Jumat, 19 April 2019

MENGHADIRKAN KEHIDUPAN

Perempuan dalam strata patriakal kerap kali terabaikan. Namun hari ini, perempuan menjadi subyek utama! Betapa tidak, dari pinggiran, para perempuan ini ditarik ke tengah-tengah epicentrum tonggak iman Kristiani: Paskah!

Pada pagi buta hari minggu pertama itu beberapa orang perempuan sudah berjalan menuju tempat di mana mayat Yesus dibaringkan. Sementara para murid lain – yang dulu berlomba menjadi paling utama – larut dalam duka kecewa dan frustasi. Para perempuan itu pertama-tama datang ke makam Yesus bukan untuk menyaksikan pemenuhan janji Sang Guru, bahwa pada hari yang ketiga Ia akan bangkit. Bukan, bukan untuk itu! Mereka datang membawa rempah-rempah yang sudah disiapkan. Rempah-rempah dan minyak mur; mur adalah minyak wangi khusus untuk mengurapi mayat. Itu semua telah mereka siapkan pada hari penguburan Yesus sesuai adat tradisi Yahudi. Para perempuan itu adalah Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yokubus. Selain nama-nama itu, ada juga perempuan-perempuan lain yang ikut serta dengan mereka.

Barangkali harapan mereka tidaklah muluk-muluk. Mereka ingin memulasara jasad Yesus sesuai tradisi sebagai ungkapan cinta mereka kepada Sang Guru. Namun apa yang terjadi? Para perempuan ini menemukan tiga fakta yang mencengangkan. Pertama, batu yang menutupi makam sudah terguling. Seperti apakah makam itu? Makam di Palestina pada zaman Yesus berupa lubang datar masuk ke dalam batu karang, cukup besar sehingga orang dewasa dapat berdiri. Di Yerusalem, satu macam kuburan disebut kokim, bentuknya seperti kotak Panjang dengan tinggi kira-kira 40 cm, yang digali secara mendatar ke dalam batu karang, gua sedalam kira-kira 120-140 cm. Makam dapat juga berupa ceruk setengah lingkaran, kira-kira satu meter dari lantai yang digali menembus batu karang. Kemudian mayat diletakan di dalam ceruk itu, lalu lubang kubur ditutup dengan batu besar.

Fakta kedua, ketika mereka memasuki makam Yesus, mereka tidak menemukan jenazah Yesus. Di sinilah pukulan telak kedua. Pukulan mematikan pertama adalah ketika mereka melihat orang yang sangat dikasihi menderita sengsara dan akhirnya mati dengan cara mengenaskan. Kini, saat-saat terakhir mereka ingin menyatakan cinta kasih mereka melalui pemulasaraan jenazah, ternyata jasad itu sudah tidak ada. Itulah pukulan kedua yang tidak kalah mematikannya dari yang pertama. Pastilah bayang-bayang maut Bukit Tengkorak itu mengubur pikiran bahwa raibnya mayat Yesus disebabkan Ia sudah bangkit!

Beruntunglah dalam kegalauan para perempuan itu hadir fakta ketiga, yakni: datang kepada mereka dua orang lelaki dengan pakaian yang berkilau-kilauan. Berbeda dari penutur Markus, Lukas menceritakan bahwa para perempuan itu memasuki kubur Yesus atas inisiatif mereka sendiri, bukan diminta oleh siapa pun. Mereka berjumpa dengan kedua lelaki itu di dalam kubur. Dalam kebingungan karena mayat Yesus tidak ada di dalam kubur itu, lelaki itu memberi kabar bahwa Yesus telah bangkit seperti yang telah dikatakan-Nya ketika mereka masih di Galilea (Lukas 24:6).

Lelaki itu memutar kembali memori para murid perempuan. Seakan ia berkata, “Bukankah Yesus yang kamu cari ini, dulu, di Galilea pernah mengatakan bahwa setelah kematian-Nya, pada hari ketiga Ia akan bangkit? Dan sekarang mengapa kamu mencari Dia di sini, di tempat orang mati dibaringkan? Tidakkah kalian percaya dan mengimani apa yang sudah diucapkan-Nya dahulu?” Utusan Tuhan itu menegaskan bahwa mereka mencari Yesus di tempat yang salah. Ia tidak dapat dijumpai di tempat orang-orang mati!

Bisa jadi para perempuan itu bertambah bingung dengan penjelasan Sang utusan Tuhan di makam itu. Namun, setidaknya ingatan mereka terhubung kembali dengan perkataan Yesus terdahulu. Sekarang, mereka mengerti bahwa Yesus dulu sudah pernah menunjuk kepada penderitaan dan kematian serta kebangkitan-Nya. Maka sekarang mereka menjadi percaya akan kebangkitan itu. Di ruang kubur itu mereka yakin Sang Mesias telah bangkit. Di tempat kematian mereka melihat kehidupan! Kini, ketika mereka telah menyaksikan kehidupan di situs kematian, mereka terpanggil menghadirkan kehidupan itu kepada teman-temannya.

Perempuan, kaum nomor dua dalam strata patriakal harus menghadirkan berita yang teramat besar, kebangkitan! Para perempuan itu menceritakan apa yang mereka alami kepada kesebelas murid Yesus dan kepada semua saudara yang lain. Namun, kuasa maut begitu luar biasa. Mereka menanggapi kabar itu dengan dingin. Mereka tidak percaya pada berita yang disampaikan oleh kaum hawa itu! Namun, Petrus segera bangun dan ia berlari ke kubur Yesus itu. Ia ingin membuktikan apakah para perempuan itu mengigau di pagi hari ataukah benar bahwa Yesus sudah bangkit.

Para perempuan sangat mewarnai kisah kebangkitan dalam Injil Lukas. Para perempuan ini tidak hanya kali ini saja tampil dalam kisah Yesus. Mereka telah menjadi saksi penyaliban Yesus. Mereka juga hadir ketika Yesus dimakamkan (Lukas 23:55). Pengalaman para perempuan itu memuat tiga hal: makam yang sudah kosong, pemberitahuan dua orang lelaki tentang Yesus yang bangkit, dan ingatan mereka akan kata-kata Yesus ketika Ia masih bersama-sama dengan mereka. Ketiga unsur inilah yang mendasari kepercayaan mereka akan kebangkitan Yesus. Makam kosong dan pemberitahuan di dalam makam membuat mereka teringat akan kata-kata yang telah diucapkan Yesus. Meski tidak ada perintah untuk mewartakan apa yang telah mereka lihat dan alami, para perempuan ini pergi menyatakan apa yang mereka alami.

Para perempuan, kaum nomor dua dalam strata patriakal telah menjadi saksi kebangkitan Yesus. Mereka yang dianggap lemah telah melihat kehidupan di tempat kematian. Mereka yang sering direndahkan ternyata menjadi alat ditangan-Nya untuk menghadirkan kehidupan. Jangan pernah menjadikan alasan bahwa diri kita lemah, minoritas, atau terpinggirkan. Tuhan dapat memakai kita seperti para perempuan yang menjadi saksi pertama dan utama dalam peristiwa kebangkitan Yesus. Tidak mudah memang menghadirkan kehidupan di tengah-tengah pesimisme kematian. Bisa saja, seperti para perempuan itu, kita tidak dipercaya atau ditertawakan dan dilecehkan.

Namun, persoalannya bukan terletak pada orang percaya atau tidak; ditertawakan, dilecehkan atau diapresiasi. Kunci utamanya adalah – seperti kaum perempuan itu – mereka menyaksikan, melihat, kubur kosong, dan mengingat kembali akan perkataan Yesus. Mengingat perkataan Yesus berarti sungguh-sungguh meyakini kebenaran-Nya. Pengalaman dan kesadaran itulah yang akan mendorong kita untuk tidak hanya sekedar mewartakan kebangkitan, namun mampu menghadirkan kehidupan. Tentu kehidupan bukan asal hidup, melainkan kehidupan yang berkualitas sebagai lawan dari ancaman kematian dan kepunahan.

Kaum perempuan dalam Injil Lukas ini tidak pernah disuruh atau diminta oleh dua orang utusan Tuhan itu untuk menyampaikan berita gembira itu. Namun, mereka tergerak sendiri untuk menyampaikan pesan kebangkitan itu. Saya kira, setiap orang yang terkonfirmasi dengan ucapan, ajaran, dan teladan Yesus, tidak lagi perlu disuruh-suruh untuk dapat menghadirkan kehidupan. Dengan sendirinya, ia akan terdorong menyampaikan kabar itu. Betapa pun sulit, keras dan penolakan itu, ia akan tetap menyampaikan dan menghadirkan kabar baik itu!

Pertanyaannya sekarang, apakah Anda dan saya telah terkonfirmasi dengan kabar baik itu? Apakah Anda dan saya telah menjadikan kebangkitan itu bukan hanya sebagai doktrin, namun terkait erat dalam kehidupan kita? Jika itu yang terjadi, maka menjadi saksi dan menghadirkan kehidupan adalah sebuah keniscayaan!

Jakarta, Paskah Pagi 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar