Inti dari solidaritas adalah
empati dan simpat. Dari situ lahirlah kepedulian dan setia kawan;
senasib-sepenanggungan. Kesulitan utama dalam mengembangkan sikap solidaritas
adalah sikap egois, mementingkan diri sendiri. Sebagian besar orang punya
pemahaman bahwa jika saya memberi maka saya tidak akan punya lagi. Itu artinya,
sebagaian milik saya akan hilang atau berkurang. Pada batas-batas tertentu
pemahaman ini ada benarnya, contoh kita memiliki sepotong kue, lalu melihat ada
orang lapar, kue itu kita berikan kepadanya. Tentu saja kini kita tidak lagi
memiliki kue itu. Selain itu, orang enggan peduli oleh karena segala sesuatu
yang ada pada mereka berguna untuk kesenangan pribadi. Konsep ini mengajarkan
bahwa bahwa segala sesuatu yang kita miliki entah itu uang, waktu, talenta,
kekuasaan, harus digunakan sesuai dengan kemauan dan kesenangan kita.
Kita cenderung berpikir bahwa
segala sesuatu yang ada pada kita adalah milik kita, maka dari itu adalah hak
kita untuk menggunakannya sesuai dengan kemauan kita. Namun, cobalah kita
merenungkan kembali: Allah telah menciptakan manusia dengan pelbagai karunia.
Allah memberikan kita tubuh, talenta, pekerjaan dan uang sehingga kita dapat melakukan
segala yang baik. Sebenarnya, kita
adalah pengelola karunia Allah, segala sesuatu adalah bersumber dan milik
Allah. Oleh karena itu kita tidak dapat lagi berkata, "Apa yang merupakan
milik saya, akan saya gunakan semau saya, untuk kesenangan saya."
Sebaliknya dan seharusnya kita akan mengatakan bahwa, "Apa yang ada pada
saya sebenarnya bukan kepunyaan saya, melainkan milik Allah. Maka kita akan
selalu bertanya, "Bagaimana saya akan mengelola dan menggunakan karunia
ini?".
Matt Johnson, pernah
mengatakan, "Peduli atau murah hati adalah sikap mementingkan orang lain,
dan sebaliknya ketamakan adalah sikap mementingkan diri sendiri, dan tentu saja
kebalikan dari konsep bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Ketika saya
memikirkan diri sendiri dan hanya diri saya saja yang dipikirkan, maka saya
akan selalu bergumul dan berusaha untuk tidak memberikan sesuatu apa pun kepada
siapa pun." Barangkali inilah yang selalu ada dalam benak elit politik dan
pemimpin agama pada zaman nabi Yeremia. Mereka dikecam sebagai
"gembala-gembala" oleh karena hanya memikirkan kepemilikan dan kesenangan
sendiri dan tidak peduli dengan umat yang harus mereka pimpin (Yeremia 23:1-6).
Akibatnya, bencana dan pelbagai malapetaka menimpa umat Allah itu.
Para gembala Yehuda yakni,
para raja, imam, dan nabi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas
bencana dan petaka itu. Sebab penghukuman itu datang karena mereka gagal
menjadi gembala yang baik. Mereka hanya mencari keuntungan di balik penderitaan
rakyat. Rakyat, yang digambarkan sebagai "kambing - domba" tidak
lebih dari tumbal untuk kesenangan para elit ini. Para gembala ini membiarkan
kambing dombanya tersesat. Mereka harus bertanggung jawab atas kehancuran
Yehuda. Kini, Allah tidak lagi memercayai mereka. Ia akan mengambil alih peran
para pemimpin yang dzolim itu. Ia sendiri yang akan turun tangan untuk
mengumpulkan kambing - domba yang sudah tercerai berai, dan memimpin mereka
kembali ke padang. Kemudian Allah akan membangkitkan pemimpin baru. Tindakan
Allah tidak hanya berhenti di situ. Suatu hari Ia akan menggantikan pemimpin
yang korup dan lalim itu dengan seorang keturunan Daud, seorang raja bijaksana
yang akan menegakkan keadilan dan ketentraman. Ia akan peduli terhadap mereka
yang tersisih, tercerai-berai, miskin dan terabaikan.
Dalam sejarah peradaban dunia,
kita bisa belajar bahwa setiap penguasa yang menegakkan kuasanya dengan
menindas, memberangus kebenaran dan tidak mendistribusikan keadilan - mungkin
saja pada awalnya tampak digdaya, kuasanya sulit ditaklukan - namun nyatanya,
akan selalu tampil orang-orang yang mengusung kebenaran sebagai panglimanya,
menegakkan keadilan dan mencintai sesamanya sengan baik. Di negeri ini tak
kalah cerita menarik dibalik jatuhnya orang-orang hebat. Sulit dibayangkan,
dulu rezim Orde Baru begitu kuat dan tangguh, namun nyatanya tumbang juga.
Beberapa tahun yang lalu sebuah partai menjual jargon "katakan tidak pada
korupsi", nyatanya sebagian besar bintang iklan itu kini berada di balik
jeruji penjara.
Ketika fokus kita bukan pada
diri sendiri, tetapi Kerajaan Allah, yakni ketika kita memikirkan Allah, penyertaan,
serta kuasa-Nya, maka kita akan selalu memikirkan bagaimana caranya menggunakan
apa yang telah diberikan Allah kepada kita agar orang lain pun dapat merasakan
kasih Allah itu. Tak peduli, mungkin dalam kekurangan, keletihan dan
keterbatasan kita. Hanya orang yang bersedia menembus batas keegoisan dapat
berempati dan bersimpati kepada yang lemah. Yesus mengajak para murid-Nya untuk
berada dalam kerangka ini.
Mula-mula, Ia mengajar dan
menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang menderita, miskin dan tersisih. Ia
menyembuhkan pelbagai penyakit dan kelemahan manusia meski dikecam oleh elit
agama sebagai orang yang melanggar hukum Sabat, Ia dapat mempertanggungjawabkannya
bahwa Sabat seharusnya untuk manusia dan bukan sebaliknya. Setelah dianggap
cukup mengerti, para murid kemudian diutus berdua-dua untuk melakukan tugas
yang sama. Kini, ketika para murid kembali, mereka melaporkan apa yang sudah
mereka lakukan. Yesus mengerti bahwa mereka -seperti handphone yang sudah lowbat,
perlu di carger. Yesus mengajak mereka bertolak ke seberang untuk menyepi dan
dikuatkan lagi.
Yesus sangat peduli dengan
kondisi para murid yang keletihan. Namun, begitu Ia keluar dari perahu, orang
banyak segera mengenali-Nya. Segeralah mereka mengusung orang-orang sakit. Di
mana pun Yesus berada, ke mana pun Yesus pergi, orang-orang selalu meletakkan
orang-orang sakit dan memohon kepada-Nya untuk disembuhkan dan memohon
kepada-Nya supaya diperkenankan menjamah jumbai jubah-Nya, sebab dengan cara
itu sakit mereka akan sembuh (Markus 6:56).
Yesus sangat mengerti kondisi
para murid yang butuh retret bersama-Nya. Namun, melihat orang banyak dengan
pelbagai masalah yang harus mereka tanggung, Ia melihatnya seperti sekumpulan
domba yang tidak mempunyai gembala, Ia mendahulukan kebutuhan orang banyak itu.
Yesus melayani orang-orang yang haus itu dengan sentuhan kasih. Ia mengajarkan
banyak hal kepada mereka (Markus 6:34). Di pihak lain, bisa saja para murid jengkel
karena istirahat atau retret mereka terganggu. Yesus harus melayani orang
banyak dan mau tidak mau mereka juga harus terlibat. Namun, di sinilah Yesus
mengajarkan prioritas dan kepedulian terhadap mereka yang sangat membutuhkan.
Para murid melihat sendiri, betapa pedulinya Yesus terhadap mereka yang
tercerai berai itu. Dan betapa berbedanya dengan para gembala pada zaman
Yeremia: Mereka justeru yang mencerai beraikan, membuat domba-domba itu kocar-kacir,
sakit, miskin dan menderita. Kini, Yesus tampil sebagai Gembala yang baik.
Bukan saja memenuhi gambaran dari Yeremia 23, tetapi juga apa yang tercantum
dalam Mazmur 23.
Kita semua yang mengaku Yesus
sebagai gembala baik, maka seharusnya menjadi domba-domba yang baik.
Domba-domba yang mengerti benar apa yang dikerjakan dan diperjuangkan oleh Sang
Gembala Baik itu. Di sinilah kita harus belajar bersikap solider terhadap
penderitaan sesama kita. Tidak mengenggam sendiri apa yang ada pada kita sebagai
milik sendiri dan bebas menggunakannya untuk kemauan sendiri. Sang Gembala baik
telah mengajarkan kepada kita untuk melepaskan segala genggaman itu,
menyalurkan untuk kebutuhan orang lain dan percayalah bahwa setiap orang yang
membuka tangannya untuk menolong, memberikan apa yang baik maka tidak pernah
akan kekurangan yang baik dari Tuhan. Jika kita terus menggenggam apa yang ada
pada kita, maka hanya itulah milik kita. Namun, ketika kita membuka genggaman
itu, maka terbukalah segala kebaikan-Nya untuk kita dan sesama kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar