Kamis, 16 Maret 2023

MENJADI TERANG DI TENGAH TOXIC COMMUNITY

Baru saja Yesus merangkul dan membebaskan perempuan yang tertangkap zina. Yesus membuat orang-orang yang merasa diri lebih suci menjadi tidak berkutik. Satu persatu dengan muka yang tertunduk mereka meninggalkan-Nya. Cukup puaskah mereka? Oh, ternyata tidak! Komunitas yang merasa diri lebih terhormat ini dengan pelbagai cara menjebak, konfrontasi dan rekayasa untuk menyingkirkan Yesus.

 

Yesus yang menyelamatkan perempuan itu dari rajaman batu, dirajam! “Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah.” (Yohanes 8:59). Bait Allah yang sejatinya tempat perjumpaan manusia dengan Sang Khaliq menjadi ruang eksekusi bagi siapa saja yang dianggap berdosa oleh mereka yang mengaku diri kelompok saleh dan suci. Bait Allah bukanlah tempat yang nyaman bagi si pendosa untuk dirangkul, diterima dan dipulihkan kembali, melainkan tempat penghakiman dan penghukuman!

 

Yesus meninggalkan Bait Allah. Ia tersingkir! 

 

Yesus yang meninggalkan Bait Allah itu tahu benar artinya menjadi orang tersingkir. Maka tidak mengherankan ketika Ia berjalan, mata-Nya tertuju kepada orang yang tersingkir. Pengemis buta! Ya, ia tersingkir karena anggapan komunitasnya bahwa dia atau orang tuanya berdosa maka dia dilahirkan buta. Stigma masyarakat dan kebutaannya membuat dia tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan yang bisa dilakukannya hanyalah mengemis. Tragis!

 

Hati Yesus tergerak oleh pengemis yang tidak dikehendaki dan dikucilkan oleh komunitasnya. Si Pengemis buta ini dipinggirkan karena kekurangannya. Seolah-olah pribadi yang cacat itu bukan siapa-siapa, tidak punya suara, oleh karenanya tidak perlu didengar teriakannya, tidak punya harapan, atau kebutuhan maka pantaslah diabaikan. 

 

Mengapa orang-orang seperti ini diabaikan? Apakah cacat merupakan hukuman dari Allah karena dosa yang tersembunyi? Pikiran tersebut hanya mungkin timbul kalau kita berpikir bahwa Allah seperti kita: Anda menyakiti saya, sekarang saya akan membalas menyakiti Anda. Ini pemikiran toxic, beracun dan berbahaya! Tampaknya baik tetapi dampaknya mematikan. Ya, seperti racun itu! 

 

Kita sering mengira bahwa kalau orang berhasil, kaya, mempunyai posisi jabatan mentereng, keluarganya baik, itu semua adalah tanda bahwa Tuhan memberkati. Sementara itu kegagalan, relasi yang retak, kesehatan yang jelek, bencana dan semacamnya adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dan jelek dalam hidup mereka. Berdosa! 

 

Seorang Kristen menunggui istrinya melahirkan. Lalu, pada waktu putrinya lahir ia melihat anaknya itu terlahir cacat, reaksinya yang spontan adalah, “Salah saya apa, sehingga Allah melakukan ini terhadap saya dan anak saya?” Inilah juga yang menjadi pandangan atau mungkin juga sikap iman dari murid-murid Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta?” Apakah ini merupakan pandangan Yesus juga? Bukan! Itulah sebabnya Ia menjawab pertanyaan para murid, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”(Yohanes 9:3)

 

Orang-orang buta dan berkebutuhan khusus lainnya adalah sama seperti orang lain juga. Orang-orang ini memang mempunyai banyak kelemahan, kalau hal itu dikaitkan dengan kemampuan fisik, pengetahuan dan kekuasaan. Namun, dalam kaitan dengan hati dan hal-hal yang berhubungan dengan kasih, banyak dari antara mereka melebihi orang-orang yang merasa normal. Dengan cara yang penuh misteri, mereka tampaknya lebih terbuka terhadap Allah Sang Kasih dan kasih Allah. Sebaliknya, orang-orang yang mencari pengaruh, pujian dan kekayaan untuk diri sendiri sering kali tampak tertutup terhadap Allah karena merasa kuat dan cukup dalam diri sendiri.

 

Yesus, pribadi yang berbela rasa, menyentuh orang itu. Ia menyembuhkan tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan menyentuhnya. Ludah Yesus dan tanah tidak usah ditafsirkan berdaya magis. Bukan itu yang dimaksud sebab tanpa sarana apa pun, Yesus bisa memulihkan! Suara dan sentuhan sangat penting bagi orang buta. Sentuhan adalah indra yang penting, sentuhan adalah ungkapan kasih karena sentuhan mengandaikan kehadiran, kedekatan dan kelembutan. Adukan ludah dan tanah yang disentuhkan Yesus pada mata yang buta itu bagaikan penawar toxic, racun mematikan dari komunitas yang membuatnya tersingkir. Si Buta dari lahir itu kini melihat! 

 

Sayang, kondisinya terbaik. Kini, orang banyak meragukan dan mencari-cari dalil agar bisa membatalkan mukjizat itu. Merekalah yang kini menjadi buta. Seharusnya mereka ikut bersukacita karena satu orang buta yang pada zaman itu tidak mungkin dapat melihat kembali, kini dapat melihat. Mereka meragukannya, “Apakah dia yang benar-benar dahulu buta?” Berhadapan dengan pertanyaan itu, Si Buta yang telah celik dengan tegas menjawab, “Benar, akulah dia!”

 

Tidak puas dengan kenyataan yang terjadi, para pemuka agama itu memperkarakan bahwa tidak mungkin hal itu berasal dari Allah, sebab peristiwa pemulihan itu terjadi pada hari Sabat, berarti yang melakukannya adalah orang berdosa. Namun, orang Farisi yang lain berpendapat bahwa seorang pendosa tidak pernah bisa melakukan mukjizat seperti itu. Mereka terbelah, oleh karena itu mereka bertanya kepada orang yang telah dicelikkan itu, “Dan engkau, apakah katamu tentang Dia?” Orang itu menjawab, “Dia adalah seorang nabi.”

 

Cukupkah dengan keterangan dari orang yang telah dicelikkan itu? Tidak! Mereka mencari orang tuanya dan menanyakan apakah benar orang itu buta sejak dilahirkan? Orang tuanya menjawab, “Yang kami tahu  ialah, bahwa ia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta, tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakan kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri.” Orang itu takut dengan tekanan. Mereka sadar, para pemimpin agama ini telah sepakat bahwa setiap orang yang mengakui Yesus adalah Mesias, harus dikucilkan dari sinagoge. Rasa takut akan dikucilkan mengalahkan kegembiraan mereka karena anak mereka disembuhkan.

 

Orang-orang Farisi itu memanggil kembali orang yang telah dipulihkan dari kebutaannya. Mereka bersoal jawab. Tampaknya orang yang tadinya buta itu semakin meyakini bahwa Yesus yang menyembuhkannya benar-benar berasal dari Allah. Kini, dengan kewenangannya orang-orang Farisi itu mengusirnya. Kembali ia harus disingkirkan!

 

Jika minggu lalu kita mendengar perempuan Samaria yang berjumpa dengan Yesus di pinggir sumur Yakub sebagai pemberita Injil pertama. Kini, orang yang lahir but aini adalah orang pertama dalam kisah Injil yang ditolak dan disingkirkan lantaran ia berpegang teguh akan keyakinannya kepada Yesus. Setelah dapat melihat, sebenarnya ia dapat memperoleh tempat kembali dalam komunitas Yahudi. Ia tidak harus tersingkir lagi. Namun, ia memilih kebenaran dan memberi kesaksian akan penyembuhan yang baru saja dialaminya.

 

Salah satu ciri toxic community adalah gemar menyingkirkan orang atau kelompok yang berbeda. Komunitas yang gemar membanggakan diri dan memandang rendah yang lain. Gereja tidak steril dari toxic community di sinilah kita hadir membawa terang Kristus. Seperti orang buta yang telah dipulihkan, kehadiran kita akan membawa terang sehingga dapat melihat seperti Yesus melihat. Tidak ada lagi orang yang merasa disingkirkan. Gereja adalah tubuh Kristus yang merangkul semua orang. Semua orang istimewa dan berharga! 

 

 

Jakarta, 16 Maret 2023 Minggu Pra-Paskah ke-4 tahun A

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar