Dalam perjalanan-Nya ke
seberang danau Galilea, tampaknya Yesus semakin populer. Kharisma dan
tanda-tanda mukjizat yang dilakukan-Nya mendorong orang untuk terus mengikuti-Nya.
"Orang banyak berbondong-bondong
mengikuti Dia, karena mereka melihat tanda-tanda mukjizat yang diadakan-Nya
terhadap orang sakit." (Yohanes 6:2). Tak pelak lagi mukjizat
merupakan daya tarik luar biasa sehingga orang datang berbondong-bondong
mencari dan mengikut Yesus. Salahkah? Bayangkan kalau pengajaran Yesus tanpa
disertai mukjizat, apakah orang banyak masih mau terus mengikuti-Nya? Dalam narasi yang dikisahkan Injil Yohanes di
seberang danau Galilea (Yohanes 6:1-15), alih-alih Yesus mengecam orang yang
mengikuti-Nya karena daya tarik mukjizat, justeru Ia menunjukkan kepedulian
yang luar biasa. Bukankah mukjizat itu adalah tanda yang menegasikan bahwa
Dialah Sang Mesias itu? Pada pihak lain, mereka yang berbondong-bondong itu
adalah orang-orang yang membutuhkan belaskasihan-Nya. Selama ini mereka tidak
mempunyai akses untuk merasakan jamahan kasih Tuhan; mereka seperti domba tanpa
gembala!
Yesus memerhatikan kebutuhan
semua orang itu. Mereka telah mengikuti-Nya bahkan sebelum tiba di danau
Tiberias. sekarang Yesus naik ke atas gunung dan duduk bersama para murid-Nya.
Pastilah mereka yang mengikuti-Nya kelelahan dan kelaparan. Berbeda dengan apa
yang dikisahkan Markus 6:32-44, dalam kisah Injil Yohanes tidak disoroti
situasi yang mendesak misalnya: menjelang malam, di tempat yang sunyi, jauh ke
warung, tanpa makanan. Murid-murid tidak berinisiatif mengingatkan Yesus supaya
mereka pergi. Yohanes mengisahkan, Yesus sendirilah yang berinisiatif
sepenuhnya dan bertanya kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?"
Hati Yesus tersentuh oleh kebutuhan dan harapan orang-ornag yang mengikuti-Nya.
Perhatikan ini, sebelum orang-orang meminta kebutuhan mendasar mereka, Yesus
terlebih dahulu tahu dan peduli.
Bagaimana reaksi Filipus? Kita
dapat membayangkan pastilah Filipus merasa Yesus keterlaluan. Bagaimana mungkin
mereka memberi makan ribuan orang? Di mana harus mendapatkan makanan sebanyak
itu? Dan kalaupun ada penjual makanan yang cukup untuk ribuan orang itu, mana
mungkin 200 dinar bisa membeli roti untuk orang sebanyak itu? Di tengah
kebingungan itu, Andreas berkata kepada Yesus, "Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan;
tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?" (Yohanes
6:9). Roti seharga 200 dinar saja sudah
tidak cukup, apalagi cuma lima roti jelai dan dua ikan, tentu jauh dari cukup!
Kisah ini menarik untuk
diperhatikan. Yesus memakai orang-orang sederhana. Seorang anak yang membawa
lima roti dan dua ikan. Bisa saja, orang tua anak ini memberikan bekal
kepadanya untuk sebuah perjalanan bersama dengan orang banyak untuk mencari,
mengikut, dan menyaksikan apa yang Yesus lakukan. Anak ini tidak menyimpannya
untuk dinikmati sendirian. Sama seperti Yesus yang peduli, anak ini juga peduli
terhadap mereka yang lapar.
Anak kecil yang merelakan
bekalnya, mengingatkan kita juga pada kesederhanaan para hamba dalam pesta
perkawinan di Kana. Di sini Yesus bertindak seolah-olah sebagai tuan rumah
pesta besar ini, berkata, "Suruhlah
orang-orang itu duduk". Kemudian Yesus mengambil roti itu, dan setelah
mengucap syukur kepada Bapa Pencipta alam semesta. Dalam Injil Yohanes, berbeda
dengan Injil lain, roti dan ikan dibagikan oleh Yesus sendiri, sebanyak yang
dikehendaki oleh orang banyak itu, sehingga mereka semua kenyang! Murid-murid
tidak dilibatkan dalam pembagiannya. Semua adalah prakarsa dan karya Yesus
sendiri. Peran para murid hanya mengumpulkan potongan roti yang lebih (bukan yang tersisa melainkan lebih).
Terkumpullah dua belas bakul potongan-potongan roti. Tujuan pengumpulan itu
"supaya tidak ada yang hilang"
dan bukan terbuang. Kelebihan
potongan roti yang tidak boleh hilang ini adalah pralambang dari makanan yang
tidak akan binasa, yang bertahan untuk hidup yang kekal (ay.27).
Di Kana, Yesus mengubah air
dalam jumlah yang sangat banyak menjadi anggur yang istimewa. Sekarang, Ia
menggandakan lima roti dan dua ikan menjadi makanan yang berlimpah. Itulah
Allah; Allahg memberi dengan berlimpah, sebagai tanda Allah mengasihi umat-Nya.
Yesus memberikan seutuh kepada kebutuhan setiap orang termasuk kita. Ia
mencintai kita secara berlimpah agar kita dapat belajar bagaimana cara
mengasihi dengan benar.
Apa reaksi setelah orang-orang
banyak itu menerima berkat yang melimpah itu? Apakah mereka juga tergerak dapat
berbagi dan saling memberi dengan berlimpah? Banyak orang sadar bahwa sesuatu
yang luar biasa telah terjadi: mereka tidak melihat gerobak berisi roti dan
ikan, namun mereka telah diberi makan sampai kenyang. Ini ajaib! Bisa saja para
tua-tua ingat akan apa yang telah dilakukan oleh Allah pada nenek moyang mereka
di padang gurun setelah mereka dibebaskan dari perbudakan, bagaimana Allah
telah membuat mereka kenyang dengan manna
(Kel.16). Mungkin mereka sadar bahwa
sesuatu yang serupa sedang terjadi di Galilea. Kini mereka benar-benar
takjub di hadapan Yesus. Ketakjuban itu membuat mereka berpikir pragmatis.
Mereka ingin menjadikan Yesus raja. Agar dengan demikian Yesus menjaga dan
menjamin segala kebutuhan jasmani mereka. Oh, alangkah hebatnya mempunyai
seorang pemimpin yang berkuasa seperti Dia. Mereka tidak usah repot-repot
mengolah tanah, menabur benih, menyiram dan memupuk serta menjaga ladang gandum
mereka. Atau sebagai nelayan, mereka kini bisa menggantungkan jaring dan
mengistirahatkan perahu selamanya. Mereka tidak usah berlelah bekerja. Toh, roti dan ikan yang dibutuhkan
selalu tersedia!
Bagaimana reaksi Yesus? Dengan
tenang Yesus segera menyingkir ke gunung seorang diri. Yesus tidak mau menjadi
raja dengan kekuasaan yang fana. Kuasa yang membuat orang hidup dengan cara
gampang dan tidak bertanggung jawab. Sekarang terlihat, bahwa iman mereka hanya
berpusat pada diri mereka sendiri dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Sangat
mungkin Yesus sedih, mereka berbondong-bondong mengikuti-Nya hanya untuk
mencari mukjizat atau berkat dan bukan benar-benar untuk belajar mempercayakan
hidup kepada-Nya. Padahal, Yesus mengadakan mukjizat agar orang percaya bahwa
Ia diutus oleh Allahg, lalu mereka percaya akan sabda-Nya.
Bayangkan bagaimana perasaan
kita, jika orang-orang ingin berjumpa dengan kita hanya ketika mereka
memerlukan uang, materi atau pertolongan kita? Barang kali - secara manusiawi -
itulah perasaan Yesus. Bayangkan juga seandainya Yesus memenuhi permintaan
mereka. Setiap orang tidak usah bekerja dan dengan doa permohonan saja mereka
akan menerima apa yang diinginkannya. Tidak bertani, bekerja, belajar,
berusaha, pendek kata tidak usah berjeri lelah mereka mendapatkan apa yang
diinginkannya. Rasanya ini tidak adil. Bagaimana dengan orang lain yang
berusaha membanting tulang bekerja? Yesus tidak mengajarkan cara-cara yang
mudah. Namun, Ia memperagakan bahwa yang tidak mudah itu bisa dilakukan dengan
cara mempercayakan diri kepada-Nya.
Mengikut Yesus hanya untuk
mengejar berkat atau mukjizat-Nya saja jelas bukan itu yang dikehendaki Yesus. Ingat,
dalam kisah Yesus memberi makan 5000 orang, Ia menghindar. Namun sayang, sampai
saat ini banyak orang terus mengejar mukjizat-Nya, bukan berusaha mengikuti dan
percaya sungguh-sungguh kepada-Nya. Banyak orang mengajarkan dan mengejar
mukjizat sebagai tanda Tuhan memberkati, akibatnya melupakan pemberi mukjizat
itu. Pemahaman seperti ini beranggapan bahwa kekayaan, kuasa, dan kedudukan
merupakan ciri utama dari orang yang diberkati Tuhan. Akibatnya, yang dicari
dan didahulukan adalah kekayaan, kesuksesan, kedudukan dan popularitas.
Sementara ketaatan dan kesetiaan sering terlupakan. Hidup berkelimpahan
"roti" atau materi tanpa Yesus di dalamnya hanya berujung pada
kesia-siaan. Hidup bersama-Nya, dalam badai dasyat pun, kita akan merasakan
kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar