Selasa, 31 Oktober 2017

REFORMASI

Adalah Pangeran Mohammed bin Salaman, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi belakangan mengguncang jagat pusat peradaban Islam, dan dunia tentu sebagai imbasnya. Mulai Juni tahun depan, perempuan Arab Saudi diperbolehkan mengemudikan kendaraan bermotor di jalan raya. Sebagaimana diketahui, Arab Saudi adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang perempuan menyetir kendaraan.

Tahun depan juga, negara ini mengizinkan perempuan nonton sepak bola secara langsung di lapangan bola. Sebelumnya, negara yang ultra konservatif ini pernah menghukum perempuan yang ketahuan nonton sepak bola dengan cara menyamar sebagai laki-laki. Berikutnya, akan ada reformasi susulan: perempuan boleh pergi ke ruang publik dalam acara-acara perayaan bersama kaum pria. Selama ini dalam pesta perayaan, pernikahan misalnya, perempuan dan laki-laki tidak boleh berada dalam ruangan yang sama. Harus terpisah!

Reformasi terus sedang bergulir di pusat kiblat Muslim ini. Mohammed bin Salman menempatkan reformasi ini dalam format visi 2030, di mana Arab nantinya tidak lagi bergantung pada hasil minyak bumi. Melainkan terbuka dan tentu ramah terhadap peradaban sosial lintas gender.

Bagaimana tanggapan terhadap reformasi yang sedang mulai bergulir ini? "Setelah perempuan boleh nyetir, kini diperbolehkan nonton bola, lalu belajar, beraktivitas, berada di ruang publik layaknya kaum pria....lalu apa lagi?" begitu komentar kaum konservatif berseliweran. Sebaliknya, mayoritas kaum perempuan gembira, bersyukur, dan larut dalam euforia! Kini, kebebasan sudah diambang pintu! Selangkah lagi, tahun depan mereka bisa belajar setinggi-tingginya, bisa nyetir, bisa nonton sepak bola, beraktivitas, berkarya di ruang publik tanpa banyak aturan! Semoga!

REFORMASI sejatinya membebaskan manusia agar bisa berkarya, mencintai dan menjadi berkat. Bukan sebaliknya, menciptakan kekangan baru atas nama doktrin reformasi.

SELAMAT HARI REFORMASI

Jumat, 27 Oktober 2017

MENGASIHI DIRI SENDIRI



Mengherankan, orang-orang Farisi dalam banyak hal bertolak belakang dengan kaum Saduki, misalnya: Kaum Saduki itu tidak percaya akan kebangkitan orang mati, para malaikat dan dunia roh. Pendeknya, mereka hanya percaya yang logis dan kasat mata. Sedangkan orang-orang Farisi sebaliknya (bisa dilihat dalam Kis.23:6-9). Namun, kedua kelompok yang sering berselisih paham ini bisa bersatu untuk melawan dan menjebak Yesus. Rupanya orang-orang Farisi mendengar bahwa Yesus berhasil membungkam orang Saduki dalam percakapan tentang kebangkitan orang mati. Kini, mereka berniat menjebak Yesus lagi. Salah seorang di antara kaum Farisi menyapa Yesus sebagai Guru. Mereka bertanya tentang hukum yang terutama dalam Turat (Matius 22:34-36).

Yesus menjawab bukan dengan polemik, melainkan pengajaran. Jawaban Yesus mengacu pada dua hukum yang paling utama, yang sudah dikenal oleh orang Yahudi. Jawaban-Nya: Yang terutama dan pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi. Hukum ini adalah bagian dari credo Israel yang dikenal dengan syema. Inilah jantung keyakinan umat Israel menjadi doa harian bagi mereka (Ul.6:5). Kasih terhadap Allah itu melibatkan keutuhan diri manusia (hati, jiwa, akal budi). Oleh karena itu, kasih kepada Allah adalah kasih yang total sebagaimana Allah sendiri dengan total mengasihi manusia. Hukum yang kedua, yang sama dengan yang pertama tadi adalah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Hukum ini terdapat dalam kitab Imamat 19:18.

Kedua hukum itu memang tidak dikatakan "identik" melainkan homoia, (harf: seperti, mirip, hampir sama). Kedua hukum itu tidak dapat dipisahkan. Ungkapan homoia ini harus dibaca : "yang sama pentingnya" dengan yang pertama. Kasih kepada Allah sama pentingnya dengan kasih terhadap sesama. Kasih kepada Allah perlu menjadi nyata dalam kasih terhadap sesama manusia, dan kasih kepada sesama perlu dijiwai oleh kasih kepada Allah. Namun, perlu dipahami bahwa kasih kepada sesama manusia tidak berarti dapat menggantikan kasih kepada Allah. Dengan jawaban itu, tidak dikatakan bahwa perintah itu mencakup seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi dalam pengertian menghapuskan seluruh peraturan lain. Tidak! Tak satu pun peraturan hukum dibatalkan oleh Yesus (Ma.5:17-19). Kedua perintah ini dapat dilihat sebagai kegenapan hukum. Dari kedua hukum itu bergantung atau bersumber seluruh hukum-hukum yang lain.

Kalimat tema kita hari ini berasal dari penggalan hukum kedua, yakni Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Mengasihi sesama, dalam konteks Injil Matius tidak dibatasi hanya dengan saudara, tetangga atau teman sebangsa tetapi juga musuh sekalipun (bnd.Mat.5:43-45). Ukuran kasih itu tidak main-main: seperti engkau mengasihi dirimu sendiri!

Mengasihi diri sendiri.
Terdengar narsis dan egosentris. Benar! Manusia normal punya perkembangan seperti ini. Tahap mengasihi diri dengan pola egosentris, pola kasih anak kecil: segalanya berpusat pada diri sendiri. Seorang anak kecil, tentu belum mampu memikirkan kepentingan orang lain. Mengasihi diri sendiri dalam tahap ini adalah segala sesuatu harus membahagiakan dan memuaskan aku, orang lain masa bodo! Seiring pertumbuhan fisik maka seseorang akan perlahan-lahan tahu bahwa tidak semua yang memuaskan dan memanjakan dirinya adalah baik. Bisa jadi hal itu semacam racun yang mematikan. Ada anggapan keliru bahwa orang yang egois adalah orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Alih-alih setuju, para psikolog berpendapat orang yang egois sebenarnya adalah orang yang tidak cukup mengenal dan mencintai dirinya sendiri. Kalau orang mengenal dirinya sendiri dan mencintainya maka akan terjadi penerimaan yang wajar terhadap dirinya sendiri, bahkan mensyukurinya.

Orang dewasa akan mampu memerhatikan apa yang baik untuk diri dan sekitarnya. Sikap egois mulai perlahan memudar menuju ke arah memperhatikan kebutuhan orang lain juga. Orang itu bahkan bisa menjadi seorang yang altuistis. Cinta dan pengenalan pada diri sendiri yang matang akan menjadi pijakan yang kokoh supaya ia bisa melompati dan berani mencintai sesama dengan setulus-tulusnya.

Dalam bukunya Modern man in Search of A Soul, Karel Gustav Jung menulis, "Penerimaan diri adalah akar dari masalah moral dan kunci dari seluruh problem kehidupan. Bahwa saya memberi makan kepada orang lapar, memaafkan orang yang menghina saya, maupun mengasihi musuh atas nama Kristus adalah keutamaan-keutamaan yang luhur. Apa yang saya lakukan untuk saudara yang paling hina, saya melakukannya untuk Kristus. Namun, apa yang terjadi jika orang yang paling hina, yang lapar, dan yang menjadi musuh berada di dalam diri saya sendiri? Apa yang harus saya lakukan bila musuh yang harus saya kasihi ternyata adalah diri saya sendiri? (Karl Gustav Jung,"Neurosis is the state of being at war oneself). Agar kita mampu mengasihi sesama dengan standar mengasihi diri sendiri dengan benar ada beberapa hal yang perlu kita benahi, yakni:

Menerima diri sendiri. Proses menerima diri sendiri mutlak harus dilakukan ketika seseorang menginginkan perkembangan diri yang sehat dan mencintai diri sendiri dengan benar. Namun, untuk menuju ke arah itu ternyata kesulitan. Kesulitan itu antara lain, kita suka membandingkan diri dengan orang lain. Lalu timbulah ketidakpuasan dengan diri sendiri yang membuat ingin menjadi seperti orang lain. Di sinilah muncul benih-benih iri hati dan kemudian memicu egoisme. Oleh karena itu sikap yang perlu dikambangkan adalah mengenal diri sendiri untuk kemudian "Menjadi diri sendiri".

Menjadi diri sendiri, seseorang tidak perlu diliputi oleh ketakutan untuk menjadi seperti apa yang diharapkan orang lain. Sehingga ia memaksakan diri untuk tampil sempurna di hadapan orang lain itu. Benar, bahwa sebaiknya orang menghindari dari kesalahan dan sedapat mungkin bertingkah laku seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal itu bukan dilakukan atas dasar ketakutan untuk tidak diterima, melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan. Supaya orang bisa tampil apa adanya, dibutuhkan penghargaan diri atau self-esteem yang sehat. Dari mana penghargaan diri yang sehat itu? Jelas, bukan bersumber dari kebanggaan diri karena kita bisa ini dan itu. Melainkan dari Allah sendiri yang menganugerahkannya kepada kita.

Kalau seseorang telah mencapai kematangan kepribadian sehingga memiliki selft esteem yang sehat, bahkan lebih jauh lagi memiliki kematangan spiritualitas yang baik. Sehingga menyadari bahwa dirinya tidak ada artinya sedikit pun di hadapan Allah namun pada saat yang sama sadar akan martabatnya sebagai citra dan gambar Allah. Orang itu siap untuk melupakan dirinya sendiri. Melupakan diri dalam artinya beranjak dari keegoisan menuju seorang yang altruistis. Menaruh dirinya di tempat "belakang" dan mendahulukan kepentingan orang lain. Bukankah ini yang Yesus ajarkan "Barangsiapa kehilangan nyawanya, Ia akan menyelamatkannya" (Lukas 17:33). Melupakan diri juga berarti tidak mengandalkan kemampuan sendiri dan jasa-jasanya. Kemampuan untuk melupakan diri adalah tanda kematangan pribadi seseorang. Tanda bahwa dia mencintai dirinya dengan benar dan dengan keadaan seperti inilah dia siap mengasihi orang lain sama seperti yang dicontohkan Yesus.

Dari cinta egosentris menuju kasih altruistis
Jelas, yang Yesus maksud mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri bukan dengan cinta egosentris atau narsis melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan cinta kasih yang benar, altruisme. Altruisme berasal dari kata "alter", artinya "yang lain". Penekanannya pada "orang lain". Altruisme diperkenalkan oleh sosiolog dan filsuf pengetahuan asal Perancis, Auguste Comte. Pada hakikatnya, menurut Comte, ada dua prilaku menolong: yang pertama, prilaku menolong untuk mendapatkan manfaat bagi si penolong, atau mengambil manfaat dari yang ditolong. Dalam kalimat sederhana: menolong dengan pamrih. Misalnya, seorang pebisnis menolong seorang anak pejabat dalam urusan sekolah di luar negeri, dengan harapan pejabat tersebut dapat memudahkan dalam pengurusan perizinan usahanya. Kedua, prilaku menolong altruis, yaitu menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Misalnya, seorang pemuda membantu seorang nenek menyeberang jalan, semata-mata agar si nenek sampai di seberang jalan. Sudahkah kita mengasihi orang lain sama seperti kita mengasihi diri sendiri? Semoga!

Jakarta, 27 Oktober 2017

Kamis, 19 Oktober 2017

BERKARYA DI TENGAH DUNIA

Captatio benevolentiae. Itulah gaya bicara santun, kata-katanya diatur menawan dan cenderung memuji lawan bicara. Namun, sesungguhnya racun mematikan di balik kata-kata manis itu sedang ditebarkan. Jebakan! Orang-orang Farisi dan para pendukung Herodes menggunakan captatio benevolentiae terhadap Yesus. Lihat, kata-kata mereka, "Guru, kami tahu, Engkau seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka." (Matius 22:16). Bagaimana jika Anda disanjung dengan kalimat seperti ini? Wow, pasti melambung!
 
Kelompok Farisi, mewakili salah satu partai keagamaan terpenting Yahudi. Mereka sangat konservatif dan tidak senang dibebani untuk membayar pajak kepada penguasa asing; Kaisar Roma. Sedangkan para pendukung Herodes bukanlah partai keagamaan. Dari sebutannya jelas, mereka adalah pendukung dinasti Herodes yang lazim disebut kaum Herodian. Dengan demikian mendukung pula kuasa Roma di Palestina. Jadi sebenarnya dua kelompok yang berusaha menjebak Yesus ini mewakili dua sikap yang bertentangan. Yang satu tidak senang akan tekanan Roma dan yang lain mendukungnya. Namun, mengherankan yang bertentangan ini bisa bersatu untuk menjebak Yesus.

Membayar pajak kepada Kaisar, itulah yang menjadi bahan jebakan untuk Yesus. Persoalan membayar pajak di mana pun dan kapan pun menjadi persoalan pelik, bahkan ketidaksukaan. Maka sering terjadi kasus-kasus orang berkelit atau mengemplang pajak, memanipulasi laporan pajak dan menyuap petugas pajak. Pokoknya kalau bisa dihindari, ya dihindari. Kalau tidak bisa, dibuat laporan-laporan fiktif atau bayar di bawah meja!

Orang-orang Yahudi merasa dibebani dengan berbagai macam pajak. Rupanya, bukan hanya saat sekarang saja kita dikenakan berbagai macam pajak: ada pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, dan lain sebagainya. Orang Yahudi pada masa itu juga dikenakan pelbagai jenis pajak. Ada pajak yang dipungut oleh penguasa Romawi, ada pajak yang dipungut oleh penguasa lokal, dan ada juga pajak yang dipungut oleh otoritas Bait Allah. Oleh karena itu, berbicara soal pajak adalah soal sensitif. Bisa saja karena sensitivitasnya sangat tinggi, maka persoalan pajak inilah yang dipakai untuk menjerat Yesus.

Kelompok Farisi dan pendukung Herodes ini bertanya tentang pendapat Yesus, "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Di balik pertanyaan ini ada persoalan rumit. Andaikata Yesus menjawab tidak boleh, Ia akan berhadapan langsung dengan penguasa Romawi yang menetapkan pajak harus dibayar oleh orang-orang Yahudi sebagai pihak yang terjajah. Kita bisa membayangkan, kelompok pendukung Herodes ini akan maju di garda terdepan dan mendakwa Yesus sebagai pemberontak Kaisar. Sebaliknya, jika saja Yesus menjawab boleh, orang banyak yang pada waktu itu menyaksikan perdebatan ini akan segera berkata, "Inikah Mesias? Bukankah Mesias harus membebaskan bangsa kita dari kaum penjajah kafir? Mengapa dia justeru mengizinkan kita membayar pajak kepada Kaisar, bukankah dengan begitu kita akan melanggengkan kekuasaan Kaisar?

Yesus sangat sadar dengan jebakan ini. Maka Ia tidak mau langsung menjawab. Yesus meminta mereka memerlihatkan mata uang pajak yang mereka persoalkan. Mereka ternyata membawa mata uang perak Romawi, yaitu denarius, lalu menunjukkannya kepada Yesus. Pada zaman Yesus, mata uang itu bergambar Kaisar Tiberius, dilingkari dengan tulisan "Tiberius, Kaisar, Putra Agustus yang Ilahi'. Yesus bertanya kepada mereka perihal gambar dan tulisan siapa yang tertera pada mata uang itu. Tampaknya, mereka tidak bisa mengelak dan mau tidak mau harus menjawab, "Gambar dan tulisan Kaisar!" Dengan begitu, mereka juga mengakui bahwa mereka memakai apa yang menjadi kepunyaan Kaisar. Dengan demikian pertanyaan mereka sudah terjawab. Yesus hanya menegaskannya, "Berikanlah (kembalikanlah) kepunyaan Kaisar kepada Kaisar,...". Ini mengandung dua arti: Pertama, Berikanlah kepada Kaisar apa yang dimintanya dari kalian - dalam hal ini: pajak - sebagai penguasa. Untuk sementara, Allah telah memberikan kuasa kepada Kaisar Roma, maka Kaisar harus dihormati. Pemahaman ini kental dalam Perjanjian Lama (orang Farisi pasti memahaminya) bahwa segala jeni kuasa akhirnya berasal dari Allah. Kedua, Yesus hendak mengatakan bahwa diri-Nya bukan Mesias yang melaksanakan tugasnya dengan jalan merebut kuasa politik lalu menggantikan Kaisar.

Jawaban Yesus tidak berhenti di situ. Ia menggunakan kesempatan ini dengan mengajarkan, "(kembalikanlah) kepunyaan Allah kepada Allah." Dalam kesejajaran dengan kalimat pertama, yakni menyerahkan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar, kalimat kedua menjadi tekanan dan puncak sebuah pernyataan. Maksudnya, bukan bahwa di samping kepunyaan Kaisar ada hal-hal lain yang menjadi kepunyaan Allah. Yesus tidak sedang mensejajarkan Kaisar dengan Allah. Tidak! Segala-galanya di dunia ini, termasuk Kaisar itu sendiri adalah milik Allah, diciptakan oleh Dia dan membawa "cap"-Nya; maka harus dikembalikan kepada-Nya. Caranya? Menurut ajaran Yesus, menggunakannya sesuai dengan maksud dan kehendak Allah. Mengembalikan kepada Allah apa yang menjadi kepunyan Allah, adalah sama dengan melakukan kehendak Allah atau mendahulukan mencari Kerajaaan-Nya (Matius 6:33). Dan Kerajaan Allah itu jelas mewujud dalam diri-Nya!

Serahkanlah kepada Allah apa yang dari Allah, adalah desakan untuk menyambut Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus serta mengakui kemesiasan-Nya. Kerajaan Allah tidak bersaing dengan kerajaan Kaisar. Oleh karena itu kita tidak boleh membandikan kuasa Kaisar dengan Kuasa Allah; keduanya berbeda. Mesias datang ke bumi tidak untuk mengambil kuasa Kaisar, lalu menjadikan diri-Nya mesias politik-religius. Ia datang untuk menegakkan Kerajaan Allah. Maka, jawaban Yesus harus dipahami dalam terang kata-kata yang dicatat Yohanes 18:36, "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.". Tatanan-tatanan politik berkait erat dengan kebebasan manusia, sehingga penyempurnaannya harus terus diupayakan. Tetapi, misi Yesus tidak pernah bertujuan sesempit itu! Yesus mau membebaskan manusia bukan hanya dari tekanan politik Kaisar (sebagai mujud dari ambisi keserakahan manusia). Namun, Yesus mau membebaskan manusia dari belenggu dan perbudakan yang bercokol dalam hatinya untuk membukanya bagi kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia.

Jawaban Yesus bukanlah jawaban orang yang pandai berkelit dari jebakan lawan dengan kata-kata manis mereka. Namun, melalui persoalan pelik ini, justeru Yesus mengajarkan makna esensi dari ajaran-Nya bahwa, setiap orang harus tahu dan mengerti tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan Allah kepada-Nya. Manusia mestinya memiliki kesadaran bahwa kehidupannya di bumi ini bukanlah miliknya sendiri, melainkan pemberian dari Allah. Menyadari ini, jika saja apa yang dianggap menjadi milik Kaisar, harus dikembalikan kepada Kaisar, apalagi yang kita yakini sebagai milik Allah mestinya harus sepenuhnya dikembalikan bagi kemuliaan nama-Nya. Tidak ada apa pun yang melekat pada diri kita adalah hak milik kita. Semua dari pada-Nya, semua adalah pinjaman dan pemberian, maka pada akhirnya harus dikembalikan. Dengan cara bagaimana? Berkarya sebaik-baiknya di dunia ini, bukan untuk kemuliaan dan keuntungan sendiri, melainkan bagi Dia Sang Penguasa sesungguhnya!

Jadi, jangan diplintir: ajaran Yesus ini utamanya bukan boleh tidaknya membayar pajak kepada penguasa, melainkan tentang apa yang harus kita lakukan bagi kemuliaan-Nya.

Jakarta, 19 Oktober 2017

Rabu, 18 Oktober 2017

SAKSI MATA

Venesia pada abad pertengahan adalah kota penting sebagai pemasok rempah-rempah. Dari mana asalnya rempah itu? Tentu bukan dari daratan Eropa. Melainkan dipasok oleh para pedagang, terutama pedagang Arab. Untuk mencegah orang banyak mengakses sumber rempah itu secara langsung, maka diciptakannya mitos. Banyak mitos yang menggambarkan bahwa, lokasinya dijaga monster raksasa, hingga dihuni oleh para kanibal buas.

Adalah Ludovico di Varthema seorang yang mencoba mematahkan mitos itu. Pada 1502 ia meninggalkan keluarga dan kotanya, Bologna untuk memulai menjelajahannya. Dari Aleksandria dia menempuh perjalanan. Bersama para jemaah haji ia masuk Mekah dan Madinah (dialah seorang non-muslim pertama yang memasuki kota suci itu). Dari Yaman, ia menuju ke Persia, India, Malaka, Aceh dan sampailah ke Banda, Ternate dan Tidore.

Tahun ini, tepat 500 tahun silam Varthema wafat. Pesan yang sangat terkenal, "Ingatlah bahwa testimoni dari satu saksi mata akan lebih bernilai ketimbang sepuluh kabar burung." Apa yang dikatakannya berasal dari penglaman hidupnya. Ia tidak hanya percaya kepada kabar burung khususnya mitos-mitos tempat rempah berada. Ia membayar mahal untuk membuktikannya, untuk menjadi saksi mata.
Jangan puas hanya dengar "kabar burung", termasuk dalam ranah iman dan spiritualitas. Jadilah "saksi mata" di mana kita menyaksikan dan mengalami sendiri apa yang kita imani.

"Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau." (Ayub 42:5)

Jumat, 13 Oktober 2017

MENYAMBUT UNDANGAN TUHAN DENGAN SUKACITA



Raja berpesta, sudah tentu yang diundang adalah kerabat kerajaan, kaum ningrat dan orang-orang terhormat. Namun, ada kalanya juga raja ingin berpesta bersama dengan rakyatnya. Membaur bersama mereka agar si jelata dapat menikmati kegembiraan. Siapa sih yang tidak antusias bila diundang pesta oleh raja?

Pasti pada umumnya orang merespon positif undangan itu. Bahkan jauh-jauh hari menyiapkan pakaian, sepatu dan tak lupa kamera siapa tahu punya kesempatan berswaphoto bersama raja atau tamu undangan terhormat lainnya. Pastilah momen itu sangat dinantikan.

Yesus pernah bercerita tentang seorang raja yang hendak menggelar pesta pernikahan buat anaknya (Matius 22:1-14). Tentu, segalanya disiapkan dengan baik termasuk menyebar undangan kepada banyak orang. Namun, alih-alih antusias, dengan pelbagai alasan, orang-orang yang diundang itu menolaknya. Raja tampaknya tidak berputus asa, ia kembali mengutus para hambanya untuk mengingatkan mereka yang telah diundang itu dengan mengatakan bahwa hidangan telah disediakan, lembu jantan dan ternak piaraan telah dipotong dan pastinya acara yang disajikan sangat-sangat  meriah. Lagi-lagi, para undangan tidak mau datang. Mereka menolak dengan alasan mengurus kepentingannya masing-masing. Ada yang pergi ke ladang dan ada juga yang mengurus usahanya. Yang mengherankan malah ada yang menangkap dan menyiksa utusan raja itu kemudian membunuhnya. Entah kenapa anomali ini terjadi?

Tentu raja sangat marah dengan penolakan dan perlakuan mereka yang diundang itu terhadap hamba-hambanya. Dalam kemurkaannya, sang raja menyuruh pasukannya untuk membinasakan para penganiaya itu dan kemudian membakar kotanya. Setelah itu sang raja mengundang semua orang yang dijumpai di persimpangan-persimpangan jalan. Para utusan raja diminta untuk memberikan undangan itu kepada semua orang yang dijumpai; orang jahat maupun orang baik sehingga ruang pesta itu menjadi penuh dengan tamu.

Ketika raja bergabung dengan para tamu, ia melihat ada seorang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Lalu raja itu berkata kepada para hambanya, "Ikat kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratapan dan kertak gigi."(Matius 22:13).

Dalam konteks kita hari ini, cerita ini banyak kejanggalan. Bisa saja kita bertanya, "Masa iya sih, raja mengadakan pesta tetapi rakyatnya menolak." Atau, "Apakah mungkin persiapan pesta sudah begitu optimal, hidangan pesta telah tersedia di meja tapi kemudian raja keluar untuk berperang dan membakar semua kota?" dan "Mana mungkin gelandangan di pinggir jalan mempunyai pakaian pesta? Koq tampaknya kejam amat, orang yang tidak punya gaun pesta ini harus dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap dan siksaan abadi?"

Ingatlah ini adalah cerita perumpamaan. Dalam tradisi budaya Yahudi, perjamuan sering digunakan sebagai metafor Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga. Perjamuan yang indah mengungkapkan kebersamaan, kegembiraan dan damai sejahtera umat dalam Kerajaan Allah. Jadi memang benar terasa mengherankan atau janggal, mengapa banyak orang yang diundang dalam "pesta" itu justeru menolaknya. Penolakan itu biasanya terjadi kalau seseorang dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya di depan pengadilan. Seorang koruptor atau penjahat politik selalu saja punya alasan untuk tidak hadir di pengadilan. Namun, jarang sekali mereka mangkir dalam acara-acara hajatan orang-orang terhormat. Tidak diundang pun mencari celah bagaimana cara bisa berada di tengah-tengah orang terpandang.

Namun, inilah realita yang terjadi dengan orang-orang Israel, mereka yang lebih dahulu dipilih Allah untuk menjadi bangsa yang istimewa. Mereka dikhususkan agar melalui mereka bangsa-bangsa lain mendapatkan berkat. Dalam perumpamaan ini, merekalah yang dimaksud dengan penerima undangan itu untuk yang pertama kalinya. Namun, justeru mereka menolak untuk datang. Mereka kehilangan antusiasme terhadap undangan itu karena tenggelam dalam urusan dan kepentingan sendiri. Mereka mengenal Taurat dan penjabarannya secara detil. Mereka asyik memakainya untuk mendandani diri agar kesalehan mereka terlihat anggun dan mentereng. Kesenangan pribadi itu mengalahkan orang akan panggilan yang maha penting untuk merayakan kehidupan bersama yang membahagiakan.

Hal serupa bisa terjadi dengan kita. Menolak undangan Sang Raja - yang sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri - karena kita sibuk dengan "kebun anggur" kita. Kita sibuk dan kuatir terhadap makanan dan pakaian serta masa depan kita sehingga tidak ada lagi waktu tersisa untuk bersekutu dengan-Nya. Kita sibuk dengan "ladang" dan "lembu" kita, dengan bisnis kita. Padahal, bisa jadi bisnis yang sedang dijalani kini adalah buah doa di masa lalu. Banyak cerita tentang hal ini: Seseorang ketika kesulitan ekonomi berdoa dan memohon agar Tuhan memberikan pekerjaan yang layak. Eh ternyata, setelah kariernya bagus, usahanya lancar, kini ia tenggelam di sana. Ada yang menegur dan mengingatkan dipandangnya sebelah mata. Satu dua kali ia mengabaikan "undangan" atau teguran itu. Lama-kelamaan ia memusuhi orang yang mengingatkannya dan berusaha memutus kontak.

Tidak hanya mereka mengabaikan panggilan Sang Raja. Namun lebih jauh dari itu mereka menganiaya dan membunuh orang-orang yang diutus oleh Sang Raja itu. Tentu saja Raja akan membuat perhitungan dengan orang-orang ini. Dalam kehidupan masa kini, mungkin saja jarang terjadi seseorang menganiaya atau membunuh karena mengingatkan "menyampaikan undangan Sang Raja". Namun, bukankah dalam batas-batas tertentu kita bisa lepas kontrol. Kita menjadi tidak suka dan akhirnya menyebarkan hal-hal yang tidak benar, dan itu berarti membunuh karakter orang baik lantaran kita tidak suka!

Kini, sangat mungkin kita menjadi bagian dari yang akhirnya "diundang Sang Raja" itu. Undangan Perjamuan Sang Raja ditolak Israel dan akhirnya disebar untuk semua orang. Umat Allah yang lama dapat menolak tetapi tidak dapat menggagalkan rencana keselamatan Allah. Semua orang dari segala bangsa dipanggil melalui misi gereja. Sampailah undangan itu kepada kita sebagai orang yang dulunya oleh umat Israel dipandang sebagai bagian dari bangsa kafir. Kita merespon undangan itu dan pergi ke Pesta Perjamuan Raja. Dalam perumpamaan itu, sayangnya ada seorang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Sungguh malang nasib orang ini. Ia dicampakkan ke dalam siksaan yang mengerikan!

Orang yang datang ke dalam Pesta Perjamuan Raja namun tidak mengenakan pakaian pesta seumpama anak dalam cerita perumpamaan sebelumnya yang menjawab "Ya" untuk bekerja di ladang ayahnya namun ternyata tidak melakukannya. Lewat perumpamaan ini, Injil Matius mau menyampaikan kepada mereka yang sudah menerima Injil, yaitu komunitas pengikut Yesus. Mereka harus waspada supaya jangan berpikir sama seperti pola pikir orang-orang Israel pada masa itu, yakni bahwa karena mereka sudah dipanggil maka otomatis mereka akan selamat. Ternyata masih ada seleksi. Tidak cukup mengakui nama Yesus untuk dapat password masuk ke dalam komunitas-Nya. Pengikut Yesus harus mengenakan "pakaian pesta" atau dalam bahasa Wahyu 7 disebut dengan "jubah putih", artinya melaksanakan dengan sepenuh hati karya yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus. Jadi tepatlah apa yang dikatakan Yesus, "Bukan orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga."(Matius 7:21).

Jika saja untuk sebuah kenduri dari kerabat kita, beberapa waktu lamanya kita akan disibukkan dengan pelbagai persiapan termasuk gaun atau pakaian pesta yang akan dikenakan nanti. Tentunya, sesuai dengan anggaran, kita memilih bahan dan penjahit yang terbaik. Sehingga pada saatnya pesta nanti kita akan tampil dengan baik. Sekarang, melalui kisah perumpamaan ini kita diingatkan. Apakah kita sudah menyiapkan gaun atau "pakaian pesta" kita? Apakah kita sudah merancang dan mengerjakannya? Jangan-jangan kita abai dengan itu semua!

Jakarta, Okt - Friday The 13th' 2017

Kamis, 05 Oktober 2017

STATUS PALSU



Lama sudah tidak bertemu dengan kawan yang satu ini. Namun, saya dapat memantaunya lewat dunia maya, Facebook. Saya ikut gembira, usahanya maju pesat. Ia mempekerjakan banyak karyawan dan menjadi berkat bagi keluarga mereka. Dalam pertemuan itu ia bercerita bahwa kini perusahaannya tidak lagi seperti dulu. "Semula kami memercayakan seluruh aktivitas produksi, pemasaran dan keuangan kepada seorang saudara," Ia mengenang kisahnya ketika berusaha menolong saudaranya untuk ikut maju bersama dalam bisnisnya. "Semua rahasia-rahasia perusahaan sudah kami percayakan kepadanya. Mulai dari mencari bahan baku, resep membuat produk, merekrut karyawan, mengelola keuangan dan perpajakan, sampai jaringan pemasaran. Eh, ternyata, akhirnya dia ambil alih. Maksudnya, dia mendirikan perusahaan yang percis sama dengan saya. Dan semua; dari hulu sampai hilir dia kuasai. Ya, sudahlah ini sebuah risiko terlalu percaya orang sekalipun dia adalah saudara sendiri!" Ungkap sang kawan dengan mencoba menghibur diri.

Tidak sedikit kisah seperti ini. Orang kepercayaan di kemudian hari berbalik dan "memakan" habis ladang usaha yang dirintis mulai dari nol. Sudah barang tentu sang pengusaha atau pemilik modal merasa kecewa atau sakit hati. Pada pihak lain, sering kali orang kepercayaan tergoda untuk semakin jauh melewati batas: menguasai apa yang bukan miliknya itu. Ia dapat merasakan betapa nikmatnya punya banyak aset, perusahaan besar, relasi luas dan disanjung banyak orang sebagai pengusaha sukses! Goadaan ini mengalahkan moralitas dan nurani.

Yesus memakai cerita perumpamaan dunia usaha, dalam hal ini pengusaha kebun anggur untuk menegur kaum klerus dan pemimpin Yahudi yang tidak hidup dalam moralitas sebagai umat TUHAN (Matius  21:33-46). Pengusaha anggur Palestina pada masa Romawi biasanya punya banyak tanah atau kebun. Para pengusaha ini tinggal di kota dan mereka menyewakan tanah atau kebunnya itu kepada para penggarap. Para penggarap dan pengusaha atau tuan tanah itu mengikat perjanjian. Si tuan tanah memberi kepercayaan kepada para penggarap untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan para penggarap itu boleh melakukan usahannya dengan imbang bagi hasil. Setiap periode tertentu para penggarap ini harus menyerahkan hasil dari kebun anggur itu. Namun apa yang terjadi dalam kisah perumpamaan ini? Para penggarap menikmati hasil kebun anggur itu. Mereka terlena dan enggan untuk menyerahkan apa yang menjadi bagian dari tuannya. Kini, mereka merasa bahwa lahan kebun itu sepertinya sudah menjadi milik mereka sendiri dan kemudian berniat untuk menguasai sepenuhnya. Tentu, sang tuan tidak tinggal diam. Dia mengirim utusan-utusannya untuk menagih hasil kebun anggur itu sesuai dengan kesepakatan semula. Hasilnya? Tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan sang tuan! Para hamba utusan itu dipukul, dilempari dengan batu bahkan dibunuhnya.

Dalam kejengkelan dan kemarahannya maka kini sang tuan mengutus anaknya sendiri. Sang tuan berpikir, dengan mengutus anaknya para penggarap ini akan segan dan akhirnya menyerahkan hasil kebun anggur itu. Meleset, alih-alih takut terhadap anak sang tuan tanah ini, mereka menangkap, menyeretnya ke luar kebun anggur itu dan akhirnya membunuh si anak itu. Mereka berpikir kini tidak ada lagi pewaris dari kebun anggur itu. Merekalah yang akan menjadi pemiliknya kemudian! Di luar dugaan, sang tuan murka dan akhirnya membinasakan para penggarap kebun anggur itu.

Perumpamaan kebun anggur ini mengingatkan kebun anggur Israel dalam Yesaya 5:1-7. Kebun anggur itu melambangkan Israel sendiri yang tidak menghasilkan buah. Tetapi dalam Injil Matius ini, kebun anggur diartikan secara positif sebagai Kerajaan Allah (ay.43). Sang tuan mengutus hamba-hambanya untuk menyerahkan buah-buah (tous karpous). Buah-buah yang dimaksud adalah melakukan kehendak Allah. Para hamba sang tuan ini jelas mengacu kepada utusan-utusan TUHAN untuk menegur umat-Nya supaya melakukan kehendak-Nya. Mereka diutus berulang kali, terus-menerus (Yer.&:25; 25:4), tetapi ditolak dan dipukul bahkan dirajam dan dibunuh (Yer.20:2; 26:21-23; Mat. 23:37). Berbeda dengan Yesaya 5, Matius tidak mendakwa kebun anggur, tetapi para penggarap yang diberi kepercayaan tetapi tidak menyerahkan hasil kepada tuannya. Dalam hal ini mereka disamakan dengan para pendengar perumpamaan, yakni para imam kepala, tua-tua Yahudi, kaum Farisi dan elite umat Yahudi.

Akhirnya Si Tuan mengutus anaknya sendiri, anggapannya bahwa anak itu akan disegani oleh para penggarap kebun anggur. Bukannya menyegani sang anak, malah mereka membunuhnya dengan perhitungan yang bodoh bahwa mereka akan segera mewarisi kebun anggur itu. Sebutan "anaknya" (bnd. Mat.3:17; 17:5 "anaknya yang kekasih" dalam Mrk.12:6) beserta kata keterangan "akhirnya" dan tempat pembunuhan di "luar kebun anggur" tak terbantahkan hanya dapat merujuk kepada Yesus Kristus, Anak Allah yang segera sesudah itu akan dibunuh di luar kota Yerusalem (Mat.27:31-32; Ibr.13:12-13). Secara inplisit Yesus telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Anak Allah kepada para pemimpin Yahudi. Dengan demikian pastilah maksud perumpamaan ini telah dimengerti oleh mereka.

Dalam dialog dengan para pemimpin Yahudi itu, mereka mengakui bahwa perhitungan para penggarap kebun anggur dengan membunuh anak sang tuan itu sama sekali meleset. Bukannya menjadi ahli waris, orang-orang jahat itu akan dibinasakan oleh tuan mereka. Satu generasi setelah perumpamaan ini mereka mengalami tragedi itu.  Yerusalem ditaklukan dan penduduknya dibantai oleh pasukan Romawi sekitar tahun 70 M. Sedangkan Sang Tuan akan mempercayakan kebun anggur (Kerajaan Allah) itu kepada orang lain! Kerajaan itu diambil dari para pemimpin bangsa Yahudi dan diberikan (bukan disewakan) kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan (bukan menyerahkan) buah-buah Kerajaan. Tidak dikatakan : "diberikan kepada bangsa-bangsa lain", sebab orang Yahudi pun tetap dipanggil untuk menjadi bagian dari bangsa baru yang adalah pengikut Kristus yang menyambut Kerajaan Allah dengan buah, yakni dengan melakukan kehendak-Nya. Jadi jelas, apa yang dimaksudkan Yesus bukan lagi primordial sebuah ras atau bangsa secara harfiah yang layak di hadapan-Nya, melainkan mereka yang mau tunduk dan setia serta menghasilkan buah-buah Kerajaan Allah itu. Apa pun bangsanya mereka layak di hadapan-Nya. Status yang asli dari sebuah umat TUHAN bukanlah semata-mata diukur berasal dari keturunan mana atau siapa melainkan dari tekadnya dalam melakukan kehendak Allah.

TUHAN memberikan kepada kita masing-masing "kebun anggurnya" sendiri-sendiri. Kita dimintanya untuk menggarap, memelihara dengan baik dan hasilnya tentu bisa kita nikmati tetapi jangan lupa yang utama adalah menyerahkannya kepada Sang Pemilik Kebun Anggur itu. Katakanlah "kebun anggur" itu adalah ladang pekerjaan kita. Kita bangun dari hari masih gelap, bersiap-siap pergi ke ladang itu dan pulang pun sudah kembali gelap. Kita merasa merintis "kebun anggur" itu. Lama-kelamaan kita merasa memilikinya. Padahal itu adalah sebuah kepercayaan dari Sang Tuan. Kita terlalu sibuk di "kebun anggur" itu dan akhirnya all out. Kita merasa "kebun anggur" itu adalah segalanya. Sehingga kita melakukan apa pun termasuk yang bertentangan dengan moralitas dan panggilan sebagai anak TUHAN di "kebun anggur" itu. Dan kini hidup kita adalah "kebun anggur" itu.  

Ada hamba-hamba TUHAN yang mengingatkan untuk kembali ke jati diri yang benar. Namun, sering kita menolak dan memusuhi. Dianggapnya menyinggung dan mau ikut campur. Alih-alih kembali mengoreksi kehidupan kita, kita sibuk mencari-cari kesalahan oerang yang menegur kita, bahkan tak segan-segan menfitnah dan menyingkirkannya. Ingatlah apa yang diajarkan Yesus. Kesempatan yang Allah berikan kepada setiap kita ada batasnya. "Kebun anggur" kita bukanlah segalanya. Namun, dari sana kita dapat memberi arti bagi kehidupan yang kekal. Jadi hasilkanlah "buah anggur yang baik" dan serahkanlah bagi kemuliaan Bapa di sorga!

Jakarta, 10 Oktober 2017