Semua manusia mencari
kebahagiaan. Tidak ada seorang pun yang betah hidup dalam suasana garing, monoton, flat. Celakanya, orang
memahami bahwa kehidupan yang bahagia, bergairah dan antusias itu selalu
identik dengan kekuasaan, kesuksesan, kekayaan dan kemakmuran. Tersedia
melimpah apa yang diinginkan. Akibatnya, kondisi yang berlawanan dengan itu
disebut sebagai kemalangan atau kutukan. Lihatlah, iklan-iklan yang tersebar
diberbagai media konvensional atau media sosial. Kita akan menjumpai pelbagai
produk yang dikemas sedemikian rupa. Seorang wanita berpakaian minim menawarkan
produk otomotif atau handphone canggih - sebenarnya tidak ada hubungan sama
sekali dengan penampilannya, lalu seorang pria tampan terlihat penuh kedamaian
menikmati layanan hotel berbintang lima, atau kelezatan makanan yang terhidang
mengundang selera. Semua seolah mengatakan bahwa, "Engkau akan bahagia
dengan kemewahan, seks, makanan, dan banyaknya uang untuk membelinya!"
Manusia bekerja, berjeri lelah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perkembangan kini dapat ditengarai,
tidak hanya untuk kebutuhan hidup manusia bekerja keras, tetapi juga untuk
memenuhi keinginannya sehingga dengan cara apa pun mereka akan mengupayakan apa
yang menjadi hasratnya. Sangat mudah menjumpai orang-orang yang ada di sekitar
kita terlilit masalah hutang. Dikejar-kejar debt
colector, keluarga menjadi berantakan, dan akhirnya kekerasan terjadi di
mana-mana.
Salahkah jika kita punya
keinginan sama seperti orang lain yang ada di iklan-iklan itu? Kelirukah kalau
kita berusaha "naik kelas" dalam status sosial? Berdosakah kalau kita
memiliki ini dan itu? Tidak mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Benar,
siapa pun tidak ingin hidup menderita. Anda dan saya pasti tidak ingin hidup flat atau monoton dan tidak bergairah.
Namun pertanyaannya kemudian, "Apakah dengan ketersediaan materi: uang,
barang, atau apa pun yang kita inginkan, lalu menjadikan kita antusias,
bergairah dan berbahagia?" Mungkin saja untuk sesaat jawabannya,
"ya". Contoh, suatu ketika Anda menginginkan telepon genggam merek
ternama dan keluaran terbaru. Untuk mendapatkannya, Anda harus menyicil dengan
kartu kridit. Kini, ponsel itu ada dalam genggaman tangan Anda. Anda bahagia,
kini dapat mencoba fitur-fitur baru, kamera yang canggih dan hasil jepretannya
Anda kirim ke Instagram, FB, atau yang lainnya. Waktu terus berjalan dan Anda
harus benar-benar menghemat agar dapat membayar cicilan. Dan, cicilan itu belum
lunas, ternyata produk baru telah muncul. Kini, ponsel Anda terasa jadul, sementara kebutuhan lain juga
mendesak. Bahagiakah Anda? Ini hanya contoh ponsel, belum lagi yang lain:
mobil, mebel, rumah, pakaian dan lainnya.
Ibarat minum air laut, makin
diminum, makin haus. Ketika keinginan yang mengendalikan hidup kita maka
seberapa pun materi yang kita punya akan terus kurang. Di sinilah kita dapat
memahami mengapa orang yang sudah kaya dan berkuasa terlibat dalam korupsi dan
kolusi. Apakah harta mereka kurang? Tidak! Tetapi nafsu mereka yang tidak
pernah terpuaskan.
Nafsu semacam inilah yang
terjadi dengan para pengikut Yesus. Mereka terus mencari Yesus yang telah
berhasil menggandakan roti sehingga mereka bisa kenyang dan sisanya melimpah.
Yesus kemudian menyingkir ke gunung. Mereka tidak kenal lelah, terus mencari
Yesus. Mereka berhasil menemukan Yesus di seberang laut. Mereka bertanya
kepada-Nya, kapan Yesus tiba. Yesus tidak menjawab pertanyaan mereka.
Sebaliknya, Ia mempertanyakan kedatangan mereka. Yesus mempertanyakan motivasi
mereka yang mencari-Nya bukan karena melihat tanda-tanda melainkan karena telah
menerima roti dan kemudian menjadi kenyang. Sudah sering dikatakan bahwa orang
percaya kepada Yesus hanya karena melihat dan mencari mukjizat-Nya. Sedangkan
Yesus menuntut sikap yang lebih dari itu: bukan percaya karena Ia melakukan
mukjizat, melainkan karena pribadi dan sabda-Nya.
Sekarang, Yesus mengatakan
bahwa orang banyak itu datang mencari-Nya karena mereka telah makan roti yang
Ia berikan dan dengan itu mereka menjadi kenyang. Dengan demikian, alasan
kedatangan mereka ini jauh lebih memprihatinkan ketimbang mereka yang datang
untuk sebuah mukjizat. Mereka datang bukan untuk melihat tanda apalagi untuk
mempercayakan hidupnya kepada Yesus, melainkan untuk memperoleh kembali roti
dan kemudian menjadi kenyang! Di sinilah kemudian Yesus berbicara tentang roti
fisik (materi) yang telah membuat mereka kenyang. Ia menjadikan momen ini
sebagai pengajaran bahwa mereka harus bekerja untuk memperoleh makanan yang
bertahan untuk kehidupan yang kekal. Makanan itu hanya dapat diberikan oleh
Anak Manusia!
Bagi orang Yahudi, hidup kekal
hanya dapat diperoleh dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan Hukum Taurat.
Mereka mengartikan hal itu sebagai pelaksanaan pekerjaan Allah. Oleh karena itu
mereka butuh mengerti pekerjaan seperti apa lagi yang harus mereka perbuat.
Yesus menjawab bahwa, untuk sampai pada hidup yang kekal, yang dibutuhkan tidak
hanya dengan cara melakukan tuntutan Hukum itu. Hal yang paling dituntut untuk
memperoleh kehidupan kekal adalah percaya kepada Dia yang telah diutus oleh
Allah. Yesus sendiri mengatakan, "Makanan-Ku
ialah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya." (Yoh.4:34). Melakukan pekerjaan Allah terletak bukan
pada pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, melainkan pada dedikasi total kepada-Nya
di dalam ketaatan dan di dalam iman. Iman yang bagaimana? Iman yang menjadikan
Yesus sebagai satu-satunya pusat acuan dan orientasi karena Dialah yang berasal
dari Allah.
Yesus tidak alergi dan menolak
tanda atau mukjizat. Ia bahkan banyak sekali melakukan mukjizat. Namun, Ia
mengoreksi pemahaman orang yang keliru terhadap tanda atau mukjizat. Pada zaman
dahulu, bukan Musa yang memberikan roti dari sorga. Bapalah yang telah memberikan itu. Tidak
hanya sekali Allah menganugerahkan roti dari sorga. Ia mengulang pekerjaan itu,
juga untuk kali ini. Allah tidak hanya memberikan manna di padang gurun bagi
Israel. Ia memberikan Anak-Nya sendiri sebagai roti hidup yang turun dari
sorga. Allah memberikan Anak-Nya agar dunia memperoleh kehidupan. Roti sorgawi
itu diidentifikasikan sebagai Dia yang telah turun dari sorga untuk memberikan
hidup kepada dunia. Yesus tidak lagi bicara tentang roti yang diberikan dari
sorga, melainkan roti yang turun dari sorga. Roti itu tidak lain adalah
diri-Nya sendiri!
Mendengar perkataan itu, orang
banyak meminta kepada Yesus untuk memberikan roti itu. "Tuhan berikanlah kami roti senantiasa!"
(Yoh.6:34). Sekali lagi para pendengar hanya berpikir tentang kebutuhan fisik,
roti seperti yang dinikmati nenek moyang mereka di padang gurun. Permintaan ini
sejajar dengan permintaan perempuan Samaria, "Tuhan berikanlah aku air itu supaya aku tidak haus lagi dan tidak perlu
datang kemari untuk menimba air."(Yoh.4:15).
Roti dan air itu adalah Yesus
sendiri. Dialah yang dapat memberikan makanan dan minuman yang tidak binasa.
Yang diperlukan untuk memperoleh "roti" dan "air" itu
adalah datang dan percaya kepada-Nya. Menikmati roti sorgawi dan air kehidupan
adalah dengan cara mempercayakan diri kepada-Nya. Percaya berarti termasuk di
dalamnya mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya. Belajar tiap hari, setiap saat
mempraktikan apa yang diajarkan-Nya. Sehingga makin-lama, "roti" dan
"air" itu menjadi "daging" dan "darah". Artinya,
ajaran dan teladan Yesus itu mendarah-daging dan menjadi gaya hidup kita.
Selama ajaran dan teladan Yesus belum menjadi gaya dan prilaku keseharian kita,
maka sebenarnya kita belum menikmati roti sorgawi dan air kehidupan itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar