Bacaan Alkitab Sabtu Sunyi kali ini, seperti tahun-tahun sebelumnya adalah sama (Ayub 14:1-14, Matius 27:57-66). Namun, ada banyak kekayaan yang bisa kita gali di dalamnya. Tahun lalu, tema khotbah Sabtu Sunyi dalam buku Rancangan Khotbah Dian Penuntun "Memento Mori"yang berarti, Ingatlah akan hari kematianmu!Tahun lalu umat diajak untuk menghayati bahwa suatu saat kita akan mati, dengan ingatan itu umat diharapkan dapat memberi makna pada kualitas hidup yang masih dianugerahkan Tuhan.
Sabtu Sunyikali ini mengajak kita untuk lebih dapat memahami kematian itu sendiri. Kita menyadari bahwa semua makhluk hidup akan berujung dengan kematian, sebab semuanya fana. Namun, ketika kematian itu belum bersentuhan dengan kita atau menimpa orang-orang terdekat, maka kematian sering dipandang sebagai fenoma kehidupan yang biasa-biasa saja; wajar, setiap yang hidup pasti akan mati! Hal ini tentu sangat berbeda sekali ketika kita mengalami sendiri. Misalnya saja pengalaman yang disebut little death: pada saat kita melewati sakit yang sudah divonis tidak dapat sembuh, penderitaan yang amat sangat dan berpotensi mematikan, atau lolos dari tragedi maut. Momen seperti ini biasanya membuat orang menyadari betapa berharganya kehidupan. Kematian juga bukan perkara biasa apabila itu terjadi pada kerabat atau orang-orang terdekat dalam hidup kita. Alih-alih memandang sebagai siklus alam biasa, kita dapat kehilangan kendali diri dan menjadi frustasi.
Perasaan kehilangan orang-orang yang dikasihi merupakan salah satu peristiwa menyakitkan dalam kehidupan manusia. Dr. Elisabeth Kubler-Ross, psikolog Swiss, penulis buku On Death and Dyingmerumuskan ada 5 fase ketika seseorang mengalami mengalami duka cita akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman dekat, yakni: shock, denial, anger, mourning, dan recovery. Tentu saja tiap-tiap orang pasti berbeda dalam mengungkapkan perasaan dan kegelisahaannya. Demikian juga jangka waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai tahap recoverytidaklah sama. Bahkan banyak yang tidak bisa menerima kenyataan dan berujung frustasi.
Meminjam teori Kubler-Ross, setelah kematian Sang Guru yang menjadi tumpuan dan pengharapan mesianik, para murid berada dalam fase shockdan denial. Mereka terkejut dan mungkin juga tidak percaya akan kematian Yesus yang sangat mengerikan itu. Semula ada harapan besar bahwa Sang Mesias dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Layaknya pengharapan mesianik Israel: Mesias adalah tokoh digdaya yang akan menghancurkan imperium Romawi! Namun nyatanya, kematian telah mengubur semua impian indah itu. Bagi para murid dan bagi banyak orang, kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Kalau kematian adalah realita yang tidak bisa ditolak. Lalu, apakah kematian itu benar-benar akhir dari segalanya dan mengubur semua harapan? Mari kita belajar dari teks bacaan pertama. Secuil kisah tentang Ayub.
Nama Ayub sering dihubungkan dengan derita dan kepahitan hidup. Tidak salah. Ayub semula hidup makmur berkelimpahan, seorang yang sangat saleh. Tiba-tiba segalanya lenyap dalam sekejap. Kondisi ini memaksa Ayub dan teman-temannya bergumul dan mencari makna di balik penderitaan. Sebagai orang saleh, tentulah Ayub sangat yakin bahwa TUHAN mempunyai kuasa absolut atas segalanya. Baginya, penderitaan pahit yang sedang dialami merupakan pukulan dan murka TUHAN. Itulah sebabnya ia datang kepada TUHAN dan meminta untuk "menyembunyikanku di dalam dunia orang mati...sampai murka-Mu surut."(Ayub 14:13). Ayub memandang bahwa kematian adalah cara mengakhiri kepahitan hidup. Kematian adalah akhir dari segalanya.
Bukankah cara pandang ini masih subur dalam konteks kita. Banyak yang tidak tahan dengan penderitaan, maka kematian dipandang sebagai cara instan untuk beralih dari "kesakitan" kepada tidur panjang yang dipandang lebih nyaman. Setidaknya kasus-kasus bunuh diri dan orang-orang sekarat dengan sakit terminal yang minta didoakan agar TUHAN segera mengakhiri hidupnya membenarkan pandangan ini.
Rupanya narasi keluh kesah Ayub yang diberi judul oleh LAI "Setelah mati tidak ada harapan lagi"bukanlah sebuah narasi final tentang pesimisme kematian. Sebagaimana semua orang memandang kematian adalah misteri, demikian juga dengan Ayub. Ketika kita berhenti pada ayat 14, "Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku;..." Hasilnya, nada pesimis bahwa kematian itu akhir dari segalanya masih sangat kental. Narasi ini sebenarnya tidak berhenti di situ, ayat ini belum selesai; kalimatnya pun belum berakhir dengan "titik", masih ada kelanjutan! "...maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut; Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu. Sungguhpun Engkau menghitung langkahku, Engkau tidak akan memperhatikan dosaku; pelanggaranku akan dimasukkan di dalam pundi-pundi yang dimeteraikan, dan kesalahanku akan Kaututup dengan lepa."(Ay.14:15-17). Meski nada pesimis masih terbaca di penghujung pasal 14 ini, namun Ayub setidaknya mempunyai keyakinan bahwa masih ada cinta kasih TUHAN di balik kematian itu. Sekali lagi narasi Ayub belum selesai sampai akhirnya nanti dengan matanya sendiri, Ayub memandang TUHAN (bnd. Ayub 42:5).
Berbeda dengan Ayub yang kehilangan segalanya, dan sekujur tubuhnya penuh borok gatal, nyeri, menyakitkan, dan memalukan. Para murid pun kehilangan Guru mereka namun tidak menderita kesakitan fisik. Meski demikian, mereka merasa terancam oleh kelompok orang yang menyalibkan Yesus. Dalam kadar yang berbeda, perasaan mereka kurang lebihnya sama dengan apa yang dialami oleh Ayub dan semua orang yang kehilangan segala-galanya: orang yang dikasihi, harapan, arah hidup dan segala yang indah. Para murid membayangkan penderitaan dan kemalangan Sang Guru: bagaimana Yesus yang mereka cintai mengalami penderitaan berat, begitu buruk rupanya, luka-luka yang menganga bekas cambuk, luka-luka di sekujur tubuh bekas cambuk, paku dan tusukan tombak lalu kemudian mati dibantai di tiang salib itu. Jelas luka-luka ini tidak kalah mengerikan dan menyakitkan dari borok-borok Ayub.
Kini, jasad itu diturunkan, dibalutkan kain kapan lalu dikuburkan. Bagi para murid tentu saja kondisi jasad seperti ini begitu ngilu dan memilukan. Namun, tampaknya semua itu belum memuaskan orang-orang yang membenci-Nya. Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari (Matius 27:62-66). Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu bikin berita sensasi; mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Tentu ada alasan mengapa para pemimpin Yahudi itu ngototmeminta kubur Yesus dijaga. Mereka mengingat ketika sebelum Yesus mati, Ia pernah mengatakan bahwa setelah tiga hari kematiannya, Ia akan bangkit (Matius 16:21). Pilatus mengabulkan permintaan mereka dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga kubur Yesus itu.
Tentu para murid sangat terpukul. Mereka putus asa dan mencoba menyelamatkan diri masing-masing. Ini terbukti, tak satu pun murid terdekat Yesus yang hadir dalam pemakaman-Nya kecuali para perempuan : Maria Magdalena dan Maria yang begitu rupa larut dalam duka nestapa. Dalam situasi kesedihan mendalam seseorang mudah hilang kendali, frustasi dan kehilangan pegangan. Jalan pintas biasanya dipilih; menyakiti diri sendiri atau orang lain lalu kemudian menyalahkan Tuhan. Lagi-lagi kematian berpotensi menggugurkan semua pengharapan termasuk iman!
Sama seperti narasi keluh kesah Ayub yang harus ditempatkan pada bingkai proses, jadi bukan final. Demikian juga kegelisahan para murid akan kematian Sang Guru merupakan sebuah proses yang nantinya akan menemukan bahwa harapan mereka tidaklah sia-sia. Di balik sunyinya kematian mereka akan melihat harapan itu nyata. Kini, mereka harus mengikuti rancangan-Nya dan bukan angan-angan sendiri. Hanya beberapa jam kegalauan menguasai mereka. Namun kemudian Tuhan menjawab dengan menampakkan diri kepada mereka. Ia tidak mati! Yesus memulihkan mereka kembali. Lagi, meminjam teori Elisabeth Kubler-Ross, pada akhirnya para murid, seperti juga Ayub, mengalami recovery. Mereka dipulihkan dan menjadi saksi-saksi karya Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar