Dalam bukunya All You Need is Love, Pongki Pamungkas
menuturkan sebuah kisah menakjubkan tentang cinta (dalam hal ini yang dimaksud
adalah cinta kasih).
Seorang profesor sosiologi
yang masih muda mengajak beberapa mahasiswa yang diajarnya ke daerah kumuh di
Baltimore untuk mewawancarai 200 anak laki-laki dan memperkirakan kondisi
kehidupan mereka di masa depan. Para mahasiswa terkejut melihat kondisi daerah
kumuh itu. Dengan kondisi itu, mereka memperkirakan bahwa setidaknya 90 persen
dari anak laki-laki yang mereka wawancarai itu kelak akan menghabiskan waktu di
penjara.
Dua puluh lima tahun kemudian,
profesor yang sama menugasi kelompok mahasiswa lainnya mengumpulkan data
bagaimana kondisi faktual kehidupan yang terjadi. Dari 190 anak laki-laki yang
berhasil diketahui keberadaannya, hanya empat orang yang pernah dipenjarakan.
Selebihnya, kehidupan mereka normal saja. Setelah ditelusuri, lebih dari 100
anak laki-laki yang sekarang sudah menjadi dewasa itu ingat dan menyebut nama
seorang guru sekolah menengah mereka. Guru itu Nona O'Rourke.
O'Rourke bagi mereka adalah
seorang yang berhasil menimbulkan inspirasi dalam hidup mereka. O'Rourke adalah
sang penyelamat kehidupan mereka. Sheila O'Rourke, yang sekarang sudah berusia
lebih dari tujuh puluh tahun ketika diwawancara mengatakan, "Yang bisa
kukatakan hanyalah, bahwa aku mencintai mereka semua." Tentu, ketika O'
Rourke mengatakan, "aku mencintai mereka semua", tidak hanya ucapan
bibir saja. Hampir sebagian besar usianya dipakai untuk menghidupi apa yang ia
katakan itu.
Cinta diyakini dan telah
terbukti menyelamatkan kehidupan. Namun, sayangnya kebanyakan orang berhenti
pada tutur kata, puisi, wacana dan keyakinan saja. Tepatlah apa yang dikatakan
Karl Menninger, psikiater Amerika Serikat, "Sebenarnya, cinta adalah obat
bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun, dalam kenyataan, cinta itu
suatu resep yang sering diberikan, tapi jarang digunakan." Padahal cinta
akan merubah ketakutan dan kekuatiran menjadi motivasi positif. "Dicintai
orang lain membuat Anda kuat, mencintai seseorang lain membuat Anda
berani." (Lao Tzu).
Cinta kasih akan kehilangan
makna bahkan bisa menipu jika hanya sebatas ucapan atau lips service. Rupa-rupanya kenyataan ini terjadi dalam jemaat
mula-mula. Kasih sering dibicarakan namun kenyataannya tidak semanis ucapan. Bukankah
sampai saat ini gereja-gereja dan orang Kristen masih seperti ini? Kita banyak
berteori tentang bagaimana harus memperlakukan orang lain, mengasihi semua
orang tanpa pandang bulu. Bahkan mengasihi musuh sekalipun. Nyatanya?
Bagi Yohanes, ada hal yang
tidak logis ketika seseorang berkata bahwa dirinya tahu tentang cinta kasih,
sering membicarakannya bahkan menjadi jargon komunitas mereka namun
kenyataannya mereka membiarkan suadaranya sendiri terlantar padahal ada pada
mereka harta benda. "Barangsiapa
mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi
menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat
tetap dalam dirinya?" (1 Yoh.3:17). Yohanes berpendapat bahwa, tidak
mungkin kasih Allah ada dalam diri seseorang ketika orang itu bergeming melihat
penderitaan sesamanya. Oleh karena itu Yohanes perlu mengingatkan mereka,
"Anak-anakku, marilah kita mengasihi
bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam
kebenaran" (1 Yoh.3:18). Bagi Yohanes kasih bukan sebagai kata benda atau kata sifat, kasih adalah kata kerja. Kasih tidak
dapat dilepaskan dari relasi personal seorang terhadap yang lain dengan
dibuktikan oleh tindakan nyata.
Yohanes mengajak setiap orang
percaya untuk belajar dan meniru kasih itu pada Kristus, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus,
yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib
menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita" (1Yoh.3:16).
Dalam diri Yesus, kasih itu
menjadi nyata oleh karena Ia tidak sekedar membicarakan-Nya. Yesus pernah mengatakan
bahwa diri-Nya adalah Gembala yang Baik. Dalam bahasa Yunani kata
"baik" yang digunakan adalah kalos,
yang dapat diterjemahkan "mulia", "indah", "sempurna",
"berharga", atau "mengagumkan". Yesus adalah Gembala yang
Baik oleh karena Ia berbeda dengan gembala-gembala Israel yang hanya memikirkan
perut mereka sendiri. Gembala Baik oleh karena Ia berbeda dengan orang upahan:
Puncak kualitas Gembala Baik adalah memberikan
nyawanya bagi domba-dombanya. Di bukit Kalvari itu, Sang Gembala telah
membuktikan ucapan-Nya. Ia datang untuk memberikan hidup-Nya di salib, untuk
menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi kita berada dalam kesatuan dengan
Allah dan sesama kita. Di dalam Dia kasih itu menjadi sempurna; kalos agapao!
Yesus Gembala yang Baik oleh
karena relasi mendalam yang dijalin bersama dengan para pengikut-Nya, hubungan
saling mengenal yang begitu dalam seperti hubungan diri-Nya dengan Sang Bapa.
Sebagai Gembala yang Baik, Yesus melampaui harapan orang-orang Israel, karena
Ia akan menuntun domba-domba yang bukan dari Israel. Mereka ini pun akan
mendengarkan suara-Nya dan akan dijadikan bagian dari kawanan yang satu. Semua
pengikut Yesus dari golongan dan suku bangsa mana pun asalnya, menjadi sebuah
kawanan yang satu. Gembala yang Baik menyerahkan nyawa-Nya bukan karena kalah
terhadap para lawan-Nya. Dalam kasih Bapa, Ia dengan bebas memberikan nyawa-Nya
untuk keselamatan domba-domba-Nya.
Konon, pada tahun 1963 Bung
Karno, presiden pertama Republik Indonesia menghadiri perayaan Natal di
Jakarta. Dalam perayaan itu, Sang Proklamator itu diminta untuk menyampaikan
sambutannya. "Spanduk di depan saya tertulis, Yesus adalah Gembala yang Baik. Itu salah. Itu keliru! Kita dapat
membayangkan reaksi orang-orang Kristen yang sedang merayakan Natal hari itu.
Bisa saja kaget, terperanjat atau marah. Namun, mereka tidak bisa berbuat
apa-apa. Diam seribu basa! Setelah hening beberapa detik, Bung Karno
melanjutkan pidatonya, "Yang benar begini, Sesungguhnya Yesus adalah Gembala Yang Terbaik!" Sontak
kebingungan dan kemarahan hadirin berganti dengan haru, mereka berteriak riuh
rendah dan memberikan standing upluse.
Sambutan Bung Karno belum berakhir. "Kita semua yang hadir di sini
ditantang...Sudahkah kalian menjadi domba-domba terbaik-Nya?"
Bung Karno tampaknya memahami
kata kalos dengan terjemahan
"Yang Terbaik". Benar Yesus adalah Gembala Yang Terbaik. Kita bangga
bahwa kita mempunyai Gembala Agung yang begitu mengasihi kita. Namun, seperti
teguran Bung Karno, apakah kita menyadari dan terus termotivasi untuk menjadi
domba-domba gembalaan-Nya yang terbaik? Bila kita melihat kembali kualitas
Gembala Baik itu yang sangat kontras berbeda dari gembala-gembala upahan. Lalu,
bagaimana dengan kualitas kita sebagai domba-domba gembalaan-Nya? Apakah lebih
baik dari domba-domba lain yang tidak mengenal Yesus? Apakah sebagai domba
Kristus kita jauh lebih berkualitas daripada "kambing"?
Kualitas domba-domba Kristus
mestinya dapat dilihat dari bagaimana mereka hidup. Hidup yang bukan untuk
dirinya sendiri. Hidup seperti Yesus hidup. Berani mengambil pilihan walaupun
penuh risiko demi menyatakan kasih Allah kepada semua makhluk. Domba-domba dari
Gembala Yang Terbaik pasti akan melahirkan karya-karya kemanusiaan terbaik.
Mereka bukan menjadi beban persoalan dan pencipta masalah, melainkan menjadi
solusi dari masalah. Domba-domba Kristus akan mampu membalas kebencian dengan
kasih sayang. Mereka akan terus menebarkan cinta kasih di mana pun dan kapan
pun. Itulah kulifikasi domba-domba dari Gembala Terbaik. Apakah ciri-ciri domba
terbaik itu ada pada gereja kita? Lembaga-lembaga gereja? Keluarga kita?
Ataukah justeru perilaku kita jauh dari teladan Sang Gembala kalos itu?
Makasih ya Jasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
BalasHapusJasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah juga Jilbab Pasmina Terbaru