Apa sih yang dimaksud dengan
tawar hati? Kebanyakan orang mengartikannya dengan: hilangnya minat atau
semangat, tidak antusias, tidak bernafsu, tidak mau peduli, apatis, hatinya
dingin, dan seterusnya. Siapa pun dapat mengalimi kondisi seperti itu. Sangat
wajar dan manusiawi. Namun, jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat buruk,
baik bagi kesehatan jasmani maupun rohani; diri sendiri maupun orang lain.
Kondisi tawar hati dapat mengganggu ritme hidup positif. Orang dengan tawar
hati akan kehilangan kegairahan dalam hidup. Pandangannya menjadi negatif
terhadap diri sendiri, orang lain bahkan Tuhan. Ia cenderung menarik diri dan
tidak mau peduli dengan lingkungannya. Bahkan tidak lagi peduli terhadap
dirinya sendiri.
Ada pelbagai sebab mengapa seseorang menjadi tawar hati. Bisa karena
penolakkan dari orang-orang sekitar. Bisa karena kehilangan sesuatu yang
berharga dalam hidupnya. Sangat mungkin karena beban berat yang ditanggungnya
tak kunjung beranjak. Atau sakit penyakit dalam tubuhnya yang tidak juga sembuh.
Banyak juga yang menjadi tawar hati karena kegagalan yang terus berulang dalam
hidupnya.
Jika setiap orang bisa terjangkiti penyakit tawar hati, lalu bagaimana
cara mengatasinya? Meminjam metode kedokteran, suatu penyakit akan dapat diatasi
apabila diketahui penyebabnya. Semakin dini suatu penyakit diketahui maka
semakin cepat pula pemulihannya. Bila tawar hati melanda kita, cobalah telusuri
apa penyebabnya. Bagi banyak orang, tidak lagi bisa diketahui apa yang menjadi
penyebab spesifik tawar hati itu. Jika kondisi ini yang sedang kita alami,
baiklah dengan jujur mengakui bahwa kita sedang tawar hati. Selanjutnya, jangan
biarkan kondisi ini menggerogoti tubuh jasmani dan rohani kita. Berbahaya! Alkitab
banyak bercerita tentang orang-orang yang tegar dalam menjalani kehidupan ini.
Mereka bisa mengatasi tawar hati.
Yesus dan Paulus, dalam hidup dan pelayanan mereka banyak mengalami
penolakan, aniaya dan pelbagai macam penderitaan dalam memberitakan Injil
Kerajaan Allah. Penolakan yang dialami
Yesus malah terasa begitu menyakitkan karena keluarganya sendiri memandang-Nya “tidak
waras” (Markus 3:21). Bagi kebanyakan orang, kondisi seperti ini sangat wajar
kalau mereka menjadi tawar hati. Namun, hal ini tidak terjadi pada Yesus dan
Paulus, sampai di ujung hidup, mereka tidak pernah dikuasai oleh tawar hati.
Mereka sanggup bertahan sampai akhir oleh karena mereka mempunyai visi yang
jelas dalam hidupnya. Memiliki visi yang jelas dalam hidup ini akan menolong
kita beranjak dari perasaan tawar hati.
Cerita ini mungkin dapat menolong kita untuk memahami sebuah visi: Pada
suatu hari yang beku di musim dingin dengan suhu di bawah nol derajat Celcius,
seorang peziarah berusia lanjut melakukan perjalanan menuju kuil suci di
pegunungan Himalaya.
“Kakek,” sapa seorang pengelana lain yang melewatinya, “apakah Kakek
bisa sampai di sana dalam cuaca sedingin ini?”
“Anakku, hatiku telah tiba di sana lebih dahulu,” jawab sang Kakek
sambil tersenyum riang. “Karena itu, tentu sangat mudah bagi bagian tubuh yang
lainnya untuk menyusul ke sana!”
Visi merupakan penglihatan seseorang jauh ke depan yang membuatnya mampu
menapaki kehidupan masa kini betapa pun sulitnya. Kakek ini mempunyai visi
bahwa di kuil itulah ia akan merasakan kebahagiaan. Alih-alih tawar hati,
frustasi atau apa pun namanya, bagi seorang yang punya visi, penderitan,
tantangan dan penganiayaan bisa membawanya kepada sukacita bahkan semakin berat
beban yang ditanggungnya, semakin besarlah sukacita yang mengiringinya.
Banyak orang, bisa jadi termasuk kita, mengerjakan segala sesuatu tidak
dilandasi dengan visi yang jelas. Kita tidak tahu untuk apa mengerjakan ini dan
itu. Jangankan beban penderitaan yang berat, yang biasa-biasa pun dapat membuat
kita penat. Akibatnya, kita mudah kelelahan, kehilangan energi dan kesabaran, marah,
kecewa ujungnya tawar hati. Bukankah hal itu sering terjadi di gereja dengan
mengatasnamakan pelayanan. Banyak yang menjadi kecewa, tawar hati dan kemudian
tidak lagi mau melayani. Padahal kalau ditimbang beban pekerjaan yang
mengatasnamakan pelayanan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Paulus
yang mengatakan : “Dalam segala hal kami
ditindas,…kami habis akal,…kami dianiaya, kami dihempaskan,..” (2 Kor.4:8-9).
Mengapa kesukaran dan penderitaan bahkan ancaman kematian tidak membuat
Paulus menjadi takut, pesimis atau tawar hati? Setidaknya hal ini, membuktikan
bahwa Paulus mempunyai pandangan jauh ke depan. Ia sanggup melihat dan memaknai
bahwa apa yang sedang terjadi –penganiayaan dan penderitaanya – merupakan hal
yang sementara saja. Kelak ia akan mengalami kehidupan yang kekal beserta
kemuliaannya. Paulus percaya, apa pun yang harus membuatnya menderita di dunia
ini tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan kemuliaan yang akan ia
nikmati pada masa yang akan datang. Ia merasa pasti bahwa Allah tidak akan
pernah mengingkari janji-Nya.
Untuk sampai memiliki sebuah visi seperti Paulus, tidaklah mudah. Ada
proses yang mendahuluinya! Paulus menyebutnya, “Namun karena kami memiliki roh iman…”(2 Kor.4:13a) Iman yang
bagaimana? Jawabnya, “Karena kami tahu,
bahwa Ia, yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga
bersama-sama dengan Yesus…”(2 Kor 4:14). Bagi Paulus, iman itu menjawab dan
menjadi obat mujarab dalam mengatasi pelbagai kesulitan bahkan keadaan yang
disebut sebagai “manusia lahiriah yang
semakin merosot.” Iman itu membuat “manusia
batiniah” setiap hari mengalami pembaruan.
Ada banyak hal yang membuat tubuh kita semakin merosot, antara lain:
hukum alam, sakit penyakit, musibah, penganiayaan, beban pikiran, kecemasan,
ketakutan dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan iman kita, apakah iman
kita mampu menjawab ketika tubuh ini terus menjadi tua, mengidap pelbagai
penyakit, hidup penuh tekanan, pergumulan dan penderitaan (dalam bahasa Paulus “manusia
lahiriah yang semakin merosot”) dapatkah iman kita menopang “manusia batiniah”
yang terus dibaharui? Kisah Arthur Rubinstein, mungkin bisa menginspirasi kita.
Arthur Rubinstein, seorang pianis konser andal merayakan ulang tahunnya
yang ke-90. Seorang jurnalis bertanya kepadanya tentang bagaimana rasanya
menjadi seorang yang berusia 90 tahun. Rubinstein yang dikenal dengan semangat
kekanak-kanaknya. Menjawab bahwa ulang tahun yang ke-90 itu tidak ada bedanya
dengan hari-hari lain. Namun, konsep Rubinstein mengenai “sama seperti
hari-hari lain” tidak sama dengan konsep “sama seperti hari-hari lain” menurut
kebanyakan orang!
Dengan gembira, ia menjelaskan bahwa setiap bangun tidur pada pagi hari,
sepanjang hidupnya, dia menganggap hari itu sebagai hari kelahirannya. Oleh karena
itu, Rubinstein menganggap dirinya sudah melewati 365x90=32.850 hari ulang
tahun sepanjang hidupnya! Karena setiap hari merupakan karunia, dia sungguh
menyukurinya. Dia menyadari mungkin saja hari itu merupakan hari terakhir dia
dapat mengagumi segala keajaiban dan kemungkinan dunia yang dapat ditawarkan
kepadanya.
Pada hari-hari terakhir dalam hidupnya, Rubinstein menyadari bahwa ia
berangsur-angsur menjadi buta. Kembali seorang jurnalis mewawancarainya, kali
ini pertanyaan fokus pada efek kebutaan terhadap permaianan pianonya. Tampak
jelas bahwa sang jurnalis mengharapkan jawaban yang matang atau mungkin
melankolis.
Ternyata, Rubinsten malah dengan penuh semangat bercerita bahwa sebelum
penglihatannya mulai menghilang, dia selalu beranggapan bahwa dia bermain piano
dengan mengandalkan telinganya saja. Sekarang, ketika matanya sudah mulai buta,
dia sadar bahwa dia mengandalkan – lebih dari yang disadari sebelumnya –
penglihatanya. Selama ini, ketika ia bermain piano, bergantung pada kemampuan
penglihatannya untuk menangkap gerakan jari-jemarinya yang menari-nari di atas
tuts. Di batas luar penglihatannya.
Kini, ketika kebutaan melandanya, alih-alih depresi dan sedih. Rubinsten
malah merasa sangat gembira! Dia menjelaskan kepada sang jurnalis, bahwa
keadaannya sekarang ini telah membuka sebuah dunia yang betul-betul baru baginya.
Sekarang dia mendapat kesempatan menarik untuk mempelajari ulang semua
komposisi musik yang bagus dan indah, kali ini dengan bantuan hanya melalu
pendengarannya. Hatinya dipenuhi rasa gembira karena telah diberi kesempatan
untuk melihat pandangan pengetahuan baru yang tengah terbuka di hadapannya.
Apa yang kita alami saat ini
mungkin saja dapat menjadi alasan untuk tawar hati. Namun, lihatlah lebih dalam
bahwa Tuhan telah menopang kita dengan kekuatan untuk mengatasinya. Ya,
kekuatan itu bernama iman! Ingatlah seperti yang dikatakan Paulus, “Pencobaan-pencobaan yang kita alami ialah
pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah
setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui
kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan jalan ke luar sehingga
kamu dapat menanggungnya. (1 Kor.10:13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar