Mengenal berarti tahu lebih mendalam. Biasanya, seseorang akan percaya kalau sudah mengenal. Bukankah kita mau berbisnis dan mengambil risiko terhadap orang lain kalau sudah cukup mengenal. Kita mau berdagang dan menanamkan modal kepada orang lain tentu saja kalau kita sudah tahu track record-nya. Demikian juga ketika kita mengangkat seseorang menjadi karyawan atau orang kepercayaan, maka orang tersebut harus melalui tahap percobaan terlebih dahulu, barulah kita percaya. Dengan mengenali maka kita memperoleh rasa aman!
Sekarang, bagaimanakah relasi kita dengan Tuhan? Tahu dan mengenali lebih dulu baru kemudian mempercayai-Nya? Atau, percaya terlebih dahulu, baru kemudian kita dapat mengenali-Nya? Injil Yohanes mengajukan pertanyaan yang menyangkut dan mewakili kita semua. Kita membutuhkan rasa aman, oleh karena itu kita sibuk mencari tahu segala sesuatu supaya pasti. Kalau pun ada risiko, kita tahu bahwa hal itu dapat dikendalikan. Kita baru mau percaya dan mempercayakan diri kepada Yesus kalau semua pertanyaan-pertanyaan tentang Dia dapat terjawab dan masuk akal!
Nikodemus, sebagaimana kelompoknya sangat yakin akan dirinya sendiri. Ia adalah seorang petinggi Yahudi yang merasa aman dalam segi pengetahuan dan penguasaan hukum-hukum Allah. Ia mirip dengan para imam dan kaum Lewi yang diutus oleh para penguasa di Yerusalem untuk menyelidiki Yohanes Pembaptis. Ia membuka percakapan dengan Yesus, tetapi sebagai seorang yang merasa tahu, “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah…” (Yohanes 3:2). Nikodemus mempunyai keyakinan pasti. Ia mengetahui hukum! Jelas, kepastian wawasan iman dan hukum penting dan perlu. Kita perlu tahu mengenai Kitab Suci. Namun, pengetahuan akan hukum dapat membuat kita tertutup pada diri sendiri dalam kepuasan diri karena sudah merasa tahu, merasa bertindak sudah tepat dan ujungnya merasa sudah benar serta lebih hebat. Semua itu dapat menghalangi kita untuk mendengar dan terbuka bagi jalan dan anugerah Allah.
Orang-orang yang hidup berdasarkan keyakinan-keyakinan pasti dan hukum-hukum yang dikuasainya cenderung ingin menguasai orang lain. Dalil-dalil dipakai untuk mempertahankan diri dan menyerang. Nikodemus ingin mengkonfirmasi bahwa apa yang dikuasainya itu adalah benar. Ia mewakili orang-orang yang merasa aman kalau tahu dan mengenal terlebih dahulu. Ia akan percaya kalau Yesus yang ada di hadapannya itu terkonfirmasi atau sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ia kuasai. Maka tidaklah mengherankan kalau dalam percakapan itu Nikodemus cenderung tidak memahami apa yang Yesus uraikan. Bagi pemahaman nalar Nikodemus, mustahil orang dapat dilahirkan kembali. Bagaimana mungkin orang yang sudah lahir masuk kembali ke rahim ibunya? Dalam tataran ini, Nikodemus mewakili kita. Kita sulit memahami ajaran dan perilaku Yesus oleh karena itu tidak sepenuhnya percaya kepada-Nya karena berangkat dari pemahaman bahwa kita harus lebih tahu dan mengenal Dia. Yesus dan kiprah-Nya harus memenuhi kaidah-kaidah pengetahuan kita, barulah kemudian kita mempercayai-Nya!
Dalam kisah percakapan dengan Nikodemus, Yesus hendak membalikkan apa yang menjadi pandangan umum manusia. Yesus mengoyak rasa aman manusia. Ia menantang manusia untuk berani keluar dari zona nyamannya. Ia menyatakan bahwa kalau kita percaya kepada-Nya maka hati dan pikiran kita terbuka. Kita dapat mengenali-Nya! Ketika kita menyatakan percaya kepada-Nya, maka relasi dengan-Nya akan terbangun dan kita tidak hanya tahu dan mengenal-Nya, tetapi lebih jauh dari itu: Dialah yang menghadirkan kehidupan kekal itu dan kepada kita diberikan-Nya hidup yang kekal itu! Kekal tidak harus diartikan dengan hidup di seberang kematian. Hidup kekal itu adalah hidup Ilahi yang dianugerahkan kepada kita sekarang ini juga pada saat kita percaya kepada-Nya!
Ketika kita percaya kepada Yesus, pada saat yang sama kita masuk dalam relasi dengan Yesus dan segera mengikuti-Nya. Pada saat itulah kita menerima hidup yang ada dalam diri-Nya. Hidup dan relasi seperti apa? Ya, hidup dan relasi sebagaimana Yesus hidup dan berelasi dengan Bapa-Nya. Begitu karib dan penuh cinta kasih! Di situlah kita mulai mengenali hidup abadi yang mulai tumbuh di dalam diri kita dengan ditandai tidak lagi tertarik pada berhala uang dan kekuasaan seperti yang ditawarkan Iblis sewaktu mencobai Yesus di padang gurun itu. Relasi yang terbangun dengan Yesus perlahan tapi pasti akan membuat kita mengerjakan seperti apa yang Yesus kerjakan. Kita mulai menanggalkan keegoisan dan mampu melihat orang lain sebagai sosok yang harus dihargai dan dicintai. Itulah nilai-nilai Kerajaan Allah; nilai-nilai kekal dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Tanda-tanda kehidupan kekal yang dialami kita sekarang ini akan terus berkembang: kita mulai melihat orang lain seperti Yesus melihat mereka. Kita mulai mencintai mereka seperti Yesus mencintai mereka, kita memandang serta mencintai diri kita seperti Yesus memandang dan mencintai kita. Perjalanan bersama-Nya terus akan menemukan lebih banyak lagi nilai-nilai kekekalan itu dan kita akan merasakan bisikan Allah itu, “Aku mengasihi engkau seperti adanya engkau. Engkau tidak harus menjadi sempurna atau cerdas dan menguasai hukum. Engkau dicintai sebagaimana adanya. Aku begitu mengasihi engkau sehingga Aku datang untuk menyembuhkan engkau dan menganugerahkan hidup. Ya, hidup yang kekal itu kepadamu.
Jangan takut! Bagimu cukup membuka hatimu untuk Aku tinggal. Bagimu cukup percaya dan engkau akan mengenal siapa Aku sesungguhnya! Maka, “Barang siapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal!”
Sudahkah kita percaya dan mempercayakan diri kepada Yesus? Jika ya, pasti akan tampak nilai-nilai kehidupan kekal itu terpancar dalam diri kita. Mencintai sebagaimana kita telah dicintai. Rela berkorban sebagaimana Yesus telah mati dan mengorbankan diri-Nya untuk kita. Berani mengampuni seperti Yesus mengampuni orang-orang yang membenci-Nya. Memulihkan yang terluka dan peduli terhadap penderitaan sesama. Jika, tanda-tanda itu belum terlihat, masih ada waktu. Buka hati jalin relasi yang baik, nanti kuasa kasih itu akan merasuki kita. Dan kita tidak lagi membutuhkan jawaban-jawaban yang memuaskan pertanyaan kita. Saat itulah kita akan tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita, seperti Bapa yang menyatu dengan Anak-Nya!
Jakarta, 1 Maret 2023 Minggu Prapaskah ke-2 tahun A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar