Ia yang menggantung bumi, tergantung di sini,
Ia yang memasang surga, di pasang di sini,
Ia yang menciptakan segala sesuatu teguh terikat, diikat pada sebatang kayu,
Tuan untuk dihina, Allah telah dibunuh,
Raja Israel telah disembelih oleh tangan Israel…
Tuan telah diperlakukan secara tidak pantas,
Tubuhnya telanjang…
Dan bahkan, tidak layak untuk ditutupi, sehingga ketelanjangannya tidak tampak.
Maka cahaya surga berpaling, dan hari menjadi gelap,
agar dapat menyembunyikan Dia yang dilucuti pakaian-Nya di atas salib.”(Melito dari Sardis, “Homili tentang Kesengsaraan”, dikutip oleh Hengel, Crucifixion, p.21)
Keempat Injil bercerita bahwa di Golgota,sebelum penyaliban, pakaian Yesus segera dibagi-bagi di antara para serdadu. Pada umumnya, orang yang divonis hukuman salib harus memikul salibnya sendiri dengan telanjang melewati jalan-jalan di Yerusalem. Tetapi karena orang Yahudi ngeri terhadap ketelanjangan di depan umum, terkadang dibuat pengecualian. Bisa jadi, perlakuan terhadap Yesus juga demikian. Meneguhkan pendapat itu, salah satu lukisan penyaliban paling awal adalah gambar dari pahatan kecil abad ke-2 pada sebuah permata yang menampilkan tubuh Yesus di salib yang telanjang dan sudah rusak.
Di Golgota, Yesus dipaku dan telanjang! Bagi kebanyakan orang lebih mudah memahami siksaan fisik yang mengerikan ketimbang membayangkan perendahan paling keji pada saat seseorang disalibkan. Filsuf Seneca menegaskan bahwa lebih baik melakukan tindakan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. “Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat saat demi saat, mati secara perlahan-lahan daripada mati seketika? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada batang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh dirusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan selama penderitaan yang berkepanjangan? Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib.
Salib yang ditemui pada masa sekarang jauh lebih baik. Namun, bukan merupakan model atas kesetiaan kepada sejarah. Salib-salib itu, hampir tanpa pengecualian, entah dilukis entah diukir, salah! Salib-salib itu menampilkan tubuh yang tersalib secara amat rapi. Ditutup dengan kain pinggang, masih mengenakan mahkota duri, dan paku menerobos telapak tangan-Nya, bahkan pergelangan tangan-Nya. Terlalu indah!
Meski dihina, martabat-Nya direndahkan serendah-rendahnya, sebelum ajal tiba. Yesus masih memikirkan orang lain. Ia tidak meminta dikasihani, tetapi kasih-Nya terus terpancar. Yesus masih memikirkan nasib Maria, bunda-Nya. Ia menitipkan kepada murid yang dikasihi-Nya. Dan sejak saat itu Maria menjadi ibu bagi para murid. Tidak hanya itu, di dalam diri-Nya sama sekali tidak tersirat kebencian terhadap orang-orang yang memusuhi, merendahkan, menganiaya dan membunuh-Nya. Alih-alih kutuk yang meluncur dari mulut-Nya adalah syafaat kepada Bapa-Nya, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”(Lukas 23:34). Syafaat itu jelas ditujukan bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas penyaliban-Nya, yaitu penguasa Romawi, Pilatus, dan para tentaranya serta para pemimpin Yahudi yang menyerahkan-Nya kepada wali negeri Romawi untuk disalibkan.
Bisa saja kita memiliki tabiat seperti penguasa Romawi yang gemar menaklukkan, gemar menjadikan orang lain obyek dari kenikmatan kita. Pilatus juga bisa mewakili kita yang selalu memilih rasa aman dan nyaman ketimbang memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Atau kita adalah para pemuka Yahudi, yang menggunakan agama sebagai alat untuk menghukum, menghajar, menghardik dan menindas sesama. Kita merasa diri paling benar dan orang lain adalah penista agama! Yesus juga telah berdoa untuk kita. Dia menyampaikan syafaat kepada Bapa agar kita diampuni dan diterima kembali!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar