Kamis, 18 April 2019

SALIB : JALAN YANG PARADOKSAL

Narasi via dolorosa (jalan salib) dalam Injil Yohanes dikisahkan lebih dramatis ketimbang ketiga Injil sinoptik. Dalam adegan pertama (Yohanes19:17-22), dikisahkan Yesus dengan kekuatan-Nya sendiri memikul salib ke tempat yang bernama Golgota, yang berarti Tempat Tengkorak. Tidak ada cerita Simon dari Kirene yang membantu mengangkat salib Yesus. Ia tidak membutuhkan orang lain untuk memikul salib-Nya. Salib itu Ia junjung sendiri!

Ia disalibkan di tengah-tengah “dua orang lain sebelah menyebelah” yang tidak diberi keterangan bahwa dua orang tersebut adalah penyamun atau penjahat. Yang mau ditekankan Yohanes ialah bahwa Yesus ada di tengah-tengah mereka. Berita utama fokus pada papan tuduhan yang dipasang tepat di atas kepala-Nya pada salib itu. Dengan papan itu, Pilatus kembali dijadikan juru bicara yang menyatakan kebenaran tentang Yesus, dengan cara pengumuman a’lakaisar dalam tiga bahasa, Ibrani, Latin dan Yunani: “Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi”. Tuduhan resmi itu tidak pernah disangkal oleh Yesus tetapi diberi makna oleh-Nya untuk mencegah salah pengertian. Ia bukan raja dengan cara para penguasa dunia, tetapi Raja yang memberikan kesaksian tentang kebenaran, tentang cinta kasih dan misteri Allah.

Yohanes bercerita tentang ketelanjangan Yesus. Pakaian-Nya dibagi-bagikan oleh para prajurit Romawi (Yohanes 19:23-24), tidak hanya diceritakan lebih rinci dibanding Injil Markus 15:24, dst tetapi juga dengan suatu cara bahwa dengan itu Yesus menggenapi Kitab Suci. Dengan mengutip langsung ayat, “mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku” (Mzm. 22:18). Yohanes mau menyatakan bahwa sesungguhnya para prajurit itu tidak punya kuasa atas Yesus, tetapi mereka berada di bawah kuasa dan rencana Allah.

Empat prajurit yang menyalibkan Yesus melepaskan pakaian-Nya. Ia menjadi Raja yang telanjang! Dalam lakon itu, para prajurit seolah berkuasa mutlak atas diri Yesus yang tak berdaya. Namun, sesungguhnyalah Dia tidak mempertahankan hak dan kuasa-Nya. Ia memberikan kekuasaan, gerak, dan martabat-Nya. Dengan cara itu Yesus menyatakan kebenaran kasih melalui pemberian diri-Nya. Mereka memutuskan untuk memotong pakaian-Nya menjadi empat bagian, agar masing-masing memperoleh satu bagian. Namun jubah itu tidak berjahit dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja, mungkin dibuat oleh ibu-Nya. Para prajurit itu tidak jadi memotongnya, tetapi mereka membuang undi untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan jubah itu. Di sinilah seolah mereka berkuasa. Namun nyatanya mereka dipakai Allah untuk menggenapi madah Mazmur 22:18. Paradoks!

Dalam tradisi sinoptik, setelah Yesus mati, ditampilkan beberapa perempuan yang melihat-Nya dari jauh. Namun Yohanes menempatkan mereka berdiri begitu dekat dengan salib pada detik-detik terakhir kematian-Nya (Yoh.19:25-27). Hadir pula di situ ibu Yesus, dan murid yang dikasihi Yesus. Terjadilah dialog pada saat kritis itu. Ibu-Nya dan murid itu oleh Yesus diberikan yang satu kepada yang lain mandat sebagai ibu dan anak. Sejak saat itu tercipta keluarga baru, Ibu Yesus yang disebut lima kali dalam tiga ayat ini, diberi peran baru sebagai bunda dari semua murid-murid-Nya.

Kematian Yesus (Yoh.19:28-30) diawali dengan pemberian anggur asam yang diceritakan dalam semua Injil. Namun, Yohanes menempatkannya pada saat Yesus mengucapkan perkataan terakhir “Sudah selesai!” Dengan itu Ia menyatakan bahwa diri-Nya telah selesai meminum cawan yang diberikan oleh Bapa-Nya (Yoh.18:11). Penggenapan pernyataan ini menunjukkan bahwa Yesus tahu detil demi detil peristiwa yang segera Ia akan alami. Tidak hanya itu, bahkan setiap peristiwa yang terjadi dalam penyaliban itu berada dalam kendali-Nya.

Yohanes bercerita pula bahwa pada saat itu pesta Paskah akan segera dimulai (Jean Vanier). Penguasa Yahudi menghendaki agar tubuh orang-orang yang disalibkan diturunkan dan dimakamkan. Oleh karena itu, mereka meminta kepada Pilatus supaya kaki orang-orang itu dipatahkan dan mayat-mayatnya diturunkan (Yoh.19:31). Apa hubungannya antara mematahkan kaki dengan kematian?” Kalau orang digantung disalib pada kedua tangannya, dia masih bisa bernafas untuk mempertahankan hidupnya dengan cara menjejakkan kakinya. Kalau kaki tidak bisa dijejakkan lagi karena patah, orang tersebut tidak bisa bernafas dan akan mati perlahan secara mengerikan. Para prajurit itu mematahkan kaki kedua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus. Namun, ketika sampai kepada Yesus, mereka mendapati Yesus telah mati. Dan untuk memastikan kematian-Nya, salah seorang dari mereka menikam lambung Yesus dengan tombak. Darah dan air mengalir dari lambung yang koyak itu!

Darah dan air yang mengalir dari tubuh Yesus terlihat begitu mengenaskan dan mengerikan. Ini bukti tanda kematian-Nya. Namun, bagi Yohanes, darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus merupakan lambang pengharapan. Paradoks!

Dalam darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus merupakan lambang pengharapan. Air melambangkan Roh. Bersama dengan Nikodemus kita dipanggil untuk “lahir kembali”, “dari atas”, melalui air dan Roh. Yesus berjanji kepada perempuan Samaria bahwa air yang hidup akan mengalir dalam hatinya kalau ia meminum air yang ia berikan. Air yang mengalir dari lambung Yesus adalah lambang kasih-Nya dan lambang anugerah Roh yang akan diberikan kepada semua yang terbuka untuk menerima-Nya. Air ini menyembuhkan, membersihkan, dan memberikan hidup. Air ini mengubah ketertutupan, benci, dan kekerasan menjadi keterbukaan, kasih, dan pengampunan.

Air yang mengalir dari hati Yesus yang tertikam tombak, secara simbolis menyatakan penerusan hidup, hidup Allah sendiri yang merupakan salah satu tema dasar dari Injil Yohanes. Air itu menyatakan kehendak Allah untuk meruntuhkan tembok yang memisahkan kita dari Allah, membelenggu kita dalam diri kita sendiri dan menghalangi kita untuk hidup sepenuhnya. Allah ingin memerdekakan kita. Ia ingin hidup di dalam kita agar kita hidup di dalam Allah dalam pelukan kebahagiaan abadi.  Kasih Yesus yang tanpa syarat, yang nyata sekali dalam pemberian diri-Nya: dalam Injil Yohanes, Yesus bukan menjadi korban, melainkan Ia memilih jalan itu, Ia mengendalikan via dolorosa, salib itu jalan kemuliaan-Nya. Dengan jalan itu, Ia mau membuka diri kita untuk menerima hidup-Nya, hidup Allah dan dilahirkan kembali.

Kisah mengenai kekerasan, kebencian, dan kekejaman berakhir dengan berkas cahaya yang menakjubkan. Kematian bukanlah kata akhir – melainkan jalan menuju kemuliaan yang sesungguhnya! Kekerasan dan kebencian telah diubah menjadi kelembutan dan pengampunan, berkat kekuasaan Allah, sabda Allah yang menjadi daging, Air Hidup yang mulai mengalir. Sekarang – melalui darah dan air dari lambung-Nya – orang dapat menerima air sumber kasih dan persekutuan ini. Sebagai murid-murid Yesus, mereka akan menjadi sumber damai bagi dunia yang terus terpecah dan penuh konfliks.

Namun, anugerah Roh tidak diberikan tanpa rasa pedih. Pedihnya kematian Yesus, yang diterima dengan bebas, diikuti oleh kepedihan dan kematian yang diterima dengan bebas oleh para murid-Nya. Sebagaimana hidup mengalir dari hati Yesus yang tertombak, hidup juga akan mengalir dari hati orang-orang yang akan menderita dalam nama Yesus. Para murid – dan tentunya kita semua – di sepanjang zaman dapat saja mengalami penolakan, diejek, ditertawakan, dipinggirkan, dianiaya, mungkin juga dibunuh demi iman, kebenaran, dan keadilan. Mereka dan kita harus menjadi seperti Yesus. Para murid menderita bukan dalam memperjuangkan nafsu dan ambisi masing-masing, melainkan menderita dalam nama Yesus, menjadi sumber hidup bagi Gereja dan bagi dunia. 

Jakarta, Jumat Agung 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar