Mengherankan, orang-orang
Farisi dalam banyak hal bertolak belakang dengan kaum Saduki, misalnya: Kaum
Saduki itu tidak percaya akan kebangkitan orang mati, para malaikat dan dunia
roh. Pendeknya, mereka hanya percaya yang logis dan kasat mata. Sedangkan
orang-orang Farisi sebaliknya (bisa dilihat dalam Kis.23:6-9). Namun, kedua
kelompok yang sering berselisih paham ini bisa bersatu untuk melawan dan
menjebak Yesus. Rupanya orang-orang Farisi mendengar bahwa Yesus berhasil
membungkam orang Saduki dalam percakapan tentang kebangkitan orang mati. Kini,
mereka berniat menjebak Yesus lagi. Salah seorang di antara kaum Farisi menyapa
Yesus sebagai Guru. Mereka bertanya tentang hukum yang terutama dalam Turat
(Matius 22:34-36).
Yesus menjawab bukan dengan
polemik, melainkan pengajaran. Jawaban Yesus mengacu pada dua hukum yang paling
utama, yang sudah dikenal oleh orang Yahudi. Jawaban-Nya: Yang terutama dan
pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan
dengan segenap akal budi. Hukum ini adalah bagian dari credo Israel yang dikenal dengan syema. Inilah jantung keyakinan umat Israel menjadi doa harian bagi
mereka (Ul.6:5). Kasih terhadap Allah itu melibatkan keutuhan diri manusia
(hati, jiwa, akal budi). Oleh karena itu, kasih kepada Allah adalah kasih yang
total sebagaimana Allah sendiri dengan total mengasihi manusia. Hukum yang
kedua, yang sama dengan yang pertama tadi adalah mengasihi sesama seperti diri
sendiri. Hukum ini terdapat dalam kitab Imamat 19:18.
Kedua hukum itu memang tidak
dikatakan "identik" melainkan homoia,
(harf: seperti, mirip, hampir sama).
Kedua hukum itu tidak dapat dipisahkan. Ungkapan homoia ini harus dibaca : "yang sama pentingnya" dengan
yang pertama. Kasih kepada Allah sama pentingnya dengan kasih terhadap sesama.
Kasih kepada Allah perlu menjadi nyata dalam kasih terhadap sesama manusia, dan
kasih kepada sesama perlu dijiwai oleh kasih kepada Allah. Namun, perlu
dipahami bahwa kasih kepada sesama manusia tidak berarti dapat menggantikan
kasih kepada Allah. Dengan jawaban itu, tidak dikatakan bahwa perintah itu
mencakup seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi dalam pengertian menghapuskan
seluruh peraturan lain. Tidak! Tak satu pun peraturan hukum dibatalkan oleh
Yesus (Ma.5:17-19). Kedua perintah ini dapat dilihat sebagai kegenapan hukum.
Dari kedua hukum itu bergantung atau bersumber seluruh hukum-hukum yang lain.
Kalimat tema kita hari ini
berasal dari penggalan hukum kedua, yakni Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Mengasihi sesama, dalam konteks Injil Matius tidak dibatasi hanya dengan
saudara, tetangga atau teman sebangsa tetapi juga musuh sekalipun
(bnd.Mat.5:43-45). Ukuran kasih itu tidak main-main: seperti engkau mengasihi dirimu sendiri!
Mengasihi diri sendiri.
Terdengar narsis dan egosentris. Benar! Manusia normal punya perkembangan
seperti ini. Tahap mengasihi diri dengan pola egosentris, pola kasih anak
kecil: segalanya berpusat pada diri sendiri. Seorang anak kecil, tentu belum
mampu memikirkan kepentingan orang lain. Mengasihi diri sendiri dalam tahap ini
adalah segala sesuatu harus membahagiakan dan memuaskan aku, orang lain masa
bodo! Seiring pertumbuhan fisik maka seseorang akan perlahan-lahan tahu bahwa tidak
semua yang memuaskan dan memanjakan dirinya adalah baik. Bisa jadi hal itu
semacam racun yang mematikan. Ada anggapan keliru bahwa orang yang egois adalah
orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Alih-alih setuju, para psikolog
berpendapat orang yang egois sebenarnya adalah orang yang tidak cukup mengenal
dan mencintai dirinya sendiri. Kalau orang mengenal dirinya sendiri dan
mencintainya maka akan terjadi penerimaan yang wajar terhadap dirinya sendiri,
bahkan mensyukurinya.
Orang dewasa akan mampu
memerhatikan apa yang baik untuk diri dan sekitarnya. Sikap egois mulai perlahan memudar
menuju ke arah memperhatikan kebutuhan orang lain juga. Orang itu bahkan bisa
menjadi seorang yang altuistis. Cinta
dan pengenalan pada diri sendiri yang matang akan menjadi pijakan yang kokoh
supaya ia bisa melompati dan berani mencintai sesama dengan setulus-tulusnya.
Dalam bukunya Modern man in Search of A Soul, Karel
Gustav Jung menulis, "Penerimaan diri adalah akar dari masalah moral dan
kunci dari seluruh problem kehidupan. Bahwa saya memberi makan kepada orang
lapar, memaafkan orang yang menghina saya, maupun mengasihi musuh atas nama
Kristus adalah keutamaan-keutamaan yang luhur. Apa yang saya lakukan untuk saudara
yang paling hina, saya melakukannya untuk Kristus. Namun, apa yang terjadi jika
orang yang paling hina, yang lapar, dan yang menjadi musuh berada di dalam diri
saya sendiri? Apa yang harus saya lakukan bila musuh yang harus saya kasihi
ternyata adalah diri saya sendiri? (Karl Gustav Jung,"Neurosis is the state of being at war oneself). Agar kita mampu
mengasihi sesama dengan standar mengasihi diri sendiri dengan benar ada
beberapa hal yang perlu kita benahi, yakni:
Menerima diri sendiri. Proses menerima diri sendiri mutlak harus
dilakukan ketika seseorang menginginkan perkembangan diri yang sehat dan
mencintai diri sendiri dengan benar. Namun, untuk menuju ke arah itu ternyata
kesulitan. Kesulitan itu antara lain, kita suka membandingkan diri dengan orang
lain. Lalu timbulah ketidakpuasan dengan diri sendiri yang membuat ingin
menjadi seperti orang lain. Di sinilah muncul benih-benih iri hati dan kemudian
memicu egoisme. Oleh karena itu sikap yang perlu dikambangkan adalah mengenal
diri sendiri untuk kemudian "Menjadi diri sendiri".
Menjadi diri sendiri, seseorang tidak perlu diliputi oleh ketakutan
untuk menjadi seperti apa yang diharapkan orang lain. Sehingga ia memaksakan
diri untuk tampil sempurna di hadapan orang lain itu. Benar, bahwa sebaiknya
orang menghindari dari kesalahan dan sedapat mungkin bertingkah laku seperti
yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal itu bukan dilakukan atas dasar
ketakutan untuk tidak diterima, melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan.
Supaya orang bisa tampil apa adanya, dibutuhkan penghargaan diri atau self-esteem yang sehat. Dari mana
penghargaan diri yang sehat itu? Jelas, bukan bersumber dari kebanggaan diri
karena kita bisa ini dan itu. Melainkan dari Allah sendiri yang
menganugerahkannya kepada kita.
Kalau seseorang telah mencapai
kematangan kepribadian sehingga memiliki selft
esteem yang sehat, bahkan lebih jauh lagi memiliki kematangan spiritualitas
yang baik. Sehingga menyadari bahwa dirinya tidak ada artinya sedikit pun di
hadapan Allah namun pada saat yang sama sadar akan martabatnya sebagai citra
dan gambar Allah. Orang itu siap untuk melupakan dirinya sendiri. Melupakan
diri dalam artinya beranjak dari keegoisan menuju seorang yang altruistis.
Menaruh dirinya di tempat "belakang" dan mendahulukan kepentingan
orang lain. Bukankah ini yang Yesus ajarkan "Barangsiapa kehilangan nyawanya, Ia akan menyelamatkannya" (Lukas
17:33). Melupakan diri juga berarti tidak mengandalkan kemampuan sendiri dan
jasa-jasanya. Kemampuan untuk melupakan diri adalah tanda kematangan pribadi
seseorang. Tanda bahwa dia mencintai dirinya dengan benar dan dengan keadaan
seperti inilah dia siap mengasihi orang lain sama seperti yang dicontohkan
Yesus.
Dari cinta egosentris menuju
kasih altruistis
Jelas, yang Yesus maksud
mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri bukan dengan cinta egosentris
atau narsis melainkan dengan
kesadaran dan kedewasaan cinta kasih yang benar, altruisme. Altruisme berasal
dari kata "alter", artinya "yang lain". Penekanannya pada
"orang lain". Altruisme diperkenalkan oleh sosiolog dan filsuf
pengetahuan asal Perancis, Auguste Comte. Pada hakikatnya, menurut Comte, ada
dua prilaku menolong: yang pertama, prilaku menolong untuk mendapatkan manfaat
bagi si penolong, atau mengambil manfaat dari yang ditolong. Dalam kalimat
sederhana: menolong dengan pamrih. Misalnya, seorang pebisnis menolong seorang
anak pejabat dalam urusan sekolah di luar negeri, dengan harapan pejabat tersebut
dapat memudahkan dalam pengurusan perizinan usahanya. Kedua, prilaku menolong
altruis, yaitu menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang
ditolong. Misalnya, seorang pemuda membantu seorang nenek menyeberang jalan,
semata-mata agar si nenek sampai di seberang jalan. Sudahkah kita mengasihi
orang lain sama seperti kita mengasihi diri sendiri? Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar