Flexing, menjadi kata yang belakangan ini sangat populer. Twitter, Instagram, TikTok dan platform media sosial lainnya menjadi sarana atau wahana orang ber-flexing. Flexing sering diartikan sebuah tindakan pamer kekayaan melalui media sosial. Beberapa pakar ilmu sosial berpendapat bahwa budaya flexing sebenarnya sudah ada jauh sebelum marak dan berkembangnya media sosial. Pada umumnya orang ingin menampilkan apa yang menjadi keunggulannya. Orang ingin terlihat memiliki kekayaan, kekuasaan, ingin terlihat menarik secara fisik dan populer!
Ketika Yesus masuk Yerusalem, Ia tidak sedang flexing, memamerkan kekuasaan-Nya tampil sebagai Raja. Tidak! Kehadiran-Nya sangat bersahaja. Sederhana! Namun, Kota Raja Besar, itu bergetar! Guncangannya bak lindu yang memaksa penduduknya keluar. Ini kali kedua, Yerusalem bergejolak. Keduanya disebabkan oleh berita yang sama: Kedatangan Sang Raja! Peristiwa pertama berita kedatangan Sang Raja itu didengungkan oleh para cendikia bijak, yakni orang-orang Majus dari Timur. Sesampainya di Yerusalem mereka bertanya tentang raja orang Yahudi yang baru dilahirkan. Ketika pertanyaan itu sampai di telinga Herodes, gemparlah seluruh Yerusalem!
Peristiwa kedua adalah ketika Sang Raja itu memasuki Yerusalem. Putri Sion, penduduk Kota Raja Besar itu diajak bergembira menyambut kedatangan Sang Raja Penyelamat. Bagi Matius kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem merupakan penggenapan dari Yesaya 62:11 dan Zakharia 9:9, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Sion, bersorak-sorailah, hai putri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai beban muda.”
Tentu saja Matius menyadari bahwa Raja itu adil dan jaya. Namun, kali ini ia fokus pada sisi “lemah-lembut” sehingga Matius menulisnya dengan, “Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Matius 21:5). Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang berharap penuh akan kedatangan Mesias; Mesias yang akan datang itu adalah sosok yang memiliki wibawa seorang raja: Ia adil dan jaya sekaligus juga adalah sosok lemah lembut, maksudnya adalah Mesias yang memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh satu sisi kebesaran dan sisi lain kelemah-lembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersamaan.
Kita dapat membayangkan Raja yang dinanti-nantikan itu datang. Ia yang diharapkan itu adalah Raja perkasa yang adil dan jaya yang akan mewujudkan mimpi-mimpi mereka sebagai kaum tertindas dari imperium Romawi. Namun, pada saat yang sama Raja itu justru tampil sangat sederhana. Naik keledai! Ini tidak biasa karena keledai bukanlah tunggangan para pahlawan yang siap berkonfrontasi dengan siapa pun yang dianggap lawan. Keledai adalah tunggangan niaga; kendaraan damai!
Matius mengajak mereka yang mendengar berita Injilnya melihat dengan mata batin. Bukan dua figur berbeda yang mendatangi Kota Raja Besar itu. Tetapi satu sosok dengan dua kontras berbeda: sosok yang adil dan jaya tetapi juga lemah lembut. Ini bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Sang Mesias yang datang itu adalah Raja yang penuh dengan wibawa tetapi juga utusan Tuhan yang lemah lembut.
Keledai, mengapa bukan kuda atau kereta perang? Meski keledai sering dipergunakan untuk mengangkut barang, namun belum tentu setiap orang bisa menungganginya dengan baik. Lebih sukar mengendarai keledai ketimbang hewan tunggangan yang lainnya. Keledai biasanya bukan hewan penurut, lagi pula tidak dapat berjalan dengan cepat. Oleh karena itu, keledai banyak digunakan untuk mengangkut barang, bukan dikendarai orang. Keledai yang mengangkut barang itu pun harus dituntun oleh pemiliknya agar dapat mengarahkannya kapan harus belok, diam dan berjalan. Hanya orang yang “pintar” yang bisa menunggangi keledai tanpa ada yang mengarahkannya di depan. Apalagi keledai yang belum pernah dikendarai orang. Kita mengingat kisah Bileam, seorang ahli ilmu gaib yang diminta oleh Raja Balak, tetapi akhirnya Bileam yang menunggangi keledai betina itu memahami apa dan siapa yang sedang dihadapinya dan tidak jadi menuruti permintaan raja angkara murka itu (Bilangan 22-24)
Kini, Yesus memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai. Jelas ia bukan teman seperguruan dari Bileam. Tetapi Yesus adalah orang yang tahu mengarahkan tunggangan yang sukar itu. Melalui drama simbolik ini, mau mengatakan bahwa: Yesus adalah orang yang penuh kearifan. Ia dapat menyatukan kejayaan dan kelemah-lembutan, dua kenyataan yang melekat pada diri seseorang yang sangat sulit dibayangkan!
Orang-orang yang menyambut-Nya dengan antusias menghamparkan pakaian di jalanan ketika Yesus lewat. Apa maksudnya? Pertama, Dia yang lewat itu pasti tidak akan menjejak tanah yang kerap dipakai untuk menggambarkan kerapuhan serta kelemahan manusia. Yang mendatangi Yerusalem ini adalah Raja yang mengatasi kelemahan dengan kebijaksanaan yang lembut namun berwibawa. Tindakan menghamparkan pakaian itu menggambarkan kesediaan orang-orang yang melakukannya untuk tunduk kepada Dia yang sedang mendatangi mereka dengan kebijaksanaan. Pakaian membuat orang yang memakainya menjadi jelas. Pakaian menjelaskan identitas pemakainya. Bila pakaian itu dilemparkan, digelar untuk menjadi alas orang yang berwibawa berarti menandakan bahwa yang memakainya bersedia menghambakan diri kepada orang tersebut!
Betulkah mereka menghambakan diri kepada Raja Mesias yang sedang lewat itu? Belum tentu! Ketika Yesus masuk dan menggemparkan Yerusalem, kekuatan-kekuatan yang mengancam dan membenci Yesus belum terakumulasi menjadi sebuah kekuatan besar. Namun, sebentar lagi kekuatan-kekuatan yang mau menyingkirkan kuasa yang lemah lembut itu akan segera menyatu, tampil dan menangkap serta menganiaya Yesus! Pada saat itulah orang-orang yang mengelu-elukan Yesus dan menyatakan diri tunduk kepada-Nya mulai berbalik dan menyatu dengan kekuatan destruktif. Mereka Bersatu menyerukan kematian bagi Sang Raja yang lemah lembut itu!
Di Minggu pra-paskah terakhir kita diajak untuk meneladani karakter dan sifat Yesus yang lemah-lembut. Lemah lembut bukanlah semata-mata murah senyum, ramah dan penuh kesantunan dan tidak pernah marah. Musa, dalam Alkitab dicatat sebagai pribadi yang lemah lembut, Bilangan 12:3 mengatakan, “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.” Namun, Musa bisa tampil sangat tegas, ia bisa marah! Lemah lembut adalah sikap yang mau mengerti dan peduli. Ia bisa marah pada saat yang tepat dengan kadar yang tepat dan alasan yang jelas. Kemarahannya bukan lantaran kepentingan pribadi yang terusik. Namun karena apa yang seharusnya tidak dilakukan. Orang yang lemah lembut bisa marah kalau kehendak Tuhan dilecehkan.
Kelemah-lembutan Yesus mengajarkan kepada kita untuk senantiasa rendah hati walaupun sedianya Yesus bisa tampil dengan kejayaan-Nya namun Ia tidak memakai-Nya untuk menjadi jalan pintas menjatuhkan lawan-lawan-Nya. Paulus dengan indah membahasakannya, “…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia…”(Filipi 2:6,7). Yesus setia kepada kehendak Bapa-Nya. Bisa saja pada saat ini Tuhan menitipkan kepada kita kuasa dan takhta untuk mengatur dan memerintah. Apakah dengan mudah kita menggunakan untuk kepentingan dan kesenangan diri sendiri? Apakah kita menggunakannya untuk memperlancar urusan pribadi kita? Senang memamerkan kekayaan dan kepandaian?
Jakarta, 29 Maret 2023 Minggu Palmarum tahun A 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar