Dunia politik dengan gamlang mempertontonkan kepada kita bahwa transaksi lebih utama ketimbang relasi. Musim kampanye, merupakan musim tebar pesona dan janji, bahkan musimtransaksi. Belum lagi kemenangan diraih, para kandidat sudah membagi-bagi jatah menteri. Partai A mendapat jatah tujuh menteri, partai B kebagian lima menteri, dan yang tidak mendukung jangan harap kebagian rezeki! Tidak penting lagi kepakaran dan persahabatan, yang penting adalah: kamu mendukung atau tidak. Itulah transaksi!
Bila transaksi mengutamakan hitung-hitungan matematis untung-rugi – dan biasanya itu berpusat pada pemenuhan ambisi serta pementingan diri sendiri – relasi tidaklah demikian. Relasi selalu terkait dengan hubungan, dan memang itu hakikat utama yang terkandung dalam kata relasi. Dalam ilmu-ilmu sosial, relasi terbangun oleh karena adanya interaksi dari dua atau lebih pihak yang saling mempengaruhi. Relasi yang baik akan membuahkan kebaikan: saling mendukung, membangun, toleran, dan akomodatif. Namun, relasi yang buruk akan bermuara pada saling curiga, persaingan tidak sehat, tidak akomodatif dan sulit kerjasama.
Berbicara tentang relasi, mungkin saja terasa usang di tengah-tengah derasnya arus transaksional yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan pribadi kita. Contoh, pernikahan. Betapa banyak pernikahan dan hubungan keluarga seharusnya merupakan sebuah relasi indah. Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan atau anggota keluarga. Namun apa yang terjadi? “Kalau dia mengasihi, memperhatikan dan setia, maka saya juga akan seperti itu. Namun, saya juga bisa bersikap masa bodoh kalau dia tidak lagi mencintai saya!” Atau sikap orang tua terhadap anak dan sebaliknya. Orang tua berkata, “Saya akan memberikan apa pun buat anak saya, asalkan dia menghormati saya. Namun, jangan harap dia mendapatkan warisan jika dia selalu menentang aku!”
Bahkan transaksi juga terjadi di ranah spiritual. Banyak orang mencoba hitung-hitungan dengan Tuhan. “Tuhan, saya sudah melayani, saya sudah beribadah, berdoa, dan bersedekah. Kini, Engkau harus membalasnya dengan memenuhi segala keinginan saya. Saya sudah setia kepada-Mu, maka wajarlah kalau Engkau memberikan berkat melimpah dalam kehidupanku!”
Peristiwa di Betania hendak mengajar kepada kita, apakah kita seperti Maria yang memberikan persembahan penghormatan kepada Yesus karena cintanya sebagai buah relasi yang baik dengan-Nya. Ataukah seperti Yudas yang selalu bertransaksi dan berhitung untuk kepentingannya sendiri.
Waktu itu, enam hari menjelang perayaan Paskah. Yesus berada kembali di Betania tempat Ia membangkitkan Lazarus yang sudah empat hari mati. Di sana Yesus ikut perjamuan di rumah Simon si kusta. Tentu saja, Lazarus ada di situ, makan bersama dengan Yesus, sementara Maria melayani. Dalam Injil Yohanes yang kita baca pada Minggu Pra-paskah V ini, peristiwa itu terjadi pada malam hari menjelang masuknya Yesus ke Yerusalem. Ada dua informasi penting yang disampaikan Yohanes. Pertama, kisah itu masih berkaitan dengan kisah tentang Lazarus yang dibangkitkan. Pembangkitan Lazarus telah meningkatkan intensitas konflik sampai pada keputusan Mahkamah Agama untuk membunuh Yesus, kali ini Lazarus ada di itu. Kedua, kisah ini juga merupakan persiapan akan peristiwa-peristiwa penderitaan yang harus dihadapi Yesus sampai pada saat kematian-Nya.
Di tengah-tengah perjamuan, Maria terdorong oleh kasih dan ungkapan syukurnya. Ia mengambil setengah kati minyak narwastu yang mahal harganya. Minyak itu menurut perkiraan Yudas dapat dijual seharga tiga ratus dinar. Setara dengan upah buruh selama setahun dipotong cuti dan hari libur. Namun, Maria menuangkan minyak itu tepat di kaki Yesus, lalu ia menguraikan rambutnya yang Panjang dan menyeka kaki Yesus itu dengan mahkotanya, sesuatu yang sangat tabu. Seorang perempuan Yahudi tidak akan pernah menguraikan rambut di depan orang, kecuali di hadapan suaminya sendiri. Kita bisa membayangkan betapa dramatisnya apa yang dilakukan Maria. Ia membuka, menguraikan dan memakai untuk membasuh kaki Yesus!
Tentu saja, ketika botol minyak wangi itu dibuka, harumnya minyak narwastu murni itu sudah tercium. Apalagi, ketika seluruh minyak itu tumpah di kaki Yesus dan gerakan rambut yang menyekanya, pastilah seluruh ruangan itu sangat harumdengan wanginya minyak narwastu itu. Keadaan ini mengingatkan kita akan peristiwa Lazarus yang telah empat hari mati. Bukankah Marta pada waktu itu mencegah Yesus ketika Ia meminta mereka membuka kubur Lazarus? “Tuhan, ia sudah berbau,…”.
Maria saat itu mengganti bau anyir kematian mayat Lazarus dengan semerbak bau harum minyak narwastu murni. Ini adalah tindakan kasih Maria yang berkelimpahan tanpa memikirkan kerugian yang ada pada dirinya. Ia tidak peduli berapa lama harus bekerja menghasilkan uang untuk membeli minyak itu. Baginya, keuntungan itu sudah diperoleh dirinya. Kematian saudara yang begitu dicintainya dan kini hidup kembali tidak ada artinya dengan tiga ratus dinar yang dia curahkan!
Yudas bereaksi keras atas sikap dan tindakan Maria ini. Pemborosan!, “Mengapa minyak narwastu in tidak dijual tiga ratus dinar, dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”Motivasi ini tentu niatan yang luhur, karena ia tampaknya peduli dengan orang-orang miskin. Namun, penulis Injil Yohanes mengungkap niat sebenarnya dari seorang Yudas. Bukan, ia bukan peduli kepada si miskin. Yudas mengatakan semuanya itu karena dia adalah seorang pencuri yang sering mengambil uang dari kas yang dipegangnya. Yesus yang tahu segala sesuatu tidak berbicara apa pun untuk menanggapi protes Yudas.
Sebaliknya, Yesus meneguhkan Maria dalam kasih dan martabatnya sebagai perempuan. Yesus memerdekakan cintanya tanpa harus merasa bersalah atas tindakannya yang menurut Yudas sebagai pemborosan. Dengan membela Maria, Yesus juga membutuhkan kasih dan kepercayaan Maria pada saat orang-orang segera akan menolak dan membunuh-Nya. Maria sadar bahwa karena Yesus menghidupkan kembali saudaranya dan atas permintaannya itu menyebabkan kebencian terhadap Yesus semakin memuncak. Yesus akan segera ditangkap dan dibunuh. Bagi Maria, Yesus telah memberikan segala-galanya. Lalu kini, ia menanggapi pemberian yang utuh itu dengan memberikan seluruh dirinya pula, seluruh yang paling berharga dalam dirinya ia persembahkan dalam keagungan. Tampaknya agak bodoh dan menjadi batu sandungan, namun justru Yesus menaruh hormat pada pemberian yang seperti itu.
Maria telah menjalin relasi yang mutual dengan Yesus. Ia merasakan benar-benar cinta kasih Yesus. Cinta itu bersemayam dalam hati sanubarinya – suatu tempat yang paling layak dalam hidup manusia. Maria tidak terjebak hubungan transaksional: berhitung untung-rugi dengan Tuhan. Itulah sebabnya ia rela memberikan yang terbaik dalam hidupnya untuk Tuhannya.
Sekarang, tiliklah hati kita. Apakah cinta Tuhan juga tumbuh di sana? Apakah kebaikan dan cinta kasih serta penebusannya membuat kita menyadari bahwa sebenarnya tidak ada yang begitu pantas untuk kita berikan kepada-Nya sebagai persembahan yang terbaik? Apakah kebaikan Tuhan itu mendorong dan menolong kita untuk dengan sukacita menunaikan tugas panggilan kita sebagai murid-murid-Nya? Ataukah sama seperti Yudas, yang tampaknya baik; mau menolong dan memperhatikan orang-orang miskin namun di sana tersembunyi niat busuk?
Bangun dan milikilah relasi yang baik dengan Yesus, pasti kita akan merasakan cinta kasih-Nya. Hanya orang yang merasakan dan mengalami cinta kasih Tuhan Yesuslah yang akan mampu mengucap syukur dengan benar.
Jakarta, Minggu Pra-Paskah V 2019
Seandainya tiap FT yg mau dikotbahkan bisa saya baca di hari Senin sebelumnya, pasti akan sangat berarti buat saya, yg membuat isi Mading mingguan di Pengampon.
BalasHapusTrimakasih untuk firman Tuhan
BalasHapusYang menguatkan untk menjalin relasi dng sesama yg sesuai dng panggilan Tuhan