Lama sudah tidak bertemu
dengan kawan yang satu ini. Namun, saya dapat memantaunya lewat dunia maya,
Facebook. Saya ikut gembira, usahanya maju pesat. Ia mempekerjakan banyak
karyawan dan menjadi berkat bagi keluarga mereka. Dalam pertemuan itu ia
bercerita bahwa kini perusahaannya tidak lagi seperti dulu. "Semula kami
memercayakan seluruh aktivitas produksi, pemasaran dan keuangan kepada seorang
saudara," Ia mengenang kisahnya ketika berusaha menolong saudaranya untuk
ikut maju bersama dalam bisnisnya. "Semua rahasia-rahasia perusahaan sudah
kami percayakan kepadanya. Mulai dari mencari bahan baku, resep membuat produk,
merekrut karyawan, mengelola keuangan dan perpajakan, sampai jaringan
pemasaran. Eh, ternyata, akhirnya dia ambil alih. Maksudnya, dia mendirikan
perusahaan yang percis sama dengan saya. Dan semua; dari hulu sampai hilir dia
kuasai. Ya, sudahlah ini sebuah risiko terlalu percaya orang sekalipun dia
adalah saudara sendiri!" Ungkap sang kawan dengan mencoba menghibur diri.
Tidak sedikit kisah seperti
ini. Orang kepercayaan di kemudian hari berbalik dan "memakan" habis
ladang usaha yang dirintis mulai dari nol. Sudah barang tentu sang pengusaha
atau pemilik modal merasa kecewa atau sakit hati. Pada pihak lain, sering kali
orang kepercayaan tergoda untuk semakin jauh melewati batas: menguasai apa yang
bukan miliknya itu. Ia dapat merasakan betapa nikmatnya punya banyak aset,
perusahaan besar, relasi luas dan disanjung banyak orang sebagai pengusaha
sukses! Goadaan ini mengalahkan moralitas dan nurani.
Yesus memakai cerita
perumpamaan dunia usaha, dalam hal ini pengusaha kebun anggur untuk menegur
kaum klerus dan pemimpin Yahudi yang
tidak hidup dalam moralitas sebagai umat TUHAN (Matius 21:33-46). Pengusaha anggur Palestina pada
masa Romawi biasanya punya banyak tanah atau kebun. Para pengusaha ini tinggal
di kota dan mereka menyewakan tanah atau kebunnya itu kepada para penggarap.
Para penggarap dan pengusaha atau tuan tanah itu mengikat perjanjian. Si tuan
tanah memberi kepercayaan kepada para penggarap untuk jangka waktu tertentu.
Sedangkan para penggarap itu boleh melakukan usahannya dengan imbang bagi
hasil. Setiap periode tertentu para penggarap ini harus menyerahkan hasil dari
kebun anggur itu. Namun apa yang terjadi dalam kisah perumpamaan ini? Para
penggarap menikmati hasil kebun anggur itu. Mereka terlena dan enggan untuk
menyerahkan apa yang menjadi bagian dari tuannya. Kini, mereka merasa bahwa
lahan kebun itu sepertinya sudah menjadi milik mereka sendiri dan kemudian berniat
untuk menguasai sepenuhnya. Tentu, sang tuan tidak tinggal diam. Dia mengirim
utusan-utusannya untuk menagih hasil kebun anggur itu sesuai dengan kesepakatan
semula. Hasilnya? Tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan sang tuan! Para
hamba utusan itu dipukul, dilempari dengan batu bahkan dibunuhnya.
Dalam kejengkelan dan kemarahannya
maka kini sang tuan mengutus anaknya sendiri. Sang tuan berpikir, dengan
mengutus anaknya para penggarap ini akan segan dan akhirnya menyerahkan hasil
kebun anggur itu. Meleset, alih-alih takut terhadap anak sang tuan tanah ini,
mereka menangkap, menyeretnya ke luar kebun anggur itu dan akhirnya membunuh si
anak itu. Mereka berpikir kini tidak ada lagi pewaris dari kebun anggur itu.
Merekalah yang akan menjadi pemiliknya kemudian! Di luar dugaan, sang tuan
murka dan akhirnya membinasakan para penggarap kebun anggur itu.
Perumpamaan kebun anggur ini
mengingatkan kebun anggur Israel dalam Yesaya 5:1-7. Kebun anggur itu
melambangkan Israel sendiri yang tidak menghasilkan buah. Tetapi dalam Injil
Matius ini, kebun anggur diartikan secara positif sebagai Kerajaan Allah (ay.43).
Sang tuan mengutus hamba-hambanya untuk menyerahkan buah-buah (tous karpous). Buah-buah yang dimaksud
adalah melakukan kehendak Allah. Para hamba sang tuan ini jelas mengacu kepada
utusan-utusan TUHAN untuk menegur umat-Nya supaya melakukan kehendak-Nya.
Mereka diutus berulang kali, terus-menerus (Yer.&:25; 25:4), tetapi ditolak
dan dipukul bahkan dirajam dan dibunuh (Yer.20:2; 26:21-23; Mat. 23:37).
Berbeda dengan Yesaya 5, Matius tidak mendakwa kebun anggur, tetapi para
penggarap yang diberi kepercayaan tetapi tidak menyerahkan hasil kepada
tuannya. Dalam hal ini mereka disamakan dengan para pendengar perumpamaan,
yakni para imam kepala, tua-tua Yahudi, kaum Farisi dan elite umat Yahudi.
Akhirnya Si Tuan mengutus
anaknya sendiri, anggapannya bahwa anak itu akan disegani oleh para penggarap
kebun anggur. Bukannya menyegani sang anak, malah mereka membunuhnya dengan
perhitungan yang bodoh bahwa mereka akan segera mewarisi kebun anggur itu.
Sebutan "anaknya" (bnd. Mat.3:17; 17:5 "anaknya yang kekasih" dalam Mrk.12:6) beserta kata keterangan
"akhirnya" dan tempat
pembunuhan di "luar kebun
anggur" tak terbantahkan hanya dapat merujuk kepada Yesus Kristus,
Anak Allah yang segera sesudah itu akan dibunuh di luar kota Yerusalem
(Mat.27:31-32; Ibr.13:12-13). Secara inplisit Yesus telah memperkenalkan
diri-Nya sebagai Anak Allah kepada para pemimpin Yahudi. Dengan demikian
pastilah maksud perumpamaan ini telah dimengerti oleh mereka.
Dalam dialog dengan para
pemimpin Yahudi itu, mereka mengakui bahwa perhitungan para penggarap kebun
anggur dengan membunuh anak sang tuan itu sama sekali meleset. Bukannya menjadi
ahli waris, orang-orang jahat itu akan dibinasakan oleh tuan mereka. Satu
generasi setelah perumpamaan ini mereka mengalami tragedi itu. Yerusalem ditaklukan dan penduduknya dibantai
oleh pasukan Romawi sekitar tahun 70 M. Sedangkan Sang Tuan akan mempercayakan
kebun anggur (Kerajaan Allah) itu kepada orang lain! Kerajaan itu diambil dari
para pemimpin bangsa Yahudi dan diberikan
(bukan disewakan) kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan (bukan menyerahkan) buah-buah Kerajaan. Tidak
dikatakan : "diberikan kepada
bangsa-bangsa lain", sebab orang Yahudi pun tetap dipanggil untuk
menjadi bagian dari bangsa baru yang adalah pengikut Kristus yang menyambut
Kerajaan Allah dengan buah, yakni dengan melakukan kehendak-Nya. Jadi jelas,
apa yang dimaksudkan Yesus bukan lagi primordial sebuah ras atau bangsa secara
harfiah yang layak di hadapan-Nya, melainkan mereka yang mau tunduk dan setia
serta menghasilkan buah-buah Kerajaan Allah itu. Apa pun bangsanya mereka layak
di hadapan-Nya. Status yang asli dari sebuah umat TUHAN bukanlah semata-mata
diukur berasal dari keturunan mana atau siapa melainkan dari tekadnya dalam
melakukan kehendak Allah.
TUHAN memberikan kepada kita
masing-masing "kebun anggurnya" sendiri-sendiri. Kita dimintanya
untuk menggarap, memelihara dengan baik dan hasilnya tentu bisa kita nikmati
tetapi jangan lupa yang utama adalah menyerahkannya kepada Sang Pemilik Kebun
Anggur itu. Katakanlah "kebun anggur" itu adalah ladang pekerjaan kita.
Kita bangun dari hari masih gelap, bersiap-siap pergi ke ladang itu dan pulang
pun sudah kembali gelap. Kita merasa merintis "kebun anggur" itu.
Lama-kelamaan kita merasa memilikinya. Padahal itu adalah sebuah kepercayaan
dari Sang Tuan. Kita terlalu sibuk di "kebun anggur" itu dan akhirnya
all out. Kita merasa "kebun
anggur" itu adalah segalanya. Sehingga kita melakukan apa pun termasuk
yang bertentangan dengan moralitas dan panggilan sebagai anak TUHAN di
"kebun anggur" itu. Dan kini hidup kita adalah "kebun
anggur" itu.
Ada hamba-hamba TUHAN yang
mengingatkan untuk kembali ke jati diri yang benar. Namun, sering kita menolak
dan memusuhi. Dianggapnya menyinggung dan mau ikut campur. Alih-alih kembali
mengoreksi kehidupan kita, kita sibuk mencari-cari kesalahan oerang yang
menegur kita, bahkan tak segan-segan menfitnah dan menyingkirkannya. Ingatlah
apa yang diajarkan Yesus. Kesempatan yang Allah berikan kepada setiap kita ada
batasnya. "Kebun anggur" kita bukanlah segalanya. Namun, dari sana
kita dapat memberi arti bagi kehidupan yang kekal. Jadi hasilkanlah "buah
anggur yang baik" dan serahkanlah bagi kemuliaan Bapa di sorga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar