Senin, 30 Juli 2018

BEKERJALAH UNTUK MAKANAN YANG TIDAK BINASA


Semua manusia mencari kebahagiaan. Tidak ada seorang pun yang betah hidup dalam suasana garing, monoton, flat. Celakanya, orang memahami bahwa kehidupan yang bahagia, bergairah dan antusias itu selalu identik dengan kekuasaan, kesuksesan, kekayaan dan kemakmuran. Tersedia melimpah apa yang diinginkan. Akibatnya, kondisi yang berlawanan dengan itu disebut sebagai kemalangan atau kutukan. Lihatlah, iklan-iklan yang tersebar diberbagai media konvensional atau media sosial. Kita akan menjumpai pelbagai produk yang dikemas sedemikian rupa. Seorang wanita berpakaian minim menawarkan produk otomotif atau handphone canggih - sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan penampilannya, lalu seorang pria tampan terlihat penuh kedamaian menikmati layanan hotel berbintang lima, atau kelezatan makanan yang terhidang mengundang selera. Semua seolah mengatakan bahwa, "Engkau akan bahagia dengan kemewahan, seks, makanan, dan banyaknya uang untuk membelinya!"

Manusia bekerja, berjeri lelah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perkembangan kini dapat ditengarai, tidak hanya untuk kebutuhan hidup manusia bekerja keras, tetapi juga untuk memenuhi keinginannya sehingga dengan cara apa pun mereka akan mengupayakan apa yang menjadi hasratnya. Sangat mudah menjumpai orang-orang yang ada di sekitar kita terlilit masalah hutang. Dikejar-kejar debt colector, keluarga menjadi berantakan, dan akhirnya kekerasan terjadi di mana-mana.

Salahkah jika kita punya keinginan sama seperti orang lain yang ada di iklan-iklan itu? Kelirukah kalau kita berusaha "naik kelas" dalam status sosial? Berdosakah kalau kita memiliki ini dan itu? Tidak mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Benar, siapa pun tidak ingin hidup menderita. Anda dan saya pasti tidak ingin hidup flat atau monoton dan tidak bergairah. Namun pertanyaannya kemudian, "Apakah dengan ketersediaan materi: uang, barang, atau apa pun yang kita inginkan, lalu menjadikan kita antusias, bergairah dan berbahagia?" Mungkin saja untuk sesaat jawabannya, "ya". Contoh, suatu ketika Anda menginginkan telepon genggam merek ternama dan keluaran terbaru. Untuk mendapatkannya, Anda harus menyicil dengan kartu kridit. Kini, ponsel itu ada dalam genggaman tangan Anda. Anda bahagia, kini dapat mencoba fitur-fitur baru, kamera yang canggih dan hasil jepretannya Anda kirim ke Instagram, FB, atau yang lainnya. Waktu terus berjalan dan Anda harus benar-benar menghemat agar dapat membayar cicilan. Dan, cicilan itu belum lunas, ternyata produk baru telah muncul. Kini, ponsel Anda terasa jadul, sementara kebutuhan lain juga mendesak. Bahagiakah Anda? Ini hanya contoh ponsel, belum lagi yang lain: mobil, mebel, rumah, pakaian dan lainnya.

Ibarat minum air laut, makin diminum, makin haus. Ketika keinginan yang mengendalikan hidup kita maka seberapa pun materi yang kita punya akan terus kurang. Di sinilah kita dapat memahami mengapa orang yang sudah kaya dan berkuasa terlibat dalam korupsi dan kolusi. Apakah harta mereka kurang? Tidak! Tetapi nafsu mereka yang tidak pernah terpuaskan.

Nafsu semacam inilah yang terjadi dengan para pengikut Yesus. Mereka terus mencari Yesus yang telah berhasil menggandakan roti sehingga mereka bisa kenyang dan sisanya melimpah. Yesus kemudian menyingkir ke gunung. Mereka tidak kenal lelah, terus mencari Yesus. Mereka berhasil menemukan Yesus di seberang laut. Mereka bertanya kepada-Nya, kapan Yesus tiba. Yesus tidak menjawab pertanyaan mereka. Sebaliknya, Ia mempertanyakan kedatangan mereka. Yesus mempertanyakan motivasi mereka yang mencari-Nya bukan karena melihat tanda-tanda melainkan karena telah menerima roti dan kemudian menjadi kenyang. Sudah sering dikatakan bahwa orang percaya kepada Yesus hanya karena melihat dan mencari mukjizat-Nya. Sedangkan Yesus menuntut sikap yang lebih dari itu: bukan percaya karena Ia melakukan mukjizat, melainkan karena pribadi dan sabda-Nya.

Sekarang, Yesus mengatakan bahwa orang banyak itu datang mencari-Nya karena mereka telah makan roti yang Ia berikan dan dengan itu mereka menjadi kenyang. Dengan demikian, alasan kedatangan mereka ini jauh lebih memprihatinkan ketimbang mereka yang datang untuk sebuah mukjizat. Mereka datang bukan untuk melihat tanda apalagi untuk mempercayakan hidupnya kepada Yesus, melainkan untuk memperoleh kembali roti dan kemudian menjadi kenyang! Di sinilah kemudian Yesus berbicara tentang roti fisik (materi) yang telah membuat mereka kenyang. Ia menjadikan momen ini sebagai pengajaran bahwa mereka harus bekerja untuk memperoleh makanan yang bertahan untuk kehidupan yang kekal. Makanan itu hanya dapat diberikan oleh Anak Manusia!

Bagi orang Yahudi, hidup kekal hanya dapat diperoleh dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan Hukum Taurat. Mereka mengartikan hal itu sebagai pelaksanaan pekerjaan Allah. Oleh karena itu mereka butuh mengerti pekerjaan seperti apa lagi yang harus mereka perbuat. Yesus menjawab bahwa, untuk sampai pada hidup yang kekal, yang dibutuhkan tidak hanya dengan cara melakukan tuntutan Hukum itu. Hal yang paling dituntut untuk memperoleh kehidupan kekal adalah percaya kepada Dia yang telah diutus oleh Allah. Yesus sendiri mengatakan, "Makanan-Ku ialah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yoh.4:34). Melakukan pekerjaan Allah terletak bukan pada pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, melainkan pada dedikasi total kepada-Nya di dalam ketaatan dan di dalam iman. Iman yang bagaimana? Iman yang menjadikan Yesus sebagai satu-satunya pusat acuan dan orientasi karena Dialah yang berasal dari Allah.

Yesus tidak alergi dan menolak tanda atau mukjizat. Ia bahkan banyak sekali melakukan mukjizat. Namun, Ia mengoreksi pemahaman orang yang keliru terhadap tanda atau mukjizat. Pada zaman dahulu, bukan Musa yang memberikan roti dari sorga.  Bapalah yang telah memberikan itu. Tidak hanya sekali Allah menganugerahkan roti dari sorga. Ia mengulang pekerjaan itu, juga untuk kali ini. Allah tidak hanya memberikan manna di padang gurun bagi Israel. Ia memberikan Anak-Nya sendiri sebagai roti hidup yang turun dari sorga. Allah memberikan Anak-Nya agar dunia memperoleh kehidupan. Roti sorgawi itu diidentifikasikan sebagai Dia yang telah turun dari sorga untuk memberikan hidup kepada dunia. Yesus tidak lagi bicara tentang roti yang diberikan dari sorga, melainkan roti yang turun dari sorga. Roti itu tidak lain adalah diri-Nya sendiri!

Mendengar perkataan itu, orang banyak meminta kepada Yesus untuk memberikan roti itu. "Tuhan berikanlah kami roti senantiasa!" (Yoh.6:34). Sekali lagi para pendengar hanya berpikir tentang kebutuhan fisik, roti seperti yang dinikmati nenek moyang mereka di padang gurun. Permintaan ini sejajar dengan permintaan perempuan Samaria, "Tuhan berikanlah aku air itu supaya aku tidak haus lagi dan tidak perlu datang kemari untuk menimba air."(Yoh.4:15).

Roti dan air itu adalah Yesus sendiri. Dialah yang dapat memberikan makanan dan minuman yang tidak binasa. Yang diperlukan untuk memperoleh "roti" dan "air" itu adalah datang dan percaya kepada-Nya. Menikmati roti sorgawi dan air kehidupan adalah dengan cara mempercayakan diri kepada-Nya. Percaya berarti termasuk di dalamnya mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya. Belajar tiap hari, setiap saat mempraktikan apa yang diajarkan-Nya. Sehingga makin-lama, "roti" dan "air" itu menjadi "daging" dan "darah". Artinya, ajaran dan teladan Yesus itu mendarah-daging dan menjadi gaya hidup kita. Selama ajaran dan teladan Yesus belum menjadi gaya dan prilaku keseharian kita, maka sebenarnya kita belum menikmati roti sorgawi dan air kehidupan itu!

