Kamis, 27 Juli 2023

KERAJAAN ALLAH DALAM HAL KECIL

Saya yakin Anda pernah mendengar ungkapan "Small is beautiful", yang artinya kurang lebih, "kecil itu cantik atau indah", imut-imut menggemaskan! Benarkah? Bukankah selama ini orang ingin memiliki segala sesuatu yang besar? Manusia berlomba-lomba ingin menjadi besar, mendirikan perusahan, partai, negara, menancapkan pengaruhnya agar nama besar tetap tenar! Tanpa kecuali, gereja pun ingin bertambah besar atau kalau perlu paling besar. Mega church! Sebaliknya, kalau kecil, sedikit umatnya menjadi minder dan pesimis tetap bertahan dan tidak leluasa melakukan tugas panggilannya. Barang kali itulah yang ada di dalam benak sebagian besar orang-orang yang mulai mengikut Yesus dan menerima ajaran-Nya. Mereka ada orang-orang kecil dan kelompok kecil. Kini, mereka berhadapan dengan kuasa besar yang siap melumat komunitas yang baru tumbuh itu!

Siapa sangka istilah small is beautiful pada awalnya diperkenalkan oleh ekonom besar, Ernst Friedrich Schumacher ketika ia meangajukan tesisnya yang disebut theory of economies of scale. Ia mengatakan bahwa sebuah organisasi harus dibuat tetap kecil agar berhasil mencapai target. Tampak pengaruh kuat Leopold Kohr dalam karya Schumacher "Small is Beautiful: A Study of Economic as if People Mattered" (1973) yang dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada kesengsaraan di bumi yang tidak dapat ditangani dengan sukses dalam sekala kecil. Sebaliknya, tidak ada penderitaan di bumi yang dapat ditangani sama sekali kecuali dalam skala kecil. Dalam keluasannya, semuanya runtuh, bahkan yang baik sekalipun... karena satu-satunya masalah di dunia bukanlah kejahatan, tetapi kebesaran. 

Ya, bukankah Kita Suci pun banyak mengingatkan kita bahwa siapa pun yang menginginkan menjadi besar bersiaplah untuk hidup penuh konfliks dan mengalami keruntuhan, "Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan!" Schumacher dengan konsisten mengkritik perusahan-perusahan yang terus berlomba menjadi besar dan terbesar. Fenomena ini ia sebut "gigantisme", yang akan menghasilkan sistem birokrasi yang melemahkan, membuat organ-organ di dalamnya menjadi anonimitas dan tentu saja hubungan personal, mengenal individu dan mengerti memahami orang lain menjadi minim. Terlepas dari kritiknya tentang kecenderungan perusahaan menjadi besar, Schumacher tidak naif. Bahwa perusahaan yang dikelola dengan baik niscaya akan tumbuh menjadi besar, namun menurutnya hal itu bisa direstrukturisasi sebagai perusahaan berskala kecil, perusahaan yang bisa bertatap muka (face to face enterprise).

Saya membayangkan apabila kita menjadi bagian dari perusahaan raksasa multi kontinental, satu dengan lain hanya terhubung melalui jobdisc dan menggunakan perangkat teknologi, apa yang terjadi? Di manakah sisi kemanusiaan mendapat tempat? Di manakah relasi dan rasa dihargai? Tidak ada! Demikian pula dengan perkembangan Mega Church di mana gereja-gereja berlomba menjadi besar dengan jumlah pengikutnya yang fantastis, yang satu dengan lain anggotanya terhubung dengan perangkat moderen. Di manakah relasi dan rasa yang seutuhnya itu?

Yesus mengajar dengan banyak memakai perumpamaan, tujuannya mengajak para pendengar berpikir dan tersentuh dalam konteks mereka masing-masing. Kerajaan Allah adalah materi ajar yang banyak disampaikan melalui perumpamaan. Dua perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi bercerita tentan makna yang sama, yakni bahwa Kerajaan Allah itu tidak serta-merta hadir menjadi besar. Sebaliknya, seperti biji sesawi yang pada zaman itu dikenal sebagai benih tanaman yang paling kecil, jika sudah tumbuh dengan baik akan menjadi tanaman besar yang dapat dipakai menjadi tempat berlindung burung-burung. Hal yang sama dengan ragi. Ragi yang kecil dan nyaris tak terlihat akan mengkhamirkan seluruh adonan sehingga menjadikan roti empuk dan enak dimakan. Jelas, yang ditekankan Yesus tentu saja bukan melulu pada target bahwa Kerajaan Allah itu menjadi besar. Bukan! Ini bicara tentang optimis ketika para pengikut-Nya merasa diri kecil berhadapan dengan mayoritas yang tidak selalu ramah. Perumpamaan ini berbicara menghargai proses, upaya manusia dalam menghadirkan karya Allah di bumi ini.

Dalam sunyi, benih itu tumbuh menjadi besar dan dalam diam, ragi itu memengaruhi seluruh adonan. Tidak usah gembar-gembor, melakukan perkara-perkara spektakuler. Cukup lakukan perkara-perkara kecil dengan cinta yang besar. Kerjakan dengan tulus setiap ajaran dan teladan yang diberikan Yesus. Peragakan tentang apa itu cinta, pengurbanan, pengampunan, kepedulian dan keberpihakan kepada yang tersisih dan terzolimi. Rasakan bahwa engkau benar-benar menyapa dan hadir bagi mereka yang sedang dalam kesepian, tidak punya teman bahkan tertolak dalam komunitasnya.

Apa yang Anda bayangkan ketika Anda bekerja dalam sebuah perusahaan besar, suatu ketika Anda diajak bicara dari hati ke hati oleh atasan atau boss Anda? Saya membayangkan, Anda dihargai sebagai manusia! Anda dibutuhkan bukan hanya tenaga dan pikirannya saja, melainkan kehadiran Anda menjadi berarti dalam perusahaan itu. Benar, gereja dan komintas orang percaya bukanlah sebuah perusahaan. Namun, alangkah indahnya apabila setiap orang dalam komunitas orang percaya itu dapat saling menghargai dan kehadirannya dirayakan! Nah, menurut Schumacher interaksi yang seperti ini hanya bisa terjadi dalam skala kecil. Pantaslah sejak zaman Musa, Allah melalui Yitro sang mertua, meminta Musa untuk mendistribusikan kepemimpinan kepada para tua-tua. Lalu, Yesus pun meminta para murid untuk membagi kelompok demi kelompok ketika Ia membagikan lima roti dan dua ikan itu. Semua mendapat bagian!

Tak usah resah dan risau apabila saat ini gereja kita bukan gereja yang besar, tidak usah khawatir apabila kita tinggal dan berada di tengah-tengah mayoritas yang bisa saja tidak menerima kita. Tuhan telah memberikan benih yang kecil, benih itu baik dan pasti dapat tumbuh. Tugas kita adalah terus berproses; lakukanlah hal-hal sederhana dengan hati tulus. Muliakanlah Tuhan di mana kita hadir. Cintai dan hargai semua orang yang kita temui maka benih itu akan terus tumbuh bahkan kelak Anda tidak menyadarinya bahwa benih itu telah menjadi berkat, naungan bagi orang-orang yang mungkin saja sedari awal tidak menyukai Anda.

Sebaliknya, jangan terlena ketika Anda berada dalam komunitas besar dengan pelbagai fasilitas lengkap. Ingatlah bahwa manusia itu butuh relasi, diakui kehadirannya, dicintai dan dimengerti. Tidak usah prontal merombak total tatanan gereja dan komunitas yang sudah ada. Cukup, mulailah dari diri sendiri menyebarkan virus-virus positif. Dan lihatlah, bahkan Anda kelak tidak akan menyadari bahwa buah pelayanan itu telah memberkati banyak orang. Itulah ragi positif! 


Jakarta, 27 Juli 2023, Minggu Biasa TahunA

Rabu, 19 Juli 2023

GANDUM YANG TUMBUH DI TENGAH ILALANG

"Rumput ini selalu tumbuh, padahal kita tidak pernah menaburkan benih rumput!", Kata Mang Manta sambil terus mencabuti rumput liar yang tumbuh di setiap petak sawahnya, "Kita menanam padi, rumput-rumput liar ini ikut tumbuh. Padahal, kalau kita menanam rumput, tidak pernah akan tumbuh padi," sambungnya sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya.

Benar, jika kita menanam padi, selalu saja ada rerumputan yang ikut tumbuh. Jika dibiarkan, rumput-rumput itu akan terus tumbuh liar dan akibatnya padi yang ditanam akan terhimpit lalu lambat laun kurus dan tidak menghasilkan bulir seperti yang diharapkan. Namun sebaliknya, tidak pernah ada orang yang menanam rumput akan tumbuh padi yang menghimpit rumput-rumput itu. Barang kali karena pengalaman para petani inilah menjadi semacam siloka yang mengandung makna bahwa ketika kita melakukan kebajikan, selalu saja ada tantangan dan hambatan. Berbeda ketika kita melakukan tindakan yang buruk, seolah jalan itu begitu lebar!

Jika di bumi pertiwi yang menjadi makanan pokok adalah beras yang berasal dari tumbuhan padi, maka di kawasan Galilea, Nazaret, Palestina bahan makanan pokok berasal dari tanaman gandum. Bisa jadi masalah yang dihadapi para petani gandum di sana mirip-mirip petani di negeri kita. Ilalang, tumbuhan gulma itu menjadi penghambat utama gandum untuk tumbuh dan menghasilkan buah optimal.

Apa yang diungkap Yesus tentang ilalang yang tumbuh di tengah-tengah ladang gandum tidak biasa. Mengapa? Ya, biasanya ilalang atau rerumputan liar itu tumbuh dengan sendirinya. Dalam cerita perumpamaan Yesus ini, ilalang itu tidak tumbuh sendiri. Ada musuh yang menaburkan benih gulma itu. Iseng amat!

Bisa jadi memang sengaja Yesus menyebut tindakan orang iseng itu. Hal ini dipakai oleh penulis Injil Matius bahwa dalam komunitas mereka selalu diperhadapkan dengan tantangan pekerjaan si jahat. Iblis (Matius 13:39)! Pekerjaan si jahat ini sangat rapi. Ia menaburkan benih secara diam-diam; pada waktu malam hari. Jenis tanaman yang ditaburkan itu memiliki kemiripan dengan tanaman gandum. Nyaris sama!

Bukankah demikian cara-cara si jahat menanamkan pengaruhnya di tengah-tengah komunitas umat Tuhan? Si jahat itu menanamkan pengaruhnya dalam sunyi, diam-diam. Ia bisa menanamkan benih kejahatan itu di dalam hati manusia. Apa yang ditanam itu tampaknya sama. Ya, seperti batang, dan daun ilalang yang nyaris sama dengan daun gandum. Si jahat bisa tampak berbuat baik, ia bisa ikut beribadah, dan bisa juga perkataannya selalu mengutip firman Tuhan. Nyaris sama seperti orang-orang yang beribadah kepada Tuhan!

Nyaris sama, maka tidaklah mengherankan kalau para pekerja kebun gandum itu menyadarinya setelah gandum dan ilalang itu sama-sama tumbuh besar. Yang membedakan: gandum mulai mengeluarkan bulir bakal buah, sedangkan ilalang tidak (Matius 13;26). Melihat fenoma yang terjadi, segera para pekerja itu melaporkan kepada tuan mereka dan bermaksud untuk mencabuti ilalang jahanam itu. Tuannya melarang, logis! Mengapa? Terang saja ilalang yang sudah tumbuh besar punya akar yang panjang. Akar-akar ilalang dan gandum saling bekelit-kelindan. Satu dicabut maka yang lain akan segera terangkat. Sama-sama mati!

Lalu apa yang mesti dilakukan? Sang tuan menyuruh para hambanya untuk bersabar menantikan bulir gandum itu matang untuk dituai. Barulah pada saat itu akan dipilah mana gandum dan mana ilalang. Gandum akan masuk lumbung, sedangkan ilalang dibakar sampai habis. Selama masa panen, akhir zaman itu belum tiba, Yesus menghendaki agar orang-orang yang melakukan kehendak Allah tidak menjadi jahat lalu membasmi mereka yang menolak melakukan firman-Nya. Sabar dan terus bertumbuh menghasilkan buah berdampingan dengan mereka yang menghambat atau merintangi untuk setia kepada Allah.

Yesus meminta kesabaran kepada para murid-Nya sampai pada masa menuai. Sebelum hari itu tiba, selalu ada kesempatan terhadap orang berdosa untuk bertobat. Kesabaran Allah itu hendaknya tercermin juga dalam sikap hidup orang-orang yang menyembahnya. Tidak gampang menghakimi dan menyingkirkan ilalang hasil perbuatan si jahat itu.

Gandum yang tumbuh di tengah ilalang jelas tidak leluasa tumbuh. Mereka harus berjuang berebut nutrisi, sinar matahari dan oksigen. Dalam batas-batas tertentu biasanya semua jenis gulma termasuk ilalang akan tumbuh lebih cepat, menjadi dominan dan menguasai tanaman produktif. Mengapa? Secara alamiah mereka tumbuh liar dan memang tidak dibebani untuk menghasilkan buah. Inilah juga gambaran kehidupan orang percaya yang tidak mudah. Seperti apa yang dijelaskan oleh rasul Paulus dalam Roma 8 (bacaan kedua). Tantangan dan penderitaan itu begitu akrab dengan kehidupan orang percaya. Mengenai ini, Paulus mengingatkan agar orang percaya tetap setia.

Logiskah kita tetap setia dalam kesulitan dan penderitaan? Masuk akalkah kalau orang-orang di sekeliling kita melakukan tindakan-tindakan kejahatan dan kita berbeda dari mereka? Bukankah lebih nyaman kita melebur dan melakukannya secara berjamaah? Ya, tampaknya itulah hidup yang lebih mudah. Dengan begitu kita tidak ditolak, tidak dimusuhi dan tentu saja jauh dari aniaya! Sayangnya tidak demikian apa yang dinginkan Tuhan.

Apa yang disampaikan oleh Paulus sepintas kurang adaptatif, tetapi ini logis!  adalah "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyakatan kepada kita." (Roma 8:18).

Kata Yunani "Yakin" adalah logizomai (bandingkan dengan kata "logis" = masuk akal). Paulus menjelaskan dengan logis bagaimana membandingkan antara penderitaan dengan kemuliaan kelak yang bakal didapat ketika para pengikut Tuhan itu setia dengan imannya. Di tempat lain, Paulus mengungkapkan hal yang sama "penderitaan ringan yang sekarang ini mengerjakan bagi kami kemuliaan yang jauh lebih besar" (2 Korintus 4;17). Ini sama seperti penderitaan yang dialami oleh seorang atlet ketika ia harus mempersiapkan diri menghadapi pertandingan. Atau seorang tentara yang terus berlatih dengan keletihan dan penderitaannya. Atau seorang petani yang mengolah tanah, menabur benih, menjaga dan merawat tanamannya. Semua mengalami penderitaan. Namun, lihatlah apa yang terjadi ketika atlet itu menjadi juara, tentara itu menang dalam pertempuran dan petani itu memetik hasil panennya. Segala jerih lelah dan penderitaan itu sekejap saja hilang, diganti sukacita yang sangat besar! Bagi Paulus, pengharapan anak-anak Tuhan sangat logis!

Yesus melanjutkan ceritanya, ilalang itu akan dikumpulkan dan diikat lalu dibakar. Ini tidak lazim, umumnya gandum itu dikumpulkan lebih dahulu dan sampah termasuk ilalang akan dibakar terakhir. Maksud, penghukuman itu bakal terjadi. Melalui cerita perumpamaan itu seolah Yesus memperlihatkan bahwa Ia tidak membiarkan pembuat kejahatan. Hukuman itu tetap ada! Jadi lihatlah, bahwa apa yang tampaknya menyenangkan - padahal menyesatkan -  pada akhirnya menerima penghukuman yang setimpal. Tetapi yang tetap setia menghasilkan buah, mereka akan masuk dalam lumbung-Nya, dalam Kerajaan-Nya yang kekal! Inilah yang oleh Paulus disebut sebagai "kemuliaan yang jauh lebih besar". Sangat logis dan relevan untuk kita tetap setia, tumbuh dan berbuah walaupun di tengah himpitan, tekanan dan banyak penderitaan!

Jakarta, 1 Muharam 1445 Minggu Biasa Tahun A

 

 

  

Selasa, 18 Juli 2023

SI PALING BERIMAN

Bacaan : Efesus 6:10-20

Apa yang dimaksud dengan iman? Banyak orang mengutip Ibrani 1:11, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan. Iman dan harapan tidak dapat dipisahkan. Hal yang kita harapkan adalah juga apa yang kita imani. Iman adalah keyakinan dan juga harapan bahwa Allah akan menggenapi semua yang telah dijanjikannya. Memang, belum kita lihat tetapi itulah dasar kita berharap. Iman!

Iman yang dalam bahasa Ibrani merupakan rumpun kata yang sama dengan "aman", "amin" sederhananya: iman adalah bersandarkan kepada apa yang tidak tergoyahkan, kita mengaminkannya dan hidup kita jadi aman! Lalu apa dan siapa yang tidak tergoyahkan? Banyak orang mengatakan bahwa yang tidak tergoyahkan adalah Allah sendiri. Namun, nyatanya banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada jabatan, takhta, uang, kerabat, dan seterusnya yang dipandangnya sebagai kekuatan yang bisa diandalkan untuk mengatasi solusi dan memberi kebahagiaan.

Pandangan seperti ini, akan mencibir orang yang betul-betul taat dan setia pada imannya. Menganggap rugi ketika firman Allah yang menjadi dasar bagi perilakunya. Hidup beriman hanya akan merepotkan diri sendiri, tidak lagi bisa kompromi, harus toleran dan mengerti perasaan orang lain, tidak boleh egois, harus berkorban ini dan itu, melayani dan merendahkan diri. Ah, rasanya gak zaman lagi!

Benar, hidup beriman selalu diperhadapkan dengan tantangan, khususnya penderitaan dan hedonisme. Oleh karena itu kehidupan beriman dalam konteks dunia yang dihadapi sering kali digambarkan dengan medan peperang. Menghadapi peperangan tentu saja harus mempunyai kekuatan. Paulus mengatakan, "Hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan." (Efesus 6:10). Ini menegaskan bahwa dunia atau lawan yang dihadapi bukan lawan yang enteng. Ini serius! Hendaklah kamu kuat: kuat dalam motivasi, kuat  dalam melayani, kuat dalam menanggung penderitaan, dalam pertempuran. Kekuatan ini semata-mata bukan datang dari diri sendiri. Kekuatan itu berasal dari Tuhan!

Kuat di dalam Tuhan berarti kuat dalam perkarya dan untuk kepentingan-Nya. Kita tidak memiliki cukup kekuatan dari diri kita sendiri. Keberanian alamiah kita benar-benar sangatlah terbatas, demikian juga kekuatan kita. Di sinilah setiap orang percaya telah dilengkapi Allah dengan persenjataan mumpuni. Bukan rudal balistik atau amunisi uranium, karena musuh kita sejatinya bukan melawan darah dan daging. Melainkan roh-roh jahat di udara: ponerias en tois epouraniois. Ini bukan roh gentayangan atau hantu. Ini adalah kekuatan yang tidak kasat mata seperti udara yang bisa merasuki tubuh. Kekuatan itu dapat memengaruhi kita untuk melawan kehendak Allah. Kekuatan itu adalah kekuatan jahat yang mendorong kita melakukan tindakan-tindakan jahat. Ini serius, maka Allah memberikan kita senjata untuk menghadapinya. Senjata itu:

Ikat pinggang kebenaran: Hidup harus senantiasa benar, benar bukan karena usaha dan kekuatan sendiri, melainkan karena Allah membenarkan kita di dalam Kristus, karena itu kekuatan hidup benar senantiasa berpadanan dengan apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus sendiri.

Baju zirah keadilan: Baju zirah adalah semacam rompi anti peluru, yang melindungi tubuh dari serangan senjata musuh. Berbaju zirah keadilan berarti seluruh aspek perilaku kita senantiasa berlaku dan memperjuangkan keadilan.

Kasut pemberitaan Injil damai sejahtera, kasut artinya alas kaki yang dipergunakan oleh kaki untuk berjalan. Jadi, ke mana pun engkau pergi harus membawa dan memberitakan Injil damai sejahtera. Injil adalah kabar baik, dan kabar baik yang efektif itu tidak hanya retorika yang menawan, melainkan mewujudkannya seperti apa yang dilakukan Yesus: Injil itu kerugma, didakhe dan therapeia (Pewartaan, pengajaran dan pemulihan).

Perisai iman, perisai adalah kelengkapan senjata untuk mematahkan serangan tombak, panah atau pedang. Orang percaya akan banyak mengalami serangan si jahat berupa penganiayaan, fitmah, dan pembunuhan karakter. Iman yang terpaut pada Kristus akan mematahkan semua serangan ini. 

Ketopong keselamatan, ketopong dalam kelengkapan perang tradisional berfungsi melindungi kepala. Kepala adalah bagian tubuh yang mengendalikan keseluruhan gerak tubuh. Vital! Keyakinan keselamatan dalam Kristus akan melindungi pola pikir kita yang menggerakkan seluruh anggota tubuh lainnya.

Pedang Roh, pedang adalah senjata untuk tidak hanya menangkis serangan tetapi juga untuk menyerang. Kalau sebelumnya Paulus berbicara lebih banyak tentang perlengkapan perang untuk bertahan dan melindungi diri. Kini, ia bicara tentang pedang untuk menyerang. Pedang itu adalah firman Allah, firman itu bagai pedang bermata dua yang dapat memisahkan . Ibrani 4:12, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sum-sum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita."

Berdoalah dan berjaga-jagalah. Setiap prajurit Allah, meskipun sudah diperlengkapi dengan senjata rohani andal, tidak boleh lengah. Ia harus senantiasa berjaga-jaga. Doa merupakan sarana kita terhubung dengan Allah Sang Sumber pemberi kehidupan yang sejati itu. 

Allah telah begitu rupa memfasilitasi kita dengan pelbagai macam perangkat iman itu. Apakah kita menyadarinya? Dan, setelah menyadari, apakah kita menggunakan perangkat-perangkat senjata rohani itu dengan tepat guna? Dalam pertempuran, perangkat atau senjata berperan besar untuk memenangkan peperangan. Namun, di atas itu ada yang lebih penting lagi, yakni : keyakinan atau mental seorang prajurit. Sebab, sejata sehebat apa pun menjadi tidak berguna apabila mentalitas kita tidak mendukung. Kita gentar dan takut menghadapi lawan. Ingatlah, yang pertama-tama harus kita bereskan adalah keyakinan, mental dan iman kita terhadap Allah dan karya-Nya.

Hidup beriman adalah hidup yang senantiasa bersandarkan kepada Allah. Hidup yang yakin bahwa segala rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera. Hidup beriman bukanlah hidup yang pasrah pasif. Melainkan, apa yang dipercaya dan diyakininya itu diperjuangkan dalam hidup sehari-hari. Sehingga, walaupun benar iman itu tidak kelihatan namun, ia akan tampak dalam setiap tindakan atau perbuatan! 


Khotbah Komisi Pemuda GKI Residen Sudirman - Surabaya, 23 Juli 2023

SPIRIT OF HOPE

"Nana korobi ya oki (七転八起).", artinya: Jatuh tujugh kali, bangkit delapan kali! Ini adalah pepatah Jepang yang telah banyak mengispirasi orang untuk tidak terpuruk pada kegaglan, kepahitan, kehidupan yang penuh dengan onak duri dan penderitaan. "nana korobi ya oki" mengisyaratkan bahwa betapa pun hidup penuh dengan kegagalan dan penderitaan, selama kita mau bangkit niscaya masih ada pengharapan.

Lalu, apa yang dimaksud dengan pengharapan itu?

Arti "pengharapan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar "harap" yang berarti mohon, minta, keinginan supaya segala sesuatu terjadi dan sesuatu itu biasanya yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Dalam bahasa Yunani kata "pengharapan" ditulis dengan elip yang mencakup arti: menantikan segala sesuatu yang baik. Sedangkan di dalam bahasa Ibrani kata "pengharapan" ditulis dengan miqveh yang berarti "sangat menantikan dan mengumpulkan". Bukan hanya menantikan segala yang baik itu tetapi ada upaya segala yang baik itu terjadi. Jadi, orang yang berpengharapan ada mereka yang tidak hanya menantikan apa yang terbaik dari Tuhan, tetapi juga melakukan apa yang menjadi bagiannya, mengerjakan apa yang diharapkannya itu.

Salah satu jenis pengharapan itu adalah ekspektasi  bahwa hari esok akan lebih baik daripada hari ini. Ini adalah jenis harapan yang membuat kita mendambakan cuaca yang cerah atau jalan yang lebih lancar ke depan. Tentu saja hal ini tidak mungkin terjadi kalau kita hanya duduk diam menunggu segala sesuatu berjalan dengan sendirinya.

Pengharapan adalah kata yang akan terjadi di depan. Hari ini belum ada, belum terjadi. Itu menandakan bahwa hari ini bukan keadaan ideal. Hari ini bisa jadi kehidupan kita penuh pergumulan, beban berat dan penderitaan. Lalu, apa yang Anda pikirkan ketika berada dalam kondisi tidak ideal ini?

Secara psikologis ada dua kondisi manusia yang paling tidak ideal: kehilangan dan ditolak. Apa yang Anda pikirkan dan lakukan ketika kehilangan orang yang Anda cintai? Ketika Anda kehilangan pasanganmu, anakmu, orangtuamu? Pada saat itu apakah Anda melihat ada sebuah pengharapan? Ada seorang ibu muda dengan kedua anak yang masih kecil. Satu duduk di kelas 3 SD dan adiknya baru saja masuk TK. Sang suami mengalami kecelakaan. Meninggal! Dunia menjadi gelap, tidak ada sedikit pun cahaya yang dapat memperlihatkan kepadanya masa depan yang harus di jalani. bersama kedua anaknya. Ia tidak tahu bagaimana membesarkan dan menyekolahkan anak-anak. Selama ini yang ia tahu hanya terima uang dari suami dan mengaturnya untuk keperluan keluarga. Betapa menyakitkan kehilangan itu!

Pendeta yang mendampingi sejak hari kematian si ibu muda itu menyimak dan berujar, "Ibu, tidak perlu melihat jauh ke depan. Lihatlah sebuah mobil yang berjalan pada malam hari. Lampu mobil itu menerangi hanya beberapa meter saja ke depan. Namun, sudah cukup menuntun jalannya mobil itu hingga dapat menghindari jalan berlubang atau pembatas jalan. Lampu itu jugalah yang menuntun untuk sang pengemudi melihat tanda dan rambu lalu lintas. Lampu mobil itu tidak perlu menyorot sampai tujuan yang hendak dicapai oleh mobil itu. Demikian juga dengan hidup ini, jalani saja dari hari ke hari bersama dengan Tuhan, Sang Terang yang sesungguhnya itu."

Hal yang sama menyakitkan adalah penolakan. Tidak ada seorang pun yang merasa happy ketika ditolak. Tuhan Yesus telah mengingatkan, seperti diri-Nya, maka para pengikut-Nya pun akan mengalami penolakan, dimusuhi, dianiaya dan mungkin juga dibunuh. Mengenai hal ini, Yesus mengingatkan untuk kita tetap setia. Paulus malah mengingatkan bahwa dalam kondisi seperti itu kita harus tetap mempunyai pengharapan.

Lalu, apa dasar pengharapan itu? Bukankah setiap orang justru berlomba untuk mendapatkan kebahagiaan di bumi ini? Lalu, untuk apa menjadi orang Kristen kalau hidup banyak penolakan dan penderitaan. Tidak dipungkiri dalam ajaran dan aliran Kristen tertentu penderitaan itu harus ditolak. Bukankah Yesus sudah menderita, buat apalagi orang Kristen menderita, seharusnya kita sekarang menerima berkat-berkat-Nya!

Ini realitas. Setiap orang apa pun keyakinan, agama dan alirannya tidak ada yang steril dari penderitaan. Tidak ada yang bebas dari kehilangan dan penolakan. Di atas realita inilah firman Tuhan mendasari kita untuk bersikap. Dasar pengharapan kita adalah "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyakatan kepada kita." (Roma 8:18).

Kata Yunani mengenai "Yakin" adalah logizomai (bandingkan dengan kata "logis" = masuk akal). Paulus menjelaskan dengan logis bagaimana membandingkan antara penderitaan dengan kemuliaan kelak yang bakal didapat ketika para pengikut Tuhan itu setia dengan imannya. Di tempat lain, Paulus mengungkapkan hal yang sama "penderitaan ringan yang sekarang ini mengerjakan bagi kami kemuliaan yang jauh lebih besar" (2 Korintus 4;17). Ini sama seperti penderitaan yang dialami oleh seorang atlet ketika ia harus mempersiapkan diri menghadapi pertandingan. Atau seorang tentara yang terus berlatih dengan keletihan dan penderitaannya. Atau seorang petani yang mengolah tanah, menabur benih, menjaga dan merawat tanamannya. Semua mengalami penderitaan. Namun, lihatlah apa yang terjadi ketika atlet itu menjadi juara, tentara itu menang dalam pertempuran dan petani itu memetik hasil panennya. Segala jerih lelah dan penderitaan itu sekejap saja hilang, di ganti sukacita yang sangat besar! Bagi Paulus, pengharapan anak-anak Tuhan sangat logis!

Benar bahwa pada saat menjalani penderitaan itu tidak menyenangkan. Namun, kita dapat menjalaninya dalam iman percaya kepada Yesus Kristus yang telah mengutus Roh Kudus untuk menolong dan memberi kekuatan kepada kita. berhadapan dengan kenyataan yang tidak selalu menyenangkan itu kita tidak usah menyerah. Bandingkan dengan pribahasa Jepang itu, Nana korobi ya oki. Bila orang Jepang percaya pada kekuatan spiritual mereka, maka terlebih anak-anak Tuhan! Anak-anak Tuhan, bukanlah didik sebagai anak-anak manja. Tuhan menginginkan kita menjadi anak-anak yang andal, tangguh menghadapi pelbagai macam kesulitan.

Paulus mengatakan, "Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun." (Roma 8:25). Kita menantikannya dengan tekun. "Tekun" dalam bahasa Yunani serumpun dengan hupomenein yang berarti "bertahan". Maka arti lainnya adalah "sabar". Sabar bukan kata kerja pasif, melainkan mengandung pengertian positif: berusaha dan berjuang keras. Seluruh perjuangan dalam kesabaran itu bermuara pada pengharapan yang tidak akan sia-sia!

Khotbah untuk GKI Residen Sudirman - Surabaya, 23 Juli 2023

Sabtu, 15 Juli 2023

Skala Ketabahan Angela Duckworth

Skala ketabahan berdasarkan Angela Duckworth dalam buku "GRIT: The Power of Passion and Perseverance" .

Aturan penggunaan:

  1. Bacalah setiap kalimat di kolom bagian kanan.
  2. Beri tanda centang atau lingkari  angka yang paling menggambarkan diri Anda.
  3. Jangan memikirkan pertanyaannya secara berlebihan.
  4. Jangan menjawab apa yang ideal, tetapi kenyataan Anda saat ini.
  5. Tanyakan kepada diri Anda bagaimana Anda membandingkan diri Anda dengan rekan kerja teman, atau kebanyakan orang lain.

 

 

 

Sama sekali tidak seperti saya

Tidak seperti saya

Agak mirip dengan saya

Umumnya saya seperti ini

Benar-benar seperti saya

(gue banget)

1

Gagasan dan proyek baru terkadang mengalihkan perhatian saya dari gagasan atau proyek sebelumnya.

 

 

5

 

 

4

 

 

3

 

 

2

 

 

1

2

Kemunduran tidak mematahkan semangat saya.

 

1

 

2

 

3

 

4

 

5

3

Saya sering menetapkan tujuan atau target tetapi kemudian mengejar tujuan yang berbeda.

 

5

 

4

 

3

 

2

 

1

4

Saya seorang pekerja keras.

1

2

3

4

5

5

Saya kesulitan mempertahankan fokus pada proyek yang membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan.

 

 

5

 

 

4

 

 

3

 

 

2

 

 

1

6

Saya dapat menyelesaikan apa pun yang saya sudah mulai.

 

1

 

2

 

3

 

4

 

5

7

Minat saya berubah dari tahun ke tahun.

5

4

3

2

1

8

Saya rajin, saya tidak pernah menyerah.

1

2

3

4

5

9

Saya pernah begitu tertarik kepada gagasan atau proyek tertentu selama sesaat tetapi kemudian minat saya hilang.

 

 

 

5

 

 

 

4

 

 

 

3

 

 

 

2

 

 

 

1

10

Saya pernah mengatasi kegagalan, kemudian berhasil menaklukkan tantangan.

 

1

 

2

 

3

 

4

 

5

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk menghitung skor ketabahan Anda, jumlahkan semua poin dari kotak yang Anda centang atau lingkari dan kemudian dibagi  dengan 10. Skor maksimal pada skala ini adalah 5 (Anda sangat tabah luar biasa) dan skor terendah adalah 1 (Anda sama sekali tidak tabah).

Anda bisa menggunakan bagan berikut untuk membandingkan skor Anda dengan sampel besar orang dewasa di Amerika. Misalnya, skor Anda 4.1, berarti Anda lebih tabah daripada 70% sampel orang dewasa di Amerika.

 

Persentase

Skor Ketabahan

10%

2,5

20%

3,0

30%

3,3

40%

3,5

50%

3,8

60%

3,9

70%

4,1

80%

4,3

90%

4,5

95%

4,7

99%

4,9

 

Kamis, 13 Juli 2023

PENABUR YANG SETIA

Walau bertaburan kata-kata bijak tentang hal-hal positif di balik kegagalan, tetap saja yang namanya gagal menimbulkan kepedihan atau malah traumatis. Tidak semanis ungkapan "Gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda", atau "Kegagalan merupakan guru yang paling baik", atau seperti yang diungkapkan oleh sang begawan penemu dan pemilik sejumlah besar hak paten, Thomas Alpa Edison, "Banyak kegagalan dalam hidup, mereka tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan di saat mereka menyerah!"

Bagi banyak orang, kegagalan adalah kenangan buruk yang menghantui setiap memulai sesuatu yang baru. Trauma! Bahkan, ada banyak orang, barang kali Anda termasuk di dalamnya, yang terus menggendong trauma itu sampai hari ini. Ketika gagal dalam ujian misalnya, lalu guru atau orang tuamu mengatakan, "Bodoh kamu, begitu saja tidak bisa!" Anda membawa terus sampai hari ini dan menerima label bahwa "saya memang orang bodoh". Dampaknya, tidak lagi mau memulai dan melakukan sebuah karya dengan alasan nanti aku akan gagal lagi.

Kenangan akan pengalaman kegagalan, menyakitkan. Pengalaman seperti ini akan mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengatasinya. Lalu, kita mengambil pilihan lebih baik menjadi orang yang skepitis, masa bodoh! Padahal, sejatinya rasa sakit itu hanya ada ketika kita berada pada masa lalu.

"Perumpamaan tentang penabur" demikian judul yang disematkan oleh LAI dalam bacaan Injil hari ini. Tema kita juga berbicara tentang sang penabur, "Penabur yang setia". Bila kita cermat membaca bagian Injil ini, subyek "Penabur" hanya disebut satu kali saja, "....Adalah seorang penabur..." (Matius 13:3). Kisah selanjutnya adalah tentang benih yang jatuh di lahan yang berbeda-beda.

Cerita perumpamaan ini bertujuan memusatkan perhatiabn pembacanya pada benih dan berbagai macam hasil seturut tanah, tempat benih itu jatuh. Cerita ini sejatinya adalah cerita tentang kegagalan. Tiga kali benih itu gagal tumbuh, hanya satu yang berhasil. Dan, yang berhasil ini justru menghasilkan buah luar biasa sehingga menutup kerugian akibat tiga kali kegagalan itu.

Mendengar cerita tentang kegagalan itu, orang-orang yang mendengar khotbah Yesus di atas perahu itu mungkin saja terkesan bahwa sia-sialah pekerjaan si penabur itu. Lagi pula mengapa orang itu menaburkan  benih bukan di tempat yang semestinya: lahan subur yang telah diolah dan disiapkanb terlebih dahulu. Bisa saja kita punya pendapat demikian. Namun, petani Galilea pada saat itu tidak menabur benih di tempat persemaian, setelah benih itu tumbuh baru dipindahkan ke ladang. Tidak seperti itu. Mereka biasa menabur begitu saja. Akibatnya? Ada sebagian yang jatuh ke tanah yang tidak baik, tanah itu keras. Atau jatuh di lapisan tanah yang sangat tipis, di atas bebatuan, atau ke tengah semak yang tumbuh di sekitar ladang itu. Benih-benih itu tidak menghasilkan buah!

Tiga kali benih itu gagal tumbuh! Namun, sekali yang tumbuh di tanah subur itu dapat mengonpensasi kegagalan-kegagalan itu. Hasil akhir sungguh di luar dugaan. Yesus berbicara dengan mengerti hati para pendengarnya. Seolah Ia mengatakan, "Biarpun seluruh karya-Ku tampaknya gagal atau sia-sia di mata sejumlah orang, kalian tidak boleh berputus asa. Justru sebaliknya, percayalah bahwa akhirnya karya-Ku akan menuai hasil yang menggembirakan!"

Lalu, kita bertanya: Bukankah benih firman TUHAN yang ditabur itu tidak akan pernah gagal dan kembali dengan sia-sia seperti ungkapan Nabi Yesaya? "...demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi Ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki.." (Yesaya 55:11). Benar, bahwa firman Allah itu tidak pernah gagal dan kembali dengan sia-sia. Apalagi firman yang menjadi Manusia, mustahil gagal! Nyatanya dapat kita lihat, banyak orang yang melihat apa yang dilakukan Yesus semula sebagai sebuah tindakan yang "gagal". Di tanah tempat Dia dibesarkan, Dia ditolak. Meski semula orang berbondong-bondong mengikuti-Nya, akhirnya Yesus diserahkan untuk dihakimi dan dibunuh. Sungguh tanah tempat Injil ditabur itu keras, penuh bebatuan dan membahayakan!

Apa yang tampak sebagai kegagalan dan penolakan ternyata membuahkan hasil manis, tuaian dan panen itu menghasilkan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Hasil akhir justru dapat mengkonpensasi bahkan dapat lebih menutup segala "kerugian" dari kegagalan itu. Firman TUHAN selalu berhasil dan tidak pernah kembali dengan sia-sia!

Penabur atau petani yang baik tentu akan menyimpan hasil panennnya di gudang untuk persediaan makan atau dijual untuk keperluan yang lain. Ia juga akan memilah dari hasil panen itu bulir-bulir yang bermutu untuk dijadikannya benih pada periode taman berikutnya. Ada peroses dari bulir yang baru dipetik itu untuk menjadi benih yang berkualitas. Penyimpanan dalam jangka waktu tertentu akan mematangkan benih sehingga ketika ditabur, benih-benih itu akan segera berkecambah, hidup dan terus bertumbuh!

Yesus Kristuslah penabur yang sesungguhnya. Namun, dalam "periode taman berikutnya", Ia mengutus murid-murid-Nya untuk menjadi pernabur-penabur selanjutnya. Sampailah nasab itu kepada kita sebagai orang-orang yang telah menerima firman itu. Dalam posisi inilah setiap orang Kristen terpanggil untuk menaburkan kembali benih-benih firman Allah sesuai dengan konteksnya masing-masing. Tentu saja menaburkan firman Allah bukan sekedar pandai dan fsih berbicara seperti ahli Taurat dan orang Farisi, melainkan seperti apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Kata dan perbuatan-Nya menyatu dalam integras mumpuni maka Ia adalah firman yang hidup!

Seperti Yesus Kristus, setiap anak-anak Tuhan akan mengalami pelbagai kesulitan: tanah yang tandus, gersang, bebatuan atau semak duri. Menghadapi situasi seperti ini kita gampang  frustasi, bahkan traumatik dan ogah untuk melayani kembali. Namun, apa yang dikatakan Yesus juga harus menjadi kekuatan bagi kita untuk terus menabur. Sebab, akan ada hasil yang tidak dapat kita bayangkan sebelumnya: berpuluh kali bahkan beratus kali lipat yang dapat mengkonpensasi kegagalan-kegagalan itu.

Seorang guru Sekolah Minggu yang sudah mulai menua bercerita tentang pergumulan dalam melayani akhir-akhir ini. Anak-anak semakin rewel, seolah tidak mau tahu dengan cerita yang sudah setengah mati dipersiapkan seminggu sebelumnya, Majelis Jemaat seolah tidak mau peduli dengan fasilitas dan kebutuhan Komisi Anak, dalam keluarga dikeluhkan terlalu banyak menyita waktu untuk kegiatan gereja dan pelayanannya. "Sudahlah, kalau begini buat apa melayani aku sudah lelah!" Namun, betapa terkejutnya ketika guru sekolah minggu ini menyimak sebuah berita tentang sorang hakim yang memutuskan perkara dengan adil meskipun risikonya sangat tinggi. Sang Hakim itu berkata, "Apa yang saya lakukan, saya berpegang pada keyakinan saya. Dulu, guru sekolah minggu saya mengajarkan bahwa Tuhan berpihak pada orang-orang miskin, lemah dan teraniaya. Tuhan menghendaki saya untuk melakukan kehendak-Nya!"

Sang Guru Sekolah Minggu ini melihat bahwa wajah hakim itu tidak asing lagi buat dirinya. Lalu penasaran ia melihat di bawah layar itu nama sang hakim tampak. "Ya, Tuhan ternyata dia adalah salah seorang murid sekolah minggu yang dulu sering bermasalah!"  

Bisa jadi apa yang Anda lakukan sekarang seperti menabur di bebatuan dan tanah tandus. Namun, ingatlah akan selalu ada benih yang tumbuh di lahan yang subur. Benar, sang penabur itu hanya disebut satu kali saja dalam perumpamaan Yesus, setelah itu tidak lagi diceritakan. Mungkin juga Anda yang melayani dan menabur tidak akan pernah diceritakan dan disebut-sebut lagi, namun percayalah bahwa firman Tuhan yang ditabur dengan tulus, tidak pernah akan kembali dengan sia-sia. Oleh karena itu tugas kita adalah: Jadilah penabur-penabur yang setia!

Jakarta, 13 Juli 2023, Minggu Biasa Tahun A.

Kamis, 06 Juli 2023

MENGHIDUPI ALLAH YANG BERKARYA

Abad 15 dan 16 diwarnai dengan era penjelajahan. Pada 1519, setelah melalui perjalan laut dari Kuba, Henán Cortés tiba di pantai Meksiko. Saat itu juga ia mendeklarasikan Meksiko sebagai koloni Spanyol dan dirinya sendiri sebagai gubernur. Apa yang dilakukan Cortés setelah ia bersama tim ekspedisinya mendarat? Ia membakar dan menghancurkan kapalnya. Cortés membuang semua kemungkinan dirinya dan anak buahnya untuk bisa kembali ke Spanyol!

Dari sudut pandang ekonomi, apa yang dilakukan Cortés, tidak masuk akal. Mengapa? Bukankah ada banyak risiko ketika ia baru mendarat di belahan dunia baru yang asing sama sekali buat dirinya dan anak buahnya? Dia juga tidak pernah tahu apakah di wilayah yang didaratinya itu akan nyaman ditinggali atau tidak. Jadi, mengapa Cortés melakukannya? Komitmen! Ya, komitmen untuk memulai kehidupan yang baru, di negeri yang baru. Maka dengan komitmen itu Cortés bersama anak buahnya harus mengerahkan segala kekuatan mereka untuk memulainya. Armada kapal sudah dibakar, tidak ada jalan kembali. Cortés menghidupi komitmennya!

Nyatanya, tidak semua orang seperti Cortés yang mampu menghidupi komitmen atau tekadnya. Apa jadinya kalau kita adalah salah satu dari anak buah Cortés? Bukankah akan lebih aman kalau kapal ekspedisi itu tidak dihancurkan. Masih ada kesempatan untuk kembali jika keadaan tidak memungkinkan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Gambaran seperti ini juga dapat kita jumpai ketika seseorang berkomitmen menjadi murid Yesus. Banyak orang gamang ketika diperhadapkan memilih melakukan dan menghidupi kehendak-Nya dengan kepentingan diri sendiri yang tampaknya lebih menyenangkan.

Kegamangan seperti ini digambarkan Paulus, "Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat." (Roma 7:19). Paulus memahami bahwa melakukan hukum-hukum Tuhan itu baik, namun ada sesuatu, nafsu kedagingan yang sulit disingkirkan. Hukum Taurat berperan memberi tahu tentang dosa namun tidak menyelesaikan masalah. Paulus menyatakan bahwa hanya hidup di dalam Yesuslah yang dapat menyelesaikan masalah dosa. "Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut." (Roma 8:2). Dengan begitu pada bagian lain, Paulus dapat berkata, "Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah . Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman  dalam anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku."(Galatia 2:19-20).

Apa yang terjadi dengan Paulus? Totalitas! Ia menyerahkan diri dan hidupnya untuk menghidupi iman percaya dan komitmennya. Ia telah "membakar habis" apa yang dahulu menjadi kebanggaannya. Paulus menganggap kebanggaannya yang dahulu itu bagaikan sampah (bnd. Filipi 3:8). Kini, dengan sepenuh hati ia ingin orang lain merasakan dan mengalami kasih Allah yang melimpahinya. Ia menjadikan Yesus dan ajaran-Nya hidup di dalam dirinya!

Paulus, seperti kebanyakan ahli Taurat dan orang-orang Farisi, pada awalnya menolak apa yang diberitakan Yesus, tak terkecuali Yohanes Pembaptis pun meragukan Yesus sebagai Mesias. Sang Nabi yang di dalam penjara itu mengutus murid-muridnya bertanya tentang identitas Yesus. Yohanes mempertanyakan karya-karya  yang dilakukan Yesus, khususnya di Kapernaum dan sekitarnya. Bagi Nabi yang dipenjarakan ini, tampaknya apa yang dilakukan Yesus itu belum memenuhi kriteria "Dia yang akan datang itu". Tetapi Yesus menyampaikan kepadanya wahyu tentang apa yang penting dalam rencana Allah menurut Kitab Suci telah digenapi-Nya. Yohanes seharusnya menyimpulkan sendiri bahwa Yesuslah Mesias sejati.

Yesus menunjukkan karya yang benar, yakni kebijaksanaan ilahi, yaitu karya yang menggenapkan rencana Allah. Karya itulah yang menyatakan  dan membuktikan identitas Yesus yang sesungguhnya. Dialah orang yang "datang itu". Dia lebih besar dari Yunus (Matius 12:40), dari Salomo (Matius 12:42), dari Bait Suci sendiri (Matius 11:5 dst), melalui Dia Allah menyatakan belarasa terhadap mereka yang miskin, orang-orang kecil, mereka yang menangis karena beban berat (Matius 11:28), bagi mereka tersedia bukan hukuman melainkan kelegaan dan ketenangan.

Meski demikian banyak orang yang tidak mengakui-Nya, menolak bahkan berusaha membinasakan-Nya. Mereka disebut "angkatan ini", sebutan ini disematkan kepada para penduduk Khorazim, Betsaida, dan Kapernaum (Matius 11:20-24), lalu kepada kelompok ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Meski mereka orang-orang terpelajar, bergaul begitu dekat dengan Kitab Suci, karya-karya Yesus tetap "tersembunyi". Mengapa? Justru karena mereka "bijak dan pandai" (Matius 11:25)! Ya, bijak dan pandai berargumentasi dan berdalil namun tidak untuk menjadikan firman dan pengertiannya hidup di dalam darah dan daging mereka!

Kita bisa menjadi bagian dari warga penduduk Khorazim, Betsaida, Kapernaum dan "angkatan ini" ketika cukup puas dengan mengoleksi banyak pengetahuan tentang Kitab Suci, merasa sudah melayani ketika mengikuti acara-acara ritual ibadah, dan seterusnya. Benar, suatu perbuatan yang mulia ketika kita mendekatkan diri dengan Kitab Suci dan ritual-ritual ibadah. Namun, tidak cukup berhenti di sini. Kita harus menghidupi apa yang tertulis dalam Kitab Suci itu. Kita harus menjadikan ayat-ayat yang tertulis mati dalam lembaran kertas kitab itu menjadi darah dan daging. Hidup dalam setiap perilaku kita!

Ayat-ayat itu menjadi nyata terlihat seperti apa yang dilakukan Yesus sehingga Dialah benar-benar firman yang menjadi manusia. Seperti Paulus yang menyatakan bahwa hidupnya bukanlah dirinya lagi, melainkan Kristus yang ada di dalam dirinya. Bagaimana dengan kita? Betulkah, bahwa kita menghidupi karya Allah di dalam Yesus Kristus itu? Sehingga setiap orang yang bersentuhan dengan kita akan merasakan juga kehadiran-Nya?

Sama seperti Yesus yang mewujudkan karya Allah yang mengasihi itu dalam karya-karya nyata. Tidak banyak promosi! Demikian juga dengan para pengikut-Nya akan meneruskan karya-karya-Nya itu dengan wujud konkrit. Setiap orang yang terpanggil dan berkomitmen mengikut Dia, maka akan memprioritaskan hidupnya untuk menghidupi apa yang dipercayanya. Prioritasmu tidak diungkapkan dengan kata-katamu, mereka terungkap dalam seluruh tindakanmu, dan tindakanmu akan tercermin dari rutinitasmu.

Prioritas itu akan terlihat seberapa banyak engkau menghabiskan waktumu, mencurahkan perhatian dan pikiranmu dan melakukan apa yang engkau yakini sebagai kebenaran. Jangan mengaku bahwa kita telah memprioritaskan menghidupi karya Allah jika sebagaian besar waktu kita gunakan untuk bermain games, bermedsosria, dan memperjuangakan keinginan sendiri!

Benar, ini tidak mudah. Menghidupi karya Allah di dalam hidup kita bukanlah seperti kita menetapkan sebuah target atau pencapaian. Ini perjuangan seumur hidup! Menurut Bob Schwartz dalam bukunya, "Diets Don't Work, hanya 10 dari 200 orang yang berhasil dalam melakukan diet, dan hanya satu dari antara yang 10 orang itu yang berhasil mempertahankan berat badan ideal yang telah tercapai itu. Meskipun mungkin banyak orang yang telah mencapai tujuannya, jarang ada orang yang bisa mempertahankannya. Konsisten!

Hanya orang yang termotivasi kuat akan punya komitmen tinggi bahwa berat badan ideal itu sehat yang akan terus menjaga konsistensi diet itu. Jadi, ini bukan semacam target, kalau sudah dapat maka berhenti. Menghidupi firman atau kehendak Allah itu bukan semacam target. Tetapi gaya hidup yang terus-menerus sampai mati! Tidak pernah ada kata selesai bahwa kita telah melakukan bagian firman tertentu.

Hanya orang yang telah berjumpa, merasakan, mengalami cinta kasih Allah di dalam Kristus yang memungkinnya mempunyai motivasi dan komitmen kuat untuk meneruska karya cinta kasih Allah itu sampai Tuhan memanggilnya pulang. Selain Paulus, Anda salah satu kandidatnya!

 

Jakarta, 6 Juli 2023 Minggu Biasa Tahun A