Kamis, 30 Maret 2023

LEMAH LEMBUT SEPERTI YESUS

Flexing, menjadi kata yang belakangan ini sangat populer. Twitter, Instagram, TikTok dan platform media sosial lainnya menjadi sarana atau wahana orang ber-flexingFlexing sering diartikan sebuah tindakan pamer kekayaan melalui media sosial. Beberapa pakar ilmu sosial berpendapat bahwa budaya flexing sebenarnya sudah ada jauh sebelum marak dan berkembangnya media sosial. Pada umumnya orang ingin menampilkan apa yang menjadi keunggulannya.  Orang ingin terlihat memiliki kekayaan, kekuasaan, ingin terlihat menarik secara fisik dan populer!

 

Ketika Yesus masuk Yerusalem, Ia tidak sedang flexing, memamerkan kekuasaan-Nya tampil sebagai Raja. Tidak! Kehadiran-Nya sangat bersahaja. Sederhana! Namun, Kota Raja Besar, itu bergetar! Guncangannya bak lindu yang memaksa penduduknya keluar. Ini kali kedua, Yerusalem bergejolak. Keduanya disebabkan oleh berita yang sama: Kedatangan Sang Raja! Peristiwa pertama berita kedatangan Sang Raja itu didengungkan oleh para cendikia bijak, yakni orang-orang Majus dari Timur. Sesampainya di Yerusalem mereka bertanya tentang raja orang Yahudi yang baru dilahirkan. Ketika pertanyaan itu sampai di telinga Herodes, gemparlah seluruh Yerusalem!

 

Peristiwa kedua adalah ketika Sang Raja itu memasuki Yerusalem. Putri Sion, penduduk Kota Raja Besar itu diajak bergembira menyambut kedatangan Sang Raja Penyelamat. Bagi Matius kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem merupakan penggenapan dari Yesaya 62:11 dan Zakharia 9:9, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Sion, bersorak-sorailah, hai putri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai beban muda.”

 

Tentu saja Matius menyadari bahwa Raja itu adil dan jaya. Namun, kali ini ia fokus pada sisi “lemah-lembut” sehingga Matius menulisnya dengan, “Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Matius 21:5). Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang berharap penuh akan kedatangan Mesias; Mesias yang akan datang itu adalah sosok yang memiliki wibawa seorang raja: Ia adil dan jaya sekaligus juga adalah sosok lemah lembut, maksudnya adalah Mesias yang memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh satu sisi kebesaran dan sisi lain kelemah-lembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersamaan.

 

Kita dapat membayangkan Raja yang dinanti-nantikan itu datang. Ia yang diharapkan itu adalah Raja perkasa yang adil dan jaya yang akan mewujudkan mimpi-mimpi mereka sebagai kaum tertindas dari imperium Romawi. Namun, pada saat yang sama Raja itu justru tampil sangat sederhana. Naik keledai! Ini tidak biasa karena keledai bukanlah tunggangan para pahlawan yang siap berkonfrontasi dengan siapa pun yang dianggap lawan. Keledai adalah tunggangan niaga; kendaraan damai!

 

Matius mengajak mereka yang mendengar berita Injilnya melihat dengan mata batin. Bukan dua figur berbeda yang mendatangi Kota Raja Besar itu. Tetapi satu sosok dengan dua kontras berbeda: sosok yang adil dan jaya tetapi juga lemah lembut. Ini bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Sang Mesias yang datang itu adalah Raja yang penuh dengan wibawa tetapi juga utusan Tuhan yang lemah lembut. 

 

Keledai, mengapa bukan kuda atau kereta perang? Meski keledai sering dipergunakan untuk mengangkut barang, namun belum tentu setiap orang bisa menungganginya dengan baik. Lebih sukar mengendarai keledai ketimbang hewan tunggangan yang lainnya. Keledai biasanya bukan hewan penurut, lagi pula tidak dapat berjalan dengan cepat. Oleh karena itu, keledai banyak digunakan untuk mengangkut barang, bukan dikendarai orang. Keledai yang mengangkut barang itu pun harus dituntun oleh pemiliknya agar dapat mengarahkannya kapan harus belok, diam dan berjalan. Hanya orang yang “pintar” yang bisa menunggangi keledai tanpa ada yang mengarahkannya di depan. Apalagi keledai yang belum pernah dikendarai orang. Kita mengingat kisah Bileam, seorang ahli ilmu gaib yang diminta oleh Raja Balak, tetapi akhirnya Bileam yang menunggangi keledai betina itu memahami apa dan siapa yang sedang dihadapinya dan tidak jadi menuruti permintaan raja angkara murka itu (Bilangan 22-24)

 

Kini, Yesus memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai. Jelas ia bukan teman seperguruan dari Bileam. Tetapi Yesus adalah orang yang tahu mengarahkan tunggangan yang sukar itu. Melalui drama simbolik ini, mau mengatakan bahwa: Yesus adalah orang yang penuh kearifan. Ia dapat menyatukan kejayaan dan kelemah-lembutan, dua kenyataan yang melekat pada diri seseorang yang sangat sulit dibayangkan!

 

Orang-orang yang menyambut-Nya dengan antusias menghamparkan pakaian di jalanan ketika Yesus lewat. Apa maksudnya? Pertama, Dia yang lewat itu pasti tidak akan menjejak tanah yang kerap dipakai untuk menggambarkan kerapuhan serta kelemahan manusia. Yang mendatangi Yerusalem ini adalah Raja yang mengatasi kelemahan dengan kebijaksanaan yang lembut namun berwibawa. Tindakan menghamparkan pakaian itu menggambarkan kesediaan orang-orang yang melakukannya untuk tunduk kepada Dia yang sedang mendatangi mereka dengan kebijaksanaan. Pakaian membuat orang yang memakainya menjadi jelas. Pakaian menjelaskan identitas pemakainya. Bila pakaian itu dilemparkan, digelar untuk menjadi alas orang yang berwibawa berarti menandakan bahwa yang memakainya bersedia menghambakan diri kepada orang tersebut!

 

Betulkah mereka menghambakan diri kepada Raja Mesias yang sedang lewat itu? Belum tentu! Ketika Yesus masuk dan menggemparkan Yerusalem, kekuatan-kekuatan yang mengancam dan membenci Yesus belum terakumulasi menjadi sebuah kekuatan besar. Namun, sebentar lagi kekuatan-kekuatan yang mau menyingkirkan kuasa yang lemah lembut itu akan segera menyatu, tampil dan menangkap serta menganiaya Yesus! Pada saat itulah orang-orang yang mengelu-elukan Yesus dan menyatakan diri tunduk kepada-Nya mulai berbalik dan menyatu dengan kekuatan destruktif. Mereka Bersatu menyerukan kematian bagi Sang Raja yang lemah lembut itu!

 

Di Minggu pra-paskah terakhir kita diajak untuk meneladani karakter dan sifat Yesus yang lemah-lembut. Lemah lembut bukanlah semata-mata murah senyum, ramah dan penuh kesantunan dan tidak pernah marah. Musa, dalam Alkitab dicatat sebagai pribadi yang lemah lembut, Bilangan 12:3 mengatakan, “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.” Namun, Musa bisa tampil sangat tegas, ia bisa marah! Lemah lembut adalah sikap yang mau mengerti dan peduli. Ia bisa marah pada saat yang tepat dengan kadar yang tepat dan alasan yang jelas. Kemarahannya bukan lantaran kepentingan pribadi yang terusik. Namun karena apa yang seharusnya tidak dilakukan. Orang yang lemah lembut bisa marah kalau kehendak Tuhan dilecehkan. 

 

Kelemah-lembutan Yesus mengajarkan kepada kita untuk senantiasa rendah hati walaupun sedianya Yesus bisa tampil dengan kejayaan-Nya namun Ia tidak memakai-Nya untuk menjadi jalan pintas menjatuhkan lawan-lawan-Nya. Paulus dengan indah membahasakannya, “…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia…”(Filipi 2:6,7). Yesus setia kepada kehendak Bapa-Nya. Bisa saja pada saat ini Tuhan menitipkan kepada kita kuasa dan takhta untuk mengatur dan memerintah. Apakah dengan mudah kita menggunakan untuk kepentingan dan kesenangan diri sendiri? Apakah kita menggunakannya untuk memperlancar urusan pribadi kita? Senang memamerkan kekayaan dan kepandaian? 

 

Jakarta, 29 Maret 2023 Minggu Palmarum tahun A 2023

 

 

 

Kamis, 23 Maret 2023

BANGKIT DARI TITIK NADIR

Pada 1969 Elisabeth Kübler-Ross mendefinisikan lima tahapan orang dalam menghadapi dukacita akibat kematian kerabat dekatnya. Tentu saja sebagai seorang psikolog Kübler-Ross melakukan riset panjang untuk dapat menyatakan teorinya. Kelima tahapan tersebut adalah: 

 

Denial (penyangkalan). Pada umumnya, orang akan syok dan tidak percaya bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi.

 

Anger (amarah). Marah bahwa orang yang kita sayangi sudah tidak ada lagi. Meninggal!

 

Bargaining (tawar-menawar). Tahap ini ditandai dengan ungkapan “Seandainya…” dan diikuti oleh penyesalan yang bermunculan.

 

Depression (depresi). Kesedihan akut akibat kehilangan.

 

Acceptance (penerimaan). Menerima kehilangan itu sebagai sebuah kenyataan.

 

Kelima tahapan tersebut bukan merupakan harga mati. Setiap orang punya tingkat emosi dan spiritualitas berbeda. Kelima tahapan ini bukan juga cara untuk membenahi emosi yang kacau balau menjadi suatu kemasan rapi. Namun, melalui penjelasan Kübler, kita dapat memahami situasi dukacita atau tepatnya emosi seseorang ketika menghadapi kedukaan.

 

Meminjam tahapan kedukaan versi Kübler kita dapat memahami apa yang dirasakan dan dihadapi oleh Maria dan Marta ketika Lazarus, saudara mereka meninggal. Gambaran marah, penyesalan, depresi yang ditandai dengan kesedihan akut itu tergambar jelas dari ucapan Marta dan Maria, “Tuhan sekiranya Engkau ada di sini, suadaraku pasti tidak mati!” (Yohanes 11:21, 32). Marta dan Maria berada dalam titik nadir, situasi dan kondisi terkelam dalam kehidupan mereka sebagai orang-orang yang mengasihi sebagai saudara. Kita bisa berada pada pasisi Marta dan Maria. Pada titik nadir itu kita marah, menyesali dan depresi. Kita menyalahkan orang lain, diri sendiri dan Tuhan. Kita menyesali diri dan menutup diri, tidak dapat melihat pengharapan. Larut dalam dukacita!

 

Sepertinya Yesus sudah mengetahui apa yang terjadi dengan Lazarus. Mengapa Ia mengulur waktu untuk segera datang menolong Lazarus? Bukankah seharusnya ketika seseorang mendengar sahabat yang dikasihinya sekarat akan segera bergegas pergi untuk menolong? Hal ini justru tidak terjadi dengan Yesus. Ketika Ia mendengar kabar bahwa Lazarus sakit, Yesus sengaja tinggal dua hari lagi di tempat di mana Ia berada!” (Yohanes 11:8). Bayangkan kita berada di posisi Marta dan Maria!

 

Lalu apa dan bagaimana Yesus memandang keluarga ini? Apa dan bagaimana Yesus memandang kematian? Ada gambaran samar namun tampaknya ini bisa menjelaskan kepada kita tentang sikap Yesus ini.  Yesus berkata, “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yohanes 11:4).

 

Tidak dapat diragukan, baik dari ungkapan emosional maupun bahasa yang dipakai Yesus begitu dekat dengan keluarga di Betania ini. Bukan sekedar tahu atau kenal, mereka adalah sahabat-sahabat Yesus. Yesus pun saya kira terpukul mendengar kabar tentang sakitnya Lazarus. Menurut Yesus penyakit Lazarus tidak akan membawanya dalam kematian bukan berarti Lazarus tidak benar-benar mati. Nyatanya, Lazarus mati. Ia sudah berada empat hari dalam kubur! Yang dimaksud Yesus adalah kematian yang membawanya kepada maut dan menghapus segala pengharapan.

 

Yesus menyatakan bahwa peristiwa Lazarus ini justru akan menyatakan kemuliaan Allah dan penyakit itu akan memuliakan Anak Allah. Melalui dukacita bahkan di titik nadir kehidupan manusia Allah sanggup mengubahnya menjadi kemuliaan. Allah Sang Pemilik kehidupan adalah pengendali utama dan manusia yang meyakini-Nya seharusnya menyerahkan kendali itu kepada-Nya. Ini tidak berarti bahwa manusia tidak diberi ruang untuk marah, dukacita, kecewa dan depresi. Yang diminta-Nya, seperti terungkap dalam ucapan Yesus, “Percayakah engkau akan hal ini?”

 

Percaya tidak berarti harus menampikkan tahapan-tahapan dukacita. Yesus sepertinya sengaja untuk tidak datang pada saat-saat kritis Lazarus. Kedatangan-Nya yang dirasakan terlambat itu justru memberi ruang kepada mereka untuk belajar percaya! Belajar melangkah melalui tahapan-tahapan kesedihan itu. Dan, pada akhirnya mereka benar-benar melihat kemuliaan Allah. Lazarus yang sudah meninggal empat hari dan diperkirakan sudah berbau itu kini bangkit, berjalan. Ia hidup!

 

Dalam peristiwa ini kita sering melupakan apa yang menjadi pergumulan Yesus. Sepotong ayat menjadi gambaran, “…., sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yohanes 11:4). Apa yang dimaksud “Anak Allah akan dimuliakan”? Apakah kemuliaan yang dimaksud itu adalah tepuk tangan dan sorak kekaguman orang-orang yang menyaksikan mayat berjalan keluar dari kuburnya? Apakah kemuliaan itu adalah kesedihan yang dipulihkan: ratapan Marta dan Maria diubah menjadi tarian sukacita lalu mereka memuji dan memuliakan Allah? Ya, tidak salah bahwa mereka – orang-orang yang mengasihi Lazarus – larut dalam sukacita dan memuji Allah.

 

Anak Allah akan dimuliakan. Injil Yohanes punya cara berbeda dari Injil sinoptik dalam melihat peristiwa salib. Injil Sinoptik memandang kesengsaraan begitu keji dan mengerikan. Yesus bergumul berat di Getsemani menjelang penangkapan-Nya itu. Ia bagaikan domba yang dibawa ke pembantaian. Injil Yohanes nyaris tidak ada gambaran itu. Tidak ada pergumulan di Getsemani yang menceritakan ketakutan Yesus. Tidak ada pula seruan “Eloi, Eloi lama sabaktani!” Sebaliknya, Yohanes memandang jalan salib itu adalah jalan kemuliaan. Ya, salib adalah jalan Anak Allah dimuliakan!

 

Anak Allah akan dimuliakan, dalam versi Injil Yohanes dapat kita fahami kira-kira seperti ini. Melalui peristiwa Lazarus yang sakit dan akhirnya meninggal, Yesus bergumul. Ia tahu bahwa Allah Bapa selalu mendengarkan-Nya. Ia dapat dan berkuasa untuk membangkitkan sahabat yang dicintai-Nya. Namun dampaknya, Ia harus membayar dengan kematiaan-Nya! Loh koq bisa begitu? Ya, dalam Injil Yohanes puncak kebencian orang-orang Yahudi yang memusuhi-Nya adalah ketika mereka menyaksikan Lazarus dibangkitkan. Ada orang yang melaporkan peristiwa itu kepada orang-orang Farisi. Lalu imam-imam kepala dan orang-orang Farisi memanggil Mahkamah Agama untuk berkumpul dan mereka berkata: “Apa yang harus kita perbuat? Sebab orang itu membuat banyak mukjizat?” Bahkan Imam Besar Kayafas bertekad untuk menangkap dan membunuh Yesus, “…., bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa!” (Yohanes 11:50).

 

Yesus sangat paham apa yang akan terjadi ketika Ia menyatakan cintanya kepada keluarga Lazarus. Konsekuensinya: Ia harus mati! Kebangkitan Lazarus harus dibayar dengan kematian-Nya! Di sinilah kita mengerti mengapa Yesus seolah-olah menunda kehadiran-Nya di rumah Lazarus. Di sinilah kita faham bahwa untuk mencintai Yesus melakukan pengurbanan. Di sinilah “pergumulan Getsemani” dapat kita lihat dalam versi yang lain!

 

Tidak hanya Marta, Maria dan Lazarus, Yesus faham bahwa setiap orang suatu kali pernah berada dalam titik nadir. Pengalaman yang paling kelam dalam kehidupan. Bukan berarti Ia tidak mau tahu dan diam. Yesus bergumul bersama kita, Ia memberi ruang kepada kita untuk belajar percaya. Belajar tahu dan mengerti bahwa begitu besar kasih-Nya kepada kita sehingga untuk membangkitkan kita Ia harus mengalami sengsara dan kematian. Benar tidak ada jalan mudah untuk sebuah cinta. 

 

Jika hari ini Anda sedang berada pada titik nadir kehidupan. Jika hari-hari yang Anda lalui terasa begitu panjang dan menjemukan. Ingatlah ada sosok yang sangat peduli dan mengasihi Anda. Dialah Yesus yang mau dan sanggup menggantikan titik nadir Anda dengan kematian-Nya!

 

 

Jakarta, 23 Maret 2023. Minggu Pra-Paskah V tahun A 

 

 

 

 

Kamis, 16 Maret 2023

MENJADI TERANG DI TENGAH TOXIC COMMUNITY

Baru saja Yesus merangkul dan membebaskan perempuan yang tertangkap zina. Yesus membuat orang-orang yang merasa diri lebih suci menjadi tidak berkutik. Satu persatu dengan muka yang tertunduk mereka meninggalkan-Nya. Cukup puaskah mereka? Oh, ternyata tidak! Komunitas yang merasa diri lebih terhormat ini dengan pelbagai cara menjebak, konfrontasi dan rekayasa untuk menyingkirkan Yesus.

 

Yesus yang menyelamatkan perempuan itu dari rajaman batu, dirajam! “Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah.” (Yohanes 8:59). Bait Allah yang sejatinya tempat perjumpaan manusia dengan Sang Khaliq menjadi ruang eksekusi bagi siapa saja yang dianggap berdosa oleh mereka yang mengaku diri kelompok saleh dan suci. Bait Allah bukanlah tempat yang nyaman bagi si pendosa untuk dirangkul, diterima dan dipulihkan kembali, melainkan tempat penghakiman dan penghukuman!

 

Yesus meninggalkan Bait Allah. Ia tersingkir! 

 

Yesus yang meninggalkan Bait Allah itu tahu benar artinya menjadi orang tersingkir. Maka tidak mengherankan ketika Ia berjalan, mata-Nya tertuju kepada orang yang tersingkir. Pengemis buta! Ya, ia tersingkir karena anggapan komunitasnya bahwa dia atau orang tuanya berdosa maka dia dilahirkan buta. Stigma masyarakat dan kebutaannya membuat dia tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan yang bisa dilakukannya hanyalah mengemis. Tragis!

 

Hati Yesus tergerak oleh pengemis yang tidak dikehendaki dan dikucilkan oleh komunitasnya. Si Pengemis buta ini dipinggirkan karena kekurangannya. Seolah-olah pribadi yang cacat itu bukan siapa-siapa, tidak punya suara, oleh karenanya tidak perlu didengar teriakannya, tidak punya harapan, atau kebutuhan maka pantaslah diabaikan. 

 

Mengapa orang-orang seperti ini diabaikan? Apakah cacat merupakan hukuman dari Allah karena dosa yang tersembunyi? Pikiran tersebut hanya mungkin timbul kalau kita berpikir bahwa Allah seperti kita: Anda menyakiti saya, sekarang saya akan membalas menyakiti Anda. Ini pemikiran toxic, beracun dan berbahaya! Tampaknya baik tetapi dampaknya mematikan. Ya, seperti racun itu! 

 

Kita sering mengira bahwa kalau orang berhasil, kaya, mempunyai posisi jabatan mentereng, keluarganya baik, itu semua adalah tanda bahwa Tuhan memberkati. Sementara itu kegagalan, relasi yang retak, kesehatan yang jelek, bencana dan semacamnya adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dan jelek dalam hidup mereka. Berdosa! 

 

Seorang Kristen menunggui istrinya melahirkan. Lalu, pada waktu putrinya lahir ia melihat anaknya itu terlahir cacat, reaksinya yang spontan adalah, “Salah saya apa, sehingga Allah melakukan ini terhadap saya dan anak saya?” Inilah juga yang menjadi pandangan atau mungkin juga sikap iman dari murid-murid Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta?” Apakah ini merupakan pandangan Yesus juga? Bukan! Itulah sebabnya Ia menjawab pertanyaan para murid, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”(Yohanes 9:3)

 

Orang-orang buta dan berkebutuhan khusus lainnya adalah sama seperti orang lain juga. Orang-orang ini memang mempunyai banyak kelemahan, kalau hal itu dikaitkan dengan kemampuan fisik, pengetahuan dan kekuasaan. Namun, dalam kaitan dengan hati dan hal-hal yang berhubungan dengan kasih, banyak dari antara mereka melebihi orang-orang yang merasa normal. Dengan cara yang penuh misteri, mereka tampaknya lebih terbuka terhadap Allah Sang Kasih dan kasih Allah. Sebaliknya, orang-orang yang mencari pengaruh, pujian dan kekayaan untuk diri sendiri sering kali tampak tertutup terhadap Allah karena merasa kuat dan cukup dalam diri sendiri.

 

Yesus, pribadi yang berbela rasa, menyentuh orang itu. Ia menyembuhkan tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan menyentuhnya. Ludah Yesus dan tanah tidak usah ditafsirkan berdaya magis. Bukan itu yang dimaksud sebab tanpa sarana apa pun, Yesus bisa memulihkan! Suara dan sentuhan sangat penting bagi orang buta. Sentuhan adalah indra yang penting, sentuhan adalah ungkapan kasih karena sentuhan mengandaikan kehadiran, kedekatan dan kelembutan. Adukan ludah dan tanah yang disentuhkan Yesus pada mata yang buta itu bagaikan penawar toxic, racun mematikan dari komunitas yang membuatnya tersingkir. Si Buta dari lahir itu kini melihat! 

 

Sayang, kondisinya terbaik. Kini, orang banyak meragukan dan mencari-cari dalil agar bisa membatalkan mukjizat itu. Merekalah yang kini menjadi buta. Seharusnya mereka ikut bersukacita karena satu orang buta yang pada zaman itu tidak mungkin dapat melihat kembali, kini dapat melihat. Mereka meragukannya, “Apakah dia yang benar-benar dahulu buta?” Berhadapan dengan pertanyaan itu, Si Buta yang telah celik dengan tegas menjawab, “Benar, akulah dia!”

 

Tidak puas dengan kenyataan yang terjadi, para pemuka agama itu memperkarakan bahwa tidak mungkin hal itu berasal dari Allah, sebab peristiwa pemulihan itu terjadi pada hari Sabat, berarti yang melakukannya adalah orang berdosa. Namun, orang Farisi yang lain berpendapat bahwa seorang pendosa tidak pernah bisa melakukan mukjizat seperti itu. Mereka terbelah, oleh karena itu mereka bertanya kepada orang yang telah dicelikkan itu, “Dan engkau, apakah katamu tentang Dia?” Orang itu menjawab, “Dia adalah seorang nabi.”

 

Cukupkah dengan keterangan dari orang yang telah dicelikkan itu? Tidak! Mereka mencari orang tuanya dan menanyakan apakah benar orang itu buta sejak dilahirkan? Orang tuanya menjawab, “Yang kami tahu  ialah, bahwa ia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta, tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakan kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri.” Orang itu takut dengan tekanan. Mereka sadar, para pemimpin agama ini telah sepakat bahwa setiap orang yang mengakui Yesus adalah Mesias, harus dikucilkan dari sinagoge. Rasa takut akan dikucilkan mengalahkan kegembiraan mereka karena anak mereka disembuhkan.

 

Orang-orang Farisi itu memanggil kembali orang yang telah dipulihkan dari kebutaannya. Mereka bersoal jawab. Tampaknya orang yang tadinya buta itu semakin meyakini bahwa Yesus yang menyembuhkannya benar-benar berasal dari Allah. Kini, dengan kewenangannya orang-orang Farisi itu mengusirnya. Kembali ia harus disingkirkan!

 

Jika minggu lalu kita mendengar perempuan Samaria yang berjumpa dengan Yesus di pinggir sumur Yakub sebagai pemberita Injil pertama. Kini, orang yang lahir but aini adalah orang pertama dalam kisah Injil yang ditolak dan disingkirkan lantaran ia berpegang teguh akan keyakinannya kepada Yesus. Setelah dapat melihat, sebenarnya ia dapat memperoleh tempat kembali dalam komunitas Yahudi. Ia tidak harus tersingkir lagi. Namun, ia memilih kebenaran dan memberi kesaksian akan penyembuhan yang baru saja dialaminya.

 

Salah satu ciri toxic community adalah gemar menyingkirkan orang atau kelompok yang berbeda. Komunitas yang gemar membanggakan diri dan memandang rendah yang lain. Gereja tidak steril dari toxic community di sinilah kita hadir membawa terang Kristus. Seperti orang buta yang telah dipulihkan, kehadiran kita akan membawa terang sehingga dapat melihat seperti Yesus melihat. Tidak ada lagi orang yang merasa disingkirkan. Gereja adalah tubuh Kristus yang merangkul semua orang. Semua orang istimewa dan berharga! 

 

 

Jakarta, 16 Maret 2023 Minggu Pra-Paskah ke-4 tahun A

 

 

Kamis, 09 Maret 2023

DISEGARKAN AIR KEHIDUPAN

 

 

מדבר צין‎, Midbar Tzin: Padang gurun Sin yang letaknya tidak jauh dari Gunung Sinai tentu bukan tempat piknik atau rekreasi. Padang gurun mendengar namanya saja kita sudah merasa gerah, panas dan gersangserta gambaran menakutkan tentang badai gurun yang siap menyapu siapa saja yang berada di atas lautan pasir itu. Di padang gurun itu sampailah umat yang dipimpin Musa. 

 

Belum lama mereka melewati perjalanan mendebarkan. Bak syair lagu grup band tempo doeloe “Maju kena, mundur kena”. Di belakang pasukan Fir’aun dengan kekuatan pamungkas siap melumat umat itu. Dan, di depan mereka ada Laut Teberau. Pikir mereka: Binasa kita sekarang! Ajaib, tongkat Musa dipakai TUHAN menjadi jalan untuk mereka selamat dan melanjutkan ziarah menuju tanah perjanjian.

 

Ternyata perjalanan itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Padang gurun Sin membuat siapa saja segera penat. Padang gurun itu menguras tidak hanya tenaga dan stamina tetapi juga emosi dan spiritual. Umat itu menggugat Musa, “Berikan air kepada kami, supaya kami dapat minum … Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?”Keganasan padang gurun itu membuat mereka lupa akan tindakan Allah yang menolong mereka melewati kemelut “maju kena mundur kena”. Mereka juga lupa bahwa Allah yang sama telah memberi makanan mana.

 

Bisa saja perjalanan hidup kita hari ini sedang berada di padang Gurun Sin! Penat dan melelahkan. Pergumulan yang dihadapi begitu menjemukan bahkan badainya kelewat dahsyat sehingga tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan. Sangat mungkin dalam titik nadir ini kita bertanya seperti Umat Israel bertanya, “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” (Keluaran 17:7). Dahsyatnya pergumulan hidup itu seakan seperti badai gurun yang melumat semua perjalanan manis kita dengan Tuhan. Kita lupa seperti Israel lupa akan penyertaan TUHAN. Kita lupa bahwa sampai hari ini ketika kita masih menghirup nafas kehidupan ada rangkaian peristiwa di belakang itu. Ya, pelbagai peristiwa di mana Tuhan telah mengasihi, menguatkan, mencukupkan, menyembuhkan dan memulihkan.

 

Letih, penat dan berbeban berat jelas membutuhkan pertolongan sebab jika tidak seseorang akan binasa. Air yang menyegarkan merupakan gambaran yang dapat melegakan dan menyegarkan untuk melanjutkan perjalanan. Air merupakan metafor tidak hanya kebutuhan fisik tetapi juga spiritual dan psikis. Siapakah yang dapat memberikannya?

 

Meskipun dekat dengan air, bahkan sedang menimbanya, perempuan Samaria yang dijumpai Yesus sejatinya dalam keadaan letih, penat dan berbeban berat. Ia membutuhkan air! Ya, bukan air yang ditimbanya. Lebih dari itu: air yang dapat memuaskan dahaga dan penatnya kehidupan yang sedang ia jalani. Bagaimana tidak, ia pergi ke sumur itu bukan pada jam setiap perempuan mengambil air. Siang hari bolong, pukul dua belas siang! Ia berusaha menghindar dari tatapan, pertanyaan dan mungkin juga gunjingan para perempuan lain tentang kelamnya jalan hidup yang ia lalui. Meski ia diam, Yesus mengungkapnya, “… engkau sudah mempunyai lima suami dan yang sekarang ada padamu, bukanlah suamimu….” Yesus mengungkapnya bukan untuk mempermalukan dan menghakimi bahwa dia hidup dalam dosa. Tidak! Apa yang diungkapkannya adalah menunjukkan bahwa Yesus tahu dengan tepat apa yang terjadi dengan dirinya.

 

Yesus menjumpai dan menerima perempuan yang lemah dan hidupnya hancur ini bukan dengan penampilan seorang suci yang hendak menggurui dan menyuruhnya bertobat. Yesus mengenal betapa dalam dan beratnya gambar diri yang negatif dari perempuan ini. Ia datang tidak untuk mengadili dan menghukumnya. Ia tidak mempertanyakan legalitas status perkawinannya. Yesus tidak datang dengan memberikan nasihat-nasihat moral kepadanya. Ia datang kepada perempuan itu sebagai “pengemis” air yang sedang kehausan di padang gurun. Yesus datang sebagai orang yang membutuhkan dan Ia memberi kesempatan kepada perempuan itu untuk berbuat sesuatu

 

Inilah jalan dan cara Yesus menghampiri setiap orang yang penat, letih lesu dan berbeban berat. Ia tidak hadir untuk menghakimi orang berdosa, Yesus sangat mengerti apa yang sedang kita gumuli. Yesus mulai berdialog dengan perempuan itu dan menciptakan relasi dengannya. Bayangkan, perempuan itu telah kehilangan sepenuhnya kepercayaan akan kebaikan dirinya. Tetapi Yesus mempercayainya. Dengan mempercayai, dan memberi kesempatan kepada perempuan itu untuk melayani-Nya – dalam hal ini memberi air – Yesus mengangkat dia dan mengembalikan kepercayaan pada harga dirinya. Menyegarkan!

 

Yesus menunjukkan bagaimana caranya mendekati orang yang letih-lesu, berbeban berat dan hancur. Tidak sebagai orang yang merasa diri lebih tinggi dan berasal dari “atas”, tetapi dengan rendah hati dari “bawah” sebagai seorang pengemis air. Menyejukkan!

 

Orang-orang yang sudah malu terhadap dirinya sendiri tidak membutuhkan orang yang bahkan akan membuat dirinya lebih dipermalukan. Yang dibutuhkannya adalah orang yang dapat memberikan harapan dan menunjukkan bahwa mereka bernilai, istimewa, berharga dan penting. Yesus menerima dan mencintai orang-orang yang hidupnya hancur. Pada Yesus ada air kehidupan yang siap menyegarkan dan memberi kekuatan bagi setiap orang yang letih lesu dan berbeban berat.

 

Jika kelamnya kehidupan perempuan Samaria tidak ada yang tertutup bagi Yesus, maka tidak ada juga yang tertutup segala sisi kelam dan kelemahan dari diri kita. Jika Yesus tahu dan mengerti apa yang dibutuhkan oleh perempuan Samaria itu, maka Ia tahu percis apa yang kita butuhkan. Jika Yesus dapat memberikan air kehidupan kepada perempuan Samaria itu, maka air kehidupan yang sama tetap tersedia dalam diri-Nya. 

 

Anda letih, lesu dan berbeban berat? Anda merasa tidak lagi punya harga diri mengingat sisi kelam kehidupan Anda? Anda haus mengarungi “padang Gurun Sin”, kehidupan yang gersang, kering dan tandus? Jangan bersungut-sungut seperti umat Israel menggugat Musa. Jangan biarkan marah, kebencian dan pandangan-pandangan negatif menguasai pikiran dan hati Anda. Ingat ada sosok yang sangat peduli. Ia tidak pernah menghakimi dan menelanjangi sisi gelap kehidupan Anda. Ia akan datang untuk memuaskan dahaga Anda; Ia menerima keberadaan Anda sebagaimana adanya. Ia tidak lagi mempermasalahkan statusmu, masa lalu dan dosa-dosamu. Ia hanya meminta bukalah hatimu. Ya, membuka hati sama seperti orang yang membawa bejana kosong untuk diisi oleh Air Kehidupan itu. Ini lebih dari cukup menjadi bekal untuk tiba sampai di negeri perjanjian kekal!

 

Lihatlah perempuan Samaria itu ketika ia telah mendapat “Air Kehidupan”. Tidak saja nilai dirinya menjadi positif. Ia sekarang bisa mengangkat kepala, bukan sombong tetapi percaya dirinya telah kembali. Ia tidak lagi murung tetapi berbicara dengan semua orang. Ia berbicara dan menyaksikan siapa Yesus Sang sumber Air Kehidupan itu. Injil Yohanes mencatat, “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: ‘Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” (Yohanes 4:39). Air Hidup itu tidak hanya menyegarkannya, Air itu telah meluap dan menyegarkan banyak orang!

 

 

Jakarta, 9Maret 2023, Minggu Prapaskah ke-3 Tahun A

 

 

 

 

Rabu, 01 Maret 2023

KENALI DAN PERCAYALAH

Mengenal berarti tahu lebih mendalam. Biasanya, seseorang akan percaya kalau sudah mengenal. Bukankah kita mau berbisnis dan mengambil risiko terhadap orang lain kalau sudah cukup mengenal. Kita mau berdagang dan menanamkan modal kepada orang lain tentu saja kalau kita sudah tahu track record-nya. Demikian juga ketika kita mengangkat seseorang menjadi karyawan atau orang kepercayaan, maka orang tersebut harus melalui tahap percobaan terlebih dahulu, barulah kita percaya. Dengan mengenali maka kita memperoleh rasa aman!

 

Sekarang, bagaimanakah relasi kita dengan Tuhan? Tahu dan mengenali lebih dulu baru kemudian mempercayai-Nya? Atau, percaya terlebih dahulu, baru kemudian kita dapat mengenali-Nya? Injil Yohanes mengajukan pertanyaan yang menyangkut dan mewakili kita semua. Kita membutuhkan rasa aman, oleh karena itu kita sibuk mencari tahu segala sesuatu supaya pasti. Kalau pun ada risiko, kita tahu bahwa hal itu dapat dikendalikan. Kita baru mau percaya dan mempercayakan diri kepada Yesus kalau semua pertanyaan-pertanyaan tentang Dia dapat terjawab dan masuk akal!

 

Nikodemus, sebagaimana kelompoknya sangat yakin akan dirinya sendiri. Ia adalah seorang petinggi Yahudi yang merasa aman dalam segi pengetahuan dan penguasaan hukum-hukum Allah. Ia mirip dengan para imam dan kaum Lewi yang diutus oleh para penguasa di Yerusalem untuk menyelidiki Yohanes Pembaptis. Ia membuka percakapan dengan Yesus, tetapi sebagai seorang yang merasa tahu, “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah…” (Yohanes 3:2). Nikodemus mempunyai keyakinan pasti. Ia mengetahui hukum! Jelas, kepastian wawasan iman dan hukum penting dan perlu. Kita perlu tahu mengenai Kitab Suci. Namun, pengetahuan akan hukum dapat membuat kita tertutup pada diri sendiri dalam kepuasan diri karena sudah merasa tahu, merasa bertindak sudah tepat dan ujungnya merasa sudah benar serta lebih hebat. Semua itu dapat menghalangi kita untuk mendengar dan terbuka bagi jalan dan anugerah Allah.

 

Orang-orang yang hidup berdasarkan keyakinan-keyakinan pasti dan hukum-hukum yang dikuasainya cenderung ingin menguasai orang lain. Dalil-dalil dipakai untuk mempertahankan diri dan menyerang. Nikodemus ingin mengkonfirmasi bahwa apa yang dikuasainya itu adalah benar. Ia mewakili orang-orang yang merasa aman kalau tahu dan mengenal terlebih dahulu. Ia akan percaya kalau Yesus yang ada di hadapannya itu terkonfirmasi atau sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ia kuasai. Maka tidaklah mengherankan kalau dalam percakapan itu Nikodemus cenderung tidak memahami apa yang Yesus uraikan. Bagi pemahaman nalar Nikodemus, mustahil orang dapat dilahirkan kembali. Bagaimana mungkin orang yang sudah lahir masuk kembali ke rahim ibunya? Dalam tataran ini, Nikodemus mewakili kita. Kita sulit memahami  ajaran dan perilaku Yesus oleh karena itu tidak sepenuhnya percaya kepada-Nya karena berangkat dari pemahaman bahwa kita harus lebih tahu dan mengenal Dia. Yesus dan kiprah-Nya harus memenuhi kaidah-kaidah pengetahuan kita, barulah kemudian kita mempercayai-Nya!

 

Dalam kisah percakapan dengan Nikodemus, Yesus hendak membalikkan apa yang menjadi pandangan umum manusia. Yesus mengoyak rasa aman manusia. Ia menantang manusia untuk berani keluar dari zona nyamannya. Ia menyatakan bahwa kalau kita percaya kepada-Nya maka hati dan pikiran kita terbuka. Kita dapat mengenali-Nya! Ketika kita menyatakan percaya kepada-Nya, maka relasi dengan-Nya akan terbangun dan kita tidak hanya tahu dan mengenal-Nya, tetapi lebih jauh dari itu: Dialah yang menghadirkan kehidupan kekal itu dan kepada kita diberikan-Nya hidup yang kekal itu! Kekal tidak harus diartikan dengan hidup di seberang kematian. Hidup kekal itu adalah hidup Ilahi yang dianugerahkan kepada kita sekarang ini juga pada saat kita percaya kepada-Nya!

 

Ketika kita percaya kepada Yesus, pada saat yang sama kita masuk dalam relasi dengan Yesus dan segera mengikuti-Nya. Pada saat itulah kita menerima hidup yang ada dalam diri-Nya. Hidup dan relasi seperti apa? Ya, hidup dan relasi sebagaimana Yesus hidup dan berelasi dengan Bapa-Nya. Begitu karib dan penuh cinta kasih! Di situlah kita mulai mengenali hidup abadi yang mulai tumbuh di dalam diri kita dengan ditandai tidak lagi tertarik pada berhala uang dan kekuasaan seperti yang ditawarkan Iblis sewaktu mencobai Yesus di padang gurun itu. Relasi yang terbangun dengan Yesus perlahan tapi pasti akan membuat kita mengerjakan seperti apa yang Yesus kerjakan. Kita mulai menanggalkan keegoisan dan mampu melihat orang lain sebagai sosok yang harus dihargai dan dicintai. Itulah nilai-nilai Kerajaan Allah; nilai-nilai kekal dalam kehidupan yang sesungguhnya.

 

Tanda-tanda kehidupan kekal yang dialami kita sekarang ini akan terus berkembang: kita mulai melihat orang lain seperti Yesus melihat mereka. Kita mulai mencintai mereka seperti Yesus mencintai mereka, kita memandang serta mencintai diri kita seperti Yesus memandang dan mencintai kita. Perjalanan bersama-Nya terus akan menemukan lebih banyak lagi nilai-nilai kekekalan itu dan kita akan merasakan bisikan Allah itu, “Aku mengasihi engkau seperti adanya engkau. Engkau tidak harus menjadi sempurna atau cerdas dan menguasai hukum. Engkau dicintai sebagaimana adanya. Aku begitu mengasihi engkau sehingga Aku datang untuk menyembuhkan engkau dan menganugerahkan hidup. Ya, hidup yang kekal itu kepadamu. 

 

Jangan takut! Bagimu cukup membuka hatimu untuk Aku tinggal. Bagimu cukup percaya dan engkau akan mengenal siapa Aku sesungguhnya! Maka, “Barang siapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal!”

 

Sudahkah kita percaya dan mempercayakan diri kepada Yesus? Jika ya, pasti akan tampak nilai-nilai kehidupan kekal itu terpancar dalam diri kita. Mencintai sebagaimana kita telah dicintai. Rela berkorban sebagaimana Yesus telah mati dan mengorbankan diri-Nya untuk kita. Berani mengampuni seperti Yesus mengampuni orang-orang yang membenci-Nya. Memulihkan yang terluka dan peduli terhadap penderitaan sesama. Jika, tanda-tanda itu belum terlihat, masih ada waktu. Buka hati jalin relasi yang baik, nanti kuasa kasih itu akan merasuki kita. Dan kita tidak lagi membutuhkan jawaban-jawaban yang memuaskan pertanyaan kita. Saat itulah kita akan tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita, seperti Bapa yang menyatu dengan Anak-Nya!

 

 

Jakarta, 1 Maret 2023 Minggu Prapaskah ke-2 tahun A.