Kata “jabatan”,
banyak orang alergi dengan kata jabatan atau pejabat. Apakah gereja sudah sama
seperti pemerintah yang harus punya pejabat? Hal tersebut sering kali
ditanyakan ketika saya membawakan sesi-sesi tentang jabatan gerejawi. Konotasi
jabatan itu memang sering cenderung negetaif, saya tidak tahu bagaimana
pandangan Saudara tentang jabatan gerejawi, apakah Saudara memandangnya secara
positif? Tetapi sangat mungkin juga kita memandangnya secara negatif. Apa sebenarnya yang
dimaksudkan di sini dengan “pejabat gerejawi”. Mungkin ada di sana-sini persamaan dengan
jabatan public lainnya. Namun, tentu ketika kita bicara tentang pejabat
gerejawi ada hal-hal khusus. Berbeda dari jabatan public lainnya. Yang
dimaksudkan dengan jabatan gerejawi adalah untuk menekankan bahwa ada orang atau
orang-orang yang dipercayai oleh gereja untuk mengatur, mengelolah,
mengarahkan, melayani dan memimpin jemaatnya atau gereja. Gereja Kristen
Indonesia (GKI) mengenal dua macam pejabat gerejawi, yaitu Penatua dan Pendeta.
Penatua dan Pendeta adalah anggota-anggota Majelis Jemaat.
Terkadang istilah
Majelis Jemaat itu menjadi rancuh, seorang anggota Majelis Jemaat ketika suatu saat berada
dipasar Kopro, lalu ada anggota
gereja yang mengenal dia, maka orang itu mengatakan “itu
ada ibu Majelis sedang belanja”. Ketika ada kebaktian komisi dan tidak ada
seorang pun anggota Majelis maka orang mengatakan “Majelisnya tidak ada”. Terkadang kita
rancuh dengan istilah itu, Ibu Titin, Bapak Matius, Bapak Lukas yang hadir
disini, itu adalah seorang Penatua, dia adalah anggota Majelis Jemaat. Jadi
Majelis itu adalah lembaganya, orang-orangnya adalah para Penatua dan Pendeta.
Kerancuan itu juga terlihat ketika orang-orang membedakan antara Pendeta dan Penatua. Pendeta seakan terpisah, berbeda
dari Majelis. Memang benar berbeda dalam fungsi dan tugas,
tetapi pendeta sebenarnya adalah bagian dari Majelis Jemaat, maka pendeta juga adalah
anggota dari Majelis Jemaat.
Sekarang kita
memfokuskan pada bahasan tentang jabatan Penatua, Pdt Em. Andar Ismail menulis
satu artikel yang sangat sederhana dan mudah sekali dicerna, dalam bukunya
“Selamat melayani” tentang jabatan Penatua ini. Pdt Em. Andar Ismail memulai
tulisannya dengan suatu kisah tentang kelas katekisasi, seorang murid katekisan
diuji secara lisan tentang pengetahuannya mengenai jabatan pelayanan yang ada
di gerejanya,
terjadilah tanya-jawab seperti ini.
Penguji bertanya
“coba sebutkan apa tugas seorang Pendeta?” Sang murid mengatakan “tugas seorang
pendeta adalah berkhotbah dan mengunjungi serta mendoakan orang sakit”. Penguji
mengatakan,
“Bagus, nah sekarang sebutkan tugas seorang Diaken?” muridnya menjawab “Mengumpulkan
persembahan dan membantu orang-orang miskin”. Penguji mengatakan “Bagus sekali
jawaban itu, sekarang sebutkan apa tugas Penatua?” Si murid langsung menjawab
pertanyaan itu, “Tugas seorang Penatua adalah duduk di bangku paling depan dalam
setiap kebaktian hari Minggu”.
Cerita itu hanya
sekedar karikatur, namun ada juga kebenaran yang ada didalamnya, yaitu bahwa
ada beberapa orang yang mengira bahwa fungsi seorang Penatua dalam gereja cukup
sekedar berpakaian rapih, yang laki-laki memakai dasi, yang perempuan memakai
rok dan duduk di bangku paling depan yang telah tersedia di dalam setiap kebaktian.
Nampak dari pandangan ini adalah, bila ada Penatua yang berani berpenampilan
santai, maka kita akan berkata “Penatua itu tidak menjalankan fungsi dan
tugasnya”. Kenapa seperti itu? Karena cara pandang kita tugasnya Penatua hanya
seperti itu. Apakah hanya itu tugas Penatua? Duduk di kursi depan yang telah
disediakan, membacakan warta jemaat menjelang kebaktian dimulai, lalu menyerahkan
Alkitab kepada Pendeta, kemudian memimpin pengakuan iman dan doa persembahan.
Apakah Cuma itu tugas Penatua? Kalau hanya itu, buat apa GKI harus repot-repot membahas, menggumuli dan
kemudian menuangkan syarat-sayarat
dan sejumlah ketentuan di dalam tata gerejanya,
bahkan melalui perdebatan-perdebatan yang tidak mudah. Mengapa gereja harus
repot-repot memilih seorang Penatua kalau hanya untuk itu? Pilih saja orang
yang pede, yang berani tampil di depan umum, yang
pandai berbicara.
Sebenarnya semenjak
awal, yaitu gereja abad pertama, jabatan Penatua sudah bermuatan fungsi yang
sangat berat, salah satu sebutannya adalah “presbuteros”.
(Dari situ kita mengenal ada gereja presbiterian). Dari kata ini, yang kata
bendanya “presbutes” yang berarti
“orang yang tua, atau orang yang lebih tua”. Rupanya semenjak awal diharapkan
seorang Penatua adalah sikap seorang sesepuh, sikap yang sudah matang, yaitu
orang yang dituakan atau dipandang tua karena sifat-sifatnya yang bijak. Tetapi
kemudian dari arti harafiah ini banyak orang yang terjebak di dalam definisi
yang salah, yaitu seorang Penatua haruslah seorang yang sudah tua, kalau bisa
seseorang yang sudah berusia limapuluh tahun keatas. Maka kalau ada orang yang
berusia tigapuluh tahunan, banyak orang yang merasa bahwa orang ini tidak
tepat, kurang pantas menjadi Penatua. Sebenarnya
yang lebih dipentingkan dari kata presbutes itu adalah sifat atau sikap bijak,
sehingga ia bisa menjadi panutan, menjadi contoh, menjadi teladan didalam hidup
berjemaat.
Pada jaman Paulus
sendiri pun ternyata orang sudah menekankan pada usia lanjut atau usia tua,
sehingga Timotius menjadi sedikit agak minder ketika ia dipercayakan untuk
memimpin jemaat, (pada saat itu diperkirakan menurut buku-buku tafsir, ia masih
berusia tigapuluh tahunan) Paulus meyakinkan Timotius, dia mengatakan “Janganlah
seorang
pun menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah
teladan bagi orang-orang percaya dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam
kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu
(1Timotius 4:12)”.
Terkadang usia yang
sudah tua pun, dalam sikap imanya, belum tentu dapat memperlihatkan kematangan imannya.
Tetapi di sisi lain kita melihat
ada orang-orang yang secara fisik usianya masih muda namun menunjukan karakter
yang sudah matang, ia menampakan sikap-sikap yang
diharapkan seperti dalam surat Timotius, ia pun bisa menjadi seorang panutan.
Dalam Kisah Rasul
dan beberapa surat-surat Rasuli yang menggambarkan kehidupan gereja abad-abad
pertama, tampak ada tiga tugas utama
dalam diri para Penatua. Yang pertama, Penatua terpanggil
untuk memelihara, menggembalakan anggota-anggota jemaat. Kepada para Penatua di
Efesus Paulus berkata “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah
seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus untuk menjadi penilik
untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah anak-Nya sendiri (Kisah Rasul 20:28)”.
Kata penilik di sini
diterjemahkan dari kata “episkopos”
yang kata kerjanya berarti “memperdulikan”, “mengindahkan”, atau “memelihara”, sama seperti orang yang
memelihara tanaman. Jadi seorang Penatua pertama-tama dipanggil sebagai orang
yang harus memperdulikan, harus mengindahkan, harus memelihara, sama seperti
seseorang yang merawat tanaman. Dia akan menyiapkan ladangnya, dia akan
mencangkul, dia akan memilih benih yang terbaik, dia akan menanam, lalu
menyiram, menjaga dari hama dan lain sebagainya.
Tugas yang kedua, adalah memimpin dan mengatur jemaat. Dalam surat Paulus kepada Titus
(Titus 1:7), digunakan istilah mengatur rumah Allah, kata Yunaninya “oikunomon”
ini berarti “mengelolah” atau “mengusahakan”. Para Penatua berfungsi untuk mengelolah jemaat supaya menjadi hidup
dan dinamis, berkembang, tertib dan teratur, tidak hidup semau-maunya. Karena
Alkitab juga menyadari bahwa setiap gereja, rumah Tuhan, akan dipenuhi oleh
orang-orang dari berbagai kalangan, latar belakang dan lain sebagainya, dan ini
tidak bisa membawa semau-mau nya sendiri. Gereja harus berkembang tetapi juga
harus tertib dan teratur.
Tugas ketiga adalah
menjaga kemurnian ajaran gereja. Dalam Kisah Rasul
20:29-31 Paulus mengingatkan kemungkinan adanya orang-orang di dalam atau pun di luar gereja yang
berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar. Dalam rangka menjaga ajaran
ini nampaknya di gereja mula-mula diadakan pembagian tugas (presbiter),
pembagian tugas Penatua, ada Penatua yang bertugas mengatur, tetapi ada juga
penatua yang bertugas mengajar. Coba perhatikan sebutan mereka yang dengan
berjeri payah berkhotbah dan mengajar (1Timotius 5:17).
Dari jabatan
Penatua yang mengajar ini kemudian berkembang jabatan yang kita sebut kini
sebagai Pendeta. Kalau kita mencari bolak-balik dalam Alkitab, kita tidak akan temui
kata Pendeta di sana, tetapi kemudian direfleksikan dari ayat ini, Penatua yang
bertugas mengajar, berkhotbah itu adalah Pendeta. Kemudian di jaman abad-abad
reformasi, ini menjadi tekanan yang sangat kuat, oleh karena itu toga Pendeta
adalah toga sarjana, ini bukan toga imam (menurut Imamat, toga imam itu akan
sangat berbeda dengan toga Pendeta, namanya baju Efod). Toga ini adalah pakaian untuk mengajar, sehingga dalam
ajaran Calvinis itu sangat kental sekali bahwa orang yang mengajar itu diberi
gelar doktor Teologi.
Fungsi Penatua yang
mengajar, yang kemudian kita terjemahkan saat ini dengan istilah Pendeta.
Ketika tugas utama Penatua itu kemudian oleh gereja GKI dirumuskan dalam tata
gereja (tata laksana bab 20, pasal 68 ayat pertama) tugasnya ada empat, yang
pertama, melaksanakan pengembalaan. Yang kedua, melaksanakan pendidikan dan
pembinaan. Ketiga, memelihara ajaran. Keempat, melaksanakan kegiatan-kegiatan
lain yang membantu, mendukung, memberikan inspirasi dan menyediakan
fasilitas-fasilitas.
Jadi tugas Penatua
bukan hanya duduk di depan saja, dan tugasnya memang tidak mudah alias berat. Beratnya
tanggung jawab seorang Penatua menyebabkan beratnya pula syarat yang harus
dikenakan bagi seorang calon Penatua. Dalam 1Timotius 3 ada daftar yang rinci
tentang perilaku yang dijadikan syarat Penatua, yaitu pertama tak bercacat. Tentu
yang dipakai dalam syarat yang pertama ini bukan cacat fisik, bukan cacat
tubuh. Tak bercacat yang
dimaksudkan adalah bahwa di dalam kehidupannya, dia tidak
menjadi batu sandungan buat orang lain.
Yang kedua, suami
dari satu istri, dapat menahan diri meskipun mungkin ia punya kebenaran. dia
harus bisa melihat konteksnya, dia harus bisa pandai mengutarakan, dia harus
bisa bijaksana. Harus sopan. Harus suka memberi tumpangan. Cakap mengajar
orang. Bukan peminum. Bukan pemarah, melainkan peramah. Pendamai. Bukan hamba
uang. Seorang kepala keluarga yang baik, dan Paulus menjelaskan mengapa ini
penting, karena jelas rumah tangga juga merupakan faktor yang utama dalam
kesaksian hidup beriman, bagaimana mungkin ia bisa mengurus rumah Tuhan dengan
baik kalau rumah nya sendiri tidak diurusnya dengan sebaik-baiknya. Lalu
kemudian Paulus mengatakan, jangan ia seorang yang baru bertobat. Mengapa? Supaya jangan menjadi sombong rohani.
Dia harus mempunyai
nama baik di dalam maupun di luar jemaatnya. Ayat-ayat ini yang kemudian diadaptasi oleh gereja
kita, yang dituangkan pada pasal 68 ayat 2. syaratnya yang pertama, Menghayati
pelayanan Penatua sebagai panggilan spiritualitas. Jadi Penatua bukan menjadi
suatu prestasi diri, apalagi untuk menyombongkan diri, tetapi harus dipahami
sebagai suatu panggilan spiritual. Kedua, sekurang-kurangnya sudah dua tahun
menjadi anggota sidi. Ketiga, sekurang-kurangnya sudah dua tahun menjadi
anggota jemaat terkait dan telah aktif melayani di jemaat itu. Keempat,
memegang ajaran dan menunjukan kelakuan yang sesuai dengan firman Allah dan
ajaran gereja GKI. Kelima, memahami, menyetujui dan menaati tata gereja GKI.
Keenam, tidak mempunyai hubungan suami-istri, atau menantu-mertua,
orangtua-anak atau saudara sekandung dengan pejabat gereja dari jemaat yang
sama. Seterusnya, bersedia dan mampu memegang rahasia jabatan. Mau dan mampu
bekerjasama dengan orang lain. suami atau istrinya tidak menjadi batu
sandungan.
Daftar tadi dapat
membuat kita kecil hati, siapa orang nya yang mau memenuhi semua persyaratan
itu? Kalau itu syaratnya, ada tidak dari kita yang mampu melakukan tugas itu?
Dalam prakteknya mungkin tidak ada seorangpun yang mampu memenuhi semua
persyaratan itu. Sayapun harus jujur mengatakan kalau diukur dengan semua itu
maka saya tidak layak. Namun itu bukan berarti semua persyaratan itu boleh
diabaikan, persyaratan itu dicantumkan di situ untuk mengingatkan bahwa jabatan Penatua
bukan jabatan sembarangan, bukan jabatan main-main, apalagi hanya sekedar
jabatan mengisi waktu luang. Untuk melaksanakan jabatan sebagai seorang Penatua
dituntut perilaku yang bisa dijadikan teladan, teladan panutan bagi orang lain.
syarat-syarat yang diajukan sebagai pejabat gerejawi bukan dimaksudkan agar kita
menyerah, dan kemudian kita berkata “saya tidak layak, saya tidak pantas”.
Jabatan gerejawi
adalah sebuah anugerah Tuhan kepada gerejaNya yang diberikan atas dasar
kemurahan hatiNya. Memang kita semua tidak layak, tetapi Tuhan mempercayakan
itu, oleh karena itu sebagai orang yang dipercayai kita harus berusaha
sebaik-baiknya untuk memenuhi semua tugas panggilan itu. Bagi diri orang yang
terpanggil, kita harus memenuhi, menyiapkan hati dan diri kita untuk memenuhi
panggilan itu. Dan bagi kita semua, kita pun kalau diukur dengan ukuran seperti
itu, mungkin kita tidak layak, dan sangat mungkin memang kita tidak layak. Oleh
karena itu biarlah kita juga bisa mendukung saudara-saudara kita yang menjawab
panggilan itu, dukungan kita bisa kita nyatakan dalam bentuk doa. Kita tahu ini
tugas yang berat, tidak mudah, kita harus menopang mereka yang bersedia
melayani itu dengan doa-doa kita.
Berapa banyak di antara kita yang
menyediakan waktu kita untuk mendoakan para Penatua, Majelis Jemaat, agar
mereka cakap dan mampu melakukan tugas-tugas itu? Doa orang benar akan besar
kuasanya. Yang kedua, dukungan itu bisa kita berikan dalam bentuk kesempatan,
kita memberikan kesempatan kepada mereka yang terpanggil itu untuk berani
tampil, untuk berani mencoba kepemimpinan, berani mencoba menerapkan aspek-aspek
pengembalaan itu. Ada banyak orang yang tidak mau lagi menjadi Penatua karena
trauma, “Ketika saya diminta untuk berdiri di mimbar lalu memimpin pengakuan
iman, saya grogi dan hilang semua, lalu yang terjadi adalah cercaan- celaan, “Dia
tidak pantas berdiri di belakang mimbar Tuhan”, sesudah itu dia tidak pernah lagi mau
menjadi Penatua”. Di sinilah aspek dukungan itu tidak ada, kita harusnya memberikan
kesempatan seluas-luasnya.
Saya pun tidak akan
bisa dan berani berdiri dibelakang
mimbar, berkhotbah dan mengajar banyak orang tanpa melalui
proses jatuh-bangun, saya ingat sekali waktu pertama kali harus mengajar
anak-anak sekolah minggu, sudah mempersiapkan dengan sedemikian rupa, bahkan
sampai tidak bisa tidur untuk mempersiapkan bahan materi cerita, dan ketika
berdiri didepan anak-anak, saya grogi, saya tidak bisa menguasai, saya tidak
bisa menyampaikan apa yang harusnya saya sampaikan, tetapi teman-teman menopang
dan mendukung “kamu bisa melakukanya”, bekal itu menjadi semangat yang baru.
Demikian pula ketika saya melalui proses kependetaan, mulai masa orientasi,
masa perkenalan, sungguh sangat tidak mudah, apa yang saya siapkan sebagai
materi khotbah sering kali saya mengalami kesulitan untuk dapat mengkomunikasikannya,
namun saya beruntung ada banyak jemaat, ada gereja yang bersedia untuk dapat
memberi kesempatan bagi saya. Demikian pula dengan para Penatua, mungkin yang
baru pertama kali tahu tugas dan tanggung jawabnya, dia akan minder, dia akan
grogi, tapi seberapa jauh kita bisa memberikan kesempatan peluang yang kondisif?.
Dukungan
yang ketiga, jelas kita pun harus mengkritisi, memberikan arahan dan
masukan kalau ternyata apa yang dilakukannya keliru dan salah. berikanlah
pengarahan, masukan-masukan yang berarti, yang membangun tapi tidak menjatuhkan
dan mempermalukan. Di sinilah kita berada dalam komunitas jemaat yang
saling membangun, saling mendukung. Beratnya tanggung jawab pelayanan gerejawi
tidak boleh juga menjadikan kita berkata “saya tidak mampu”, mungkin saja tidak
semua tugas itu bisa dilaksanakan, melainkan hanya sebagian kecil saja,
pelayanan kepada Tuhan tidak diukur dengan banyaknya apa yang sudah kita
perbuat, apa yang sudah kita lakukan, melainkan dari kesungguhan, dari
kesetiaan kita, dari komitmen kita melakukan tugas-tugas pelayanan itu. Johanes
Calvin, tokoh reformasi kita pernah berkata “yang penting bukanlah apa yang
kita kerjakan dengan kekuatan kita, melainkan apa yang dikerjakan Allah melalui
kita”. Jabatan Penatua atau pelayanan apa pun
adalah alat ditangan Tuhan, sebagai alat kita semua terpanggil untuk dapat
mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Komitmen itulah yang sangat diperlukan
sebagai jawaban kita kepada Tuhan dalam panggilan pelayananNya. Tuhan
memberkati. Amin
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterimakasih Pak Nanang..
BalasHapustulisannya Gamblang.
semoga Tuhan bekerja melalui kita
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusselamat siang pak...mohon ijin mau memakai dan merangkumnya dalam poin2 untuk pembinaan calon penatua.
BalasHapusPak Nanang, mohon ijin untuk memakai tulisan diatas sebagai referensi pembinaan calon penatua. Terima kasih.
BalasHapusMau nanya pak, apakah gereje menyediakan jubah untuk penatua atau penatua yang beli pribadi???
BalasHapusHarga baju buat penatua ... dan pendeta !
BalasHapusTulisan ini mengalir seperti air yg jernih ke dalam susmsum hati... Be bless... Ijin berbagi ๐๐
BalasHapus