Jakarta, 30 Juli 2018

Kamis, 26 Juli 2018

PERCAYA KEPADA YESUS, BUKAN MENCARI BERKAT


Dalam perjalanan-Nya ke seberang danau Galilea, tampaknya Yesus semakin populer. Kharisma dan tanda-tanda mukjizat yang dilakukan-Nya mendorong orang untuk terus mengikuti-Nya. "Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka melihat tanda-tanda mukjizat yang diadakan-Nya terhadap orang sakit." (Yohanes 6:2). Tak pelak lagi mukjizat merupakan daya tarik luar biasa sehingga orang datang berbondong-bondong mencari dan mengikut Yesus. Salahkah? Bayangkan kalau pengajaran Yesus tanpa disertai mukjizat, apakah orang banyak masih mau terus mengikuti-Nya?  Dalam narasi yang dikisahkan Injil Yohanes di seberang danau Galilea (Yohanes 6:1-15), alih-alih Yesus mengecam orang yang mengikuti-Nya karena daya tarik mukjizat, justeru Ia menunjukkan kepedulian yang luar biasa. Bukankah mukjizat itu adalah tanda yang menegasikan bahwa Dialah Sang Mesias itu? Pada pihak lain, mereka yang berbondong-bondong itu adalah orang-orang yang membutuhkan belaskasihan-Nya. Selama ini mereka tidak mempunyai akses untuk merasakan jamahan kasih Tuhan; mereka seperti domba tanpa gembala!

Yesus memerhatikan kebutuhan semua orang itu. Mereka telah mengikuti-Nya bahkan sebelum tiba di danau Tiberias. sekarang Yesus naik ke atas gunung dan duduk bersama para murid-Nya. Pastilah mereka yang mengikuti-Nya kelelahan dan kelaparan. Berbeda dengan apa yang dikisahkan Markus 6:32-44, dalam kisah Injil Yohanes tidak disoroti situasi yang mendesak misalnya: menjelang malam, di tempat yang sunyi, jauh ke warung, tanpa makanan. Murid-murid tidak berinisiatif mengingatkan Yesus supaya mereka pergi. Yohanes mengisahkan, Yesus sendirilah yang berinisiatif sepenuhnya dan bertanya kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" Hati Yesus tersentuh oleh kebutuhan dan harapan orang-ornag yang mengikuti-Nya. Perhatikan ini, sebelum orang-orang meminta kebutuhan mendasar mereka, Yesus terlebih dahulu tahu dan peduli.

Bagaimana reaksi Filipus? Kita dapat membayangkan pastilah Filipus merasa Yesus keterlaluan. Bagaimana mungkin mereka memberi makan ribuan orang? Di mana harus mendapatkan makanan sebanyak itu? Dan kalaupun ada penjual makanan yang cukup untuk ribuan orang itu, mana mungkin 200 dinar bisa membeli roti untuk orang sebanyak itu? Di tengah kebingungan itu, Andreas berkata kepada Yesus, "Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?" (Yohanes 6:9).  Roti seharga 200 dinar saja sudah tidak cukup, apalagi cuma lima roti jelai dan dua ikan, tentu jauh dari cukup!

Kisah ini menarik untuk diperhatikan. Yesus memakai orang-orang sederhana. Seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan. Bisa saja, orang tua anak ini memberikan bekal kepadanya untuk sebuah perjalanan bersama dengan orang banyak untuk mencari, mengikut, dan menyaksikan apa yang Yesus lakukan. Anak ini tidak menyimpannya untuk dinikmati sendirian. Sama seperti Yesus yang peduli, anak ini juga peduli terhadap mereka yang lapar.

Anak kecil yang merelakan bekalnya, mengingatkan kita juga pada kesederhanaan para hamba dalam pesta perkawinan di Kana. Di sini Yesus bertindak seolah-olah sebagai tuan rumah pesta besar ini, berkata, "Suruhlah orang-orang itu duduk". Kemudian Yesus mengambil roti itu, dan setelah mengucap syukur kepada Bapa Pencipta alam semesta. Dalam Injil Yohanes, berbeda dengan Injil lain, roti dan ikan dibagikan oleh Yesus sendiri, sebanyak yang dikehendaki oleh orang banyak itu, sehingga mereka semua kenyang! Murid-murid tidak dilibatkan dalam pembagiannya. Semua adalah prakarsa dan karya Yesus sendiri. Peran para murid hanya mengumpulkan potongan roti yang lebih (bukan yang tersisa melainkan lebih). Terkumpullah dua belas bakul potongan-potongan roti. Tujuan pengumpulan itu "supaya tidak ada yang hilang" dan bukan terbuang. Kelebihan potongan roti yang tidak boleh hilang ini adalah pralambang dari makanan yang tidak akan binasa, yang bertahan untuk hidup yang kekal (ay.27).

Di Kana, Yesus mengubah air dalam jumlah yang sangat banyak menjadi anggur yang istimewa. Sekarang, Ia menggandakan lima roti dan dua ikan menjadi makanan yang berlimpah. Itulah Allah; Allahg memberi dengan berlimpah, sebagai tanda Allah mengasihi umat-Nya. Yesus memberikan seutuh kepada kebutuhan setiap orang termasuk kita. Ia mencintai kita secara berlimpah agar kita dapat belajar bagaimana cara mengasihi dengan benar.

Apa reaksi setelah orang-orang banyak itu menerima berkat yang melimpah itu? Apakah mereka juga tergerak dapat berbagi dan saling memberi dengan berlimpah? Banyak orang sadar bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi: mereka tidak melihat gerobak berisi roti dan ikan, namun mereka telah diberi makan sampai kenyang. Ini ajaib! Bisa saja para tua-tua ingat akan apa yang telah dilakukan oleh Allah pada nenek moyang mereka di padang gurun setelah mereka dibebaskan dari perbudakan, bagaimana Allah telah membuat mereka kenyang dengan manna (Kel.16). Mungkin mereka sadar bahwa  sesuatu yang serupa sedang terjadi di Galilea. Kini mereka benar-benar takjub di hadapan Yesus. Ketakjuban itu membuat mereka berpikir pragmatis. Mereka ingin menjadikan Yesus raja. Agar dengan demikian Yesus menjaga dan menjamin segala kebutuhan jasmani mereka. Oh, alangkah hebatnya mempunyai seorang pemimpin yang berkuasa seperti Dia. Mereka tidak usah repot-repot mengolah tanah, menabur benih, menyiram dan memupuk serta menjaga ladang gandum mereka. Atau sebagai nelayan, mereka kini bisa menggantungkan jaring dan mengistirahatkan perahu selamanya. Mereka tidak usah berlelah bekerja. Toh, roti dan ikan yang dibutuhkan selalu tersedia!

Bagaimana reaksi Yesus? Dengan tenang Yesus segera menyingkir ke gunung seorang diri. Yesus tidak mau menjadi raja dengan kekuasaan yang fana. Kuasa yang membuat orang hidup dengan cara gampang dan tidak bertanggung jawab. Sekarang terlihat, bahwa iman mereka hanya berpusat pada diri mereka sendiri dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Sangat mungkin Yesus sedih, mereka berbondong-bondong mengikuti-Nya hanya untuk mencari mukjizat atau berkat dan bukan benar-benar untuk belajar mempercayakan hidup kepada-Nya. Padahal, Yesus mengadakan mukjizat agar orang percaya bahwa Ia diutus oleh Allahg, lalu mereka percaya akan sabda-Nya.

Bayangkan bagaimana perasaan kita, jika orang-orang ingin berjumpa dengan kita hanya ketika mereka memerlukan uang, materi atau pertolongan kita? Barang kali - secara manusiawi - itulah perasaan Yesus. Bayangkan juga seandainya Yesus memenuhi permintaan mereka. Setiap orang tidak usah bekerja dan dengan doa permohonan saja mereka akan menerima apa yang diinginkannya. Tidak bertani, bekerja, belajar, berusaha, pendek kata tidak usah berjeri lelah mereka mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasanya ini tidak adil. Bagaimana dengan orang lain yang berusaha membanting tulang bekerja? Yesus tidak mengajarkan cara-cara yang mudah. Namun, Ia memperagakan bahwa yang tidak mudah itu bisa dilakukan dengan cara mempercayakan diri kepada-Nya.

Mengikut Yesus hanya untuk mengejar berkat atau mukjizat-Nya saja jelas bukan itu yang dikehendaki Yesus. Ingat, dalam kisah Yesus memberi makan 5000 orang, Ia menghindar. Namun sayang, sampai saat ini banyak orang terus mengejar mukjizat-Nya, bukan berusaha mengikuti dan percaya sungguh-sungguh kepada-Nya. Banyak orang mengajarkan dan mengejar mukjizat sebagai tanda Tuhan memberkati, akibatnya melupakan pemberi mukjizat itu. Pemahaman seperti ini beranggapan bahwa kekayaan, kuasa, dan kedudukan merupakan ciri utama dari orang yang diberkati Tuhan. Akibatnya, yang dicari dan didahulukan adalah kekayaan, kesuksesan, kedudukan dan popularitas. Sementara ketaatan dan kesetiaan sering terlupakan. Hidup berkelimpahan "roti" atau materi tanpa Yesus di dalamnya hanya berujung pada kesia-siaan. Hidup bersama-Nya, dalam badai dasyat pun, kita akan merasakan kedamaian.   

Jakarta, 26 Juli 2018

Kamis, 19 Juli 2018

MENEMBUS BATAS, MEMBANGUN SOLIDARITAS


Inti dari solidaritas adalah empati dan simpat. Dari situ lahirlah kepedulian dan setia kawan; senasib-sepenanggungan. Kesulitan utama dalam mengembangkan sikap solidaritas adalah sikap egois, mementingkan diri sendiri. Sebagian besar orang punya pemahaman bahwa jika saya memberi maka saya tidak akan punya lagi. Itu artinya, sebagaian milik saya akan hilang atau berkurang. Pada batas-batas tertentu pemahaman ini ada benarnya, contoh kita memiliki sepotong kue, lalu melihat ada orang lapar, kue itu kita berikan kepadanya. Tentu saja kini kita tidak lagi memiliki kue itu. Selain itu, orang enggan peduli oleh karena segala sesuatu yang ada pada mereka berguna untuk kesenangan pribadi. Konsep ini mengajarkan bahwa bahwa segala sesuatu yang kita miliki entah itu uang, waktu, talenta, kekuasaan, harus digunakan sesuai dengan kemauan dan kesenangan kita.

Kita cenderung berpikir bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah milik kita, maka dari itu adalah hak kita untuk menggunakannya sesuai dengan kemauan kita. Namun, cobalah kita merenungkan kembali: Allah telah menciptakan manusia dengan pelbagai karunia. Allah memberikan kita tubuh, talenta, pekerjaan dan uang sehingga kita dapat melakukan segala  yang baik. Sebenarnya, kita adalah pengelola karunia Allah, segala sesuatu adalah bersumber dan milik Allah. Oleh karena itu kita tidak dapat lagi berkata, "Apa yang merupakan milik saya, akan saya gunakan semau saya, untuk kesenangan saya." Sebaliknya dan seharusnya kita akan mengatakan bahwa, "Apa yang ada pada saya sebenarnya bukan kepunyaan saya, melainkan milik Allah. Maka kita akan selalu bertanya, "Bagaimana saya akan mengelola dan menggunakan karunia ini?".

Matt Johnson, pernah mengatakan, "Peduli atau murah hati adalah sikap mementingkan orang lain, dan sebaliknya ketamakan adalah sikap mementingkan diri sendiri, dan tentu saja kebalikan dari konsep bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Ketika saya memikirkan diri sendiri dan hanya diri saya saja yang dipikirkan, maka saya akan selalu bergumul dan berusaha untuk tidak memberikan sesuatu apa pun kepada siapa pun." Barangkali inilah yang selalu ada dalam benak elit politik dan pemimpin agama pada zaman nabi Yeremia. Mereka dikecam sebagai "gembala-gembala" oleh karena hanya memikirkan kepemilikan dan kesenangan sendiri dan tidak peduli dengan umat yang harus mereka pimpin (Yeremia 23:1-6). Akibatnya, bencana dan pelbagai malapetaka menimpa umat Allah itu.

Para gembala Yehuda yakni, para raja, imam, dan nabi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana dan petaka itu. Sebab penghukuman itu datang karena mereka gagal menjadi gembala yang baik. Mereka hanya mencari keuntungan di balik penderitaan rakyat. Rakyat, yang digambarkan sebagai "kambing - domba" tidak lebih dari tumbal untuk kesenangan para elit ini. Para gembala ini membiarkan kambing dombanya tersesat. Mereka harus bertanggung jawab atas kehancuran Yehuda. Kini, Allah tidak lagi memercayai mereka. Ia akan mengambil alih peran para pemimpin yang dzolim itu. Ia sendiri yang akan turun tangan untuk mengumpulkan kambing - domba yang sudah tercerai berai, dan memimpin mereka kembali ke padang. Kemudian Allah akan membangkitkan pemimpin baru. Tindakan Allah tidak hanya berhenti di situ. Suatu hari Ia akan menggantikan pemimpin yang korup dan lalim itu dengan seorang keturunan Daud, seorang raja bijaksana yang akan menegakkan keadilan dan ketentraman. Ia akan peduli terhadap mereka yang tersisih, tercerai-berai, miskin dan terabaikan.

Dalam sejarah peradaban dunia, kita bisa belajar bahwa setiap penguasa yang menegakkan kuasanya dengan menindas, memberangus kebenaran dan tidak mendistribusikan keadilan - mungkin saja pada awalnya tampak digdaya, kuasanya sulit ditaklukan - namun nyatanya, akan selalu tampil orang-orang yang mengusung kebenaran sebagai panglimanya, menegakkan keadilan dan mencintai sesamanya sengan baik. Di negeri ini tak kalah cerita menarik dibalik jatuhnya orang-orang hebat. Sulit dibayangkan, dulu rezim Orde Baru begitu kuat dan tangguh, namun nyatanya tumbang juga. Beberapa tahun yang lalu sebuah partai menjual jargon "katakan tidak pada korupsi", nyatanya sebagian besar bintang iklan itu kini berada di balik jeruji penjara.

Ketika fokus kita bukan pada diri sendiri, tetapi Kerajaan Allah, yakni ketika kita memikirkan Allah, penyertaan, serta kuasa-Nya, maka kita akan selalu memikirkan bagaimana caranya menggunakan apa yang telah diberikan Allah kepada kita agar orang lain pun dapat merasakan kasih Allah itu. Tak peduli, mungkin dalam kekurangan, keletihan dan keterbatasan kita. Hanya orang yang bersedia menembus batas keegoisan dapat berempati dan bersimpati kepada yang lemah. Yesus mengajak para murid-Nya untuk berada dalam kerangka ini.

Mula-mula, Ia mengajar dan menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang menderita, miskin dan tersisih. Ia menyembuhkan pelbagai penyakit dan kelemahan manusia meski dikecam oleh elit agama sebagai orang yang melanggar hukum Sabat, Ia dapat mempertanggungjawabkannya bahwa Sabat seharusnya untuk manusia dan bukan sebaliknya. Setelah dianggap cukup mengerti, para murid kemudian diutus berdua-dua untuk melakukan tugas yang sama. Kini, ketika para murid kembali, mereka melaporkan apa yang sudah mereka lakukan. Yesus mengerti bahwa mereka -seperti handphone yang sudah lowbat, perlu di carger. Yesus mengajak mereka bertolak ke seberang untuk menyepi dan dikuatkan lagi.

Yesus sangat peduli dengan kondisi para murid yang keletihan. Namun, begitu Ia keluar dari perahu, orang banyak segera mengenali-Nya. Segeralah mereka mengusung orang-orang sakit. Di mana pun Yesus berada, ke mana pun Yesus pergi, orang-orang selalu meletakkan orang-orang sakit dan memohon kepada-Nya untuk disembuhkan dan memohon kepada-Nya supaya diperkenankan menjamah jumbai jubah-Nya, sebab dengan cara itu sakit mereka akan sembuh (Markus 6:56).

Yesus sangat mengerti kondisi para murid yang butuh retret bersama-Nya. Namun, melihat orang banyak dengan pelbagai masalah yang harus mereka tanggung, Ia melihatnya seperti sekumpulan domba yang tidak mempunyai gembala, Ia mendahulukan kebutuhan orang banyak itu. Yesus melayani orang-orang yang haus itu dengan sentuhan kasih. Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka (Markus 6:34). Di pihak lain, bisa saja para murid jengkel karena istirahat atau retret mereka terganggu. Yesus harus melayani orang banyak dan mau tidak mau mereka juga harus terlibat. Namun, di sinilah Yesus mengajarkan prioritas dan kepedulian terhadap mereka yang sangat membutuhkan. Para murid melihat sendiri, betapa pedulinya Yesus terhadap mereka yang tercerai berai itu. Dan betapa berbedanya dengan para gembala pada zaman Yeremia: Mereka justeru yang mencerai beraikan, membuat domba-domba itu kocar-kacir, sakit, miskin dan menderita. Kini, Yesus tampil sebagai Gembala yang baik. Bukan saja memenuhi gambaran dari Yeremia 23, tetapi juga apa yang tercantum dalam Mazmur 23.

Kita semua yang mengaku Yesus sebagai gembala baik, maka seharusnya menjadi domba-domba yang baik. Domba-domba yang mengerti benar apa yang dikerjakan dan diperjuangkan oleh Sang Gembala Baik itu. Di sinilah kita harus belajar bersikap solider terhadap penderitaan sesama kita. Tidak mengenggam sendiri apa yang ada pada kita sebagai milik sendiri dan bebas menggunakannya untuk kemauan sendiri. Sang Gembala baik telah mengajarkan kepada kita untuk melepaskan segala genggaman itu, menyalurkan untuk kebutuhan orang lain dan percayalah bahwa setiap orang yang membuka tangannya untuk menolong, memberikan apa yang baik maka tidak pernah akan kekurangan yang baik dari Tuhan. Jika kita terus menggenggam apa yang ada pada kita, maka hanya itulah milik kita. Namun, ketika kita membuka genggaman itu, maka terbukalah segala kebaikan-Nya untuk kita dan sesama kita.


Jakarta, 19 Juli 2018

Kamis, 12 Juli 2018

MENYUARAKAN KEBENARAN


Menjelang pemilihan umum legislatif dan presiden tahun 2014, salah seorang juru kampanye pasangan Jokowi dan JK sering mengucapkan jargon, "Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik." Kalimat ini sering diyakini berasal dari ucapan Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Muhammad). Pemakaian kalimat ini dalam kampanye tentu saja bertujuan menggugah masyarakat yang selama ini cenderung apatis untuk menggunakan suara mereka dengan bertanggung jawab. Satu suara sangat berharga untuk menentukan kehidupan komunitas masyarakat lima tahun ke depan.

"The greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bed people, but the appalling silence of the good people" (Martin Luther King, Jr.) Kalimat yang digadang-gadang berasal dari Ali ternyata aslinya merupakan ungkapan dari Martin Luther King, Jr. Martin Luther King Jr adalah seorang pendeta gereja Baptis sekaligus aktivis dan juru bicara gerakan moral hak-hak sipil Amerika Serikat sekitar tahun 1954 sampai 1968. Terinspirasi oleh Mahatma Gandhi, King melakukan perjuangannya tidak dengan mengangkat senjata dan memberontak. Namun, dengan lantang mengajak orang banyak untuk bersikap dan menyuarakan kebenaran. King menuntut penghapusan diskriminasi dan kesetaraan hak. Pada 14 Oktober 1964 ia dianugerahi Nobel Perdamaian atas jasanya memperjuangkan kesetaraan dengan cara-cara damai. Pada 1968, King berencana kampanye besar-besaran di Washington D.C yang bertajuk Poor people's Campaign. Namun, rencananya kandas. Ia ditembak mati oleh James Earl Ray tanggal 4 April di Memphis, Tennessee. Meski timah panas mengakhiri hidup King, namun kematian itu tidak pernah bisa membungkam suara kebenaran. Suara yang menuntut persamaan hak orang-orang kulit hitam setara dengan kulit putih. Tanggal kematiannya sejak tahun 1986 dijadikan hari libur nasional untuk mengenang perjuangan King.

Penyuarakan kebenaran tentu saja akan berhadapan dengan risiko. Yohanes Pembaptis harus membayar dengan kepalanya sendiri. Sejak kemunculannya di sungai Yordan, manusia padang gurun ini tampaknya punya nyali besar. Ia meminta penduduk Yerusalem, Galilea, Yudea dan semua orang Yahudi harus bertobat. Jika tidak, kapak sudah tersedia pada akar pohon, setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api." (Luk.3:9). Bagi Yohanes, pertobatan dan menghasilkan buahnya adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian penghakiman Allah tidak terelakkan lagi. Yohanes juga tidak gentar menuding elite agama dengan sebutan keturunan ular beludak sebab kenyataannya mereka melakukan kewajiban agama hanya untuk memertahankan status sosial sambil menekan khalayak miskin.

Kini, Yohanes diperhadapkan dengan Herodes, raja dari dinasti Herodian. Sebuah dinasti yang haus kekuasaan dan memanjakan nafsu seksual serta menjunjung tinggi hedonisme. Tidaklah mengherankan kalau dalam keluarga besar Herodian begitu banyak konflik dan pembunuhan terjadi. Salah satu kebokbrokan yang ditegur oleh Yohanes adalah pernikahannya dengan Herodias. Siapa Herodias? Herodias adalah isteri dari Herodes Filipus  saudara seayah dari Herodes Antipas. Dengan dinikahinya Herodias, Herodes Antipas telah melanggar hukum Yahudi (Imamat 18:16; 20:21) dan - bagaimana pun - telah memerkosa hukum adat dan moralitas.

Yohanes tidak bisa diam. Ia bersuara! Kali ini, ia memerlihatkan nyali yang luar biasa. Ia menegur raja di hadapan umum. Keberaniannya bukan untuk mencari sensasi atau motif politis untuk popularitas. Ia melakukan itu justeru karena visinya yang melihat kehidupan umat itu akan semakin suram dan semakin dekat dengan penghukuman Allah. Pastilah Yohanes begitu kecewa melihat ulah raja Herodes ini. Raja yang seharusnya memberi contoh, teladan dan menjunjung tinggi moralitas justeru sebaliknya, menjadi pemuja nafsu serakah. Yohanes sebenarnya adalah sosok yang mencintai bangsanya, ia tidak menginginkan umat Allah itu binasa karena melakukan hal-hal yang justeru tidak dikehendaki oleh Allah.

Mestinya, Yohanes tahu benar risiko yang akan dihadapinya ketika ia menegur raja di depan umum. Namun hal itu dilakukannya demi menghentikan kebiadaban yang terus dipertontonkan. Yohanes Pembaptis dipenjarakan di benteng Makhaerus yang pengap, gelap dan menakutkan. Namun, tampaknya Yohanes lebih suka menderita dan mati ketimbang hidup dalam kepalsuan dan pemujaan nafsu duniawi.

Amos seorang peternak dari Tekoa yang dipanggil sebagai nabi TUHAN, mirip seperti Yohanes. Ia menyampaikan suara kebenaran kepada bangsanya yang terlena dengan pemujaan nafsu dan materi. Dengan lantang Amos menyampaikan pesan TUHAN bahwa Yang Mahatinggi itu tidak menyukai keramaian ibadah, persembahan hewan yang tambun dan nyanyian-nyanyian ibadah. Mengapa TUHAN tidak menyukainya? Mereka mencoba memisahkan ritual ibadah dengan kehudupan moralitas. Ibadah dipakai sebagai alat untuk menyuap TUHAN, sementara hidup mereka gemar menindas dan tidak peduli dengan kesengsaraan sesamanya. Amos melihat seperti yang dilihat Yohanes. Jika mereka tidak bertobat maka hukuman TUHAN segera menimpa. Mereka akan binasa!

Amos, Yohanes, Matin Luther King, Jr memerlihatkan kepada kita bahwa mereka mampu setia terhadap tugas panggilan sesuai konteks masing-masing: menyuarakan kebenaran apa pun risiko yang harus dihadapi mereka. Saat ini, gereja sering mengklaim dirinya sebagai penerus panggilan yang harus menyuarakan suara kenabiannya di tengah-tengah tantangannya yang terus berubah. Gereja tidak boleh berkualisi dan menjadi bagian dari kekuasaan duniawi sehingga mengiyakan saja apa yang sedang terjadi tanpa mengkritisinya. Gereja tidak boleh melacurkan diri kepada politik praktis dan kekuasaan. Sebaliknya, Gereja juga tidak boleh teralienasi dari dunia, lalu meninggalkan dunia dan hidup menyepi dari hiruk pikuk dunia dan menutup diri.

Kehadiran gereja mestinya disadari sebagai benteng moral peradaban yang berani menyatakan kebenaran. Tentu saja tidak hanya pandai dan lantang bersuara, melainkan juga tahu melakukan dan memberi contoh yang baik dan memerlihatkan apa itu kebenaran. Gereja bukan hanya alat pembawa pesan kebenaran, melainkan - pada dirinya sendiri - kebenaran itu sendiri. Kesulitan, perlakuan tidak adil, penderitaan dan bahkan pembunuhan bukanlah alasan bagi gereja untuk meninggalkan tugas panggilannya.

Tentu saja kita tahu bahwa yang dimaksud dengan gereja itu bukanlah sekedar gedung, corong mimbarnya atau lembaganya saja. Melainkan setiap anggotanya! Setiap anggota, itu berarti setiap orang percaya terpanggil untuk tidak tinggal diam melihat dan merasakan kemunafikan, kebobrokan moral dan pelbagai tindakan keji terus terjadi. Kita semua terpanggil untuk menyuarakan dan memberi contoh kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang bukan mengarah kepada kebinasaan, melainkan kehidupan yang mengarah kepada kehidupan itu sendiri.

Jakarta, 12 Juli 2018