Senin, 30 Juli 2018

BEKERJALAH UNTUK MAKANAN YANG TIDAK BINASA


Semua manusia mencari kebahagiaan. Tidak ada seorang pun yang betah hidup dalam suasana garing, monoton, flat. Celakanya, orang memahami bahwa kehidupan yang bahagia, bergairah dan antusias itu selalu identik dengan kekuasaan, kesuksesan, kekayaan dan kemakmuran. Tersedia melimpah apa yang diinginkan. Akibatnya, kondisi yang berlawanan dengan itu disebut sebagai kemalangan atau kutukan. Lihatlah, iklan-iklan yang tersebar diberbagai media konvensional atau media sosial. Kita akan menjumpai pelbagai produk yang dikemas sedemikian rupa. Seorang wanita berpakaian minim menawarkan produk otomotif atau handphone canggih - sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan penampilannya, lalu seorang pria tampan terlihat penuh kedamaian menikmati layanan hotel berbintang lima, atau kelezatan makanan yang terhidang mengundang selera. Semua seolah mengatakan bahwa, "Engkau akan bahagia dengan kemewahan, seks, makanan, dan banyaknya uang untuk membelinya!"

Manusia bekerja, berjeri lelah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perkembangan kini dapat ditengarai, tidak hanya untuk kebutuhan hidup manusia bekerja keras, tetapi juga untuk memenuhi keinginannya sehingga dengan cara apa pun mereka akan mengupayakan apa yang menjadi hasratnya. Sangat mudah menjumpai orang-orang yang ada di sekitar kita terlilit masalah hutang. Dikejar-kejar debt colector, keluarga menjadi berantakan, dan akhirnya kekerasan terjadi di mana-mana.

Salahkah jika kita punya keinginan sama seperti orang lain yang ada di iklan-iklan itu? Kelirukah kalau kita berusaha "naik kelas" dalam status sosial? Berdosakah kalau kita memiliki ini dan itu? Tidak mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Benar, siapa pun tidak ingin hidup menderita. Anda dan saya pasti tidak ingin hidup flat atau monoton dan tidak bergairah. Namun pertanyaannya kemudian, "Apakah dengan ketersediaan materi: uang, barang, atau apa pun yang kita inginkan, lalu menjadikan kita antusias, bergairah dan berbahagia?" Mungkin saja untuk sesaat jawabannya, "ya". Contoh, suatu ketika Anda menginginkan telepon genggam merek ternama dan keluaran terbaru. Untuk mendapatkannya, Anda harus menyicil dengan kartu kridit. Kini, ponsel itu ada dalam genggaman tangan Anda. Anda bahagia, kini dapat mencoba fitur-fitur baru, kamera yang canggih dan hasil jepretannya Anda kirim ke Instagram, FB, atau yang lainnya. Waktu terus berjalan dan Anda harus benar-benar menghemat agar dapat membayar cicilan. Dan, cicilan itu belum lunas, ternyata produk baru telah muncul. Kini, ponsel Anda terasa jadul, sementara kebutuhan lain juga mendesak. Bahagiakah Anda? Ini hanya contoh ponsel, belum lagi yang lain: mobil, mebel, rumah, pakaian dan lainnya.

Ibarat minum air laut, makin diminum, makin haus. Ketika keinginan yang mengendalikan hidup kita maka seberapa pun materi yang kita punya akan terus kurang. Di sinilah kita dapat memahami mengapa orang yang sudah kaya dan berkuasa terlibat dalam korupsi dan kolusi. Apakah harta mereka kurang? Tidak! Tetapi nafsu mereka yang tidak pernah terpuaskan.

Nafsu semacam inilah yang terjadi dengan para pengikut Yesus. Mereka terus mencari Yesus yang telah berhasil menggandakan roti sehingga mereka bisa kenyang dan sisanya melimpah. Yesus kemudian menyingkir ke gunung. Mereka tidak kenal lelah, terus mencari Yesus. Mereka berhasil menemukan Yesus di seberang laut. Mereka bertanya kepada-Nya, kapan Yesus tiba. Yesus tidak menjawab pertanyaan mereka. Sebaliknya, Ia mempertanyakan kedatangan mereka. Yesus mempertanyakan motivasi mereka yang mencari-Nya bukan karena melihat tanda-tanda melainkan karena telah menerima roti dan kemudian menjadi kenyang. Sudah sering dikatakan bahwa orang percaya kepada Yesus hanya karena melihat dan mencari mukjizat-Nya. Sedangkan Yesus menuntut sikap yang lebih dari itu: bukan percaya karena Ia melakukan mukjizat, melainkan karena pribadi dan sabda-Nya.

Sekarang, Yesus mengatakan bahwa orang banyak itu datang mencari-Nya karena mereka telah makan roti yang Ia berikan dan dengan itu mereka menjadi kenyang. Dengan demikian, alasan kedatangan mereka ini jauh lebih memprihatinkan ketimbang mereka yang datang untuk sebuah mukjizat. Mereka datang bukan untuk melihat tanda apalagi untuk mempercayakan hidupnya kepada Yesus, melainkan untuk memperoleh kembali roti dan kemudian menjadi kenyang! Di sinilah kemudian Yesus berbicara tentang roti fisik (materi) yang telah membuat mereka kenyang. Ia menjadikan momen ini sebagai pengajaran bahwa mereka harus bekerja untuk memperoleh makanan yang bertahan untuk kehidupan yang kekal. Makanan itu hanya dapat diberikan oleh Anak Manusia!

Bagi orang Yahudi, hidup kekal hanya dapat diperoleh dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan Hukum Taurat. Mereka mengartikan hal itu sebagai pelaksanaan pekerjaan Allah. Oleh karena itu mereka butuh mengerti pekerjaan seperti apa lagi yang harus mereka perbuat. Yesus menjawab bahwa, untuk sampai pada hidup yang kekal, yang dibutuhkan tidak hanya dengan cara melakukan tuntutan Hukum itu. Hal yang paling dituntut untuk memperoleh kehidupan kekal adalah percaya kepada Dia yang telah diutus oleh Allah. Yesus sendiri mengatakan, "Makanan-Ku ialah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yoh.4:34). Melakukan pekerjaan Allah terletak bukan pada pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, melainkan pada dedikasi total kepada-Nya di dalam ketaatan dan di dalam iman. Iman yang bagaimana? Iman yang menjadikan Yesus sebagai satu-satunya pusat acuan dan orientasi karena Dialah yang berasal dari Allah.

Yesus tidak alergi dan menolak tanda atau mukjizat. Ia bahkan banyak sekali melakukan mukjizat. Namun, Ia mengoreksi pemahaman orang yang keliru terhadap tanda atau mukjizat. Pada zaman dahulu, bukan Musa yang memberikan roti dari sorga.  Bapalah yang telah memberikan itu. Tidak hanya sekali Allah menganugerahkan roti dari sorga. Ia mengulang pekerjaan itu, juga untuk kali ini. Allah tidak hanya memberikan manna di padang gurun bagi Israel. Ia memberikan Anak-Nya sendiri sebagai roti hidup yang turun dari sorga. Allah memberikan Anak-Nya agar dunia memperoleh kehidupan. Roti sorgawi itu diidentifikasikan sebagai Dia yang telah turun dari sorga untuk memberikan hidup kepada dunia. Yesus tidak lagi bicara tentang roti yang diberikan dari sorga, melainkan roti yang turun dari sorga. Roti itu tidak lain adalah diri-Nya sendiri!

Mendengar perkataan itu, orang banyak meminta kepada Yesus untuk memberikan roti itu. "Tuhan berikanlah kami roti senantiasa!" (Yoh.6:34). Sekali lagi para pendengar hanya berpikir tentang kebutuhan fisik, roti seperti yang dinikmati nenek moyang mereka di padang gurun. Permintaan ini sejajar dengan permintaan perempuan Samaria, "Tuhan berikanlah aku air itu supaya aku tidak haus lagi dan tidak perlu datang kemari untuk menimba air."(Yoh.4:15).

Roti dan air itu adalah Yesus sendiri. Dialah yang dapat memberikan makanan dan minuman yang tidak binasa. Yang diperlukan untuk memperoleh "roti" dan "air" itu adalah datang dan percaya kepada-Nya. Menikmati roti sorgawi dan air kehidupan adalah dengan cara mempercayakan diri kepada-Nya. Percaya berarti termasuk di dalamnya mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya. Belajar tiap hari, setiap saat mempraktikan apa yang diajarkan-Nya. Sehingga makin-lama, "roti" dan "air" itu menjadi "daging" dan "darah". Artinya, ajaran dan teladan Yesus itu mendarah-daging dan menjadi gaya hidup kita. Selama ajaran dan teladan Yesus belum menjadi gaya dan prilaku keseharian kita, maka sebenarnya kita belum menikmati roti sorgawi dan air kehidupan itu!

Jakarta, 30 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar