Kamis, 12 Juli 2018

MENYUARAKAN KEBENARAN


Menjelang pemilihan umum legislatif dan presiden tahun 2014, salah seorang juru kampanye pasangan Jokowi dan JK sering mengucapkan jargon, "Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik." Kalimat ini sering diyakini berasal dari ucapan Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Muhammad). Pemakaian kalimat ini dalam kampanye tentu saja bertujuan menggugah masyarakat yang selama ini cenderung apatis untuk menggunakan suara mereka dengan bertanggung jawab. Satu suara sangat berharga untuk menentukan kehidupan komunitas masyarakat lima tahun ke depan.

"The greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bed people, but the appalling silence of the good people" (Martin Luther King, Jr.) Kalimat yang digadang-gadang berasal dari Ali ternyata aslinya merupakan ungkapan dari Martin Luther King, Jr. Martin Luther King Jr adalah seorang pendeta gereja Baptis sekaligus aktivis dan juru bicara gerakan moral hak-hak sipil Amerika Serikat sekitar tahun 1954 sampai 1968. Terinspirasi oleh Mahatma Gandhi, King melakukan perjuangannya tidak dengan mengangkat senjata dan memberontak. Namun, dengan lantang mengajak orang banyak untuk bersikap dan menyuarakan kebenaran. King menuntut penghapusan diskriminasi dan kesetaraan hak. Pada 14 Oktober 1964 ia dianugerahi Nobel Perdamaian atas jasanya memperjuangkan kesetaraan dengan cara-cara damai. Pada 1968, King berencana kampanye besar-besaran di Washington D.C yang bertajuk Poor people's Campaign. Namun, rencananya kandas. Ia ditembak mati oleh James Earl Ray tanggal 4 April di Memphis, Tennessee. Meski timah panas mengakhiri hidup King, namun kematian itu tidak pernah bisa membungkam suara kebenaran. Suara yang menuntut persamaan hak orang-orang kulit hitam setara dengan kulit putih. Tanggal kematiannya sejak tahun 1986 dijadikan hari libur nasional untuk mengenang perjuangan King.

Penyuarakan kebenaran tentu saja akan berhadapan dengan risiko. Yohanes Pembaptis harus membayar dengan kepalanya sendiri. Sejak kemunculannya di sungai Yordan, manusia padang gurun ini tampaknya punya nyali besar. Ia meminta penduduk Yerusalem, Galilea, Yudea dan semua orang Yahudi harus bertobat. Jika tidak, kapak sudah tersedia pada akar pohon, setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api." (Luk.3:9). Bagi Yohanes, pertobatan dan menghasilkan buahnya adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian penghakiman Allah tidak terelakkan lagi. Yohanes juga tidak gentar menuding elite agama dengan sebutan keturunan ular beludak sebab kenyataannya mereka melakukan kewajiban agama hanya untuk memertahankan status sosial sambil menekan khalayak miskin.

Kini, Yohanes diperhadapkan dengan Herodes, raja dari dinasti Herodian. Sebuah dinasti yang haus kekuasaan dan memanjakan nafsu seksual serta menjunjung tinggi hedonisme. Tidaklah mengherankan kalau dalam keluarga besar Herodian begitu banyak konflik dan pembunuhan terjadi. Salah satu kebokbrokan yang ditegur oleh Yohanes adalah pernikahannya dengan Herodias. Siapa Herodias? Herodias adalah isteri dari Herodes Filipus  saudara seayah dari Herodes Antipas. Dengan dinikahinya Herodias, Herodes Antipas telah melanggar hukum Yahudi (Imamat 18:16; 20:21) dan - bagaimana pun - telah memerkosa hukum adat dan moralitas.

Yohanes tidak bisa diam. Ia bersuara! Kali ini, ia memerlihatkan nyali yang luar biasa. Ia menegur raja di hadapan umum. Keberaniannya bukan untuk mencari sensasi atau motif politis untuk popularitas. Ia melakukan itu justeru karena visinya yang melihat kehidupan umat itu akan semakin suram dan semakin dekat dengan penghukuman Allah. Pastilah Yohanes begitu kecewa melihat ulah raja Herodes ini. Raja yang seharusnya memberi contoh, teladan dan menjunjung tinggi moralitas justeru sebaliknya, menjadi pemuja nafsu serakah. Yohanes sebenarnya adalah sosok yang mencintai bangsanya, ia tidak menginginkan umat Allah itu binasa karena melakukan hal-hal yang justeru tidak dikehendaki oleh Allah.

Mestinya, Yohanes tahu benar risiko yang akan dihadapinya ketika ia menegur raja di depan umum. Namun hal itu dilakukannya demi menghentikan kebiadaban yang terus dipertontonkan. Yohanes Pembaptis dipenjarakan di benteng Makhaerus yang pengap, gelap dan menakutkan. Namun, tampaknya Yohanes lebih suka menderita dan mati ketimbang hidup dalam kepalsuan dan pemujaan nafsu duniawi.

Amos seorang peternak dari Tekoa yang dipanggil sebagai nabi TUHAN, mirip seperti Yohanes. Ia menyampaikan suara kebenaran kepada bangsanya yang terlena dengan pemujaan nafsu dan materi. Dengan lantang Amos menyampaikan pesan TUHAN bahwa Yang Mahatinggi itu tidak menyukai keramaian ibadah, persembahan hewan yang tambun dan nyanyian-nyanyian ibadah. Mengapa TUHAN tidak menyukainya? Mereka mencoba memisahkan ritual ibadah dengan kehudupan moralitas. Ibadah dipakai sebagai alat untuk menyuap TUHAN, sementara hidup mereka gemar menindas dan tidak peduli dengan kesengsaraan sesamanya. Amos melihat seperti yang dilihat Yohanes. Jika mereka tidak bertobat maka hukuman TUHAN segera menimpa. Mereka akan binasa!

Amos, Yohanes, Matin Luther King, Jr memerlihatkan kepada kita bahwa mereka mampu setia terhadap tugas panggilan sesuai konteks masing-masing: menyuarakan kebenaran apa pun risiko yang harus dihadapi mereka. Saat ini, gereja sering mengklaim dirinya sebagai penerus panggilan yang harus menyuarakan suara kenabiannya di tengah-tengah tantangannya yang terus berubah. Gereja tidak boleh berkualisi dan menjadi bagian dari kekuasaan duniawi sehingga mengiyakan saja apa yang sedang terjadi tanpa mengkritisinya. Gereja tidak boleh melacurkan diri kepada politik praktis dan kekuasaan. Sebaliknya, Gereja juga tidak boleh teralienasi dari dunia, lalu meninggalkan dunia dan hidup menyepi dari hiruk pikuk dunia dan menutup diri.

Kehadiran gereja mestinya disadari sebagai benteng moral peradaban yang berani menyatakan kebenaran. Tentu saja tidak hanya pandai dan lantang bersuara, melainkan juga tahu melakukan dan memberi contoh yang baik dan memerlihatkan apa itu kebenaran. Gereja bukan hanya alat pembawa pesan kebenaran, melainkan - pada dirinya sendiri - kebenaran itu sendiri. Kesulitan, perlakuan tidak adil, penderitaan dan bahkan pembunuhan bukanlah alasan bagi gereja untuk meninggalkan tugas panggilannya.

Tentu saja kita tahu bahwa yang dimaksud dengan gereja itu bukanlah sekedar gedung, corong mimbarnya atau lembaganya saja. Melainkan setiap anggotanya! Setiap anggota, itu berarti setiap orang percaya terpanggil untuk tidak tinggal diam melihat dan merasakan kemunafikan, kebobrokan moral dan pelbagai tindakan keji terus terjadi. Kita semua terpanggil untuk menyuarakan dan memberi contoh kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang bukan mengarah kepada kebinasaan, melainkan kehidupan yang mengarah kepada kehidupan itu sendiri.

Jakarta, 12 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar