Benar saja, untuk meyakinkan dan menghadirkan kehidupan tidaklah mudah. Para perempuan yang tadi pagi telah menyaksikan kubur kosong kemudian memberikan penjelasan tentang dua orang lelaki utusan Tuhan bahwa Yesus sudah bangkit, kini berusaha membawa dan menghadirkan pesan itu pada komunitas mereka. Namun, tetap saja ditanggapi dingin. Sebagian besar dari mereka tidak percaya. Ketidak-percayaan itu setidaknya diwakili oleh dua orang murid Yesus. Alih-alih seperti Petrus pergi ke kubur Yesus, Klopas dan temannya justeru menjauh dari Yerusalem. Mereka menuju 5 – 7 km ke arah barat; ke Emaus.
Sebenarnya Klopas dan temannya itu juga menyimak apa yang disampaikan oleh para perempuan itu. Ini tergambar dalam percakapan mereka dengan Yesus yang bangkit dalam perjalanan ke Emaus itu – Yesus yang pada saat itu belum mereka kenali. “Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat yang mengatakan bahwa Ia hidup. Beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu, dan mendapati persis seperti yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat.”(Lukas 24:22-24).
“…dan mendapati persis seperti yang dikatakan perempuan-perempuan itu,..” Sebuah kenyataan mengherankan, mereka telah mendengar penjelasan dari para perempuan yang pagi-pagi buta telah pergi ke kubur Yesus ditambah dengan para murid lain yang mendatangi kubur Yesus itu, mereka menegaskan bahwa benar faktanya seperti itu. Namun, mereka tetap tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit! Lebih mengherankan lagi, kini mereka bahkan tidak menyadari bahwa orang yang berjalan bersama dengan mereka adalah Yesus sendiri!
Apa yang menyebabkan begitu kuatnya rasa tidak percaya mereka? “… ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenali Dia.”(Lukas 24:16). Mata mereka terhalang oleh kuatnya bayang-bayang kematian. Kematian adalah akhir dari segala pengharapan. Tidaklah mungkin manusia mati bangkit kembali. Itulah sebabnya mereka menolak segala bentuk kesaksian yang diberitakan oleh para murid perempuan dan kesaksian Petrus yang telah menyambangi kubur Yesus itu. Di samping itu, mereka mempunyai harapan besar terhadap Yesus, “Padahal kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang akan membebaskan bangsa Israel.”(Lukas 24:21a). Harapan itu kandas ketika mereka menyaksikan bahwa Mesias itu tunduk dan menyerah kalah: Yesus mati disalibkan!
Pernyataan kedua orang murid ini menggambarkan secara umum harapan mesianik dari bangsa Yahudi. Dalam suatu tulisan Yahudi, yang terbit lima puluh tahun sebelum Masehi, dikatakan, “Mesias, yang dilengkapi Allah dengan kekuatan, akan meremukkan pemerintah yang lalim; Ia akan mentahirkan Yerusalem dari orang-orang kafir, dan membinasakan bangsa-bangsa yang tidak bertuhan…” tetapi harapan mereka itu sudah runtuh sekarang. Sebab hari Minggu itu sudahlah “hari yang ketiga” dihitung dari hari kematian Yesus (menurut perhitungan Yahudi). Dan menurut bayangan rakyat Yahudi, jiwa seseorang yang meninggal masih melayang-layang berkeliling di sekitar mayat itu tiga hari lamanya, tetapi sesudah itu tidak ada harapan lagi bahwa nyawa hidup itu akan kembali.
Menarik, Yesus tidak melepas begitu saja kedua murid yang diliputi kekecewaan ini. Kedua orang yang menuju Emaus ini tidak diingatkan pada apa yang dikatakan Yesus dahulu di Galilea (seperti kepada para perempuan yang mengunjungi kubur Yesus). Kali ini, Yesus menerangkan isi Kitab Suci orang Yahudi. Bahwa Mesias bukanlah tokoh pahlawan politis yang menempuh jalan kemenangan dan kemulian dengan cara menaklukkan lawannya dengan pedang. Namun, menurut Kitab Suci, Mesias itu harus terlebih dahulu menempuh jalan penderitaan, sebagai hamba TUHAN dan sebagai Anak Manusia, supaya selanjutnya Ia memperoleh kemuliaan dengan menyeberangi penderitaan dan kematian itu. Pada akhirnya, Yesus mencela mereka sebagai orang-orang yang berhati lamban, artinya orang-orang yang dalam spiritualitas berat kepala, sulit untuk menerima kebenaran karena telah begitu rupa tertutup oleh keinginan mereka sendiri.
Bisa saja dalam kehidupan spiritualitas, kita sama seperti Klopas dan temannya itu. Kita mengikut Yesus, menjadikan-Nya Guru dan Tuhan dengan maksud untuk memenuhi segala keinginan kita. Bukan kita yang berusaha menundukkan diri pada kehendak-Nya, melainkan Dia yang harus memenuhi keinginan-keinginan kita itu. Manakala, tidak terpenuhi, kita pun meninggalkan “Yerusalem” menuju ‘Emaus”. Kita meninggalkan Yesus dan menjauh dari-Nya.
Sesudah sampai ke Emaus, maka Yesus membuat seolah-olah Ia mau berjalan terus, sesuai adab sopan-santun pada masa itu. Tetapi bagi Yesus, sikapnya seperti itu lebih daripada sebuah kebiasaan: Ia hanya mau datang kalau sungguh-sungguh diundang, dan tidak mendesak-desak diri-Nya. “Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya, Tinggallah Bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam. Lalu masuklah Ia untuk tinggal Bersama-sama dengan mereka.”(Lukas 24:29). Undangan ini menarik, seolah-olah dua orang murid itu bermurah hati, tidak membiarkan tamunya pergi, padahal hari menjelang malam dan kalau terus pergi, entah di mana ia akan memperoleh tempat perteduhan.
Namun, dalam konteks kesedihan dan kekecewaan, bukanlah Kleopas dan temannya itu yang menjadi penolong terhadap Yesus sehingga mereka menyediakan tempat bagi-Nya. Namun, justeru merekalah yang memerlukan pertolongan dalam memulihkan kedukaan dan spiritualitas mereka yang hancur!
Selanjutnya mereka mengadakan jamuan makan malam Bersama. Mereka makan malam biasa dan tidak mustahil seorang tamu didaulat untuk mengambil peran seorang bapa (toh waktu itu juga Yesus memerankan peran bapa yang mengajarkan kitab suci kepada anak-anaknya) yakni dengan memecah-mecah dan membagi-bagikan roti itu, sesudah terlebih dahulu Ia mengucap syukur kepada Allah. Pada saat itu terjadilah mukzijat: “terbukalah mata mereka”, artinya tiba-tiba mereka sekarang dapat mengenali siapa yang selama ini berjalan dan berbicara dengan mereka, yakni Yesus! Segera sesudah mereka mengenali-Nya, Yesus segera lenyap dari hadapan mereka!
Perjumpaan dalam kesadaran yang begitu singkat ternyata mampu memulihkan kedua orang murid tadi. Kini, mereka bergegas untuk kembali ke Yerusalem. Yerusalem yang baru saja ditinggalkan karena kekecewaan mereka kini menjadi kota untuk mereka tuju dan bersaksi di sana. Perjumpaan itu telah mengubahkan mereka. Perspektif iman yang keliru telah diluruskan. Harapan yang hanya mementingkan kenyamanan diri kini diubahkan. Bukan melulu diri sendiri yang menjadi pusat kehidupan namun kini mereka dapat melihat dari perspektif Allah.
Perjumpaan Yesus yang bangkit dengan kedua orang yang menuju Emaus telah mengubahkan mata hati dan iman mereka. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita juga mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit itu? Sangat mungkin saat ini kita sedang berada pada titik nadir kekecewaan. Kecewa karena harapan-harapan kita mengikut Yesus ternyata tidak terpenuhi. Masalah tetap ada bahkan terus bertambah, kesulitan silih berganti datang dan berbagai macam penderitaan seolah tidak kunjung reda. Dalam kondisi ini bayang-bayang kematian begitu kuat, dan kita mempertanyakan di manakah Yesus yang bangkit itu?
Percayalah Dia ada dalam setiap pergumulan kita. Dia terus mengetuk meminta pintu hati kita dibukakan. Dia tidak akan pernah memaksa untuk menerobos masuk ke dalam pintu hati kita. Seperti kedua murid di Emaus, marilah kita mengundang-Nya. Bukan seolah-olah Dia yang membutuhkan kita, melainkan justeru kitalah yang memerlukan pertolongan-Nya. Biarkan Yesus menguasai hati dan kehidupan kita, maka perlahan tapi pasti kita akan mengalami perubahan. Tidak lagi menjadi pengecut: lari dari permasalahan, melainkan menghadapinya sama seperti Yesus menghadapi penderitaan. Bahkan Ia memenangkan-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar