Usianya masih sangat belia ketika ia menjadi anggota Parlemen Inggris, 21 tahun! Seperti nasihat Paulus kepada Timotius, William Wilberforce tidak pernah menganggap usia yang muda sebagai alasan untuk menyuarakan kebenaran. Wilberforce yang terlahir dan dibesarkan dalam keluarga kaya tidak terlena dengan fasilitas milik orang tuanya. Buku-buku karya George Whitefield, seorang pendeta Inggris terkenal dan John Newton, mantan penjual budak yang memilih menjadi pendeta, Amazing Grace adalah karya yang merefleksikan perubahan radikal dalam hidup Newton telah begitu kuat berpengaruh dan menggelora dalam dada Wilberforce.
Wilberforce menjadi seorang Kristen yang taat dan berintegritas. Tekadnya bulat, menggunakan kekuasaannya sebagai anggota parlemen untuk memperjuangkan keadilan sosial. Pada 1789, ia mulai mengampanyekan penghapusan perdagangan budak di Inggris. Lihat, betapa kuatnya pengaruh John Newton dalam diri Wilberforce! Ia tidak sendiri, perjuangannya dibantu oleh Thomas Clarkson dan kelompok Clapham Sect, sebuah kelompok Kristen evangelical yang sangat peduli terhadap isu-isu sosial. Mungkin inilah cara mereka menerjemahkan perkataan Paulus, “Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu! Demikianlah kamu menanggung hukum Kristus… Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menyerah.” (Galatia 6:2,9).
Wilberforce menghadapi perlawanan sengit dari mereka yang memiliki kepentingan ekonomi dalam perdagangan budak. Ia harus menghadapi argumen-argumen yang menentang penghapusan perdagangan budak, termasuk klaim bahwa budak-budak dapat dipelihara dan terjamin jauh lebih baik ketimbang mereka yang hidup di Afrika! Setelah dua puluh tahun berjuang, Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak pada tahun 1807. Undang-undang itu menyatakan bahwa Inggris melarang terlibat dalam perdagangan budak. Beberapa bulan sebelum kematiannya, tepatnya pada 1833, Wilberforce dapat tersenyum lebar karena di seluruh wilayah Kekaisaran Inggris dinyatakan bebas dari perbudakan! Wilberforce dikenang sebagai seorang pejuang keadilan sosial yang gigih dan berdedikasi. Ia menunjukkan bahwa satu orang dapat membuat perbedaan besar dalam sejarah dengan memperjuangkan apa yang benar dan adil. Warisannya terus menginspirasi orang-orang untuk memperjuangkan keadilan sosial dan hak asasi manusia di seluruh dunia!
Untuk mewujudkan keadilan sosial harus ada orang yang rela menyerahkan diri, berjuang bahkan berdarah-darah. Untuk membebaskan umat dari penderitaan akibat dosa harus ada nabi-nabi yang diutus. Untuk membebaskan Israel dari tanah pembuangan ke sebuah negeri pengharapan yang berlimpah susu dan damai sejahtera, harus ada orang seperti Yesaya yang bersedia keluar dari zona nyaman! Untuk memulihkan kelemahan manusia yang dicengkeram oleh kuasa jahat dan keserakahan sesamanya, maka Yesus mengutus murid-murid-Nya. Mereka diutus untuk membawa damai sejahtera dan menyatakan cinta kasih Allah yang sedang menyapa siapa saja yang sedang letih-lesu dan berbeban berat.
Yesus mengerti situasi “taman bermain” ke mana utusan-Nya itu harus pergi. Kata-Nya, “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” (Lukas 10:3). Tepat, ini bukan taman bermain! Tempat main domba – apalagi anak domba – jelas bukan di kawanan serigala, tetapi di padang yang berumput hijau dan air yang tenang! Ini, mengisyaratkan situasi bukan hanya tantangan, tetapi real bahaya! Mungkin kita bertanya, “Jangan-jangan Yesus bercanda?” Apalagi tidak boleh membawa uang dalam pundi-pundi. Padahal, kalau bawa banyak uang masalahnya mudah selesai. Benar uang bukan segalanya, tetapi segala sesuatu perlu uang. Benar, uang tidak dibawa mati, tetapi uang dapat mengubah hukuman mati. Inilah makna uang di dunia serigala!
Ya, Yesus tidak sedang bercanda. Ia serius mengutus para murid-Nya ke tempat “berbahaya”. Sejumlah syarat disampaikan pada para murid, tujuannya bukan untuk mencelakakan mereka. Namun dengan cara itu, Yesus sedang sungguh-sungguh memperlengkapi mereka. Mereka harus mengosongkan segala sesuatu agar dapat diisi oleh bekal perlengkapan yang sesungguhnya. Mereka harus mengisi dengan bekal diri Yesus sendiri. Tepat! Mereka harus mencontoh pada Sang Guru. Lihat, Yesus hadir di dunia ini membawa pesan Illahi; Firman yang menjadi manusia, nyaris tidak membawa apa-apa selain kain lampin yang membalut tubuh mungil itu di Betlehem. Dalam perjalanan pelayanan pun Ia mengatakan kepada orang yang mau mengikut-Nya, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sangkar, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Bekal yang dipandang baik dan utama oleh dunia ini harus dikosongkan. Setelah kosong barulah diisi dengan perlengkapan yang sungguh-sungguh utama dalam tugas misi itu. Mereka diminta untuk tidak mengandalkan perkara duniawi, tetapi berharap semata-mata pada Tuhan. Mereka tidak boleh berharap pada imbalan, karena mereka telah mendapatkannya. Lagi pula imbalan yang sesungguhnya adalah ketika mereka yang dilayani itu dapat tersenyum lebar!
William Wilberforce telah membuktikannya. Getaran jiwanya menjawab “iya” untuk sebuah penunjukkan bahwa ia harus berjuang mendatangkan damai sejahtera bagi anak-anak manusia yang tertindas karena perbudakan. Buku-buku dan khotbah-khotbah yang ia dengar seakan suara Tuhan sendiri yang mengetuk pintu hatinya agar mau berjuang. Dalam perjalanan perjuangannya, ia tidak mengandalkan nama keluarga yang terpandang dan kekayaan orang tuanya. Dalam perjuangannya, ia benar-benar masuk dalam “kawanan serigala”, parlemen yang haus akan uang dan kekuasaan. Kapan pun Wilberforce dapat dilibas dan dienyahkan! Namun lihatlah, dua puluh tahun ia berjuang dan akhirnya, sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, ia dapat tersenyum! Ya, dia tersenyum bukan karena orang-orang menghargainya sebagai pejuang keadilan sosial yang hebat. Tetapi, karena banyak anak manusia yang mengalami pembebasan dan hak-haknya dikembalikan sebagai anak manusia yang sekaligus gambar Allah! William Wilberforce tidak seperti para murid yang kembali dari tugas perutusan mereka. Mereka pamer dan bangga bahwa setan-setan telah dikalahkan. Sayang, Yesus tidak membutuhkan laporan seperti itu, alih-alih Ia mengatakan, “… tetapi bersukacitalah karena namamu terdaftar di surga.” (Lukas 10:20b).
Jika panggilan itu datang pada William Wilberforce melalui pengaruh dua pendeta, Whitefield dan Newton, bukankah hal yang sama juga terjadi pada diri setiap orang Kristen! Setiap saat kita mendengar khotbah, renungan, pembinaan, dan apa pun itu, suara Dia yang memanggil terus didengungkan. Lalu, bagaimana kita menanggapinya? Tidakkah kita tergugah untuk meneruskan cinta kasih Tuhan itu? Tidakkah kita ingin orang lain juga merasakan cinta kasih Tuhan yang selama ini kita rasakan. Tidak inginkah kita melihat tatanan dunia baru yang penuh keadilan dan damai sejahtera? Atau masihkah kita menyampaikan argumen alasan-alasan yang tampaknya rasional tetapi sesungguhnya mencerminkan keengganan untuk pergi menjadi utusan-Nya.
Jakarta, 3 Juli 2025 Minggu Biasa XIV Tahun C