolos dari tragedi maut. Momen seperti ini biasanya membuat orang menyadari betapa berharganya kehidupan. Kematian juga bukan perkara biasa apabila itu terjadi pada kerabat atau orang-orang terdekat dalam hidup kita. Alih-alih memandang sebagai siklus alam biasa, kita dapat kehilangan kendali diri dan menjadi frustasi.

Perasaan kehilangan orang-orang yang dikasihi merupakan salah satu peristiwa menyakitkan dalam kehidupan manusia. Dr. Elisabeth Kubler-Ross, psikolog Swiss, penulis buku On Death and Dyingmerumuskan ada 5 fase ketika seseorang mengalami mengalami duka cita akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman dekat, yakni: shock, denial, anger, mourning, dan recovery. Tentu saja tiap-tiap orang pasti berbeda dalam mengungkapkan perasaan dan kegelisahaannya. Demikian juga jangka waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai tahap recoverytidaklah sama. Bahkan banyak yang tidak bisa menerima kenyataan dan berujung frustasi.

Meminjam teori Kubler-Ross, setelah kematian Sang Guru yang menjadi tumpuan dan pengharapan mesianik, para murid berada dalam fase shockdan denial. Mereka terkejut dan mungkin juga tidak percaya akan kematian Yesus yang sangat mengerikan itu. Semula ada harapan besar bahwa Sang Mesias dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Layaknya pengharapan mesianik Israel: Mesias adalah tokoh digdaya yang akan menghancurkan imperium Romawi! Namun nyatanya, kematian telah mengubur semua impian indah itu. Bagi para murid dan bagi banyak orang, kematian adalah akhir dari segala-galanya. 

Kalau kematian adalah realita yang tidak bisa ditolak. Lalu, apakah kematian itu benar-benar akhir dari segalanya dan mengubur semua harapan? Mari kita belajar dari teks bacaan pertama. Secuil kisah tentang Ayub.

Nama Ayub sering dihubungkan dengan derita dan kepahitan hidup. Tidak salah. Ayub semula hidup makmur berkelimpahan, seorang yang sangat saleh. Tiba-tiba segalanya lenyap dalam sekejap. Kondisi ini memaksa Ayub dan teman-temannya bergumul dan mencari makna di balik penderitaan. Sebagai orang saleh, tentulah Ayub sangat yakin bahwa TUHAN mempunyai kuasa absolut atas segalanya. Baginya, penderitaan pahit yang sedang dialami merupakan pukulan dan murka TUHAN. Itulah sebabnya ia datang kepada TUHAN dan meminta untuk "menyembunyikanku di dalam dunia orang mati...sampai murka-Mu surut."(Ayub 14:13). Ayub memandang bahwa kematian adalah cara mengakhiri kepahitan hidup. Kematian adalah akhir dari segalanya. 

Bukankah cara pandang ini masih subur dalam konteks kita. Banyak yang tidak tahan dengan penderitaan, maka kematian dipandang sebagai cara instan untuk beralih dari "kesakitan" kepada tidur panjang yang dipandang lebih nyaman. Setidaknya kasus-kasus bunuh diri dan orang-orang sekarat dengan sakit terminal yang minta didoakan agar TUHAN segera mengakhiri hidupnya membenarkan pandangan ini. 

Rupanya narasi keluh kesah Ayub yang diberi judul oleh LAI "Setelah mati tidak ada harapan lagi"bukanlah sebuah narasi final tentang pesimisme kematian. Sebagaimana semua orang memandang kematian adalah misteri, demikian juga dengan Ayub. Ketika kita berhenti pada ayat 14, "Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku;..." Hasilnya, nada pesimis bahwa kematian itu akhir dari segalanya masih sangat kental. Narasi ini sebenarnya tidak berhenti di situ, ayat ini belum selesai; kalimatnya pun belum berakhir dengan "titik", masih ada kelanjutan! "...maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut; Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu. Sungguhpun Engkau menghitung langkahku, Engkau tidak akan memperhatikan dosaku; pelanggaranku akan dimasukkan di dalam pundi-pundi yang dimeteraikan, dan kesalahanku akan Kaututup dengan lepa."(Ay.14:15-17). Meski nada pesimis masih terbaca di penghujung pasal 14 ini, namun Ayub setidaknya mempunyai keyakinan bahwa masih ada cinta kasih TUHAN di balik kematian itu. Sekali lagi narasi Ayub belum selesai sampai akhirnya nanti dengan matanya sendiri, Ayub memandang TUHAN (bnd. Ayub 42:5).

Berbeda dengan Ayub yang kehilangan segalanya, dan sekujur tubuhnya penuh borok gatal, nyeri, menyakitkan, dan memalukan. Para murid pun kehilangan Guru mereka namun tidak menderita kesakitan fisik. Meski demikian, mereka merasa terancam oleh kelompok orang yang menyalibkan Yesus. Dalam kadar yang berbeda, perasaan mereka kurang lebihnya sama dengan apa yang dialami oleh Ayub dan semua orang yang kehilangan segala-galanya: orang yang dikasihi, harapan, arah hidup dan segala yang indah. Para murid membayangkan penderitaan dan kemalangan Sang Guru: bagaimana Yesus yang mereka cintai mengalami penderitaan berat, begitu buruk rupanya, luka-luka yang menganga bekas cambuk, luka-luka di sekujur tubuh bekas cambuk, paku dan tusukan tombak lalu kemudian mati dibantai di tiang salib itu. Jelas luka-luka ini tidak kalah mengerikan dan menyakitkan dari borok-borok Ayub. 

Kini, jasad itu diturunkan, dibalutkan kain kapan lalu dikuburkan. Bagi para murid tentu saja kondisi jasad seperti ini begitu ngilu dan memilukan. Namun, tampaknya semua itu belum memuaskan orang-orang yang membenci-Nya. Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari (Matius 27:62-66). Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu bikin berita sensasi; mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Tentu ada alasan mengapa para pemimpin Yahudi itu ngototmeminta kubur Yesus dijaga. Mereka mengingat ketika sebelum Yesus mati, Ia pernah mengatakan bahwa setelah tiga hari kematiannya, Ia akan bangkit (Matius 16:21). Pilatus mengabulkan permintaan mereka dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga kubur Yesus itu.

Tentu para murid sangat terpukul. Mereka putus asa dan mencoba menyelamatkan diri masing-masing. Ini terbukti, tak satu pun murid terdekat Yesus yang hadir dalam pemakaman-Nya kecuali para perempuan : Maria Magdalena dan Maria yang begitu rupa larut dalam duka nestapa. Dalam situasi kesedihan mendalam seseorang mudah hilang kendali, frustasi dan kehilangan pegangan. Jalan pintas biasanya dipilih; menyakiti diri sendiri atau orang lain lalu kemudian menyalahkan Tuhan. Lagi-lagi kematian berpotensi menggugurkan semua pengharapan termasuk iman!

Sama seperti narasi keluh kesah Ayub yang harus ditempatkan pada bingkai proses, jadi bukan final. Demikian juga kegelisahan para murid akan kematian Sang Guru merupakan sebuah proses yang nantinya akan menemukan bahwa harapan mereka tidaklah sia-sia. Di balik sunyinya kematian mereka akan melihat harapan itu nyata. Kini, mereka harus mengikuti rancangan-Nya dan bukan angan-angan sendiri. Hanya beberapa jam kegalauan menguasai mereka. Namun kemudian Tuhan menjawab dengan menampakkan diri kepada mereka. Ia tidak mati! Yesus memulihkan mereka kembali. Lagi, meminjam teori Elisabeth Kubler-Ross, pada akhirnya para murid, seperti juga Ayub, mengalami recovery. Mereka dipulihkan dan menjadi saksi-saksi karya Tuhan!

Jakarta, Sabtu Sunyi 2019

Kamis, 18 April 2019

SALIB : JALAN YANG PARADOKSAL

Narasi via dolorosa (jalan salib) dalam Injil Yohanes dikisahkan lebih dramatis ketimbang ketiga Injil sinoptik. Dalam adegan pertama (Yohanes19:17-22), dikisahkan Yesus dengan kekuatan-Nya sendiri memikul salib ke tempat yang bernama Golgota, yang berarti Tempat Tengkorak. Tidak ada cerita Simon dari Kirene yang membantu mengangkat salib Yesus. Ia tidak membutuhkan orang lain untuk memikul salib-Nya. Salib itu Ia junjung sendiri!

Ia disalibkan di tengah-tengah “dua orang lain sebelah menyebelah” yang tidak diberi keterangan bahwa dua orang tersebut adalah penyamun atau penjahat. Yang mau ditekankan Yohanes ialah bahwa Yesus ada di tengah-tengah mereka. Berita utama fokus pada papan tuduhan yang dipasang tepat di atas kepala-Nya pada salib itu. Dengan papan itu, Pilatus kembali dijadikan juru bicara yang menyatakan kebenaran tentang Yesus, dengan cara pengumuman a’lakaisar dalam tiga bahasa, Ibrani, Latin dan Yunani: “Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi”. Tuduhan resmi itu tidak pernah disangkal oleh Yesus tetapi diberi makna oleh-Nya untuk mencegah salah pengertian. Ia bukan raja dengan cara para penguasa dunia, tetapi Raja yang memberikan kesaksian tentang kebenaran, tentang cinta kasih dan misteri Allah.

Yohanes bercerita tentang ketelanjangan Yesus. Pakaian-Nya dibagi-bagikan oleh para prajurit Romawi (Yohanes 19:23-24), tidak hanya diceritakan lebih rinci dibanding Injil Markus 15:24, dst tetapi juga dengan suatu cara bahwa dengan itu Yesus menggenapi Kitab Suci. Dengan mengutip langsung ayat, “mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku” (Mzm. 22:18). Yohanes mau menyatakan bahwa sesungguhnya para prajurit itu tidak punya kuasa atas Yesus, tetapi mereka berada di bawah kuasa dan rencana Allah.

Empat prajurit yang menyalibkan Yesus melepaskan pakaian-Nya. Ia menjadi Raja yang telanjang! Dalam lakon itu, para prajurit seolah berkuasa mutlak atas diri Yesus yang tak berdaya. Namun, sesungguhnyalah Dia tidak mempertahankan hak dan kuasa-Nya. Ia memberikan kekuasaan, gerak, dan martabat-Nya. Dengan cara itu Yesus menyatakan kebenaran kasih melalui pemberian diri-Nya. Mereka memutuskan untuk memotong pakaian-Nya menjadi empat bagian, agar masing-masing memperoleh satu bagian. Namun jubah itu tidak berjahit dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja, mungkin dibuat oleh ibu-Nya. Para prajurit itu tidak jadi memotongnya, tetapi mereka membuang undi untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan jubah itu. Di sinilah seolah mereka berkuasa. Namun nyatanya mereka dipakai Allah untuk menggenapi madah Mazmur 22:18. Paradoks!

Dalam tradisi sinoptik, setelah Yesus mati, ditampilkan beberapa perempuan yang melihat-Nya dari jauh. Namun Yohanes menempatkan mereka berdiri begitu dekat dengan salib pada detik-detik terakhir kematian-Nya (Yoh.19:25-27). Hadir pula di situ ibu Yesus, dan murid yang dikasihi Yesus. Terjadilah dialog pada saat kritis itu. Ibu-Nya dan murid itu oleh Yesus diberikan yang satu kepada yang lain mandat sebagai ibu dan anak. Sejak saat itu tercipta keluarga baru, Ibu Yesus yang disebut lima kali dalam tiga ayat ini, diberi peran baru sebagai bunda dari semua murid-murid-Nya.

Kematian Yesus (Yoh.19:28-30) diawali dengan pemberian anggur asam yang diceritakan dalam semua Injil. Namun, Yohanes menempatkannya pada saat Yesus mengucapkan perkataan terakhir “Sudah selesai!” Dengan itu Ia menyatakan bahwa diri-Nya telah selesai meminum cawan yang diberikan oleh Bapa-Nya (Yoh.18:11). Penggenapan pernyataan ini menunjukkan bahwa Yesus tahu detil demi detil peristiwa yang segera Ia akan alami. Tidak hanya itu, bahkan setiap peristiwa yang terjadi dalam penyaliban itu berada dalam kendali-Nya.

Yohanes bercerita pula bahwa pada saat itu pesta Paskah akan segera dimulai (Jean Vanier). Penguasa Yahudi menghendaki agar tubuh orang-orang yang disalibkan diturunkan dan dimakamkan. Oleh karena itu, mereka meminta kepada Pilatus supaya kaki orang-orang itu dipatahkan dan mayat-mayatnya diturunkan (Yoh.19:31). Apa hubungannya antara mematahkan kaki dengan kematian?” Kalau orang digantung disalib pada kedua tangannya, dia masih bisa bernafas untuk mempertahankan hidupnya dengan cara menjejakkan kakinya. Kalau kaki tidak bisa dijejakkan lagi karena patah, orang tersebut tidak bisa bernafas dan akan mati perlahan secara mengerikan. Para prajurit itu mematahkan kaki kedua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus. Namun, ketika sampai kepada Yesus, mereka mendapati Yesus telah mati. Dan untuk memastikan kematian-Nya, salah seorang dari mereka menikam lambung Yesus dengan tombak. Darah dan air mengalir dari lambung yang koyak itu!

Darah dan air yang mengalir dari tubuh Yesus terlihat begitu mengenaskan dan mengerikan. Ini bukti tanda kematian-Nya. Namun, bagi Yohanes, darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus merupakan lambang pengharapan. Paradoks!

Dalam darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus merupakan lambang pengharapan. Air melambangkan Roh. Bersama dengan Nikodemus kita dipanggil untuk “lahir kembali”, “dari atas”, melalui air dan Roh. Yesus berjanji kepada perempuan Samaria bahwa air yang hidup akan mengalir dalam hatinya kalau ia meminum air yang ia berikan. Air yang mengalir dari lambung Yesus adalah lambang kasih-Nya dan lambang anugerah Roh yang akan diberikan kepada semua yang terbuka untuk menerima-Nya. Air ini menyembuhkan, membersihkan, dan memberikan hidup. Air ini mengubah ketertutupan, benci, dan kekerasan menjadi keterbukaan, kasih, dan pengampunan.

Air yang mengalir dari hati Yesus yang tertikam tombak, secara simbolis menyatakan penerusan hidup, hidup Allah sendiri yang merupakan salah satu tema dasar dari Injil Yohanes. Air itu menyatakan kehendak Allah untuk meruntuhkan tembok yang memisahkan kita dari Allah, membelenggu kita dalam diri kita sendiri dan menghalangi kita untuk hidup sepenuhnya. Allah ingin memerdekakan kita. Ia ingin hidup di dalam kita agar kita hidup di dalam Allah dalam pelukan kebahagiaan abadi.  Kasih Yesus yang tanpa syarat, yang nyata sekali dalam pemberian diri-Nya: dalam Injil Yohanes, Yesus bukan menjadi korban, melainkan Ia memilih jalan itu, Ia mengendalikan via dolorosa, salib itu jalan kemuliaan-Nya. Dengan jalan itu, Ia mau membuka diri kita untuk menerima hidup-Nya, hidup Allah dan dilahirkan kembali.

Kisah mengenai kekerasan, kebencian, dan kekejaman berakhir dengan berkas cahaya yang menakjubkan. Kematian bukanlah kata akhir – melainkan jalan menuju kemuliaan yang sesungguhnya! Kekerasan dan kebencian telah diubah menjadi kelembutan dan pengampunan, berkat kekuasaan Allah, sabda Allah yang menjadi daging, Air Hidup yang mulai mengalir. Sekarang – melalui darah dan air dari lambung-Nya – orang dapat menerima air sumber kasih dan persekutuan ini. Sebagai murid-murid Yesus, mereka akan menjadi sumber damai bagi dunia yang terus terpecah dan penuh konfliks.

Namun, anugerah Roh tidak diberikan tanpa rasa pedih. Pedihnya kematian Yesus, yang diterima dengan bebas, diikuti oleh kepedihan dan kematian yang diterima dengan bebas oleh para murid-Nya. Sebagaimana hidup mengalir dari hati Yesus yang tertombak, hidup juga akan mengalir dari hati orang-orang yang akan menderita dalam nama Yesus. Para murid – dan tentunya kita semua – di sepanjang zaman dapat saja mengalami penolakan, diejek, ditertawakan, dipinggirkan, dianiaya, mungkin juga dibunuh demi iman, kebenaran, dan keadilan. Mereka dan kita harus menjadi seperti Yesus. Para murid menderita bukan dalam memperjuangkan nafsu dan ambisi masing-masing, melainkan menderita dalam nama Yesus, menjadi sumber hidup bagi Gereja dan bagi dunia. 

Jakarta, Jumat Agung 2019

Selasa, 16 April 2019

ANAK DOMBA YANG SEMPURNA

Kamis, pagi itu Yerusalem penuh sesak dengan para peziarah yang tak henti-hentinya mendatangi Bait Allah. Para peziarah itu datang berkelompok-kelompok. Mereka bernyanyi dan mendaraskan Mazmur. Paskah merupakan perayaan puncak yang dipenuhi suasana puji-pujian, rasa syukur, dan kegembiraan karena karya-karya Allah yang menyelamatkan umat-Nya di masa lampau.

Seorang penulis Yahudi modern melukiskan dengan rinci upacara rumit yang dilakukan di Bait Allah:

Anak domba Paskah disembelih…di halaman … dan menjadi kewajiban bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk memenuhinya.  … penyembelihan anak domba segera disusul pembakaran dupa.  … Sesudah anak domba yang disembelih dikemas baik-baik dan darahnya dimasukkan dengan hati-hati ke tempatnya, anak domba dan darah itu dibawa pulang oleh pemiliknya, dipanggang dan dimakan pada sore harinya. Pemilik-pemilik anak domba dibagi menjadi tiga kelompok; masing-masing terdiri dari tiga puluh orang, dan pada waktu penyembelihan tidak pernah lebih dari tiga puluh orang boleh hadir di halamannya. Sesudah kelompok pertama memasuki halaman, pintu-pintu ditutup dan pada waktu itu imam-imam menyanyikan Kidung Hallel. Anak domba disembelih … dengan urutan yang sudah diatur, terompet-terompet ditiup, sementara imam-imam berdiri siap dengan peralatan terbuat dari emas dan perak untuk memercikkan darah. Pasu yang berisi darah diedarkan secara berkeliling bergiliran dari orang yang sat uke orang yang lain sehingga banyak orang mendapat bagian dalam tindakan yang membawa pahala, sampai pasu itu mencapai imam yang terdekat dengan mezbah. … Kemudian, anak-anak domba yang disembelih itu digantungkan pada sangkutan yang terbuat dari besi di sepanjang tembok dan tiang-tiang. … Kemudian pintu dibuka kembali, dan pada waktu kelompok pertama pergi ke luar, kelompok kedua diperbolehkan masuk, dan menyusul kelompok ketiga. Sesudah itu halaman dibersihkan. … Anak domba mewakili kelompok karena anak domba tidak disembelih untuk orang per orangan, kecuali dalam kasus-kasus luar biasa. … Orang-orang laki-laki dan perempuan dipisahkan satu sama lain. … Binatang disembelih pada malam menjelang Paskah, pada sore hari tanggal 14 Nisan. … pada pukul tiga. … Penyembelihan dapat dilakukan oleh orang awam, tetapi darahnya harus ditampung oleh imam. (“Passover”dalam Jewish Encyclopedia, IX.New York.1905 dan N. Martola, “Passover Hagadah”dalam The Encyclopedia of Judaism,III. Brill/Boston.2001).

Anak domba yang disembelih pada pagi hari di Bait Suci dimakan pada sore hari di rumah, dalam perjamuan religius yang merupakan bagian hakiki dari perayaan Paskah. Ada dua pokok acara dalam Perjamuan PaskahYahudi, yakni: makan roti tak beragi, matzoth, dan daging domba sebagai peringatan pembebasan umat Allah dari Mesir. Anggur juga dipergunakan sebagai lambang kegembiraan dan syukur kepada Allah atas segala kebaikan-Nya. Pada awal perayaan, ketua kelompok memberkati dan mengedarkan piala berisi anggur dicampur air kepada para peserta. Kemudian Kidung Hallel (Mzm.111-113) dinyanyikan. Sesudah bagian pertama Hallel dedaunan pahit yang dicelupkan dalam cuka untuk mengenang kepahitan hidup pada waktu menjadi budak di Mesir. Kemudian diedarkan piala anggur kedua dan pembasuhan tangan menjadi tanda berakhirnya bagian persiapan pertama. Lalu mulailah perjamuan yang sebenarnya. Roti yang tidak beragi diberkati, dipecah-pecahkan dan diberikan kepada semua peserta diikuti dengan penyantapan domba yang sudah disembelih di Bait Allah. Sesudah itu piala anggur ketiga yang sudah diberkati diedarkan kepada para peserta, disusul Kidung Hallel  kedua (Mzm.115-118). Dengan itu upacara ditutup. Piala keempat ditambahkan kemudian.

Dalam kerangka liturgi Yahudi, Yesusmerayakan perjamuan religius itu bersama para murid-Nya. Yesus memilih roti tak beragi dan piala anggur ketiga dan mengubahnya menjadi sarana untuk menyatakan diri bahwa dalam perjamuan itu Dialah Sang Anak Domba yang sempurna menghapus dosa dunia. Yesus mengubah secara mendalam perayaan Paskah Yahudi itu. Sekarang makna pembebasan dari Mesir diganti oleh kematian dan kebangkitan Yesus, yang secara sakramental hadir dalam ibadat. Kalvari menggantikan tempat Mesir; roti dan air anggur menjadi lambang yang menunjukkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya.

Dari empat Injil, Yohanes tidak bercerita tentang perjamuan Paskah yang di dalamnya ada pembagian roti tak beragi dan cawan anggur sebagai tubuh dan darah Yesus. Dalam Injil Yohanes, perjamuan terakhir diadakan sehari sebelum perjamuan Paskah Yahudi, yang ditandai kisah dramatis: pembasuhan kaki para murid.

Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan budak: yang lebih rendah membasuh kaki orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya. Murid membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki raja. Tidak akan pernah terjadi seorang raja berlutut di depan kaki rakyatnya, atau seorang guru berlutut di depan kaki murid-muridnya. Oleh karena itu dapat dipahami kalau Petrus dan teman-temannya tidak bisa mengerti apa yang terjadi. Pada waktu itu mereka tidak sanggup memahami bahwa Yesus sedang menyampaikan ajaran dan teladan yang baru. Bukan saja mengenai hubungan antara Allah dan manusia, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya.

Ketika Yesus akan membasuh kaki Petrus, ia menolaknya (Yoh.13:6-8). Petrus begitu manusiawi, seperti kita. Ia hidup menurut budaya dan kebiasaan yang ada. Yesus lebih tinggi, Ia Tuhan dan Guru. Ia tidak pernah boleh membasuh kaki murid-murid-Nya yang tentu saja posisinya lebih rendah. Merekalah yang harus membasuh kaki Yesus! Petrus tidak bisa mengerti arti tindakan ini. Ia membutuhkan Yesus yang ada di atasnya. Yesus yang memberi rasa aman. Yesus yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah, Yang kudus? Tidak boleh Ia berada di bawah! Namun, Yesus ingin membangun relasi baru dengan Petrus, agar ia bangkit dan menyadari bahwa ia dipanggil untuk mencintai orang lain, sebagaimana Yesus mencintai dia.

Semua kelompok, semua masyarakat dibangun dengan model piramida: yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, yang pandai. Mereka merasa dipanggil untuk menguasai dan memimpin. Yang berada di bagian bawah adalah para imigran, budak, buruh, dan pelayan, orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, yang sakit mental, atau menyandang disabilitas. Mereka dipinggirkan, tidak diperhitungkan. Di sini Yesus menempatkan diri pada tempat yang paling bawah, tempat yang paling akhir: tempat para budak! Bagi Petrus ini tidak mungkin. Petrus belum menyadari bahwa Yesus datang untuk mengubah model – sebagaimana Ia telah mengubah liturgi Yahudi dan menjadikan diri-Nya sebagai anak domba “santapan” perjamuan – dari piramida menjadi model tubuh. Menurut model tubuh (sebagaimana pernyataan-Nya bahwa roti itu adalah tubuh-Nya dan air anggur adalah darah-Nya) semua orang mempunyai tempat, entah mereka normal, entah mereka cacat; masing-masing saling membutuhkan dan saling bergantung. Masing-masing terpanggil untuk mengemban tugas melayani. Di dalam Yesus tidak ada yang disebut “tempat terakhir”!

Dengan menyatakan diri sebagai yang paling rendah (posisi budak) dalam strata sosial, sebagai orang yang melakukan pekerjaan kotor, sebagai orang yang berada di tempat terakhir, Yesus mengajak para murid-Nya untuk memberi perhatian kepada yang kecil dan dipandang hina oleh masyarakat. Allah tidak berada di luar jangkauan, di langit. Allah bersembunyi di “langit” hati orang-orang yang berada di tempat terakhir.

Saya dapat membayangkan dan merasakan betapa dengan lembut Yesus menyentuh kaki para murid dengan mata-Nya Ia memandang dan memanggil masing-masing dengan Namanya, dan mengatakan sesuatu yang khusus bagi mereka masing-masing. Kalau dalam perjamuan Paskah, Ia berbicara kepada mereka semua. Ia tidak berkontak secara pribadi dengan mereka masing-masing. Namun, ketika dengan rendah hati Ia berlutut di hadapan mereka masing-masing dan membasuh kaki mereka. Ia berkontak pribadi dengan mereka masing-masing. Ia menyatakan kasih-Nya kepada mereka masing-masing; kasih yang sekaligus menguatkan dan menantang. Ia melihat dalam diri mereka kehadiran Bapa-Nya, yang Ia kasihi dan Ia layani. Kasih Yesus menyatakan bahwa kita adalah penting, bahwa kita adalah kehadiran Allah, dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah; untuk mencintai orang lain seperti Allah mencintai mereka, untuk melayani orang lain dan membasuh kaki mereka. Dengan membasuh kaki para murid, Yesus tidak kehilangan kuasa-Nya. Ia menyatakan bahwa Dia adalah “Tuhan dan Guru”. Namun, Ia ingin menggunakan cara baru menggunakan kuasa, melalui sikap rendah hati, pelayanan dan kasih, melalui kesatuan hati, dengan cara menyiratkan kedekatan, persahabatan, keterbukaan, dengan kehendak untuk menjadi jembatan antara mereka yang memimpin dan yang di bawah pimpinan.

Sesudah Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Yesus mengenakan kembali pakaian-Nya lalu duduk, Ia meminta agar apa yang Ia lakukan bagi mereka, mereka lakukan juga seorang terhadap yang lain. Ketika Yesus meminta kita untuk saling membasuh kaki, jelas ini bukan peragaan simbolis saja. Ia mengajak kita untuk saling mencintai, melayani, dan mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar membasuh kaki semua orang. Tidak! Pembasuhan kaki adalah lambang yang amat kuat. Dan lambang adalah penting untuk mengungkapkan sebuah makna.

Mahatma Gandhi amat dipengaruhi oleh hidup dan pesan Yesus, khususnya oleh Khotbah di Bukit dan pembasuhan kaki. Bahkan ketika ia mempunyai kekuasaan besar sebagai pemimpin negerinya, ia mengambil tempat yang amat sederhana di ashramtempat tinggalnya. Tugas tiap hari adalah membersihkan toilet: tanda yang amat jelas bahwa dia ingin melayani orang lain! Bagaimana dengan kita yang mengaku Yesus Tuhan dan Guru?

Jakarta, Kamis Putih 2019

Rabu, 10 April 2019

SUARAKAN DAMAI

Betfage kini tidak lagi diketahui secara pasti di mana letak yang sebenarnya. Kalau pun ada orang yang menunjukkannya itu hanya perkiraan saja. Misalnya, ketika orang pergi tour holy land, pemandu wisata akan menunjuk Abu Dis sebagai Betfage.  Sama seperti pohon ara yang telah memperjumpakan Zakheus si pemungut cukai itu dengan Yesus, orang segera melupakannya pohon ara tersebut. Nasib Betfage mungkin serupa, ia tidak lagi diingat. Meski tidak tahu lagi tempatnya di mana, kitab Injil mencatat peran desa kecil itu. Di pedesaan itulah Yesus pernah mengutus dua orang murid-Nya untuk mengambil keledai yang akan dikendarai-Nya memasuki Yerusalem. “Ketika telah mendekati Betfage dan Betania, yang terletak di bukit yang bernama Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya…”, demikian Lukas mencatat nama desa itu.

Betfage (Aram: tempat pohon ara, atau rumah buah) agaknya terletak antara Betania dan Yerusalem. Para peziarah yang hendak menuju Yerusalem dari Yerikho harus melalui desa kecil itu. Kedua kampung, Betania dan Betfage terletak di perbukitan. Saya membayangkan perkampungan itu sebuah tempat yang tenang dan damai. Setelah melewati Betania kampung Maria, Marta dan Lazarus yang dibangkitkan itu, Yesus menyuruh kedua orang murid-Nya ke Betfage untuk menjemput keledai betina muda yang belum pernah ditunggangi orang. Tampaknya Yesus sudah mempersiapkan sedemikian rapi perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Seakan Ia mengenal dengan baik orang yang mempunyai keledai di kampung itu. Sangat mungkin Yesus sudah membuat janji terlebih dahulu dengan pemilik keledai itu untuk sewaktu-waktu Ia gunakan. Ini terbukti ketika ada utusan yang memintanya, segera keledai itu diserahkan oleh sang pemiliknya. Namun, ada juga penafsir lain yang punya pendapat berbeda. Bukan begitu! Yesus selalu ada bersama-sama para murid, Ia tidak pernah bikin janji sendiri dengan pemilik keledai. Yesus adalah Tuhan yang tahu segala-sesuatu termasuk pemilik keledai itu. Ia sanggup melihat ke masa depan, dan karena itu dapat memerintahkan kedua murid-Nya untuk mengambil keledai itu. 

Sepertinya tidak terlalu penting untuk kita mempermasalahkan apakah Yesus sudah berhubungan terlebih dahulu dengan si pemilik keledai atau Dia sudah tahu segala sesuatunya. Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah kerelaan si pemilik keledai yang memberikan milik  terbaiknya untuk tunggangan Yesus. Tampak sekali tidak ada proses transaksi atau tawar-menawar antara dia dan dua utusan Yesus. Mereka membawanya begitu saja (Lukas 19:34,35). Pernahkah kita berpikir apa yang menjadi motivasi si pemilik keledai itu sehingga dengan rela memberikan keledainya? Bisa saja nama Yesus sudah begitu dikagumi sehingga siapa pun menghormati dan rela memberikan miliknya ketika diminta Yesus. Ataukah ia takut terhadap orang banyak yang sudah ngefans dengan Yesus. Tidakkah kita mencoba berpikir lebih positif bahwa, ia mempunyai sebuah kerelaan dan sukacita ketika dapat memberikan sesuatu untuk memfasilitasi karya Tuhan? Bisa jadi orang ini begitu kuat ingin berpartisifasi dalam pekerjaan Yesus!

Yesus memasuki kota Yerusalem menunggang keledai. Bukan kuda! Keledai adalah tunggangan yang lazim digunakan orang pada situasi damai. Selain unta, keledai biasa dipakai sebagai hewan tunggangan untuk mengangkut orang dan barang. Sedangkan kuda lazimnya dipakai untuk berperang. Meski menaiki keledai, tindakan-Nya memasuki Yerusalem tidaklah menghilangkan kesan bahwa Dia-lah Mesias sebagai pemenuhan nubuat Zakharia 9:9, orang Yahudi pasti dengan cepat akan mengerti gerakan teatrikal ini. 

Meski demikian, berbeda dari penulis Injil lainnya, Lukas tidak mencatat adanya orang-orang yang mengangkat daun-daun palem sambil menyerukan pujian. Lukas hanya mengisahkan bahwa para murid atau pengikut-Nya yang menghamparkan baju dan menyerukan pujian yang nyaring sehingga mengusik telinga orang Farisi.  Mereka memuji Allah karena segala mukzijat yang telah mereka lihat. Pujian para murid itu berasal dari Mazmur 118. Mazmur tersebut memang dimaksudkan untuk peristiwa penyambutan seorang raja yang masuk ke kotanya.

Yesus bukanlah raja biasa, Ia bukan raja politik. Oleh karena itu Lukas dengan sengaja tidak menyertakan khalayak ramai yang mengelu-elukan Yesus, cukup para pengikut-Nya saja. Bagi Lukas peristiwa ini bukan people power, bukan aksi demonstrasi politik yang menentang kekuasaan Romawi dan bermaksud menggulingkannya. Bukan seperti gerakan Yudas Makabeus! Melainkan sebuah seruan pujian terhadap Sang Mesias yang telah berkarya melakukan segala kehendak Allah; menghadirkan damai sejahtera. Yesus datang sebagai Raja Damai, pembawa keselamatan yang dari Allah, sebagai Mesias yang datang demi nama TUHAN (Mazmur 118:26).

Jelaslah sorak-sorai penyambutan Sang Mesias itu adalah sorak-sorai menyuarakan damai, bukan demo menantang perang! Namun, tetap saja suasana itu ditanggapi negatif oleh beberapa orang Farisi yang turut dalam rombongan Yesus itu. Mereka meminta supaya Yesus menghentikan sorak-sorai itu. Namun, Yesus membiarkan dan seolah mendukung, jawab-Nya, “Aku berkata kepadamu: Jika mereka diam, maka batu ini akan berteriak.” (Lukas 19:40).

Kisah Yesus memasuki Yerusalem versi Lukas memperlihatkan kepada kita seakan-akan ada garis demarkasi yang memisahkan antara para murid atau pengikut Yesus yang telah menyaksikan pengajaran dan mukjizat yang dilakukan-Nya dengan penduduk kota Yerusalem pada umumnya. Melalui gerak teatrikal yang tidak biasa, yakni dengan menunggang keledai (selama ini Yesus berkeliling dari kampung ke kampung memberitakan Injil, mengajar, dan melakukan banyak mukjizat hanya dengan berjalan kaki. Sesekali naik perahu, namun belum pernah menggunakan hewan tunggangan) Ia ingin menyatakan diri-Nya sebagai Mesias Raja Damai! Tampaknya Ia sama sekali tidak tergoda untuk menjadikan diri-Nya sebagai Mesias penakluk yang hendak menggulingkan Kaisar Romawi. Oleh karena itu sudah selayaknyalah setiap murid Kristus selalu membawa pesan damai. 

Gereja harus mempersiapkan umatnya bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai orang-orang yang siap diutus membawa damai. Ibarat Betfage, gereja mestinya menjadi "kawah candradimuka", tempat menggembleng warganya agar mampu menghadirkan – bukan keledai – orang-orang yang tidak saja dapat membawa simbol-simbol perdamaian, tetapi juga berani menyuarakan dan menjadi alat damai sejahtera di bumi ini. Melalui pelbagai pembinaan dan corak ibadah, gereja terpanggil untuk menyiapkan anggota-anggotanya berkiprah membumikan damai sejahtera dalam pelbagai bidang kehidupan.

Adalah tidak fair gereja mengutuk dan mencaci maki para politisi – yang memang bermoral bobrok – tanpa sebelumnya ikut andil dalam menyiapkan dan dengan sengaja membina warganya agar mereka mampu menjadi garam dan terang di ranah politik. Tidak adil rasanya ketika gereja hanya menyesalkan banyaknya pebisnis kotor yang tidak peduli dengan harkat martabat manusia, tanpa sebelumnya membekali mereka dengan benteng moral yang bersumber dari kebenaran Injil. Demikian juga di bidang-bidang ilmu pengetahuan, penegakan hukum, gaya hidup, dan lain sebagainya. Gereja harus seperti Betfage, memfasilitasi dan menyiapkan para anggotanya untuk berperan meneruskan karya Yesus di dunia ini. Gereja tidak boleh sibuk dengan dirinya sendiri. Gereja tidak boleh menciptakan rasa aman dan nyaman sendiri. Gereja harus gelisah, sama seperti Yesus gelisah ketika memandang ketidak-benaran, ketidak-adilan dan kedzoliman yang terjadi di mana-mana. 

Gereja harus rela memberi orang-orangnya yang terbaik – seperti di Betfage, pemilik keledai itu memberikan dan merelakan miliknya yang terbaik – untuk karya pendamaian di muka bumi ini. Gereja tidak boleh kecewa dan meratapi diri apabila mungkin suatu saat dirinya tidak diingat lagi. 

Jakarta, Palmarum 2019 

Selasa, 09 April 2019

IA TERPAKU DAN TELANJANG

Ia yang menggantung bumi, tergantung di sini,
Ia yang memasang surga, di pasang di sini,
Ia yang menciptakan segala sesuatu teguh terikat, diikat pada sebatang kayu,
Tuan untuk dihina, Allah telah dibunuh,
Raja Israel telah disembelih oleh tangan Israel…
Tuan telah diperlakukan secara tidak pantas,
Tubuhnya telanjang…
Dan bahkan, tidak layak untuk ditutupi, sehingga ketelanjangannya tidak tampak.
Maka cahaya surga berpaling, dan hari menjadi gelap,
agar dapat menyembunyikan Dia yang dilucuti pakaian-Nya di atas salib.”(Melito dari Sardis, “Homili tentang Kesengsaraan”, dikutip oleh Hengel, Crucifixion, p.21)

Keempat Injil bercerita bahwa di Golgota,sebelum penyaliban, pakaian Yesus segera dibagi-bagi di antara para serdadu. Pada umumnya, orang yang divonis hukuman salib harus memikul salibnya sendiri dengan telanjang melewati jalan-jalan di Yerusalem. Tetapi karena orang Yahudi ngeri terhadap ketelanjangan di depan umum, terkadang dibuat pengecualian. Bisa jadi, perlakuan terhadap Yesus juga demikian. Meneguhkan pendapat itu, salah satu lukisan penyaliban paling awal adalah gambar dari pahatan kecil abad ke-2 pada sebuah permata yang menampilkan tubuh Yesus di salib yang telanjang dan sudah rusak. 

Di Golgota, Yesus dipaku dan telanjang! Bagi kebanyakan orang lebih mudah memahami siksaan fisik yang mengerikan ketimbang membayangkan perendahan paling keji pada saat seseorang disalibkan. Filsuf Seneca menegaskan bahwa lebih baik melakukan tindakan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. “Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat saat demi saat, mati secara perlahan-lahan daripada mati seketika? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada batang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh dirusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan selama penderitaan yang berkepanjangan? Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib.

Salib yang ditemui pada masa sekarang jauh lebih baik. Namun, bukan merupakan model atas kesetiaan kepada sejarah. Salib-salib itu, hampir tanpa pengecualian, entah dilukis entah diukir, salah! Salib-salib itu menampilkan tubuh yang tersalib secara amat rapi. Ditutup dengan kain pinggang, masih mengenakan mahkota duri, dan paku menerobos telapak tangan-Nya, bahkan pergelangan tangan-Nya. Terlalu indah!

Meski dihina, martabat-Nya direndahkan serendah-rendahnya, sebelum ajal tiba. Yesus masih memikirkan orang lain. Ia tidak meminta dikasihani, tetapi kasih-Nya terus terpancar. Yesus masih memikirkan nasib Maria, bunda-Nya. Ia menitipkan kepada murid yang dikasihi-Nya. Dan sejak saat itu Maria menjadi ibu bagi para murid. Tidak hanya itu, di dalam diri-Nya sama sekali tidak tersirat kebencian terhadap orang-orang yang memusuhi, merendahkan, menganiaya dan membunuh-Nya. Alih-alih kutuk yang meluncur dari mulut-Nya adalah syafaat kepada Bapa-Nya, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”(Lukas 23:34). Syafaat itu jelas ditujukan bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas penyaliban-Nya, yaitu penguasa Romawi, Pilatus, dan para tentaranya serta para pemimpin Yahudi yang menyerahkan-Nya kepada wali negeri Romawi untuk disalibkan.

Bisa saja kita memiliki tabiat seperti penguasa Romawi yang gemar menaklukkan, gemar menjadikan orang lain obyek dari kenikmatan kita. Pilatus juga bisa mewakili kita yang selalu memilih rasa aman dan nyaman ketimbang memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Atau kita adalah para pemuka Yahudi, yang menggunakan agama sebagai alat untuk menghukum, menghajar, menghardik dan menindas sesama. Kita merasa diri paling benar dan orang lain adalah penista agama! Yesus juga telah berdoa untuk kita. Dia menyampaikan syafaat kepada Bapa agar kita diampuni dan diterima kembali!

Di dalam Yesus, setiap orang akan melihat apa artinya pengampunan. Di dalam Yesus, setiap orang diterima meskipun telah melakukan kekejian. Kasih-Nya yang besar seharusnya mendorong setiap kita untuk bersyukur dan menanggapi dengan kehidupan pertobatan. Kristus telah mati agar kita mendapatkan kehidupan kekal, maka sewajarnyalah kita bersyukur dan menjadi pelayan-Nya yang setia!

Jumat, 05 April 2019

MENILIK HATI, MENEGUHKAN RELASI

Dunia politik dengan gamlang mempertontonkan kepada kita bahwa transaksi lebih utama ketimbang relasi. Musim kampanye, merupakan musim tebar pesona dan janji, bahkan musimtransaksi. Belum lagi kemenangan diraih, para kandidat sudah membagi-bagi jatah menteri. Partai A mendapat jatah tujuh menteri, partai B kebagian lima menteri, dan yang tidak mendukung jangan harap kebagian rezeki! Tidak penting lagi kepakaran dan persahabatan, yang penting adalah: kamu mendukung atau tidak. Itulah transaksi!

Bila transaksi mengutamakan hitung-hitungan matematis untung-rugi – dan biasanya itu berpusat pada pemenuhan ambisi serta pementingan diri sendiri – relasi tidaklah demikian. Relasi selalu terkait dengan hubungan, dan memang itu hakikat utama yang terkandung dalam kata relasi. Dalam ilmu-ilmu sosial, relasi terbangun oleh karena adanya interaksi dari dua atau lebih pihak yang saling mempengaruhi. Relasi yang baik akan membuahkan kebaikan: saling mendukung, membangun, toleran, dan akomodatif. Namun, relasi yang buruk akan bermuara pada saling curiga, persaingan tidak sehat, tidak akomodatif dan sulit kerjasama.

Berbicara tentang relasi, mungkin saja terasa usang di tengah-tengah derasnya arus transaksional yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan pribadi kita. Contoh, pernikahan. Betapa banyak pernikahan dan hubungan keluarga seharusnya merupakan sebuah relasi indah. Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan atau anggota keluarga. Namun apa yang terjadi? “Kalau dia mengasihi, memperhatikan dan setia, maka saya juga akan seperti itu. Namun, saya juga bisa bersikap masa bodoh kalau dia tidak lagi mencintai saya!” Atau sikap orang tua terhadap anak dan sebaliknya. Orang tua berkata, “Saya akan memberikan apa pun buat anak saya, asalkan dia menghormati saya. Namun, jangan harap dia mendapatkan warisan jika dia selalu menentang aku!”

Bahkan transaksi juga terjadi di ranah spiritual. Banyak orang mencoba hitung-hitungan dengan Tuhan. “Tuhan, saya sudah melayani, saya sudah beribadah, berdoa, dan bersedekah. Kini, Engkau harus membalasnya dengan memenuhi segala keinginan saya. Saya sudah setia kepada-Mu, maka wajarlah kalau Engkau memberikan berkat melimpah dalam kehidupanku!” 

Peristiwa di Betania hendak mengajar kepada kita, apakah kita seperti Maria yang memberikan persembahan penghormatan kepada Yesus karena cintanya sebagai buah relasi yang baik dengan-Nya. Ataukah seperti Yudas yang selalu bertransaksi dan berhitung untuk kepentingannya sendiri.

Waktu itu, enam hari menjelang perayaan Paskah. Yesus berada kembali di Betania tempat Ia membangkitkan Lazarus yang sudah empat hari mati. Di sana Yesus ikut perjamuan di rumah Simon si kusta. Tentu saja, Lazarus ada di situ, makan bersama dengan Yesus, sementara Maria melayani. Dalam Injil Yohanes yang kita baca pada Minggu Pra-paskah V ini, peristiwa itu terjadi pada malam hari menjelang masuknya Yesus ke Yerusalem. Ada dua informasi penting yang disampaikan Yohanes. Pertama, kisah itu masih berkaitan dengan kisah tentang Lazarus yang dibangkitkan. Pembangkitan Lazarus telah meningkatkan intensitas konflik sampai pada keputusan Mahkamah Agama untuk membunuh Yesus, kali ini Lazarus ada di itu. Kedua, kisah ini juga merupakan persiapan akan peristiwa-peristiwa penderitaan yang harus dihadapi Yesus sampai pada saat kematian-Nya.

Di tengah-tengah perjamuan, Maria terdorong oleh kasih dan ungkapan syukurnya. Ia mengambil setengah kati minyak narwastu yang mahal harganya. Minyak itu menurut perkiraan Yudas dapat dijual seharga tiga ratus dinar. Setara dengan upah buruh selama setahun dipotong cuti dan hari libur. Namun, Maria menuangkan minyak itu tepat di kaki Yesus, lalu ia menguraikan rambutnya yang Panjang dan menyeka kaki Yesus itu dengan mahkotanya, sesuatu yang sangat tabu. Seorang perempuan Yahudi tidak akan pernah menguraikan rambut di depan orang, kecuali di hadapan suaminya sendiri. Kita bisa membayangkan betapa dramatisnya apa yang dilakukan Maria. Ia membuka, menguraikan dan memakai untuk membasuh kaki Yesus!

Tentu saja, ketika botol minyak wangi itu dibuka, harumnya minyak narwastu murni itu sudah tercium. Apalagi, ketika seluruh minyak itu tumpah di kaki Yesus dan gerakan rambut yang menyekanya, pastilah seluruh ruangan itu sangat harumdengan wanginya minyak narwastu itu. Keadaan ini mengingatkan kita akan peristiwa Lazarus yang telah empat hari mati. Bukankah Marta pada waktu itu mencegah Yesus ketika Ia meminta mereka membuka kubur Lazarus? “Tuhan, ia sudah berbau,…”.

Maria saat itu mengganti bau anyir kematian mayat Lazarus dengan semerbak bau harum minyak narwastu murni. Ini adalah tindakan kasih Maria yang berkelimpahan tanpa memikirkan kerugian yang ada pada dirinya. Ia tidak peduli berapa lama harus bekerja menghasilkan uang untuk membeli minyak itu. Baginya, keuntungan itu sudah diperoleh dirinya. Kematian saudara yang begitu dicintainya dan kini hidup kembali tidak ada artinya dengan tiga ratus dinar yang dia curahkan!

Yudas bereaksi keras atas sikap dan tindakan Maria ini. Pemborosan!, “Mengapa minyak narwastu in tidak dijual tiga ratus dinar, dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”Motivasi ini tentu niatan yang luhur, karena ia tampaknya peduli dengan orang-orang miskin. Namun, penulis Injil Yohanes mengungkap niat sebenarnya dari seorang Yudas. Bukan, ia bukan peduli kepada si miskin. Yudas mengatakan semuanya itu karena dia adalah seorang pencuri yang sering mengambil uang dari kas yang dipegangnya. Yesus yang tahu segala sesuatu tidak berbicara apa pun untuk menanggapi protes Yudas.

Sebaliknya, Yesus meneguhkan Maria dalam kasih dan martabatnya sebagai perempuan. Yesus memerdekakan cintanya tanpa harus merasa bersalah atas tindakannya yang menurut Yudas sebagai pemborosan. Dengan membela Maria, Yesus juga membutuhkan kasih dan kepercayaan Maria pada saat orang-orang segera akan menolak dan membunuh-Nya. Maria sadar bahwa karena Yesus menghidupkan kembali saudaranya dan atas permintaannya itu menyebabkan kebencian terhadap Yesus semakin memuncak. Yesus akan segera ditangkap dan dibunuh. Bagi Maria, Yesus telah memberikan segala-galanya. Lalu kini, ia menanggapi pemberian yang utuh itu dengan memberikan seluruh dirinya pula, seluruh yang paling berharga dalam dirinya ia persembahkan dalam keagungan. Tampaknya agak bodoh dan menjadi batu sandungan, namun justru Yesus menaruh hormat pada pemberian yang seperti itu.

Maria telah menjalin relasi yang mutual dengan Yesus. Ia merasakan benar-benar cinta kasih Yesus. Cinta itu bersemayam dalam hati sanubarinya – suatu tempat yang paling layak dalam hidup manusia. Maria tidak terjebak hubungan transaksional: berhitung untung-rugi dengan Tuhan. Itulah sebabnya ia rela memberikan yang terbaik dalam hidupnya untuk Tuhannya.

Sekarang, tiliklah hati kita. Apakah cinta Tuhan juga tumbuh di sana? Apakah kebaikan dan cinta kasih serta penebusannya membuat kita menyadari bahwa sebenarnya tidak ada yang begitu pantas untuk kita berikan kepada-Nya sebagai persembahan yang terbaik? Apakah kebaikan Tuhan itu mendorong dan menolong kita untuk dengan sukacita menunaikan tugas panggilan kita sebagai murid-murid-Nya? Ataukah sama seperti Yudas, yang tampaknya baik; mau menolong dan memperhatikan orang-orang miskin namun di sana tersembunyi niat busuk?

Bangun dan milikilah relasi yang baik dengan Yesus, pasti kita akan merasakan cinta kasih-Nya. Hanya orang yang merasakan dan mengalami cinta kasih Tuhan Yesuslah yang akan mampu mengucap syukur dengan benar.

Jakarta, Minggu Pra-Paskah V 2019