Rabu, 16 Januari 2019

MUKJIZAT ITU NYATA

Mukjizat sering dipahami sebagai sebuah solusi atau jalan mudah memecahkan persoalan. Seorang pasien sakit parah, dokter mengatakan tidak ada obatnya dan tinggal tunggu waktu saja. Keluarganya memohon Tuhan menyembuhkan melalui mukjizat. Mudah bukan? Tidak usah repot melakukan upaya diagnosa atau riset tentang penyakit dan metode pengobatannya. Contoh lain, seseorang sedang kesulitan keuangan, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda. Lalu, ketika selesai berdoa, rumahnya ada yang mengetuk. Tampak seseorang datang membawa segepok uang. Jumlahnya percis sesuai kebutuhan. Mukjizat! 

Salah satu aspek mukjizat adalah kemudahan, maka tidaklah mengherankan kalau banyak orang – terlepas dari keyakinan dan agama apa pun – mencari dan mengejar mukjizat. Berbeda dari kebanyakan orang, Albert Einstein mengajarkan kepada para mahasiswanya, “Kalian jangan memilih jalan yang mudah!” Banyak orang berpendapat ajaran Einstein ini bersumber dari karakter Pauline, sang ibu yang bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, selalu riang dan tanpa berpikir dua kali mengulurkan tangannya ketika melihat orang dalam kesulitan.

Pauline memahami benar potensi dan karakter Einstein. Sekalipun Einstein belum dapat berbicara pada usia empat tahun dan selalu berada di rangking buncit pada saat sekolah dasar, hampir semua orang, termasuk guru di sekolahnya mengatakan, “tidak ada kesempatan baginya untuk sukses, tidak mungkin ia sukses!” Namun, sang ibu sangat mengenalnya. Einsten memiliki karakter yang tidak akan puas jika belum mendapatkan jawab atau hasil dari sesuatu yang ia cari. Selanjutnya, Einstein tumbuh menjadi sosok peneliti dan ilmuwan andal kelas wahid.

Menarik, sang ibu selalu menolak untuk tinggal bersama Einstein. Mengapa? Ia menyadari kehadirannya dapat mengganggu penelitian anaknya. Pauline memilih menempatkan diri sebagai “pelayan” yang siap melakukan apa saja untuk mendukung penelitian anaknya. Ia menjauhkan apa saja yang dapat menghalangi penelitian putranya. Ia memilih menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan anaknya, hingga dapat menjadikan Einstein sebagai keajaiban dunia! Einstein memberikan kemajuan revolusi dalam ilmu fisika – yang pada saat itu dasar-dasarnya berakar dari teori-teori yang dikemukakan oleh Isaac Newton dan Galileo Galilei. Einsten terus melakukan penelitian yang memberikan kontribusi bagi peradaban dunia. Puncaknya ia meraih Nobel atas disertasinya “Teori Relativitas Umum.”

Kehadiran Einstein merupakan mukjizat bagi peradaban dunia. Tetnyata benar apa yang dikatakannya, “jangan memilih jalan yang mudah!” Keajaiban ilmu pengetahuan – dalam hal ini Fisika – jelas tidak dimulai dengan jalan yang mudah. Maka kelirulah kalau kita memahami bahwa mukjizat itu menyederhana atau meniadakan upaya manusia.

Mari kita belajar dari mukjizat pertama yang dilakukan oleh Yesus versi Injil Yohanes. Mukjizat itu adalah air menjadi anggur dalam sebuah pesta perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-11). Pesta perkawinan Yahudi pada zaman Yesus dapat berlangsung selama seminggu, dengan banyak sekali undangan. Kehabisan air anggur, minuman pesta, merupakan aib besar. Ibu Yesus, Maria mengetahui dan mengambil prakarsa. Namun, jawaban Yesus terdengar kurang sedap, “Mau apakah engkau dari-Ku, Ibu?”Jawaban ini mengindikasikan bahwa Yesus menolak permintaan ibu-Nya. Yang ditolak Yesus adalah usaha ibu-Nya untuk melibatkan diri-Nya dalam pemecahan masalah kekurangan anggur. “Saat-Ku belum tiba!”Kata-Nya. Saat atau waktu dalam Injil Yohanes menunjukkan pada saat kemuliaan, saat Yesus mati di kayu salib. Saat itu ditentukan oleh Sang Bapa sendiri, bukan oleh intervensi manusia.

Setelah ditegur dan prakarsanya ditolak, alih-alih kecewa dan marah, Maria memberi instruksi kepada para pelayan untuk melakukan apa pun yang Yesus katakan kepada mereka. Dengan demikian – meskipun secara fisik Maria adalah bunda yang melahirkan Yesus – ia dalam konteks ini memosisikan diri sebagai pelayan. Maria adalah tokoh pertama dalam kisah Injil yang memberikan respons kepercayaan yang memadai terhadap apa yang dikatakan Yesus. 

Instruksi itu ditaati oleh para pelayan. Mereka menyediakan enam tempayan besar masing-masing diisi penuh dengan air. Perintah berikutnya, “Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta!”Tanpa menerima informasi dan pembuktian bahwa air itu telah berubah menjadi anggur, dengan tidak ragu-ragu mereka membawanya kepada pemimpin pesta. Para pelayan bertindak tepat seperti apa yang dikatakan Yesus, sebagaimana telah dipesan oleh ibu-Nya. Percaya akan apa yang dikataka Yesus dan melakukannya akan membuahkan mukjizat itu terjadi. 

Pemimpin pesta takjub dan memuji kualitas air anggur prima yang dibawa oleh para pelayan. Ia memuji mempelai pria yang masih menyediakan air anggur yang baik sampai di penghujung pesta. Air anggur melambangkan sukacita. Sukacita yang berkualitas itu terus ada sampai akhir ketika Yesus hadir di tengah mereka. Bukan itu saja, mereka merespons positif, percaya dan melakukan tepat seperti apa yang Yesus perintahkan.

Benar, fokus kisah mukjizat ini bukanlah peran Maria atau mukjizat air menjadi anggur. Melainkan, pernyataan diri Yesus kepada dunia (epifani). Dalam Injil Yohanes, mukjizat itu diartikan sebagai tanda. Tanda menjadi sarana untuk menyatakan kemuliaan Yesus; menegaskan bahwa Yesus datang dari Allah, Ia adalah Firman Allah yang hidup yang menjadi manusia. Tanda yang dihadirkan Yesus memiliki makna simbolis. Anggur yang lebih baik dan berkelimpahan yang dapat membawa sukacita – bukan memabukkan – melambangkan apa yang dinantikan Israel dari Tuhan pada zaman keselamatan (Am.9:13-14; Hos. 14:8; Yer.31:12). Di dalam Yesus Allah mengaruniakan sukacita anugerah keselamatan sebagai ganti hukum Taurat. “Kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan melalui Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang melalui Yesus”(Yoh.1:16-17). 

Sekalipun fokus kisah mukjizat ini adalah Yesus, Sang pembuat mukjizat namun, dalam cerita ini Maria, ibu Yesus ditampilkan sebagai orang beriman istimewa yang percaya kepada firman Yesus dan menularkan keyakinannya itu kepada orang lain, dalam hal ini para pelayan untuk siap melakukan apa pun yang dikatakan Yesus. Para pelayan dengan taat melakukannya, lalu situasi pesta yang terancam penuh aib berubah menjadi pesta yang penuh sukacita baru. Zaman baru yang diantarkan oleh Firman yang menjadi manusia, diikutsertakan orang-orang yang – sama seperti Maria – percaya dan berpegang pada firman Tuhan.

Kisah mukjizat di dalam Injil selalu melibatkan orang-orang di sekeliling Yesus yang merespons positif kehadiran dan ucapan-Nya. Mukjizat tidak meniadakan usaha dan peran serta manusia. Sama halnya dengan doa. Doa tidak menggantikan upaya kerja keras si pendoa untuk bekerja dan berusaha mewujudkan apa yang terbaik supaya terjadi. Di balik keberhasilan Einstein ada Pauline yang sungguh-sungguh mengenal potensi anaknya. Ia percaya akan potensi itu, maka ia mendukungnya sepenuh hati. Sang ibu adalah orang pertama yang meyakini potensi itu.

Maria, sang bunda Yesus juga adalah orang pertama yang meyakini potensi Yesus dan ia bertindak tepat. Maria menyediakan fasilitas untuk terjadinya sebuah mukjizat di tengah krisis. Barangkali kita bukan sekaliber Maria atau pun Pauline. Namun, bukankah kita – dalam batas-batas tertentu – mengenal Tuhan kita, Yesus Kristus. Kita yakin, bahwa Dia sampai hari ini pun dapat melakukan tindakan mukjizat. Masalahnya, apakah kita hanya mau gampangnya saja? Mau air anggurnya saja tanpa ketaatan untuk menyediakan tempayan dan air? Ataukah kita hanya mau menerima hadiah Nobelnya saja tanpa harus melakukan serangkaian penelitian? 
Mencontoh dari Maria, ketika kita meyakini Yesus Kristus dapat melakukan mukjizat, maka mestinya kita percaya dan melakukan segala apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan, mestinya kita dapat melangkah lebih maju lagi yakni, kepercayaan Yesus sebagai Mesias tidak lagi memerlukan pembuktian tanda atau mukjizat! Bukankah Alkitab sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah yang hidup?

Jakarta, Minggu kedua sesudah Epifani 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar