Jumat, 27 Oktober 2017

MENGASIHI DIRI SENDIRI



Mengherankan, orang-orang Farisi dalam banyak hal bertolak belakang dengan kaum Saduki, misalnya: Kaum Saduki itu tidak percaya akan kebangkitan orang mati, para malaikat dan dunia roh. Pendeknya, mereka hanya percaya yang logis dan kasat mata. Sedangkan orang-orang Farisi sebaliknya (bisa dilihat dalam Kis.23:6-9). Namun, kedua kelompok yang sering berselisih paham ini bisa bersatu untuk melawan dan menjebak Yesus. Rupanya orang-orang Farisi mendengar bahwa Yesus berhasil membungkam orang Saduki dalam percakapan tentang kebangkitan orang mati. Kini, mereka berniat menjebak Yesus lagi. Salah seorang di antara kaum Farisi menyapa Yesus sebagai Guru. Mereka bertanya tentang hukum yang terutama dalam Turat (Matius 22:34-36).

Yesus menjawab bukan dengan polemik, melainkan pengajaran. Jawaban Yesus mengacu pada dua hukum yang paling utama, yang sudah dikenal oleh orang Yahudi. Jawaban-Nya: Yang terutama dan pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi. Hukum ini adalah bagian dari credo Israel yang dikenal dengan syema. Inilah jantung keyakinan umat Israel menjadi doa harian bagi mereka (Ul.6:5). Kasih terhadap Allah itu melibatkan keutuhan diri manusia (hati, jiwa, akal budi). Oleh karena itu, kasih kepada Allah adalah kasih yang total sebagaimana Allah sendiri dengan total mengasihi manusia. Hukum yang kedua, yang sama dengan yang pertama tadi adalah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Hukum ini terdapat dalam kitab Imamat 19:18.

Kedua hukum itu memang tidak dikatakan "identik" melainkan homoia, (harf: seperti, mirip, hampir sama). Kedua hukum itu tidak dapat dipisahkan. Ungkapan homoia ini harus dibaca : "yang sama pentingnya" dengan yang pertama. Kasih kepada Allah sama pentingnya dengan kasih terhadap sesama. Kasih kepada Allah perlu menjadi nyata dalam kasih terhadap sesama manusia, dan kasih kepada sesama perlu dijiwai oleh kasih kepada Allah. Namun, perlu dipahami bahwa kasih kepada sesama manusia tidak berarti dapat menggantikan kasih kepada Allah. Dengan jawaban itu, tidak dikatakan bahwa perintah itu mencakup seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi dalam pengertian menghapuskan seluruh peraturan lain. Tidak! Tak satu pun peraturan hukum dibatalkan oleh Yesus (Ma.5:17-19). Kedua perintah ini dapat dilihat sebagai kegenapan hukum. Dari kedua hukum itu bergantung atau bersumber seluruh hukum-hukum yang lain.

Kalimat tema kita hari ini berasal dari penggalan hukum kedua, yakni Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Mengasihi sesama, dalam konteks Injil Matius tidak dibatasi hanya dengan saudara, tetangga atau teman sebangsa tetapi juga musuh sekalipun (bnd.Mat.5:43-45). Ukuran kasih itu tidak main-main: seperti engkau mengasihi dirimu sendiri!

Mengasihi diri sendiri.
Terdengar narsis dan egosentris. Benar! Manusia normal punya perkembangan seperti ini. Tahap mengasihi diri dengan pola egosentris, pola kasih anak kecil: segalanya berpusat pada diri sendiri. Seorang anak kecil, tentu belum mampu memikirkan kepentingan orang lain. Mengasihi diri sendiri dalam tahap ini adalah segala sesuatu harus membahagiakan dan memuaskan aku, orang lain masa bodo! Seiring pertumbuhan fisik maka seseorang akan perlahan-lahan tahu bahwa tidak semua yang memuaskan dan memanjakan dirinya adalah baik. Bisa jadi hal itu semacam racun yang mematikan. Ada anggapan keliru bahwa orang yang egois adalah orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Alih-alih setuju, para psikolog berpendapat orang yang egois sebenarnya adalah orang yang tidak cukup mengenal dan mencintai dirinya sendiri. Kalau orang mengenal dirinya sendiri dan mencintainya maka akan terjadi penerimaan yang wajar terhadap dirinya sendiri, bahkan mensyukurinya.

Orang dewasa akan mampu memerhatikan apa yang baik untuk diri dan sekitarnya. Sikap egois mulai perlahan memudar menuju ke arah memperhatikan kebutuhan orang lain juga. Orang itu bahkan bisa menjadi seorang yang altuistis. Cinta dan pengenalan pada diri sendiri yang matang akan menjadi pijakan yang kokoh supaya ia bisa melompati dan berani mencintai sesama dengan setulus-tulusnya.

Dalam bukunya Modern man in Search of A Soul, Karel Gustav Jung menulis, "Penerimaan diri adalah akar dari masalah moral dan kunci dari seluruh problem kehidupan. Bahwa saya memberi makan kepada orang lapar, memaafkan orang yang menghina saya, maupun mengasihi musuh atas nama Kristus adalah keutamaan-keutamaan yang luhur. Apa yang saya lakukan untuk saudara yang paling hina, saya melakukannya untuk Kristus. Namun, apa yang terjadi jika orang yang paling hina, yang lapar, dan yang menjadi musuh berada di dalam diri saya sendiri? Apa yang harus saya lakukan bila musuh yang harus saya kasihi ternyata adalah diri saya sendiri? (Karl Gustav Jung,"Neurosis is the state of being at war oneself). Agar kita mampu mengasihi sesama dengan standar mengasihi diri sendiri dengan benar ada beberapa hal yang perlu kita benahi, yakni:

Menerima diri sendiri. Proses menerima diri sendiri mutlak harus dilakukan ketika seseorang menginginkan perkembangan diri yang sehat dan mencintai diri sendiri dengan benar. Namun, untuk menuju ke arah itu ternyata kesulitan. Kesulitan itu antara lain, kita suka membandingkan diri dengan orang lain. Lalu timbulah ketidakpuasan dengan diri sendiri yang membuat ingin menjadi seperti orang lain. Di sinilah muncul benih-benih iri hati dan kemudian memicu egoisme. Oleh karena itu sikap yang perlu dikambangkan adalah mengenal diri sendiri untuk kemudian "Menjadi diri sendiri".

Menjadi diri sendiri, seseorang tidak perlu diliputi oleh ketakutan untuk menjadi seperti apa yang diharapkan orang lain. Sehingga ia memaksakan diri untuk tampil sempurna di hadapan orang lain itu. Benar, bahwa sebaiknya orang menghindari dari kesalahan dan sedapat mungkin bertingkah laku seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal itu bukan dilakukan atas dasar ketakutan untuk tidak diterima, melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan. Supaya orang bisa tampil apa adanya, dibutuhkan penghargaan diri atau self-esteem yang sehat. Dari mana penghargaan diri yang sehat itu? Jelas, bukan bersumber dari kebanggaan diri karena kita bisa ini dan itu. Melainkan dari Allah sendiri yang menganugerahkannya kepada kita.

Kalau seseorang telah mencapai kematangan kepribadian sehingga memiliki selft esteem yang sehat, bahkan lebih jauh lagi memiliki kematangan spiritualitas yang baik. Sehingga menyadari bahwa dirinya tidak ada artinya sedikit pun di hadapan Allah namun pada saat yang sama sadar akan martabatnya sebagai citra dan gambar Allah. Orang itu siap untuk melupakan dirinya sendiri. Melupakan diri dalam artinya beranjak dari keegoisan menuju seorang yang altruistis. Menaruh dirinya di tempat "belakang" dan mendahulukan kepentingan orang lain. Bukankah ini yang Yesus ajarkan "Barangsiapa kehilangan nyawanya, Ia akan menyelamatkannya" (Lukas 17:33). Melupakan diri juga berarti tidak mengandalkan kemampuan sendiri dan jasa-jasanya. Kemampuan untuk melupakan diri adalah tanda kematangan pribadi seseorang. Tanda bahwa dia mencintai dirinya dengan benar dan dengan keadaan seperti inilah dia siap mengasihi orang lain sama seperti yang dicontohkan Yesus.

Dari cinta egosentris menuju kasih altruistis
Jelas, yang Yesus maksud mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri bukan dengan cinta egosentris atau narsis melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan cinta kasih yang benar, altruisme. Altruisme berasal dari kata "alter", artinya "yang lain". Penekanannya pada "orang lain". Altruisme diperkenalkan oleh sosiolog dan filsuf pengetahuan asal Perancis, Auguste Comte. Pada hakikatnya, menurut Comte, ada dua prilaku menolong: yang pertama, prilaku menolong untuk mendapatkan manfaat bagi si penolong, atau mengambil manfaat dari yang ditolong. Dalam kalimat sederhana: menolong dengan pamrih. Misalnya, seorang pebisnis menolong seorang anak pejabat dalam urusan sekolah di luar negeri, dengan harapan pejabat tersebut dapat memudahkan dalam pengurusan perizinan usahanya. Kedua, prilaku menolong altruis, yaitu menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Misalnya, seorang pemuda membantu seorang nenek menyeberang jalan, semata-mata agar si nenek sampai di seberang jalan. Sudahkah kita mengasihi orang lain sama seperti kita mengasihi diri sendiri? Semoga!

Jakarta, 27 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar