“Karena kata-kata saja tidaklah cukup, harus ada yang bertindak.”
Albert Schweitzer
Perkataan Schweitzer tidaklah sama seperti ucapan salah seorang dari dua belas murid Yesus, Tomas. Schweitzer ingin membuktikan buah dari imannya, yakni : kesaksian. Kesaksian itu menurutnya tidak cukup dengan kata-kata, melainkan harus disertai tindakan nyata. Sementara bagi Tomas - ketika menanggapi perkataan teman-temannya bahwa Yesus sudah bangkit dan telah menampakkan diri kepada mereka - tidaklah cukup. Baginya, harus ada bukti, yakni: melihat sendiri Yesus dan meraba luka-luka-Nya!
Tomas, tidak hadir ketika untuk pertama kalinya Yesus yang bangkit itu menampakkan diri-Nya kepada para murid. Lalu, delapan hari berikutnya Tomas ada bersama-sama dengan mereka, mereka berkata kepada Tomas, bahwa mereka telah melihat Tuhan. Tomas menolak untuk percaya sebelum ada bukti nyata.
Ada pelbagai praduga terhadap ketidak percayaan Tomas. Banyak yang geregetan dan menilai Tomas dari sisi negatif: tidak punya iman, peragu, pesimistis. Namun, bagaimana pun juga Tomas dapat mewakili orang banyak. Barang kali termasuk kita. Bukankah kita juga sering menuntut pembuktian untuk mempercayai segala sesuatu. Dan tuntutan kita itu bisa berbeda dari nalar kebanyakan orang. Pendeknya, kita ingin dipuaskan! Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengapresiasi sikap Tomas. Tomas adalah orang yang jujur. Percaya itu tidak bisa dipaksakan, harus melewati proses panjang. Dan keraguan merupakan proses alami manusia menuju sikap iman yang sehat. Banyak orang yang dengan lantang mengaku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia Raja di atas segala raja. Namun, prakteknya itu semua hanya ucapan semu belaka. Kenyataannya, ketika situasi dan kondisi tidak sesuai dengan harapan, mereka berbalik bahkan menyangkal Tuhannya. Tomas tidak mau seperti itu!
Lalu, apakah Yesus membiarkan Tomas dalam keraguannya? Tidak! Seperti terhadap murid-murid yang lain. Dengan cara-Nya yang unik Yesus meneguhkan iman mereka kembali. Sangat mengesankan melihat bagaimana Yesus menjumpai Tomas dan menerima sebagaimana apa adanya dia. Yesus menerima tantangan Tomas tanpa mencela dan menyalahkannya. Ia menanggapi kebutuhan Tomas yang terucap dalam kata-katanya, kalaupun itu keluar dari sikap kurang percayanya.
Yesus menampakkan luka-luka-Nya kepada Tomas. Luka yang besar di lambung yang telah robek cukup untuk memasukkan tangan. Luka yang besar juga pada kedua tangan dan kaki cukup untuk memasukkan jari. Luka-luka itu tetap tinggal untuk selama-lamanya. Luka itu merupakan tanda cinta kasih Yesus yang tulus dan mengampuni, yang dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit tidak menampakkan diri sebagai yang berkuasa, digdaya, namun sebagai yang terluka dan mengampuni. Dia yang bangkit dan hadir di depan si peragu, tidak mencela dan mengolok-olok ketidak percayaan Tomas.
Melalui Tomas, Yesus mengundang kita untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya, melainkan luka-luka yang ada dalam diri sesama dan diri kita sendiri; luka-luka yang dapat membuat kita membenci sesama dan diri kita sendiri, yang dapat menjadi sumber perpecahan dan perpisahan. Di dalam Yesus, luka-luka ini diubah menjadi sumber pengampunan, dan akan menghimpunkan orang dalam cinta kasih. Luka-luka ini menyatakan bahwa kita saling membutuhkan. Luka-luka ini menjadi ruang untuk mengembangkan saling bela rasa dan menanggalkan keegoisan diri.
Tampaknya Albert Schweitzer melihat luka-luka itu. Luka akibat Perang Dunia II dan kolonialisasi, kemiskinan dan keterbelakangan dunia Afrika. Sambil membayangkan Afrika, Schweitzer bergumam, “Mengapa Tuhan membuat mereka jauh dari peradaban?” Apa yang dilakukannya kemudian? Di usia yang relative muda Schweitzer telah menjadi doctor filsafat sekaligus teologi serta bakat bermain music luar biasa dan berhasil di berbagai pementasan. Pada tahun 1905 di usia tiga puluh tahun ia memutuskan kembali ke sekolahnya yang dulu. Ia masuk sebagai mahasiswa kedokteran. Semua orang terkejut melihat Schweitzer yang telah meraih popularitas sebagai pemain music dan pengajar. Enam tahun ia berhasil lulus dan menjadi seorang dokter. Lalu?...
Ia berangkat ke Afrika. Bahkan sang ayah sempat berusaha menghentikan niatnya, “Kamu telah mendapat pengakuan sebagai seorang yang terpelajar, serta sebagai seorang pemain music, bukan? Apakah masih kurang, sehingga engkau harus pergi ke Afrika yang penuh bahaya?” Tampaknya, mata hati Schweitzer benar-benar melihat “luka-luka” itu dan ia menjawab, “Di bandingkan banyak tempat lain di dunia, saat ini Afrika yang benar-benar sedang membutuhkan dokter. Sampai detik ini aku hidup untuk kebahagiaanku saja. Tetapi mulai saat ini aku akan mencurahkan pikiran dan pengabdian demi orang lain.” Akhirnya pada tahun 1913 Schweitzer mendirikan rumah sakit di pinggir Sungai Ogooué, di seberang Persekutuan Perancis Afrika. Suatu kali orang Afrika pernah bertanya kepadanya, “Mengapa Anda mau datang ke tempat seperti ini dan mau menjalani hidup sulit?”
Ia menjawab, “Karena kata-kata saja tidaklah cukup, harus ada yang bertindak!”
Di tengah kecamuk Perang Dunia II Schweitzer tidak pulang kembali ke Eropa. Ia berkonsentrasi dalam Pekabaran Injil dan perawatan medis sehingga saat itu ia mendapat gelar World Great Man, Saint of Virgin Forest, dan juga “bapak hutan”. Kemudian pada 1952, ia menerima penghargaan Nobel Perdamaian, lalu uang hadia Nobel itu ia pergunakan untuk membangun desa bagi penderita penyakit lepra.
Tomas melihat luka di tubuh Yesus yang bangkit. Ia percaya dan kemudian menjadi saksi kebangkitan itu. Banyak cerita mengenai kisahnya memberitakan Injil. Gereja Mar Thoma di Kerala, India Selatan, mereka menamakan diri Orang Kristen Malabar atau Orang Kristen Thomas adalah bukti bagaimana Tomas telah dengan sepenuh hati dan mempergunakan hidupnya untuk menyaksikan Kristus yang mengasihi dunia.
Albert Schweitzer melihat luka dan duka dunia. Ia menanggalkan segala kenyamanan dirinya. Baginya, kesaksian tidak cukup hanya dengan ucapan bibir belaka. Dia harus menghidupi dan mewujudkannya dalam tindakan konkrit. Suatu kali orang bertanya kepadanya tentang apa yang terpenting dalam sebuah ajaran. Ia menjawab, “Pertama adalah contoh, kedua contoh, ketiga pun contoh!”
Jika Anda pernah seperti Tomas, meragukan kebangkitan-Nya, menyangsikan kasih-Nya, bahkan tidak percaya kuasa dan pertolongan-Nya, Dia tidak pernah akan mencelamu. Sama seperti terhadap Tomas dan juga rasul-rasul yang lain, Ia akan menjumpai Anda. Memperlihatkan bukan tanda-tanda kejayaan yang sering diagungkan dan dipuja dunia, melainkan luka-luka – dan itu merupakan tanda cinta kasih-Nya. Percayalah bahwa melalui luka-luka itu adalah bukti cinta-Nya kepada Anda. Satu hal yang diharapkan-Nya, yakni: Anda dan saya melihat tanda cinta kasih itu. Luka-luka itu tidak jauh dari kita. Ia begitu dekat dan mungkin melekat dalam diri kita. Biarlah kita pun bersedia memperlihatkan luka itu agar dijamah oleh bilur-bilur-Nya dan menjadi sembuh. Pada saat yang sama kita juga terpanggil untuk menjadi saksi-Nya dengan cara memulihkan luka-luka orang lain.
Dunia tidak cukup hanya mendengar cerita kita tentang kebangkitan Yesus. Dunia kini menantikan Anda dan saya membalut luka-luka-Nya. Kesaksian yang dinantikan dunia bukan sekedar cerita menjelang tidur, melainkan bukti nyata bahwa Anda dan saya mengasihi seperti Yesus mengasihi dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar