Kamis, 31 Januari 2019

KATA-KATA YANG INDAH

Kita akan kesulitan menemukan kata-kata indah kecuali narasi itu berkisah tentang cinta kasih. Tentu tidak sebatas eros. Atau pun hanya berhenti pada ucapan tanpa rupa dan tindakan. Sebab, jika berhenti di situ, keindahannya tidak hanya pudar melainkan berubah menjadi kekejian. Munafik! Kasih akan kehilangan wibawa dan pamornya ketika berhenti pada kata-kata. “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing,” Demikian Paulus memulai narasi tentang kasih dalam 1 Korintus 1:1-13. Korintus yang selalu sibuk dalam urusan pementingan diri sendiri. Keseluruhan narasi kasih itu pada akhirnya terlihat dalam sebuah tindakan yang tidak mengutamakan diri sendiri. “Kasih itu selalu tercurah sebagai hadiah, bebas dan tanpa harapan untuk kembali. Kita tidak mengasihi (dengan niat) supaya dikasihi. Kita mengasihi untuk mengasihi,” kata Leo Buscaglia (penulis dan motivator Amerika yang dikenal sebagai Dokter Cinta).

Yesus menyerukan kata-kata indah, setidaknya orang-orang yang mendengarkan-Nya di sinagoge itu mengakui, “…dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya,..”(Lukas 4:22). Obyektifnya, kata-kata itu memang indah dan menakjubkan. Yesus berbicara tentang narasi penggenapan sabda Allah ratusan tahun sebelumnya mengenai hadirnya seorang pembawa kabar baik. Seorang Mesias yang benar-benar menyatakan cinta kasih Allah melalui kata dan perbuatan-Nya. Namun, rupanya inilah penyakit yang hampir ada pada semua orang. Penyakit itu: bukan pertama-tama menerima pesan yang disampaikan tetapi memandang siapa yang menyampaikannya. Bukankah kita sering melihat tokoh yang lebih diutamakan ketimbang isi pembicaraan yang disampaikannya? Ada semacam auto penyangkalan dalam diri kita ketika mendengar perkataan seseorang yang kita tahu latar belakangnya tidak seperti apa yang kita bayangkan atau kita harapkan.    

Ketakjuban orang-orang Nazaret itu pun segera pudar bahkan berubah menjadi penolakan ketika mereka memandang tentang siapa yang menyampaikan kata-kata indah itu.  Kini, mereka menjadi kesal dan marah terhadap si anak tukang kayu yang berani menafsirkan nubuat Yesaya itu dan mengenakannya untuk diri-Nya sendiri. Penolakan mereka mendorong Yesus untuk berbicara dengan metafor tentang tabib dan seorang nabi yang ditolak di tempat asalnya serta kisah tentang Elia dan Elisa yang justeru diutus oleh Allah kepada orang-orang di luar Israel.

Yesus mengutip pepatah tentang tabib(Luk.4:23), pepatah ini sering digunakan pada zaman itu dalam berbagai versi. Tabib dapat mengatasi kekurangan atau penyakit orang lain, tetapi tidak dapat berbuat hal yang serupa untuk dirinya sendiri. Dengan menggunakan pepatah tentang tabib ini, Yesus menanggapi penolakan orang-orang Nazaret terhadap diri-Nya. Penolakan orang-orang Nazaret itu sederhananya begini, “Anda menyatakan diri sebagai orang yang diurapi Allah dan dibimbing oleh Roh-Nya. Anda memandang diri Anda sebagai Mesias. Bila Anda tetap bertahan pada klaim itu, maka harap membuktikannya di depan kami, supaya kami dapat memberi kesaksian tentang Anda. Lakukanlah keajaiban seperti di Kapernaum. Kalau Anda tidak mampu melakukannya, maka Anda tidak ada bedanya dengan tabib yang tidak dapat membuktikan keampuhan ilmunya dengan menyembuhkan dirinya sendiri!”      

Tentu saja Yesus tidak akan melakukan mukjizat-mukjizat untuk memuaskan orang-orang yang meminta-Nya atau menjadikan mukjizat-mukjizat itu sebagai sarana pamer kekuasaan-Nya. Yesus tidak pernah memakai mukzijat untuk kepentingan-Nya sendiri atau untuk membuktikan bahwa Dia adalah Sang Mesias. Mukjizat selalu punya konteks kepedulian dan belarasa-Nya terhadap penderitaan dan pergumulan manusia. Dia juga tidak mencoba membela pandangan-Nya atau membenarkan sikap-Nya, tetapi Ia menarik kesimpulan tajam, “Memang Aku tahu, tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”

Gagasan penolakan orang-orang sekampung-Nya itu dipertajam oleh Yesus dengan mengambil dua kisah kelam Israel: peristiwa Elia dan Elisa. Elia diutus Allah kepada janda di Sarfat (1 Raja-raja 17:1,8-9). Justeru seorang janda yang tidak berasa dari Israel itulah yang mengalami rahmat Allah ketika bahaya kelaparan menimpa seluruh negeri. Justeru Naaman orang Siria (bukan orang Yahudi) yang disembuhkan oleh Elisa sementara ada begitu banyak orang Israel yang juga terkena penyakit kusta.

Semua yang dikatakan Yesus ini membuat orang-orang Nazaret merasa bahwa merekalah yang dimaksudkan Yesus. Maka mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa-Nya ke tebing gunung, untuk melemparkan Dia dari atas tebing itu. Ajaib, mereka tidak berhasil mengenyahkan Yesus. Dengan tenang Yesus berjalan di tengah-tengah mereka kemudian Ia pergi meninggalkan kampung-Nya. Inilah awal pelayanan Yesus di depan orang banyak. Ia menyampaikan narasi kabar baik. Semula dikagumi, namun kemudian ditolak dan hendak dibinasakan justeru oleh teman-teman sekampung-Nya sendiri.

Di awal saya menyebut penyakit umum manusia adalah melihat siapa yang berbicara dan bukan apa yang dibicarakannya. Penyakit yang sama dengan itu adalah bahwa kebanyakan dari kita hanya menyukai berbicara tentang “aku”, tentang diri sendiri dan kepentingan sendiri. Sebaliknya, kita tidak suka berbicara tentang kepentingan orang lain, apalagi mengutamakan kesejahteraan orang atau pihak lain yang berbeda dengan kita. Kita tidak suka berbicara kalau Allah itu juga mengasihi dan memberikan anugerah-Nya kepada mereka yang berbeda dari kita. Kita akan marah bahkan membenci mereka yang membicarakan tentang kepedulian Allah terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok kepercayaan kita. Kalau ini terjadi, lalu apa bedanya kita dengan orang-orang Nazaret. Kemarahan mereka semakin menjadi-jadi ketika Yesus mengambil contoh dalam sejarah kelam orang Israel, bahwa Allah peduli dan memberikan kasih-Nya kepada orang-orang non Yahudi. Bagi orang-orang Nazaret, cukuplah kalau Allah itu mengasihi dan menyelamatkan mereka saja. Jangan berbicara tentang anugerah dan keselamatan di luar mereka!

Belajar dari kisah ini, mestinya kita tidak usah mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan orang-orang Nazaret. Siapa pun yang menyampaikan kebenaran – mungkin saja status sosialnya berbeda dari kita – hendaknya kita membuka hati dan menerimanya. Menerima kebenaran dengan hati lapang tanpa memandang siapa yang menyampaikannya akan membuahkan “mukjizat”! Ya, mukjizat itu akan terjadi, yakni kehidupan kita akan berubah dan bertambah baik. Sebaliknya, ketika kita menolak atau bahkan membenci orang-orang yang menyatakan kebenaran maka pada hakekatnya kita menolak cinta kasih Tuhan. Kita akan membenci orang yang menyampaikannya dan hidup kita selalu diwarnai kebencian, ini berarti jauh dari damai sejahtera!

Kedua, cinta kasih itu tidak memandang kelompok dan golongan; tradisi iman serta sistem keagamaan. Bila Tuhan menyampaikan anugerahnya terhadap siapa pun, maka kita tidak boleh membatasi atau marah. Tuhan pernah menegur Yunus, “Layakah engkau marah?” Sekarang pertanyaan itu pun mestinya berlaku buat kita. Bila Tuhan mengasihi orang lain, kelompok yang berbeda dengan kita, layakah kita marah? Bukankah mereka juga adalah ciptaan-Nya? Mestinya kita pun turut terpanggil untuk menyalurkan berkat Tuhan terhadap mereka yang berbeda sama seperti para nabi sebelum Yesus bahkan Yesus sendiri yang akhirnya ke luar dari kampung halaman-Nya berkarya di Kapernaum.

Jakarta, 31 Januari 2019

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar