Menjelang pemilihan umum
legislatif dan presiden tahun 2014, salah seorang juru kampanye pasangan Jokowi
dan JK sering mengucapkan jargon, "Kezaliman akan terus ada, bukan karena
banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik." Kalimat
ini sering diyakini berasal dari ucapan Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu
Muhammad). Pemakaian kalimat ini dalam kampanye tentu saja bertujuan menggugah
masyarakat yang selama ini cenderung apatis untuk menggunakan suara mereka
dengan bertanggung jawab. Satu suara sangat berharga untuk menentukan kehidupan
komunitas masyarakat lima tahun ke depan.
"The greatest tragedy of this period of social transition was not
the strident clamor of the bed people, but the appalling silence of the good
people" (Martin Luther King, Jr.) Kalimat yang digadang-gadang berasal
dari Ali ternyata aslinya merupakan ungkapan dari Martin Luther King, Jr.
Martin Luther King Jr adalah seorang pendeta gereja Baptis sekaligus aktivis
dan juru bicara gerakan moral hak-hak sipil Amerika Serikat sekitar tahun 1954
sampai 1968. Terinspirasi oleh Mahatma Gandhi, King melakukan perjuangannya
tidak dengan mengangkat senjata dan memberontak. Namun, dengan lantang mengajak
orang banyak untuk bersikap dan menyuarakan kebenaran. King menuntut
penghapusan diskriminasi dan kesetaraan hak. Pada 14 Oktober 1964 ia
dianugerahi Nobel Perdamaian atas jasanya memperjuangkan kesetaraan dengan
cara-cara damai. Pada 1968, King berencana kampanye besar-besaran di Washington
D.C yang bertajuk Poor people's Campaign.
Namun, rencananya kandas. Ia ditembak mati oleh James Earl Ray tanggal 4 April
di Memphis, Tennessee. Meski timah panas mengakhiri hidup King, namun kematian itu
tidak pernah bisa membungkam suara kebenaran. Suara yang menuntut persamaan hak
orang-orang kulit hitam setara dengan kulit putih. Tanggal kematiannya sejak
tahun 1986 dijadikan hari libur nasional untuk mengenang perjuangan King.
Penyuarakan kebenaran tentu
saja akan berhadapan dengan risiko. Yohanes Pembaptis harus membayar dengan
kepalanya sendiri. Sejak kemunculannya di sungai Yordan, manusia padang gurun
ini tampaknya punya nyali besar. Ia meminta penduduk Yerusalem, Galilea, Yudea
dan semua orang Yahudi harus bertobat. Jika tidak, kapak sudah tersedia pada akar pohon, setiap pohon yang tidak
menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api."
(Luk.3:9). Bagi Yohanes, pertobatan dan menghasilkan buahnya adalah hal yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian penghakiman Allah
tidak terelakkan lagi. Yohanes juga tidak gentar menuding elite agama dengan
sebutan keturunan ular beludak sebab
kenyataannya mereka melakukan kewajiban agama hanya untuk memertahankan status
sosial sambil menekan khalayak miskin.
Kini, Yohanes diperhadapkan
dengan Herodes, raja dari dinasti Herodian. Sebuah dinasti yang haus kekuasaan
dan memanjakan nafsu seksual serta menjunjung tinggi hedonisme. Tidaklah
mengherankan kalau dalam keluarga besar Herodian begitu banyak konflik dan
pembunuhan terjadi. Salah satu kebokbrokan yang ditegur oleh Yohanes adalah
pernikahannya dengan Herodias. Siapa Herodias? Herodias adalah isteri dari
Herodes Filipus saudara seayah dari
Herodes Antipas. Dengan dinikahinya Herodias, Herodes Antipas telah melanggar
hukum Yahudi (Imamat 18:16; 20:21) dan - bagaimana pun - telah memerkosa hukum
adat dan moralitas.
Yohanes tidak bisa diam. Ia
bersuara! Kali ini, ia memerlihatkan nyali yang luar biasa. Ia menegur raja di
hadapan umum. Keberaniannya bukan untuk mencari sensasi atau motif politis
untuk popularitas. Ia melakukan itu justeru karena visinya yang melihat
kehidupan umat itu akan semakin suram dan semakin dekat dengan penghukuman
Allah. Pastilah Yohanes begitu kecewa melihat ulah raja Herodes ini. Raja yang
seharusnya memberi contoh, teladan dan menjunjung tinggi moralitas justeru
sebaliknya, menjadi pemuja nafsu serakah. Yohanes sebenarnya adalah sosok yang
mencintai bangsanya, ia tidak menginginkan umat Allah itu binasa karena
melakukan hal-hal yang justeru tidak dikehendaki oleh Allah.
Mestinya, Yohanes tahu benar
risiko yang akan dihadapinya ketika ia menegur raja di depan umum. Namun hal
itu dilakukannya demi menghentikan kebiadaban yang terus dipertontonkan.
Yohanes Pembaptis dipenjarakan di benteng Makhaerus yang pengap, gelap dan
menakutkan. Namun, tampaknya Yohanes lebih suka menderita dan mati ketimbang
hidup dalam kepalsuan dan pemujaan nafsu duniawi.
Amos seorang peternak dari
Tekoa yang dipanggil sebagai nabi TUHAN, mirip seperti Yohanes. Ia menyampaikan
suara kebenaran kepada bangsanya yang terlena dengan pemujaan nafsu dan materi.
Dengan lantang Amos menyampaikan pesan TUHAN bahwa Yang Mahatinggi itu tidak menyukai
keramaian ibadah, persembahan hewan yang tambun dan nyanyian-nyanyian ibadah.
Mengapa TUHAN tidak menyukainya? Mereka mencoba memisahkan ritual ibadah dengan
kehudupan moralitas. Ibadah dipakai sebagai alat untuk menyuap TUHAN, sementara
hidup mereka gemar menindas dan tidak peduli dengan kesengsaraan sesamanya.
Amos melihat seperti yang dilihat Yohanes. Jika mereka tidak bertobat maka
hukuman TUHAN segera menimpa. Mereka akan binasa!
Amos, Yohanes, Matin Luther
King, Jr memerlihatkan kepada kita bahwa mereka mampu setia terhadap tugas
panggilan sesuai konteks masing-masing: menyuarakan kebenaran apa pun risiko
yang harus dihadapi mereka. Saat ini, gereja sering mengklaim dirinya sebagai
penerus panggilan yang harus menyuarakan suara kenabiannya di tengah-tengah
tantangannya yang terus berubah. Gereja tidak boleh berkualisi dan menjadi
bagian dari kekuasaan duniawi sehingga mengiyakan saja apa yang sedang terjadi
tanpa mengkritisinya. Gereja tidak boleh melacurkan diri kepada politik praktis
dan kekuasaan. Sebaliknya, Gereja juga tidak boleh teralienasi dari dunia, lalu
meninggalkan dunia dan hidup menyepi dari hiruk pikuk dunia dan menutup diri.
Kehadiran gereja mestinya
disadari sebagai benteng moral peradaban yang berani menyatakan kebenaran.
Tentu saja tidak hanya pandai dan lantang bersuara, melainkan juga tahu
melakukan dan memberi contoh yang baik dan memerlihatkan apa itu kebenaran.
Gereja bukan hanya alat pembawa pesan kebenaran, melainkan - pada dirinya
sendiri - kebenaran itu sendiri. Kesulitan, perlakuan tidak adil, penderitaan
dan bahkan pembunuhan bukanlah alasan bagi gereja untuk meninggalkan tugas
panggilannya.
Tentu saja kita tahu bahwa
yang dimaksud dengan gereja itu bukanlah sekedar gedung, corong mimbarnya atau
lembaganya saja. Melainkan setiap anggotanya! Setiap anggota, itu berarti
setiap orang percaya terpanggil untuk tidak tinggal diam melihat dan merasakan
kemunafikan, kebobrokan moral dan pelbagai tindakan keji terus terjadi. Kita
semua terpanggil untuk menyuarakan dan memberi contoh kehidupan yang lebih
baik. Kehidupan yang bukan mengarah kepada kebinasaan, melainkan kehidupan yang
mengarah kepada kehidupan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar