Kamis, 05 Oktober 2017

STATUS PALSU



Lama sudah tidak bertemu dengan kawan yang satu ini. Namun, saya dapat memantaunya lewat dunia maya, Facebook. Saya ikut gembira, usahanya maju pesat. Ia mempekerjakan banyak karyawan dan menjadi berkat bagi keluarga mereka. Dalam pertemuan itu ia bercerita bahwa kini perusahaannya tidak lagi seperti dulu. "Semula kami memercayakan seluruh aktivitas produksi, pemasaran dan keuangan kepada seorang saudara," Ia mengenang kisahnya ketika berusaha menolong saudaranya untuk ikut maju bersama dalam bisnisnya. "Semua rahasia-rahasia perusahaan sudah kami percayakan kepadanya. Mulai dari mencari bahan baku, resep membuat produk, merekrut karyawan, mengelola keuangan dan perpajakan, sampai jaringan pemasaran. Eh, ternyata, akhirnya dia ambil alih. Maksudnya, dia mendirikan perusahaan yang percis sama dengan saya. Dan semua; dari hulu sampai hilir dia kuasai. Ya, sudahlah ini sebuah risiko terlalu percaya orang sekalipun dia adalah saudara sendiri!" Ungkap sang kawan dengan mencoba menghibur diri.

Tidak sedikit kisah seperti ini. Orang kepercayaan di kemudian hari berbalik dan "memakan" habis ladang usaha yang dirintis mulai dari nol. Sudah barang tentu sang pengusaha atau pemilik modal merasa kecewa atau sakit hati. Pada pihak lain, sering kali orang kepercayaan tergoda untuk semakin jauh melewati batas: menguasai apa yang bukan miliknya itu. Ia dapat merasakan betapa nikmatnya punya banyak aset, perusahaan besar, relasi luas dan disanjung banyak orang sebagai pengusaha sukses! Goadaan ini mengalahkan moralitas dan nurani.

Yesus memakai cerita perumpamaan dunia usaha, dalam hal ini pengusaha kebun anggur untuk menegur kaum klerus dan pemimpin Yahudi yang tidak hidup dalam moralitas sebagai umat TUHAN (Matius  21:33-46). Pengusaha anggur Palestina pada masa Romawi biasanya punya banyak tanah atau kebun. Para pengusaha ini tinggal di kota dan mereka menyewakan tanah atau kebunnya itu kepada para penggarap. Para penggarap dan pengusaha atau tuan tanah itu mengikat perjanjian. Si tuan tanah memberi kepercayaan kepada para penggarap untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan para penggarap itu boleh melakukan usahannya dengan imbang bagi hasil. Setiap periode tertentu para penggarap ini harus menyerahkan hasil dari kebun anggur itu. Namun apa yang terjadi dalam kisah perumpamaan ini? Para penggarap menikmati hasil kebun anggur itu. Mereka terlena dan enggan untuk menyerahkan apa yang menjadi bagian dari tuannya. Kini, mereka merasa bahwa lahan kebun itu sepertinya sudah menjadi milik mereka sendiri dan kemudian berniat untuk menguasai sepenuhnya. Tentu, sang tuan tidak tinggal diam. Dia mengirim utusan-utusannya untuk menagih hasil kebun anggur itu sesuai dengan kesepakatan semula. Hasilnya? Tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan sang tuan! Para hamba utusan itu dipukul, dilempari dengan batu bahkan dibunuhnya.

Dalam kejengkelan dan kemarahannya maka kini sang tuan mengutus anaknya sendiri. Sang tuan berpikir, dengan mengutus anaknya para penggarap ini akan segan dan akhirnya menyerahkan hasil kebun anggur itu. Meleset, alih-alih takut terhadap anak sang tuan tanah ini, mereka menangkap, menyeretnya ke luar kebun anggur itu dan akhirnya membunuh si anak itu. Mereka berpikir kini tidak ada lagi pewaris dari kebun anggur itu. Merekalah yang akan menjadi pemiliknya kemudian! Di luar dugaan, sang tuan murka dan akhirnya membinasakan para penggarap kebun anggur itu.

Perumpamaan kebun anggur ini mengingatkan kebun anggur Israel dalam Yesaya 5:1-7. Kebun anggur itu melambangkan Israel sendiri yang tidak menghasilkan buah. Tetapi dalam Injil Matius ini, kebun anggur diartikan secara positif sebagai Kerajaan Allah (ay.43). Sang tuan mengutus hamba-hambanya untuk menyerahkan buah-buah (tous karpous). Buah-buah yang dimaksud adalah melakukan kehendak Allah. Para hamba sang tuan ini jelas mengacu kepada utusan-utusan TUHAN untuk menegur umat-Nya supaya melakukan kehendak-Nya. Mereka diutus berulang kali, terus-menerus (Yer.&:25; 25:4), tetapi ditolak dan dipukul bahkan dirajam dan dibunuh (Yer.20:2; 26:21-23; Mat. 23:37). Berbeda dengan Yesaya 5, Matius tidak mendakwa kebun anggur, tetapi para penggarap yang diberi kepercayaan tetapi tidak menyerahkan hasil kepada tuannya. Dalam hal ini mereka disamakan dengan para pendengar perumpamaan, yakni para imam kepala, tua-tua Yahudi, kaum Farisi dan elite umat Yahudi.

Akhirnya Si Tuan mengutus anaknya sendiri, anggapannya bahwa anak itu akan disegani oleh para penggarap kebun anggur. Bukannya menyegani sang anak, malah mereka membunuhnya dengan perhitungan yang bodoh bahwa mereka akan segera mewarisi kebun anggur itu. Sebutan "anaknya" (bnd. Mat.3:17; 17:5 "anaknya yang kekasih" dalam Mrk.12:6) beserta kata keterangan "akhirnya" dan tempat pembunuhan di "luar kebun anggur" tak terbantahkan hanya dapat merujuk kepada Yesus Kristus, Anak Allah yang segera sesudah itu akan dibunuh di luar kota Yerusalem (Mat.27:31-32; Ibr.13:12-13). Secara inplisit Yesus telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Anak Allah kepada para pemimpin Yahudi. Dengan demikian pastilah maksud perumpamaan ini telah dimengerti oleh mereka.

Dalam dialog dengan para pemimpin Yahudi itu, mereka mengakui bahwa perhitungan para penggarap kebun anggur dengan membunuh anak sang tuan itu sama sekali meleset. Bukannya menjadi ahli waris, orang-orang jahat itu akan dibinasakan oleh tuan mereka. Satu generasi setelah perumpamaan ini mereka mengalami tragedi itu.  Yerusalem ditaklukan dan penduduknya dibantai oleh pasukan Romawi sekitar tahun 70 M. Sedangkan Sang Tuan akan mempercayakan kebun anggur (Kerajaan Allah) itu kepada orang lain! Kerajaan itu diambil dari para pemimpin bangsa Yahudi dan diberikan (bukan disewakan) kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan (bukan menyerahkan) buah-buah Kerajaan. Tidak dikatakan : "diberikan kepada bangsa-bangsa lain", sebab orang Yahudi pun tetap dipanggil untuk menjadi bagian dari bangsa baru yang adalah pengikut Kristus yang menyambut Kerajaan Allah dengan buah, yakni dengan melakukan kehendak-Nya. Jadi jelas, apa yang dimaksudkan Yesus bukan lagi primordial sebuah ras atau bangsa secara harfiah yang layak di hadapan-Nya, melainkan mereka yang mau tunduk dan setia serta menghasilkan buah-buah Kerajaan Allah itu. Apa pun bangsanya mereka layak di hadapan-Nya. Status yang asli dari sebuah umat TUHAN bukanlah semata-mata diukur berasal dari keturunan mana atau siapa melainkan dari tekadnya dalam melakukan kehendak Allah.

TUHAN memberikan kepada kita masing-masing "kebun anggurnya" sendiri-sendiri. Kita dimintanya untuk menggarap, memelihara dengan baik dan hasilnya tentu bisa kita nikmati tetapi jangan lupa yang utama adalah menyerahkannya kepada Sang Pemilik Kebun Anggur itu. Katakanlah "kebun anggur" itu adalah ladang pekerjaan kita. Kita bangun dari hari masih gelap, bersiap-siap pergi ke ladang itu dan pulang pun sudah kembali gelap. Kita merasa merintis "kebun anggur" itu. Lama-kelamaan kita merasa memilikinya. Padahal itu adalah sebuah kepercayaan dari Sang Tuan. Kita terlalu sibuk di "kebun anggur" itu dan akhirnya all out. Kita merasa "kebun anggur" itu adalah segalanya. Sehingga kita melakukan apa pun termasuk yang bertentangan dengan moralitas dan panggilan sebagai anak TUHAN di "kebun anggur" itu. Dan kini hidup kita adalah "kebun anggur" itu.  

Ada hamba-hamba TUHAN yang mengingatkan untuk kembali ke jati diri yang benar. Namun, sering kita menolak dan memusuhi. Dianggapnya menyinggung dan mau ikut campur. Alih-alih kembali mengoreksi kehidupan kita, kita sibuk mencari-cari kesalahan oerang yang menegur kita, bahkan tak segan-segan menfitnah dan menyingkirkannya. Ingatlah apa yang diajarkan Yesus. Kesempatan yang Allah berikan kepada setiap kita ada batasnya. "Kebun anggur" kita bukanlah segalanya. Namun, dari sana kita dapat memberi arti bagi kehidupan yang kekal. Jadi hasilkanlah "buah anggur yang baik" dan serahkanlah bagi kemuliaan Bapa di sorga!

Jakarta, 10 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar