Belakangan kata
"ugahari" banyak dibicarakan. Khususnya ketika gereja-gereja dan PGI
mengangkatnya dalam tema-tema pembinaan kontekstual - apalagi ketika kini
dijadikan tema Natal dalam lingkup GKI. Lalu apa yang dimaksud dengan ugahari itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikannya: 1. sedang; pertengahan,
2. sederhana. Pengembangan arti
lainnya adalah: bersahaja, lugu, polos,
prasaja. Sedangkan keugaharian mengandung
arti :keluguan, kepolosan, kesahajaan,
kesederhanaan, dan kewajaran.
Apakah kalau begitu kalimat tema Natal tahun ini berarti, Tuhan yang mulia itu tampil dalam keluguan, kepolosan, kesahajaan,
kesederhanaan dan kewajaran? Ya, bisa saja mirip-mirip dengan itu. Namun,
tentu tidak seugahari atau selugu
itu.
Spiritualitas ugahari adalah
semangat iman yang meyakini bahwa rakhmat TUHAN itu cukup untuk semua
ciptaan-Nya. Oleh karenanya setiap orang yang meyakini semangat iman seperti
ini akan mengembangkan gaya hidup sederhana, menolak berfoya-foya, serakah atau
rakus. "Spiritualitas keugaharian adalah berani berkata cukup terhadap
godaan materi sebagaimana doa yang Tuhan Yesus ajarkan, 'berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.'"(Dr. Mery L.Y. Kolimon, Ketua Majelis
Sinode GMIT). Semangat ugahari tidak berhenti hanya untuk mencukupkan diri dan
hidup dalam kesederhanaan. Spiritualitas ugahari akan mendorong seseorang untuk
peduli terhadap sesamanya agar mereka dapat hidup dalam kecukupan juga. Ugahari
akan memberi ruang bahkan merangkul orang-orang yang papa, miskin dan menderita
tanpa memandang perbedaan ras, suku golongan, atau pun agama. Semangat ugahari
mengajarkan bahwa Allah begitu peduli terhadap penderitaan dunia, khususnya
manusia. Alkitab berulang kali mencatat, siapa pun, bangsa atau umat manapun
akan menjadi lawan Allah manakala ia atau mereka tampil sebagai orang atau
bangsa yang tamak, rakus dan menindas sesamanya. Sebaliknya, Allah akan selalu
bersama orang-orang yang diperlakukan tidak adil namun hidup dalam kebenaran.
Ia akan selalu ada bersama mereka yang miskin dan tersingkir!
Alkitab mencatat, Allah hadir
dalam realita hidup manusia. "Firman
itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,..." (Yohanes
1:14). Eskénósen
en hèmin, "... firman itu berkediaman di antara
kita". Kata kerja "berkediaman" secara harafiah berarti berkemah, mendirikan tenda. Dulu, umat
Israel merasakan pengalaman kehadiran Allah dalam "Kemah Suci". Dalam
kemah itu bersemayam Tabut Perjanjian Allah. Israel menyaksikan betapa
dasyatnya pengalaman penyertaan Allah itu. Melewati padang gurun dan berhadapan
dengan pelbagai musuh serta tantangan dapat mereka atasi berkat kehadiran Allah
bersama mereka. Kedasyatan Allah itu juga nyata mana kala sikap hidup mereka
bertentangan dengan kehendak-Nya. Allah tidak main-main dengan pelanggaran yang
dilakukan umat-Nya itu.
Pengalaman rumit, jatuh-bangun umat
Israel bersama dengan kehadiran Allah itu ternyata tidak hanya berhenti di
padang gurun. Setelah mereka tiba di negeri perjanjian lalu berhasil menjadi
bangsa yang besar. Raja berganti raja. Sayang, umat itu bukannya terus tumbuh
menjadi bangsa yang semakin baik beribadah kepada Allah, melainkan tidak
henti-hentinya memberontak terhadap Allah. Para nabi diutus untuk mengingatkan
prilaku yang keliru itu. Namun, nyatanya umat itu tetap tegar tengkuk. Lelahkah
Allah dengan sikap manusia seperti ini? "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara
berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada
zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan anak-Nya,
yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia
Allah telah menjadikan alam semesta." (Ibrani 1:1,2)
Rupanya Allah tidak pernah lelah dalam
membangun komunikasi dengan manusia. Kini Firman
itu telah menjadi 'daging'. Firman itu tidak menjauhi dunia manusia (ini
berbeda dengan logos dalam dunia
Gnostik yang menjauhi materi) melainkan masuk ke dalam kehidupan manusia. Di
dalam Yesus Firman yang semula bersama-sama dengan Allah dan yang merupakan
kesatuan utuh dengan Allah itu kini hadir dalam diri manusia Yesus. Yesus
sebagai Firman Allah dan shekinah
(kehadiran) Allah, kemuliaan dan kasih setia Allah menjadi tampak dan terungkap
di bumi. Yesus sebagai Firman Allah yang menjadi manusia adalah jalan yang baru
dan paling penuh bagi Allah untuk mengungkapkan diri-Nya kepada manusia.
Firman itu masuk menembus rasa,
logika, bahasa, dan budaya manusia. Ia begitu nyata: terlihat dan teraba oleh
karena tutur-Nya menjadi hidup di dalam diri-Nya. Ketika Sang Firman itu
berbicara tentang kasih. Ini bukan teori, tetapi seluruh hidup-Nya memperagakan
itu. Ketika Ia berbicara tentang pengampunan, itu pun bukan sebuah dogma tetapi
apa yang dipentaskan melalui kehidupan-Nya orang segera mengerti apa itu
pengampunan. Ketika Sang Firman itu berbicara tentang pengharapan, bukankah
pelbagai tanda-tanda yang Ia lakukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Firman itu sendiri. Dan ketika Ia berbicara tentang keugaharian, lalu
mengajarkan, "Berilah kami pada hari
ini makanan kami yang secukupnya." Maka seluruh hidup-Nya merupakan
keugaharian. Ia tidak mengumbar kuasa dan mujizat-Nya untuk kepentingan diri
sendiri. Ia melakukannya demi keberpihakan kepada mereka yang lemah, miskin,
papa dan menderita.
Kedatangan-Nya sebagai Firman yang
menjadi manusia adalah wujud konkrit dalam membatasi diri-Nya. Ia adalah Allah
Yang Mahamulia mau hadir di dunia yang fana. Bergumul, menderita, merasakan
pahit getirnya kehidupan akibat dosa dan berusaha mengangkat manusia dari
lumpur dosa itu supaya mengenal hidup yang sesungguhnya. Pada saat yang sama,
Ia menginginkan orang-orang yang telah mengecap kasih karunia-Nya dapat
mengerjakan apa yang telah dikerjakan-Nya. Allah tidak pernah mengumbar
kuasa-Nya hanya untuk kepentingan diri-Nya sendiri. Maka mestinya kita
menyadari: umat Tuhan atau gereja tidak boleh membanggakan dan membesarkan diri
demi ego spiritualitasnya.
Natal patut kita rayakan sebagai wujud
dari cinta kasih Allah yang mau mengambil rupa manusia agar manusia mengerti
bahasa cinta kasih-Nya. Natal perlu kita rayakan bukan dengan pesta pora di tengah-tengah
pergumulan dan penderitaan sesama. Natal bukanlah cara kita melampiaskan ego
konsumeritas kita dengan aji mumpung. Ya, mumpung musim diskon akhir tahun.
Natal adalah saat komitmen hidup baru itu terus mengalami pembaruan. Natal saat
kita sama seperti Allah yang berbelarasa terhadap penderitaan umat manusia.
Natal adalah menghadirkan diri dalam keugaharian, peduli dan mau membuka tangan
bagi mereka yang tersisihkan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus