Swaroop Rani, perempuan cantik berbadan mungil, kecintaannya pada epos Hindu seperti Mahabarata danRamayanabegitu kuat. Kisah-kisah itulah yang menjadi bahan ajar dan pengantar tidur buah hatinya. Energi kecintaan terhadap kisah-kisah suci itu tertanam kuat dalam diri sang anak. Kini, anaknya mencari sumber-sumber kisah suci itu. Bhagavadgita dan Upanishad, kitab suci agama tradisional India yang berisi ajaran moral terus menginspirasi, memotivasi dan menjadikannya kekuatan dari derap langkah perjuangannya. Meskipun ribuan tahun telah berlalu sejak penulisannya, energi kuat dalam kitab-kitab itu memberikan pemikiran yang terus berkembang sehingga bisa menjadi pedoman pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat dan dunia.
Anak seorang perempuan cantik berbadan mungil itu adalah Pandit Jawaharlal Nehru (14 November 1889-27 Mei 1964). Ia seorang politikus sekaligus pemimpin gerakan rakyat. Cerita agama tradisional yang sering dibacakan untuknya menumbuhkan kecintaan terhadap kitab sucinya dan perlahan-lahan rasa nasionalismenya tumbuh. Selain itu, dengan didikan orang tuanya agar gemar membaca, sejak kecil ia sudah membaca buku-buku lain, di antaranya tentang sejarah, politik, dan ekonomi. Pada 1905, ia lulus dari Universitas Cambridge – Inggris, dan mendapatkan kualifikasi sebagai pengacara. Meski peradaban Barat semasa kuliah sempat menggerus spiritualitas tradisionalnya, namun perjumpaannya dengan Mahatma Gandhi membuatnya kembali pada suara batinnya. Setelah ia bergabung dengan Gandhi dalam gerakan menuntut kemerdekaan India, menyebar gerakan agresif untuk membela masyarakat petani India. Konsekuensinya ia harus rela keluar masuk penjara. Sampai kemerdekaan India diperoleh, 27 tahun Nehru bolak-balik dijebloskan dalam penjara. Dibandingkan waktu untuk melakukan gerakan perjuangan kemerdekaan untuk rakyat, waktu yang dihabiskannya dalam penjara sepertinya jauh lebih Panjang. Setelah perjuangannya Bersama Gandhi berhasil, India merdeka, Nehru kemudian menjadi Perdana Menteri dan juga Menteri Luar Negeri India.
Bagi Nehru, kisah-kisah moral dari kitab suci bukan sekedar pengantar tidur atau pelampiasan hobi baca belaka. Kisah-kisah itu menjadi inspirasi, motivasi dan energi moral untuk melakukan sesuatu bagi bangsanya. Kitab suci bukan dijadikan sebagai fokus sentral politik identitas yang membakar semangat fanatisme radikal, melainkan sumber kegairahan untuk sebuah perjuangan pembebasan India dari kungkungan kolonial.
Di Nazaret – Galilea, kitab suci itu dibacakan, dan sabda diperdengarkan. Seperti hampir semua kota, bagaimana pun kecilnya, di Nazaret ada sebuah rumah sembahyang – yang dalam Bahasa Yunani disebut sinagoge (tempat pertemuan, tempat berkumpul). Di rumah sembahyang itu setiap sabat orang-orang Yahudi merayakan ibadah. Liturgi dalam rumah ibadah itu memberi corak di kemudian hari pada liturgi gereja Kristen. Pertemuan itu dimulai dengan semacam pengakuan iman (antara lain dari Ulangan 6:4-9). Lalu doa-doa dipanjatkan, kemudian menyusullah pembacaan Kitab Suci, yang dilakukan dengan berdiri, sebagai tanda penghormatan terhadap Firman Tuhan. Pembacaan pertama diambil dari Taurat, bacaan kedua diambil dari kitab para nabi. Ayat demi ayat dibacakan dalam Bahasa Ibrani, kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Aram, Bahasa rakyat pada zaman Yesus. Sesudah itu pembicara duduk untuk memberi penjelasan pendek tentang nas yang dibaca. Semua orang dewasa berhak melakukan pembacaan Kitab Suci dan memberi interpretasi. Pertemuan itu ditutup dengan berkat dari imam atau doa seorang awam.
Kita Nabi Yesaya berkumandang. Yesus membacakan 61:1-2. Isisabda itutentang kabar baik. Ya, kabar baik untuk orang-orang papa, hina, miskin, tawanan, berkebutuhan khusus, yang sering kali tidak dipandang sebelah mata atau bahkan sebagai kutukan bagi para penyandangnya. Siapakah yang dimaksud dengan orang yang membawa kabar baik itu? Benar, selama ini orang-orang Yahudi sedang menantikan seorang Mesias pembawa kabar baik atau si pembebas yang akan membawa mereka pada zaman baru seperti era keemasan Daud atau Salomo.
Jemaat sinagoge itu tertegun dan kini mereka berharap cemas. Mereka menunggu jawab, siapakah si pembawa kabar baik itu? Siapakah Mesias yang dimaksudkan oleh Kitab Suci yang barus saja dibacakan Yesus? Sejurus kemudian, Yesus bersabda“Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Benar, Yesus tidak mengatakan terus terang bahwa yang dimaksudkan dalam Yesaya 61 itu ialah Sang Mesias dan Aku inilah Mesias itu!” Namun, tentu saja dalam kalimat itu tersirat bahwa yang dimaksudkan dengan Mesias itu adalah diri-Nya sendiri. Hal ini diperkuat dengan reaksi orang-orang yang mendengar-Nya. Mula-mula mereka takjub tentang kata-kata menyenangkan yang diucapkan oleh “anak Yusuf”, si tukang kayu, teman se-kota mereka. Namun, tidak lama setelah itu mulailah mereka marah dan bersungut-sungut.
Dari peristiwa pembacaan kitab suci di sinagoge minimal kita melihat dua cara pandang berbeda. Yesus, menjadikan bacaan Kitab Suci sebagai sebuah kaidah untuk melaksanakan karya-Nya kelak. Ia hadir untuk memenuhi nubuat kitab Nabi Yesaya yang dibaca-Nya itu. Jika dibandingkan dengan bacaan Injil minggu lalu (minggu kedua setelah Epifani) dari Yohanes, di sana dikisahkan bahwa permulaan pelayanan Yesus disertai dengan tandaatau mukjizat, yakni air menjadi anggur. Namun, menurut kisah Lukas, permulaan karya Yesus itu tidak dimulai dengan mukjizat, melainkan pengajaran; dengan sabda!Setelah Yesus selesai dicobai oleh Iblis, Ia memulai karya-Nya. Pekerjaan pertama-Nya adalah pengajaran. Pengajaran itu bersumber dari Kitab Suci. Selanjut-Nya dari pengajaran-pengajaran itu, Yesus tampil melakukan tepatseperti apa yang diajarkan-Nya. Jadi, Ia menghidupi sabda-Nya itu. Ia menjadikan firman yang diajarkan-Nya itu menjadi terlihat, terasa, dan memulihkan.
Ketika Yesus memberitakan tentang kabar baik dan mengatakan,“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku…”Dia membiarkan hidup-Nya dikuasai Roh Allah, sehingga apa pun yang terjadi, kehendak Bapa selalu berada pada posisi paling utama. Yesus begitu konsekuen bahkan sampai hari-hari terakhir pergumulan-Nya, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki,”(Matius 26:39).
Selanjutnya, Roh Tuhan yang mengurapi-Nya itu menuntun Yesus untuk menyampaikan kabar baik. Ini bukan kalimat kosong atau janji angin sorga. Tidak! Lihat, kabar baik itu benar-benar menjadi kenyataan. Yesus benar-benar menyapa orang-orang miskin yang tidak punya pengharapan, Ia menyediakan roti bagi yang lapar dan air kepada yang haus! Ia juga benar-benar membebaskan orang dari belenggu Iblis yang menyesakkan. Ia memberikan penglihatan bagi orang buta, membebaskan orang tertindas. Dan orang-orang dengan terang-benderang melihat bahwa di dalam Yesus tahun rahmat Tuhan itu benar-benar telah datang! Yesus menjadikan bacaan Kitab Suci itu sebagai sarana untuk diri-Nya menghadirkan Allah yang abstrak menjadi nyata, menyentuh dan dapat disentuh; merangkul dan dapat dirangkul!
Sebaliknya, para pendengar di sinagoge itu, mendengar dan membaca kitab yang sama justru menghasilkan reaksi berbeda. Mereka menjadikan Kita Suci sebagai alat untuk menghakimi dan menghardik. Kitab Suci bagai pentung yang siap digunakan untuk memukul siapa pun yang berbeda dengan penafsiran mereka. Bukankah hari-hari belakangan ini kita menyaksikan bagaimana Kitab Suci dipakai sebagai alat pembenaran, alat politik identitas, alat penghakiman dan, mengenai itu kita telah banyak belajar: bukan kebaikan, bukan damai sejahtera dan bukan tahun rahmat Tuhan yang akan terjadi, melainkan malapetaka, konfliks, peperangan, dan kehancuran yang akan terjadi.
Sebaiknya, ketika kita berusaha menjadikan Kitab Suci sebagai sumber inspirasi untuk menghadirkan kasih karunia Tuhan, maka yang terjadi adalah pembebasan, perdamaian, dan rahmat Tuhan menjadi sebuah keniscayaan. Pandit Jawaharlal Nehru sudah membuktikannya. Inspirasi kisah moral kitab sucinya telah membawanya sebagai salah seorang pembebas India. Bagaimana dengan kita? Apa yang kita hasilkan dari pembacaan ke pembacaan Kitab Suci? Apakah berhasil menghadirkan Allah yang rahmani dan rahimi atau kehidupan keagamaan kita semakin eksklusif, intoleran dan radikal?
Jakarta, 24 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar