Sabtu Sunyi 2014
Coba banyangkan sejenak. Begini,
andaikan suami, isteri, anak, orang tua pendeknya orang yang Anda cintai berada dalam pesawat MH 370 milik maskapai Malaysia Airlines yang
hilang dari pantauan radar mana pun sejak 8 Maret 2014, pukul 01.20 Wib. Bagaimana
sikap dan perasaan Anda? Kita menyaksikan di layar televisi: Ada yang
memaki-maki pemerintah Malaysia. Mereka menuduh pihak Malaysia menutup-nutupi
apa yang sesungguhnya terjadi. Aparat dituduh menyembunyikan fakta yang
sebenarnya. Di antara anggota keluarga itu ada yang menangis sejadi-jadinya,
meronta dan sulit ditenangkan. Sebagian lagi memilih mogok makan dan banyak
lagi ekspresi kesedihan, kekecewaan dan marah. Sangat sulit ditemukan keluarga
atau kerabat yang terlihat tenang dalam tragedi ini.
Saya kira setiap orang akan
mengalami kegelisahan dan kesedihan luar biasa mana kala orang yang dicintai
tidak lagi dapat diketahui rimbanya, tidak bisa dihubungi apalagi dapat
dipastikan bahwa mereka tidak bisa diselamatkan atau meninggal. Dalam suasana
kalut sulit seseorang dapat menjadi tenang. Emosi merengguk nalar dan kesedihan
bisa meledak dalam bentuk apa pun! Perasaan para murid barang kali tidak
berbeda dengan semua orang yang kehilangan orang yang dikasihinya. Mereka
melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Yesus menderita, begitu buruk
rupanya, luka-luka yang menganga dan kemudian mati di tiang salib itu. Kini,
jasad itu diturunkan lalu dikuburkan. Namun, tampaknya semua itu belum
memuaskan orang-orang yang membenci-Nya. Mereka masih meminta kepada Pilatus
agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari(Matius 27:62-66).
Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu bikin berita sensasi; mencuri mayat
Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur
telah kosong. Pilatus menjawabnya dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga
kubur Yesus itu.
Sekali lagi, dapat dibayangkan
kesedihan, kekecewaan bahkan bisa juga rasa benci namun tidak bisa berbuat
apa-apa terhadap para penganiaya Sang Guru. Dalam situasi seperti ini sering
manusia hilang kendali. Jalan pintas biasanya dipilih; menyakiti diri sendiri
atau orang lain dan menyalahkan Tuhan. Ayub dalam menghadapi penderitaan berat
pernah berpikir mungkin jalan kematian adalah jalan terbaik untuk mengakhiri
penderitaan. Bukankah begitu banyak orang mengambil jalan pintas ini: lebih
baik mati dari pada menanggung kesedihan dan penderitaan. Apakah jalan ini
menyelesaikan persoalan? Ya, mungkin begitu bagi orang yang melakukannya. Tetapi
tidak bagi realita kehidupan, bagaimana pun dan jalan apa pun akan meninggalkan
jejak. Jalan pintas akan meninggalkan jejak betapa rentannya dan menyerah kalah
seseorang itu pada kenyataan hidup! Namun, lihatlah ketika kita bisa mengatasi
kesedihan, kekecewaan, penderitaan bahkan penganiayaan bukankah itu berarti
kita sedang menabur benih, ya benih kehidupan bukan virus kematian.
Adakah resep untuk itu? Ada,
Petrus mengatakan, “Kesudahan segala
sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya
kamu dapat berdoa.”(I Petrus 4:7). Kunci jawaban dari kegelisahan jiwa yang
tertekan adalah penguasaan diri sehingga menjadi tenang dan dapat berdoa.
Petrus memberikan resep ini berangkat dari apa yang dialami umat Tuhan. Mereka
dalam keadaan tertekan bahkan dianiaya, ditindas dan berusaha dimusnahkan.
Lazimnya dalam kondisi seperti ini seseorang menjadi kalut dan bertindak diluar
nalar bahkan jauh dari apa yang dikehendaki Tuhan. Alih-alih menyelesaikan
memenangkan masalah, justeru terjerembab pada kondisi lebih parah ketika kita
bertindak di luar kendali. Banyak contoh dari kehidupan mengajarkan ketika
seseorang tidak bisa menguasai diri maka yang terjadi adalah kondisi yang lebih
parah.
Kita tidak usah memperdebatkan
mana lebih dulu, menguasai diri lalu menjadi tenang dan saat itu kita bisa
berdoa atau berdoa dulu supaya kita dapat tenang dan bisa mengendalikan diri.
Kedua dapat terjalin begitu rupa tanpa kita bisa membedakannya. Namun, yang
jelas dua hal ini adalah resep yang paling mujarab! Pengalaman itulah yang
sering terjadi pada Daud. Begitu banyak madah pujian yang ditulis Daud ketika
menghadap kekalutan hidup salah satu contoh adalah Mazmur 31. Diberi judul oleh
Lembaga Alkitab Indonesia “Aman dalam
tangan TUHAN.” Apa definisi aman dalam tangan TUHAN? Banyak orang
mengartikannya bahwa ketika kita ada dalam tangan TUHAN maka tidak ada kuasa
yang dapat menyentuh kita. Seolah kita dibentengi dan diseterilkan oleh tangan
yang Mahakuasa itu dari kuasa-kuasa yang dapat menimbulkan penderitaan dan
kesulitan hidup. Dalam tangan TUHAN dipahami tidak ada masalah dan selalu
sukses! Betulkah? Ternyata pengalam Daud tidak begitu, demikian juga dengan
pengalam orang percaya pada sepanjang abad. Tenang dalam genggaman tangan TUHAN
bukan berarti bebas dari kemelut melainkan kemelut boleh ada tetapi di dalam
TUHAN aku bisa menikmati hidup malah menyukurinya.
Ada kisah merarik. Seorang
raja mengadakan sayembara melukis tentang kedamaian dan berjanji memberikan
hadiah besar bagi pemenangnya. Singkat cerita ada dua lukisan yang benar-benar
disukai oleh raja. Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang begitu
tenang. Permukaan telaga itu bagaikan kristal sempurna yang memantulkan
kedamaian gunung-gunung yang ada di sekitarnya. Di atasnya terpampang langit
biru dengan awan putih berarak. Semua yang memandang lukisan ini akan
berpendapat, inilah lukisan terbaik tentang kedamaian.
Lukisan kedua menggambarkan
pegunungan juga. Namun, tampak kasar dan gundul. Di atasnya langit yang gelap
dan merah menandakan turunnya hujan badai. Tampak juga kilat menyambar liar. Di
sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih. Sama sekali tidak
menampakkan ketenangan apalagi kedamaian. Namun, sang Raja melihat ada sesuatu
yang menarik. Di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil di atas
sela-sela batu . di dalam semak-semak batu itu seekor induk Pipit meletakkan
sarangnya. Jadi, di tengah-tengah riuh rendahnya air terjun, seekor induk Pipit
sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai!
Raja harus memilih, lukisan
mana yang memenangkan lomba?
Di luar dugaan banyak orang, Raja memilih lukisan
nomor dua. Apa alasannya? “Karena’, jawab sang Raja, “kedamaian bukan beraarti
Anda harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan, kesedihan atau
pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai,
mesti Anda berada di tengah-tengah keributan luar biasa. Kedamaian hati adalah
kedamaian sejati. Dan...menurut pemazmur itu hanya bisa diperoleh ketika
manusia terhubung dengan Sang Penguasa sesungguhnya, yakni TUHAN. Cara
menggapainya adalah dengan doa! Ya, TUHAN hanya sejauh doa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar