Kamis, 31 Januari 2019

KATA-KATA YANG INDAH

Kita akan kesulitan menemukan kata-kata indah kecuali narasi itu berkisah tentang cinta kasih. Tentu tidak sebatas eros. Atau pun hanya berhenti pada ucapan tanpa rupa dan tindakan. Sebab, jika berhenti di situ, keindahannya tidak hanya pudar melainkan berubah menjadi kekejian. Munafik! Kasih akan kehilangan wibawa dan pamornya ketika berhenti pada kata-kata. “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing,” Demikian Paulus memulai narasi tentang kasih dalam 1 Korintus 1:1-13. Korintus yang selalu sibuk dalam urusan pementingan diri sendiri. Keseluruhan narasi kasih itu pada akhirnya terlihat dalam sebuah tindakan yang tidak mengutamakan diri sendiri. “Kasih itu selalu tercurah sebagai hadiah, bebas dan tanpa harapan untuk kembali. Kita tidak mengasihi (dengan niat) supaya dikasihi. Kita mengasihi untuk mengasihi,” kata Leo Buscaglia (penulis dan motivator Amerika yang dikenal sebagai Dokter Cinta).

Yesus menyerukan kata-kata indah, setidaknya orang-orang yang mendengarkan-Nya di sinagoge itu mengakui, “…dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya,..”(Lukas 4:22). Obyektifnya, kata-kata itu memang indah dan menakjubkan. Yesus berbicara tentang narasi penggenapan sabda Allah ratusan tahun sebelumnya mengenai hadirnya seorang pembawa kabar baik. Seorang Mesias yang benar-benar menyatakan cinta kasih Allah melalui kata dan perbuatan-Nya. Namun, rupanya inilah penyakit yang hampir ada pada semua orang. Penyakit itu: bukan pertama-tama menerima pesan yang disampaikan tetapi memandang siapa yang menyampaikannya. Bukankah kita sering melihat tokoh yang lebih diutamakan ketimbang isi pembicaraan yang disampaikannya? Ada semacam auto penyangkalan dalam diri kita ketika mendengar perkataan seseorang yang kita tahu latar belakangnya tidak seperti apa yang kita bayangkan atau kita harapkan.    

Ketakjuban orang-orang Nazaret itu pun segera pudar bahkan berubah menjadi penolakan ketika mereka memandang tentang siapa yang menyampaikan kata-kata indah itu.  Kini, mereka menjadi kesal dan marah terhadap si anak tukang kayu yang berani menafsirkan nubuat Yesaya itu dan mengenakannya untuk diri-Nya sendiri. Penolakan mereka mendorong Yesus untuk berbicara dengan metafor tentang tabib dan seorang nabi yang ditolak di tempat asalnya serta kisah tentang Elia dan Elisa yang justeru diutus oleh Allah kepada orang-orang di luar Israel.

Yesus mengutip pepatah tentang tabib(Luk.4:23), pepatah ini sering digunakan pada zaman itu dalam berbagai versi. Tabib dapat mengatasi kekurangan atau penyakit orang lain, tetapi tidak dapat berbuat hal yang serupa untuk dirinya sendiri. Dengan menggunakan pepatah tentang tabib ini, Yesus menanggapi penolakan orang-orang Nazaret terhadap diri-Nya. Penolakan orang-orang Nazaret itu sederhananya begini, “Anda menyatakan diri sebagai orang yang diurapi Allah dan dibimbing oleh Roh-Nya. Anda memandang diri Anda sebagai Mesias. Bila Anda tetap bertahan pada klaim itu, maka harap membuktikannya di depan kami, supaya kami dapat memberi kesaksian tentang Anda. Lakukanlah keajaiban seperti di Kapernaum. Kalau Anda tidak mampu melakukannya, maka Anda tidak ada bedanya dengan tabib yang tidak dapat membuktikan keampuhan ilmunya dengan menyembuhkan dirinya sendiri!”      

Tentu saja Yesus tidak akan melakukan mukjizat-mukjizat untuk memuaskan orang-orang yang meminta-Nya atau menjadikan mukjizat-mukjizat itu sebagai sarana pamer kekuasaan-Nya. Yesus tidak pernah memakai mukzijat untuk kepentingan-Nya sendiri atau untuk membuktikan bahwa Dia adalah Sang Mesias. Mukjizat selalu punya konteks kepedulian dan belarasa-Nya terhadap penderitaan dan pergumulan manusia. Dia juga tidak mencoba membela pandangan-Nya atau membenarkan sikap-Nya, tetapi Ia menarik kesimpulan tajam, “Memang Aku tahu, tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”

Gagasan penolakan orang-orang sekampung-Nya itu dipertajam oleh Yesus dengan mengambil dua kisah kelam Israel: peristiwa Elia dan Elisa. Elia diutus Allah kepada janda di Sarfat (1 Raja-raja 17:1,8-9). Justeru seorang janda yang tidak berasa dari Israel itulah yang mengalami rahmat Allah ketika bahaya kelaparan menimpa seluruh negeri. Justeru Naaman orang Siria (bukan orang Yahudi) yang disembuhkan oleh Elisa sementara ada begitu banyak orang Israel yang juga terkena penyakit kusta.

Semua yang dikatakan Yesus ini membuat orang-orang Nazaret merasa bahwa merekalah yang dimaksudkan Yesus. Maka mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa-Nya ke tebing gunung, untuk melemparkan Dia dari atas tebing itu. Ajaib, mereka tidak berhasil mengenyahkan Yesus. Dengan tenang Yesus berjalan di tengah-tengah mereka kemudian Ia pergi meninggalkan kampung-Nya. Inilah awal pelayanan Yesus di depan orang banyak. Ia menyampaikan narasi kabar baik. Semula dikagumi, namun kemudian ditolak dan hendak dibinasakan justeru oleh teman-teman sekampung-Nya sendiri.

Di awal saya menyebut penyakit umum manusia adalah melihat siapa yang berbicara dan bukan apa yang dibicarakannya. Penyakit yang sama dengan itu adalah bahwa kebanyakan dari kita hanya menyukai berbicara tentang “aku”, tentang diri sendiri dan kepentingan sendiri. Sebaliknya, kita tidak suka berbicara tentang kepentingan orang lain, apalagi mengutamakan kesejahteraan orang atau pihak lain yang berbeda dengan kita. Kita tidak suka berbicara kalau Allah itu juga mengasihi dan memberikan anugerah-Nya kepada mereka yang berbeda dari kita. Kita akan marah bahkan membenci mereka yang membicarakan tentang kepedulian Allah terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok kepercayaan kita. Kalau ini terjadi, lalu apa bedanya kita dengan orang-orang Nazaret. Kemarahan mereka semakin menjadi-jadi ketika Yesus mengambil contoh dalam sejarah kelam orang Israel, bahwa Allah peduli dan memberikan kasih-Nya kepada orang-orang non Yahudi. Bagi orang-orang Nazaret, cukuplah kalau Allah itu mengasihi dan menyelamatkan mereka saja. Jangan berbicara tentang anugerah dan keselamatan di luar mereka!

Belajar dari kisah ini, mestinya kita tidak usah mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan orang-orang Nazaret. Siapa pun yang menyampaikan kebenaran – mungkin saja status sosialnya berbeda dari kita – hendaknya kita membuka hati dan menerimanya. Menerima kebenaran dengan hati lapang tanpa memandang siapa yang menyampaikannya akan membuahkan “mukjizat”! Ya, mukjizat itu akan terjadi, yakni kehidupan kita akan berubah dan bertambah baik. Sebaliknya, ketika kita menolak atau bahkan membenci orang-orang yang menyatakan kebenaran maka pada hakekatnya kita menolak cinta kasih Tuhan. Kita akan membenci orang yang menyampaikannya dan hidup kita selalu diwarnai kebencian, ini berarti jauh dari damai sejahtera!

Kedua, cinta kasih itu tidak memandang kelompok dan golongan; tradisi iman serta sistem keagamaan. Bila Tuhan menyampaikan anugerahnya terhadap siapa pun, maka kita tidak boleh membatasi atau marah. Tuhan pernah menegur Yunus, “Layakah engkau marah?” Sekarang pertanyaan itu pun mestinya berlaku buat kita. Bila Tuhan mengasihi orang lain, kelompok yang berbeda dengan kita, layakah kita marah? Bukankah mereka juga adalah ciptaan-Nya? Mestinya kita pun turut terpanggil untuk menyalurkan berkat Tuhan terhadap mereka yang berbeda sama seperti para nabi sebelum Yesus bahkan Yesus sendiri yang akhirnya ke luar dari kampung halaman-Nya berkarya di Kapernaum.

Jakarta, 31 Januari 2019

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Kamis, 24 Januari 2019

SABDA YANG MENGHADIRKAN TUHAN

Swaroop Rani, perempuan cantik berbadan mungil, kecintaannya pada epos Hindu seperti Mahabarata danRamayanabegitu kuat. Kisah-kisah itulah yang menjadi bahan ajar dan pengantar tidur buah hatinya. Energi kecintaan terhadap kisah-kisah suci itu tertanam kuat dalam diri sang anak. Kini, anaknya mencari sumber-sumber kisah suci itu. Bhagavadgita dan Upanishad, kitab suci agama tradisional India yang berisi ajaran moral terus menginspirasi, memotivasi dan menjadikannya kekuatan dari derap langkah perjuangannya. Meskipun ribuan tahun telah berlalu sejak penulisannya, energi kuat dalam kitab-kitab itu memberikan pemikiran yang terus berkembang sehingga bisa menjadi pedoman pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat dan dunia.

Anak seorang perempuan cantik berbadan mungil itu adalah Pandit Jawaharlal Nehru (14 November 1889-27 Mei 1964). Ia seorang politikus sekaligus pemimpin gerakan rakyat. Cerita agama tradisional yang sering dibacakan untuknya menumbuhkan kecintaan terhadap kitab sucinya dan perlahan-lahan rasa nasionalismenya tumbuh. Selain itu, dengan didikan orang tuanya agar gemar membaca, sejak kecil ia sudah membaca buku-buku lain, di antaranya tentang sejarah, politik, dan ekonomi. Pada 1905, ia lulus dari Universitas Cambridge – Inggris, dan mendapatkan kualifikasi sebagai pengacara. Meski peradaban Barat semasa kuliah sempat menggerus spiritualitas tradisionalnya, namun perjumpaannya dengan Mahatma Gandhi membuatnya kembali pada suara batinnya. Setelah ia bergabung dengan Gandhi dalam gerakan menuntut kemerdekaan India, menyebar gerakan agresif untuk membela masyarakat petani India. Konsekuensinya ia harus rela keluar masuk penjara. Sampai kemerdekaan India diperoleh, 27 tahun Nehru bolak-balik dijebloskan dalam penjara. Dibandingkan waktu untuk melakukan gerakan perjuangan kemerdekaan untuk rakyat, waktu yang dihabiskannya dalam penjara sepertinya jauh lebih Panjang. Setelah perjuangannya Bersama Gandhi berhasil, India merdeka, Nehru kemudian menjadi Perdana Menteri dan juga Menteri Luar Negeri India.

Bagi Nehru, kisah-kisah moral dari kitab suci bukan sekedar pengantar tidur atau pelampiasan hobi baca belaka. Kisah-kisah itu menjadi inspirasi, motivasi dan energi moral untuk melakukan sesuatu bagi bangsanya. Kitab suci bukan dijadikan sebagai fokus sentral politik identitas yang membakar semangat fanatisme radikal, melainkan sumber kegairahan untuk sebuah perjuangan pembebasan India dari kungkungan kolonial.

Di Nazaret – Galilea, kitab suci itu dibacakan, dan sabda diperdengarkan. Seperti hampir semua kota, bagaimana pun kecilnya, di Nazaret ada sebuah rumah sembahyang – yang dalam Bahasa Yunani disebut sinagoge (tempat pertemuan, tempat berkumpul). Di rumah sembahyang itu setiap sabat orang-orang Yahudi merayakan ibadah. Liturgi dalam rumah ibadah itu memberi corak di kemudian hari pada liturgi gereja Kristen. Pertemuan itu dimulai dengan semacam pengakuan iman (antara lain dari Ulangan 6:4-9). Lalu doa-doa dipanjatkan, kemudian menyusullah pembacaan Kitab Suci, yang dilakukan dengan berdiri, sebagai tanda penghormatan terhadap Firman Tuhan. Pembacaan pertama diambil dari Taurat, bacaan kedua diambil dari kitab para nabi. Ayat demi ayat dibacakan dalam Bahasa Ibrani, kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Aram, Bahasa rakyat pada zaman Yesus. Sesudah itu pembicara duduk untuk memberi penjelasan pendek tentang nas yang dibaca. Semua orang dewasa berhak melakukan pembacaan Kitab Suci dan memberi interpretasi. Pertemuan itu ditutup dengan berkat dari imam atau doa seorang awam. 

Kita Nabi Yesaya berkumandang. Yesus membacakan 61:1-2. Isisabda itutentang kabar baik. Ya, kabar baik untuk orang-orang papa, hina, miskin, tawanan, berkebutuhan khusus, yang sering kali tidak dipandang sebelah mata atau bahkan sebagai kutukan bagi para penyandangnya. Siapakah yang dimaksud dengan orang yang membawa kabar baik itu? Benar, selama ini orang-orang Yahudi sedang menantikan seorang Mesias pembawa kabar baik atau si pembebas yang akan membawa mereka pada zaman baru seperti era keemasan Daud atau Salomo.

Jemaat sinagoge itu tertegun dan kini mereka berharap cemas. Mereka menunggu jawab, siapakah si pembawa kabar baik itu? Siapakah Mesias yang dimaksudkan oleh Kitab Suci yang barus saja dibacakan Yesus? Sejurus kemudian, Yesus bersabdaPada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Benar, Yesus tidak mengatakan terus terang bahwa yang dimaksudkan dalam Yesaya 61 itu ialah Sang Mesias dan Aku inilah Mesias itu!” Namun, tentu saja dalam kalimat itu tersirat bahwa yang dimaksudkan dengan Mesias itu adalah diri-Nya sendiri. Hal ini diperkuat dengan reaksi orang-orang yang mendengar-Nya. Mula-mula mereka takjub tentang kata-kata menyenangkan yang diucapkan oleh “anak Yusuf”, si tukang kayu, teman se-kota mereka. Namun, tidak lama setelah itu mulailah mereka marah dan bersungut-sungut.

Dari peristiwa pembacaan kitab suci di sinagoge minimal kita melihat dua cara pandang berbeda. Yesus, menjadikan bacaan Kitab Suci sebagai sebuah kaidah untuk melaksanakan karya-Nya kelak. Ia hadir untuk memenuhi nubuat kitab Nabi Yesaya yang dibaca-Nya itu. Jika dibandingkan dengan bacaan Injil minggu lalu (minggu kedua setelah Epifani) dari Yohanes, di sana dikisahkan bahwa permulaan pelayanan Yesus disertai dengan tandaatau mukjizat, yakni air menjadi anggur. Namun, menurut kisah Lukas, permulaan karya Yesus itu tidak dimulai dengan mukjizat, melainkan pengajaran; dengan sabda!Setelah Yesus selesai dicobai oleh Iblis, Ia memulai karya-Nya. Pekerjaan pertama-Nya adalah pengajaran. Pengajaran itu bersumber dari Kitab Suci. Selanjut-Nya dari pengajaran-pengajaran itu, Yesus tampil melakukan tepatseperti apa yang diajarkan-Nya. Jadi, Ia menghidupi sabda-Nya itu. Ia menjadikan firman yang diajarkan-Nya itu menjadi terlihat, terasa, dan memulihkan.

Ketika Yesus memberitakan tentang kabar baik dan mengatakan,“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku…”Dia membiarkan hidup-Nya dikuasai Roh Allah, sehingga apa pun yang terjadi, kehendak Bapa selalu berada pada posisi paling utama. Yesus begitu konsekuen bahkan sampai hari-hari terakhir pergumulan-Nya, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki,”(Matius 26:39).

Selanjutnya, Roh Tuhan yang mengurapi-Nya itu menuntun Yesus untuk menyampaikan kabar baik. Ini bukan kalimat kosong atau janji angin sorga. Tidak! Lihat, kabar baik itu benar-benar menjadi kenyataan. Yesus benar-benar menyapa orang-orang miskin yang tidak punya pengharapan, Ia menyediakan roti bagi yang lapar dan air kepada yang haus! Ia juga benar-benar membebaskan orang dari belenggu Iblis yang menyesakkan. Ia memberikan penglihatan bagi orang buta, membebaskan orang tertindas. Dan orang-orang dengan terang-benderang melihat bahwa di dalam Yesus tahun rahmat Tuhan itu benar-benar telah datang! Yesus menjadikan bacaan Kitab Suci itu sebagai sarana untuk diri-Nya menghadirkan Allah yang abstrak menjadi nyata, menyentuh dan dapat disentuh; merangkul dan dapat dirangkul!

Sebaliknya, para pendengar di sinagoge itu, mendengar dan membaca kitab yang sama justru menghasilkan reaksi berbeda. Mereka menjadikan Kita Suci sebagai alat untuk menghakimi dan menghardik. Kitab Suci bagai pentung yang siap digunakan untuk memukul siapa pun yang berbeda dengan penafsiran mereka. Bukankah hari-hari belakangan ini kita menyaksikan bagaimana Kitab Suci dipakai sebagai alat pembenaran, alat politik identitas, alat penghakiman dan, mengenai itu kita telah banyak belajar: bukan kebaikan, bukan damai sejahtera dan bukan tahun rahmat Tuhan yang akan terjadi, melainkan malapetaka, konfliks, peperangan, dan kehancuran yang akan terjadi.

Sebaiknya, ketika kita berusaha menjadikan Kitab Suci sebagai sumber inspirasi untuk menghadirkan kasih karunia Tuhan, maka yang terjadi adalah pembebasan, perdamaian, dan rahmat Tuhan menjadi sebuah keniscayaan. Pandit Jawaharlal Nehru sudah membuktikannya. Inspirasi kisah moral kitab sucinya telah membawanya sebagai salah seorang pembebas India.  Bagaimana dengan kita? Apa yang kita hasilkan dari pembacaan ke pembacaan Kitab Suci? Apakah berhasil menghadirkan Allah yang rahmani dan rahimi atau kehidupan keagamaan kita semakin eksklusif, intoleran dan radikal?

Jakarta, 24 Januari 2019

Rabu, 16 Januari 2019

MUKJIZAT ITU NYATA

Mukjizat sering dipahami sebagai sebuah solusi atau jalan mudah memecahkan persoalan. Seorang pasien sakit parah, dokter mengatakan tidak ada obatnya dan tinggal tunggu waktu saja. Keluarganya memohon Tuhan menyembuhkan melalui mukjizat. Mudah bukan? Tidak usah repot melakukan upaya diagnosa atau riset tentang penyakit dan metode pengobatannya. Contoh lain, seseorang sedang kesulitan keuangan, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda. Lalu, ketika selesai berdoa, rumahnya ada yang mengetuk. Tampak seseorang datang membawa segepok uang. Jumlahnya percis sesuai kebutuhan. Mukjizat! 

Salah satu aspek mukjizat adalah kemudahan, maka tidaklah mengherankan kalau banyak orang – terlepas dari keyakinan dan agama apa pun – mencari dan mengejar mukjizat. Berbeda dari kebanyakan orang, Albert Einstein mengajarkan kepada para mahasiswanya, “Kalian jangan memilih jalan yang mudah!” Banyak orang berpendapat ajaran Einstein ini bersumber dari karakter Pauline, sang ibu yang bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, selalu riang dan tanpa berpikir dua kali mengulurkan tangannya ketika melihat orang dalam kesulitan.

Pauline memahami benar potensi dan karakter Einstein. Sekalipun Einstein belum dapat berbicara pada usia empat tahun dan selalu berada di rangking buncit pada saat sekolah dasar, hampir semua orang, termasuk guru di sekolahnya mengatakan, “tidak ada kesempatan baginya untuk sukses, tidak mungkin ia sukses!” Namun, sang ibu sangat mengenalnya. Einsten memiliki karakter yang tidak akan puas jika belum mendapatkan jawab atau hasil dari sesuatu yang ia cari. Selanjutnya, Einstein tumbuh menjadi sosok peneliti dan ilmuwan andal kelas wahid.

Menarik, sang ibu selalu menolak untuk tinggal bersama Einstein. Mengapa? Ia menyadari kehadirannya dapat mengganggu penelitian anaknya. Pauline memilih menempatkan diri sebagai “pelayan” yang siap melakukan apa saja untuk mendukung penelitian anaknya. Ia menjauhkan apa saja yang dapat menghalangi penelitian putranya. Ia memilih menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan anaknya, hingga dapat menjadikan Einstein sebagai keajaiban dunia! Einstein memberikan kemajuan revolusi dalam ilmu fisika – yang pada saat itu dasar-dasarnya berakar dari teori-teori yang dikemukakan oleh Isaac Newton dan Galileo Galilei. Einsten terus melakukan penelitian yang memberikan kontribusi bagi peradaban dunia. Puncaknya ia meraih Nobel atas disertasinya “Teori Relativitas Umum.”

Kehadiran Einstein merupakan mukjizat bagi peradaban dunia. Tetnyata benar apa yang dikatakannya, “jangan memilih jalan yang mudah!” Keajaiban ilmu pengetahuan – dalam hal ini Fisika – jelas tidak dimulai dengan jalan yang mudah. Maka kelirulah kalau kita memahami bahwa mukjizat itu menyederhana atau meniadakan upaya manusia.

Mari kita belajar dari mukjizat pertama yang dilakukan oleh Yesus versi Injil Yohanes. Mukjizat itu adalah air menjadi anggur dalam sebuah pesta perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-11). Pesta perkawinan Yahudi pada zaman Yesus dapat berlangsung selama seminggu, dengan banyak sekali undangan. Kehabisan air anggur, minuman pesta, merupakan aib besar. Ibu Yesus, Maria mengetahui dan mengambil prakarsa. Namun, jawaban Yesus terdengar kurang sedap, “Mau apakah engkau dari-Ku, Ibu?”Jawaban ini mengindikasikan bahwa Yesus menolak permintaan ibu-Nya. Yang ditolak Yesus adalah usaha ibu-Nya untuk melibatkan diri-Nya dalam pemecahan masalah kekurangan anggur. “Saat-Ku belum tiba!”Kata-Nya. Saat atau waktu dalam Injil Yohanes menunjukkan pada saat kemuliaan, saat Yesus mati di kayu salib. Saat itu ditentukan oleh Sang Bapa sendiri, bukan oleh intervensi manusia.

Setelah ditegur dan prakarsanya ditolak, alih-alih kecewa dan marah, Maria memberi instruksi kepada para pelayan untuk melakukan apa pun yang Yesus katakan kepada mereka. Dengan demikian – meskipun secara fisik Maria adalah bunda yang melahirkan Yesus – ia dalam konteks ini memosisikan diri sebagai pelayan. Maria adalah tokoh pertama dalam kisah Injil yang memberikan respons kepercayaan yang memadai terhadap apa yang dikatakan Yesus. 

Instruksi itu ditaati oleh para pelayan. Mereka menyediakan enam tempayan besar masing-masing diisi penuh dengan air. Perintah berikutnya, “Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta!”Tanpa menerima informasi dan pembuktian bahwa air itu telah berubah menjadi anggur, dengan tidak ragu-ragu mereka membawanya kepada pemimpin pesta. Para pelayan bertindak tepat seperti apa yang dikatakan Yesus, sebagaimana telah dipesan oleh ibu-Nya. Percaya akan apa yang dikataka Yesus dan melakukannya akan membuahkan mukjizat itu terjadi. 

Pemimpin pesta takjub dan memuji kualitas air anggur prima yang dibawa oleh para pelayan. Ia memuji mempelai pria yang masih menyediakan air anggur yang baik sampai di penghujung pesta. Air anggur melambangkan sukacita. Sukacita yang berkualitas itu terus ada sampai akhir ketika Yesus hadir di tengah mereka. Bukan itu saja, mereka merespons positif, percaya dan melakukan tepat seperti apa yang Yesus perintahkan.

Benar, fokus kisah mukjizat ini bukanlah peran Maria atau mukjizat air menjadi anggur. Melainkan, pernyataan diri Yesus kepada dunia (epifani). Dalam Injil Yohanes, mukjizat itu diartikan sebagai tanda. Tanda menjadi sarana untuk menyatakan kemuliaan Yesus; menegaskan bahwa Yesus datang dari Allah, Ia adalah Firman Allah yang hidup yang menjadi manusia. Tanda yang dihadirkan Yesus memiliki makna simbolis. Anggur yang lebih baik dan berkelimpahan yang dapat membawa sukacita – bukan memabukkan – melambangkan apa yang dinantikan Israel dari Tuhan pada zaman keselamatan (Am.9:13-14; Hos. 14:8; Yer.31:12). Di dalam Yesus Allah mengaruniakan sukacita anugerah keselamatan sebagai ganti hukum Taurat. “Kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan melalui Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang melalui Yesus”(Yoh.1:16-17). 

Sekalipun fokus kisah mukjizat ini adalah Yesus, Sang pembuat mukjizat namun, dalam cerita ini Maria, ibu Yesus ditampilkan sebagai orang beriman istimewa yang percaya kepada firman Yesus dan menularkan keyakinannya itu kepada orang lain, dalam hal ini para pelayan untuk siap melakukan apa pun yang dikatakan Yesus. Para pelayan dengan taat melakukannya, lalu situasi pesta yang terancam penuh aib berubah menjadi pesta yang penuh sukacita baru. Zaman baru yang diantarkan oleh Firman yang menjadi manusia, diikutsertakan orang-orang yang – sama seperti Maria – percaya dan berpegang pada firman Tuhan.

Kisah mukjizat di dalam Injil selalu melibatkan orang-orang di sekeliling Yesus yang merespons positif kehadiran dan ucapan-Nya. Mukjizat tidak meniadakan usaha dan peran serta manusia. Sama halnya dengan doa. Doa tidak menggantikan upaya kerja keras si pendoa untuk bekerja dan berusaha mewujudkan apa yang terbaik supaya terjadi. Di balik keberhasilan Einstein ada Pauline yang sungguh-sungguh mengenal potensi anaknya. Ia percaya akan potensi itu, maka ia mendukungnya sepenuh hati. Sang ibu adalah orang pertama yang meyakini potensi itu.

Maria, sang bunda Yesus juga adalah orang pertama yang meyakini potensi Yesus dan ia bertindak tepat. Maria menyediakan fasilitas untuk terjadinya sebuah mukjizat di tengah krisis. Barangkali kita bukan sekaliber Maria atau pun Pauline. Namun, bukankah kita – dalam batas-batas tertentu – mengenal Tuhan kita, Yesus Kristus. Kita yakin, bahwa Dia sampai hari ini pun dapat melakukan tindakan mukjizat. Masalahnya, apakah kita hanya mau gampangnya saja? Mau air anggurnya saja tanpa ketaatan untuk menyediakan tempayan dan air? Ataukah kita hanya mau menerima hadiah Nobelnya saja tanpa harus melakukan serangkaian penelitian? 
Mencontoh dari Maria, ketika kita meyakini Yesus Kristus dapat melakukan mukjizat, maka mestinya kita percaya dan melakukan segala apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan, mestinya kita dapat melangkah lebih maju lagi yakni, kepercayaan Yesus sebagai Mesias tidak lagi memerlukan pembuktian tanda atau mukjizat! Bukankah Alkitab sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah yang hidup?

Jakarta, Minggu kedua sesudah Epifani 2019

Kamis, 10 Januari 2019

PERSEKUTUAN KASIH BERSAMA ALLAH

Zhou Enlai (1898-1976) adalah seorang politisi yang dihormati rakyat China. Tampaknya tidak ada orang China yang dihormati lebih dari Zhou Enlai, demikian penilaian Kim Doo Eung – penulis populer asal Korea Selatan. Alasan Zhou Enlai dihormati dan dicintai banyak orang terutama karena ia selalu berada – atau memposisikan diri – di tempat kedua dan tidak berambisi meraih kekuasaan atau berada pada posisi pertama. Ia dikenal sebagai orang yang melakukan dan memikirkan apa yang terbaik buat negaranya. Konsisten dengan kesederhanaan posisi keduanya, tetapi berkat pengaruhnya yang luas, persatuan Republik Rakyat China (RRC) dapat terwujud. Selain itu, tak terbayangkan apa jadinya sebagian besar masalah dalam dan luar negeri China jika tanpa Zhou Enlai.

Ada alasan lain Zhau Enlai begitu dihormati. Ia dikenal sebagai orang yang berintegritas: Mewujudkan apa yang dikatakannya dalam aksi nyata. Tidak banyak politisi yang seperti ini. Kebanyakan menebar janji namun tidak dipenuhi. Mereka sering berlindung di balik perisai dalil dan argumentasi. Zhou Enlai sering pergi ke berbagai daerah untuk bertemu dan berbincang dengan rakyat, mulai dari anak-anak hingga lansia, dari berbagai kalangan – bukan sebagai pencitraan jelang pemilu. Zhou Enlai terbiasa menyapa lebih dahulu orang yang ditemuinya di jalan, seperti buruh di Beijing, koki, atau polisi pengatur lalu lintas. Sering ia menyemangati mereka dalam bekerja.

Rakyat China juga menghormati Zhou Enlai karena ia berperan sebagai seorang suami yang penuh tanggung jawab. Politisi pada masa itu terbiasa menikahi empat atau lima orang perempuan. Namun, Zhou Enlai menjalani kehidupan pernikahannya hanya dengan Deng Yingchou, seorang perempuan yang cerdas. Seumur hidupnya ia setia, inilah salah satu faktor yang membuat rakyat percaya kepadanya. Soal pekerjaan, ia adalah seorang yang gigih bekerja. Bahkan, sampai sebelum kematiannya, ia masih mengurusi sebagian besar masalah luar negeri China dan Jepang, serta normalisasi hubungan politik dengan Amerika Serikat. Itulah sebabnya ketika ia meninggal dunia, seluruh rakyat China bersedih seperti kehilangan saudaranya sendiri. China, seperti yang tampak hari ini tidak terlepas dari jasa Zhou Enlai. Maka tepatlah apa yang dikatakan Kim Doo Eung, “Tidak ada orang China yang dihormati lebih dari Zhou Enlai!”

Tentang orang besar dan dihormati, Yesus pernah berkata, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis…”(Matius 11:11). Apa alasan Yesus mengatakan demikian? Ya, Yohanes adalah orang yang tidak punya ambisi politik. Dia tahu untuk siapa dan apa yang diperjuangkannya. Dia tidak mencari pengikut apalagi menghimpun fans dan memanfaatkan mereka. Tidak! Dia hanya ingin bangsanya bertobat dan menyambut Mesias.

Yohanes menyadari posisinya – dalam Bahasa Zhou Enlai – ia cukup puas memposisikan diri di tempat kedua! Hal ini terlihat dalam gaya hidupnya yang bukan pencitraan. Kesederhanaannya tidak menghalangi pesan khotbahnya sampai pada telinga orang banyak. Tak pelak lagi, Yohanes telah menimbulkan kekaguman banyak orang. Bayangkan, seharusnya umat Allah itu berbondong-bondong menuju Yerusalem, karena di sana ada Bait Suci. Namun, nyatanya arus manusia itu kini berbalik, seluruh Yerusalem dan daerah sekitarnya malahan menuju arah sungai Yordan. Arah di mana “Sang Suara” itu bergema!

Kekaguman umat yang rindu suara kebenaran itu segera mengingatkan mereka pada sebuah pengharapan tentang datangnya Sang Mesias. Segeralah mereka mendaulat Yohanes sebagai Mesias yang dijanjikan itu. Bukankah dari sisi Yohanes respon umat yang seperti ini adalah sebuah keuntungan. Popularitas dan kekuatan politik akan segera terbangun. Jika sudah demikian, ia bisa melakukan apa pun yang diingininya! Namun, segera Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak…”(Lukas 3:16). Yohanes adalah orang yang tahu diri. Bayangkan, begitu rupa Yohanes merendahkan diri di hadapan Yesus, membuka tali kasut adalah pekerjaan seorang hamba terhadap tuannya - bahkan untuk itu pun ia merasa tidak layak! Dari Yohanes kita belajar, untuk menjadi orang besar, kerendahan hati dan bersedia merendahkan diri merupakan karakter yang mutlak harus dimiliki.

Yohanes merendahkan hati, sekaligus merendahkan diri – serendah-rendahnya – di hadapan Yesus. Untuk inilah Yesus membuka kesempatan Yohanes terlibat dalam karya-Nya. Meski Yohanes sempat mencegah, namun Yesus ikut serta dalam baptisan pertobatan yang dilakukan Yohanes. Apakah Yesus juga sebagai pendosa? Mengingat baptisan Yohanes adalah baptisan untuk orang-orang yang bertobat? Tidak! Dengan pernyataan Yohanes tentang kemuliaan Yesus dan usaha mencegah-Nya untuk dibaptiskan maka sebenarnya sudah jelas Sang Mesias bukanlah orang berdosa yang memerlukan pertobatan. Melainkan, Sang Mesias memberi ruang agar karya Allah di dalam diri-Nya tampak. Yesus mendukung apa yang dilakukan Yohanes, yakni gerakan pertobatan. Yesus yang kemudian akan melanjutkan apa yang sudah dibuka oleh Yohanes Pembaptis.

Yohanes Pembaptis membuka jalan agar pernyataan Allah Bapa menjadi nyata. Dalam baptisan itu, langit terbuka dan turunlah Roh Kudus dengan menyatakan, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”(Lukas 3:22). Benar, bisa saja kapan dan di mana pun suara pernyataan Allah itu disampaikan. Namun, dalam konteks inilah kita belajar ada persekutuan kasih yang bekerja untuk menyatakan kebaikan Allah. Yohanes memberi ruang dirinya dipakai sebagai pembuka jalan untuk karya Yesus. Ruang yang diberikan Yohanes adalah dengan melakukan tugas sepenuh hati, tidak punya ambisi pribadi yang dapat merusak misi Allah, dan menjadi seorang yang berkaraker rendah hati. 

Pada pihak lain, Yesus memberi ruang kepada Yohanes untuk tidak sungkan dan ragu membaptis diri-Nya sehingga pernyataan Roh Allah itu menjadi lengkap untuk meneguhkan Yesus dalam melakukan misi-Nya di dunia sampai tuntas. Pada peristiwa ini, kita juga menyaksikan bagaimana Sang Bapa, Anak, dan Roh Kudus menyatu dalam satu peristiwa yang menunjukkan relasi yang tidak terpisahkan.

Bukan hanya Yohanes Pembaptis, Allah juga menginginkan kita berkarya melanjutkan misi-Nya di dunia ini. Kerendahan hati merupakan syarat bagi kita agar dapat terus berkarya di ladang-Nya. Membuka diri dan mau merangkul siapa saja tanpa harus merasa diri paling baik, paling saleh, apalagi paling terhormat merupakan cara kita agar kasih Allah itu tidak terhalangi. Sebagaimana Kristus merasakan begitu kuat dan dalamnya bersekutu dengan Sang Bapa yang kemudian meneguhkan-Nya untuk melakukan tugas pelayanan di dunia ini. Maka, kita pun diundang-Nya untuk merasakan persekutuan kasih ini, dan dengan itu kita pun mengalami peneguhan untuk melakukan tugas pelayanan yang dipercayakan kepada kita selagi nafas kehidupan ini masih ada!


Jakarta, 10 Januari 2019

Rabu, 02 Januari 2019

PENGETAHUAN YANG MENUNTUN KEPADA KRISTUS

“Tidak ada bintang di atas Betlehem”,demikian judul bab dua dari buku “Yesus Bagi Orang Non Religius” karya John Shelby Spong, seorang pendeta Gereja Episkopal di Morris Plains, New Jersey, Amerika Serikat. Ia seorang pegiat kajian Yesus sejarah yang mencoba memilah antara mitos dan fakta dalam kisah hidup Yesus. Sudah dapat diduga banyak kontroversi di hampir 20 buku karyanya. 

“Tidak ada bintang di atas Betlehem”mempertanyakan kesahihan dan fakta yang terjadi di sekitar peristiwa kelahiran Yesus. Spong mulai dengan pertanyaan, di mana Yesus dilahirkan? Karena Ia dikenal sebagai Yesus dari Nazaret, kemungkinan besarnya adalah Nazaret, kampung halaman-Nya.  Dalam narasi Injil Markus, bukan hanya tidak dijumpai rujukan ke Betlehem, tetapi juga tidak ada petunjuk tentang kisah kelahiran Yesus yang ajaibitu. Hal ini menunjukkan bahwa kisah tentang tempat kelahiran Betlehem bagi Yesus tidak masuk kedalamtradisi Kristen,setidaknya sampai Matius menulis injilnya kira-kira tahun delapan puluhan. Betlehem muncul dalam sebuah teks mesianik, Mikha 5:2.

Dalam kisahnya tentang Herodes yang menanggapi sebuah pertanyaan dari orang Majus, Matius bertutur bahwa sang raja memerintahkan semua imam kepala dan ahli Taurat menunjukkan dan menentukan di mana “Dia yang dijanjikan” itu akan dilahirkan. Mereka yang dimintai keterangan ini lalu menyelidiki Kitab Suci dan menafsirkan kata-kata Mikha sebagai sebuah petunjuk rahasia tentang tempat kelahiran Sang Mesias (Matius 2:5-6). Mengapa Mikha menulis bahwa Sang Mesias akan lahir di Betlehem yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Yerusalem? Jawabnya, kota ini adalah tempat kelahiran Raja Daud yang agung dan dari sanalah titik berangkat pengharapan Yahudi yang telah lama mendambakan pemulihan takhta Daud. 

Dalam kisah kelahiran Yesus versi Matius, dikisahkan tentang orang Majus sebagai penggenapan dari Yesaya 60. Dalam perikop ini, Yesaya mengatakan, bahwa raja-raja mendatangi “cahaya”, “Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi,…tetapi terang TUHAN terbit atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu”(Yesaya 60:2,3). Raja-raja ini datang dengan menunggang unta; mereka datang dari Syeba, dan mereka membawa emas dan kemenyan (Yes.60:6). Ini adalah inti kisah tentang orang Majus.

Matius mengisahkan bahwa orang Majus itu dibimbing oleh bintang yang ajaib di langit sebelah timur. Bintang itu sebagai tanda kelahiran seorang raja Yahudi (Matius 2:2). Bintang ini kemudian bergerak di angkasa dengan sangat lambat sehingga para pengamat bintang dari Timur Tengah ini dapat mengikutinya sampai ke tempat tujuan mereka (Matius 2:9). Benarkah ada bintang seperti itu? Bintang yang muncul di langit untuk mengumumkan peristiwa di bumi hanya dapat dibayangkan dalam sebuah dunia yang memandang langit sebagai atap bumi dan lantai surga. Bintang dalam pandangan dunia semacam ini adalah seperti pelita langit yang Allah dapat gantung supaya dapat terlihat dari bumi untuk mengamanatkan kelahiran orang penting dan sering kali dipakai dalam mitos-mitos Yahudi. Dalam suatu tradisi para rabi, sebuah bintang dikatakan telah memberitakan kelahiran Abraham, bintang lainnya mengamanatkan kelahiran Ishak, anak yang dijanjikan; dan masih ada sebuah bintang lain, yakni ketika menjadi tanda kelahiran Musa.

Spong mempertanyakan, bagaimana pemahaman kosmologi zaman sekarang? Dengan pertolongan teleskop Hubble, kita dapat mengetahui bahwa galaksi kita dikenal dengan nama Bima Sakti, memiliki 200 milyar bintang, dan kebanyakan dari bintang ini lebih besar dari bintang yang kita sebut matahari. Kesadaran moderen kita harus juga mencakup fakta bahwa seluruh alam semesta yang kasatmata, yang di dalamnya galaksi kita yang besar hanyalah satu bagian yang sangat kecil, berisi ratusan milyar galaksi lainnya. Bintang itu obyek fisik yang impersonal, ia tidak memberitakan peristiwa-peristiwa di bumi. Tidak ada bintang yang mengembara di dalam galaksi kita. Setiap bintang menjelajahi suatu lintasan yang sudah tetap sehingga dapat dibuat peta pergerakannya dengan komputer; dan lokasi persisnya di angkasa pada waktu kapan pun di masa lalu dan di masa depan dapat dengan tepat dihitung.  Bagi Spong, apa yang dituturkan Matius tentang Bintang Betlehem yang menuntun orang Majus bukanlah sebuah gejala kosmis objektif. Namun, melalui pemahaman kosmologi pembacanya, Matius sedang memberitakan bahwa, seperti orang-orang besar terdahulu : Abraham, Ishak, dan Musa, lahir dengan didahului tanda-tanda kosmis, kini tanda itu hadir untuk menunjukkan kelahiran Sang Mesias.. Detail-detail kisahnya harus dimengerti sebagai simbol- simbol penafsiran dan bukan secara harafiah. Matius, melalui kisah Injilnya sedang menuntun para pembacanya untuk sampai kepada Mesias yang telah dinubuatkan oleh para nabi sebelumnya.

Bisa saja pengamatan Spong benar, bahwa ada banyak mitos-mitos di sekitar kelahiran Yesus, khususnya tentang Bintang Betlehem dan orang-orang Majus. Namun, bukankah Tuhan juga sangat bisa memakai ciptaan-Nya, salah satunya Bintang Betlehem satu dari jutaan milyar bintang ciptaan-Nya untuk menyatakan kelahiran Sang Mesias itu. Namun, dari pada energi kita terkuras untuk berdebat tentang kesahihan narasi Bintang Betlehem dan Orang Majus, adalah lebih penting menggali makna di balik kisah ini.

Matius hendak menyampaikan pesan, bahwa bukan hanya penguasa asing tetapi juga pemuka-pemuka umat Allah, di wakili oleh ahli Taurat dan kelompok Farisi, yang tahu nubuat mesianik terkejut dengan berita kelahiran Sang Mesias. Penguasa Yahudi, dalam sosok Herodes meminta alim ulama untukmenelisik dalam Kitab Suci mereka. Mengherankan, pengetahuan dan kemampuan religius yang mereka miliki seharusnya mengantar mereka untuk menyambut Sang Mesias itu. Alih-alih melakukannya, kelahiran Sang Mesias itu menjadi ancaman akut bagi mereka. Herodes yang sering kali paranoid terhadap ancama kekuasaan, segera berdiplomasi agar orang Majus itu segera kembali kepadanya setelah berjumpa dengan Sang Mesias yang mereka cari.

Pada pihak lain, orang Majus – yang dalam strata ketahiran Yudaisme – tidak mungkin mendapat hidayah dari Allah, justeru dengan ilmu pengetahuannya terus mencari agar mereka bisa berjumpa, menyembah dan memberi persembahan kepada-Nya. Setidaknya, dengan kisah ini sedari awal Matius ingin mengatakan bahwa ada dua kemungkinan orang dengan ilmu pengetahuannya. Pertama, menjauhkan diri dari Yesus dan kalau bisa menolak serta menyingkirkan-Nya. Mengapa? Karena Yesus untuk kelompok ini merupakan ancaman. Ia menjadi ancaman yang akan melucuti segala kemunafikan, keserakan, ketamakan, dan pemuasan segala nafsu termasuk nafsu religius – ingin dihormati sebagai orang saleh. 

Kemungkinan kedua, adalah mereka yang menyambut, menyembah, dan memberikan persembahan. Orang-orang seperti ini melihat kebenaran janji Allah dalam diri Yesus Kristus, Sang Mesias itu. Ia menjadi pengharapan yang dinanti-nantikan oleh karena Dialah yang akan menyatakan kepenuhan Allah dalam wujud manusia. Dialah yang akan menghadirkan damai sejahtera, maka menyambut, menyembah dan memberikan kemuliaan kepada-Nya merupakan sebuah keniscayaan.

Diperhadapmukakan dengan narasi Matius, sebuah pertanyaan ditujukan kepada kita. Ada dalam kelompok manakah kita sekarang? Apakah kelompok pertama yang merasa terancam dengan kehadiran Kristus sehingga dengan demikian kita harus menolak dan menyingkirkan-Nya? Bisa jadi kita adalah orang-orang yang dekat sekali dengan Kitab Suci, kental dengan apa yang namanya pelayanan, hafal doktrin-doktrin Kekristenan, pendekkataorang religius. Namun, bukankah ahli Taurat dan orang Farisi juga seperti itu?

Bisa jadi dalam pelayanan dan kehidupan rohani, kita tampil sebagai orang saleh. Namun sebenarnya perkataan dan ajaran Sang Mesias itu kita tolak, kita singkirkan: kita tidak peduli dengan pergumulan dan kesulitan orang lain. Kita sibuk dengan “wilayah kekuasaan dan kenyamanan” sendiri. Sulit berbagi ruang dan uang dengan sesama. Mudah mengeluarkan kata-kata sinis dan menyakitkan, selalu ingin dinomorsatukan. Suka mendominasi topik pembicaraan. Sibuk mencari hormat dan arogan. Saya kira dalam kondisi seperti ini sulit bagi kita untuk benar-benar – seperti orang Majus – menyembah-Nya dengan tulus, apalagi memberikan persembahan yang terbaik.

Cerita Bintang Betlehem dan orang Majus mengajak kita untuk bersikap arif agar kita menggunakan akal budi dan pengetahuan kita untuk berjumpa dengan-Nya. Pengetahuan itu menuntun kita kepada Kristus.

Jakarta, Minggu Epifani 2019