Selasa, 29 Juli 2014

BERGUMUL BERSAMA TUHAN, BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI

William Baush pernah bertutur tentang fabel kelelawar. Fabel itu berkisah, pada jaman dahulu bangsa burung berperang melawan binatang buas. Suatu ketika bangsa burung terdesak dan nyaris kalah. Kelelawar bersembunyi di balik pohon, berdiam diri menunggu pertempuran berakhir. Setelah reda, kelelawar menyatukan diri dengan binatang buas. Pemimpin binatang buas menegur, “Loh, bukankah kamu seekor burung?” Kelelawar spontan membela diri, “Oh, tidak! Aku bukan burung, aku binatang buas. Apakah anda pernah melihat burung bergigi ganda!” Kelelawar lihai sekali mengangkal dirinya dan ia berlindung di balik gigi gandanya.

Setelah beberapa lama gencatan senjata, tiba-tiba bangsa burung menyerang pemukiman binatang buas. Semua jenis burung ikut ambil bagian dalam penyerangan kali ini. Sekali lagi, kelelawar hanya menyaksikan perang dari balik ranting pohon. Kali ini kaum burung menjadi pemenangnya dan kelelawar ikut pulang ke perkampungan burung. “Hai, kamu binatang buas!” Teriak komandan pasukan burung. Kelelawar mengelak, “Apakah engkau pernah melihat seekor binatang buas mempunyai sayap?” Kali ini kelelawar memakai kedua sayapnya sebagai topeng.

Yakub pernah memakai topeng, dibantu sang ibu, ia membalut tangan dan lehernya dengan bulu domba (Kej.27:16). Yakub menyamar sebagai Esau agar sang ayah memberkatinya sebagai anak sulung. Sejak hari itu Yakub berusaha mendapatkan berkat, ya tentunya untuk kepuasan dan kenyamanan diri. Namun, sejak saat itu pula, kehidupan Yakub dipenuhi dengan kecemasan, kekuatiran. Ia takut Esau, sang kakak akan membalas sakit hatinya oleh karena berkat yang sedianya untuk dirinya kini menjadi bagian dari sang adik. Meski menerima berkat, hidup Yakub terus berada dalam pelarian. Pelariannya itu menghantar ke rumah Laban sang, paman dan sekaligus kelak menjadi mertuanya.

Di rumah Laban inilah, Yakub menggantungkan nasibnya. Di rumah Laban ini juga sang penipu ditipu oleh calon mertua yang tidak menepati janji memberikan Rahel setelah ia bekerja selama tujuh tahun, belum lagi gajinya yang diterimanya tidak sesuai, Laban mengubah sesuka hatinya. Keluarga Laban rupanya tidak lagi menyenangkan hati Yakub. Di Haran ini juga Yakub mendapat dua anak Laban, Lea dan Ribka beserta anak-anak mereka sampai  kemudian Yakub menjadi kaya. Namun, toh kekayaan dan kemakmuran yang sedang ia rasakan tidaklah bisa membayar kedamaian di hatinya. Tuhan setia kepada janjinya dan menyuruh Yakub untuk pulang ke negerinya (Kej.31:3). Gayung bersambut, Yakub begitu rindu kampung halamannya. Dalam hatinya bergejolak: ia rindu pulang, namun di sana ada sang kakak yang menantinya dengan kemarahan. Akhirnya, kehendak pulang mengalahkan pergumulan itu. Kini, niat meninggalkan Laban, tanah Haran dan pulang menuju Kanaan semakin bulat. Ia merancangkan perjalanan itu.

Menyadari kemarahan sang kakak, Yakub menyuruh utusannya mendahuluinya untuk menyampaikan berita perdamaian. Apa daya, sang utusan kembali dengan kabar tidak sedap. Sang kakak juga sedang menempuh perjalanan dari Edom untuk menjumpainya dengan diiringi oleh empat ratus orang. Dalam benaknya, kini ancaman itu semakin menjadi nyata. Kini, Yakub memutar otak mengatur strategi. Tiga tindakan pengamanan diri ia gunakan. Pertama, ia merendahkan diri dengan berdoa. Kedua, ia mengirimkan banyak hadiah kepada Esau dan ketiga, ia menyusun rombongan sedekian rupa, untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Pada malam hari sebelum perjumpaan dengan Esau, Yakub menghadapi ujuan paling menentukan dalam sejarah hidupnya. Setelah membawa isteri dan anak-anaknya menyeberang sungai Yabok dengan aman, Yakub berbalik ke pinggir utara sungai, dan berada sendirian dalam kegelapan. Sungai Yabok bermuara pada sungai Yordan.  Dalam kesendirian pada malam yang gelap itu, Yakub berjumpa dengan seseorang yang kemudian bergulat denganya. Sesudah bergulat, bergumul lama sekali, orang asing itu meminta Yakub melepaskan dirinya. Namun, Yakub menolak permintaan itu, sebelum dirinya diberkati oleh orang asing itu. Rupanya, Yakub melihat sosok orang asing ini adalah orang yang hebat. Dan, Yakub tetaplah Yakub, ia membayangkan berkat yang akan diterima dari Orang ini.

Akibat pergumulan hebat dan lama itu sendi panggal paha Yakub terpelecok. Yakub kini pincang, ia tidak dapat berlari lagi. Ia pernah lari menjauhi Esau dan saat ini pun ia sedang dalam pelarian meninggalkan Laban, tetapi sekarang ia tidak dapat berlari lagi. Jika selama ini, Yakub telah melarikan diri dari masalah, maka sekarang ia tidak dapat lagi menghindar. Ia harus menghadapinya! Sebagai gantinya, ia menerima sebuah hidup baru. Seiring dengan itu, sosok yang Ilahi itu mengganti namanya, “Namau tidak akan disebut lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kej.32:28)

Kemengan Yakub bukan berarti kekalah Allah. Melainkan kemenangan atas dirinya sendiri yang mau kembali kepada jalan yang dikehendaki-Nya. Bukan menjadi manusia yang dikuasai oleh ketakutan karena kesalahan masa lalu yang tidak berani diselesaikan. Sebelumnya, Yakub tinggal di luar kehendak Allah selama lebih dari 20 tahun. Allah pernah menampakkan diri di Betel namun Yakub tidak merespon dengan baik. Selama bertahun-tahun Yakub hidup dalam pelarian di Haran, bekerja untuk Laban.  Bisa dibayangkan hidup dalam suasana seperti itu pastilah jauh dari damai sejahtera. Pergulatan semalam suntuk itulah yang kemudian mengakhiri ketiadaan damai sejahtera itu. Yakub menang bukan berarti Allah kalah! Yakub memenangkan masa depannya karena ia berusaha keras, ia gigih bertarung sampai fajar menyingsing!

Perubahan nama dari Yakub yang artinya “memegang tumit atau pengganti” yang dikemudian hari identik dengan sang penipu, tidak ada yang dapat dibanggakan dan tidak ada damai sejahtera di dalam kehidupan seperti itu. Nama baru itu adalah Israel (Yisra’el) artinya “Allah bergumul” atau kata itu bisa berarti “semoga Allah menampakkan diri sebagai TUHAN”  atau “Allah yang besinar”. Pendeknya, nama baru itu berarti kehidupan yang disertai atau disinari oleh Allah. Sejak itu perubahan besar dialami oleh Yakub yang kini menjadi Israel. Kemudian Israel menaimai tempat itu “Pniel” yang berarti “wajah Allah”. “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong.”(Kej. 32:30). Kemenangan Yabuk bukan hanya kemenangan atas kelemahannya dan berdamai dengan diri sendiri tetapi pengalaman ini memampukannya untuk dapat berdamai dengan sang kakak. Tidak berlebihan kemudian Yakub dapat melihat di wajah sang kakak tersirat wajah ilahi. “Memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah.”(Kej. 33:10).

Yakub berganti nama Israel, untuk menuju perubahan itu tidak mudah. Seperti kebanyakan orang, Yakub, hidupnya dikuasai oleh nafsu serakah yang bersumber pada pementingan diri dan melarikan diri dari masalah. Kini, perjumpaan melalui pergumulan semalam suntuk mengalami perubahan dasyat. Perjumpaannya dengan sosok Ilahi membuatnya mengubah total arah hidupnya. Kini, ia tidak lagi bisa melarikan diri, karena sendi pangkal paha yang terpelecok itu. Kini ia  bukan lagi seorang penipu atau pecundang. Kini, ia bisa berdamai dengan diri sendiri dan pengalaman itu yang membuatnya mampu melihat di dalam diri orang yang ditakuti dan dianggap musuh ada sosok Ilahi.

Kisah ini mengajarkan kepada kita, bahwa untuk membuka topeng kepalsuan dan kemunafikan, untuk membersihkan ketamakan dan keserakahan yang bersumber pada egoisme dan egosentrisme tidak cukup hanya dengan doa atau sekedar mengubah nama supaya terdengar kerohani-rohanian. Diperlukan perjuangan, pergumulan atau pergulatan melawan diri sendiri! Diperlukan pula kesediaan untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Perjumaan dengan Tuhan itulah yang kemudian akan dapat menemukan makna diri dan makna hidup yang sesungguhnya. Ketika ini terjadi maka kita akan melihat di wajah orang-orang lain itu ada wajah Ilahi sehingga dampaknya kita akan dapat melayani semua orang bahkan musuh sekalipun dengan baik!

Jumat, 25 Juli 2014

IKATAN PERJANJIAN ALLAH DENGAN MANUSIA



Belakangan santer terdengar dari mulut para politikus, “Dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa terjadi! Hari ini kawan, besok lusa jadi lawan begitu sebaliknya.” Pernyataan ini muncul ketika kedua kubu kandidat presiden yang diusung oleh beberapa partai mendeklarasikan dukungan mereka. Bahkan, salah satu kubu menyatakan diri bahwa kualisi mereka adalah kualisi permanen. Lantas, para pengamat politik menyatakan: dalam politik tidak ada yang permanen, kecuali kepentingan menggapai kekuasaan itu sendiri. Demi meraih kekuasaan manusia tidak lagi memerhatikan etika, moralitas, apalagi memahami perasaan orang atau pihak lain. Hati nurani seolah telah kehilangan tahtanya! Itulah yang sedang dipertontonkan belakangan ini. Entah sampai kapan sandiwara ini berakhir.

Walaupun semua sudah tahu bahwa sisi wajah buruk politik memperlihatkan karakter seperti itu, toh banyak orang yang terus menggandrunginya. Dan tentunya, selihai apa pun seseorang bermain di ranah ini, tetap saja kalau seseorang atau sebuah partai dibohongi dan dihianati, janji-janji politiknya dianggap tidak berlaku lagi lalu ditinggalkan pada saat “kapalnya hampir karam” tentu menjadi geram. Setiap orang tidak senang ditipu dan dihianati bahkan seorang penipu ulung pun tidak akan suka kalau dirinya ditipu!

Yakub, si penipu ulung. Bapak dan abangnya sendiri berhasil ia tipu! Pada gilirannya, ia pun tidak merasa senang ketika diperdayakan oleh sang paman yang kelak menjadi mertuanya, Laban. Bayangkan, demi Rahel orang yang ia cintai dan ingin dimilikinya, Yakub rela membayarnya bekerja selama tujuh tahun. Namun, apa yang terjadi setelah tujuh tahun? Bukan Rahel yang diberikan Laban, melainkan Lea dengan alasan tidak lazim menikahkan dulu sang adik sementara si kakak masih lajang, jika masih tetap mengingini Rahel, Yakub harus menebusnya dengan tujuh tahun lagi bekerja. Demi cinta matinya itu, Yakub menyanggupi. Ia bekerja tujuh tahun lagi demi mendapatkan cinta sejatinya. Ya, demi cinta apa pun dilakukan.

Manusia dapat berjanji namun sering tidak mampu memenuhi janji-janji itu. Perjanjian yang telah dibuat diingkari begitu saja apabila dipandang merugikan dirinya. Sebaliknya, jika keuntungan menanti, maka ia akan mati-matian untuk menjaga dan mempertahankannya. Perjanjian dagang, perjanjian pendirian usaha bahkan ikatan pernikahan dapat begitu saja dihianati demi menuruti nafsu egoisme. Perjanjian adalah kata yang paling rawan untuk dihianati. Namun, lewat apa yang rawan ini Allah mengambil resiko menyapa umat-Nya. Ia mempertaruhkan kepercayaan kepada manusia yang memang diketahui-Nya sebagai pihak yang sering ingkar janji!

Allah mengikatkan diri-Nya melalui perjanjian dengan manusia, mungkinkah? Mengapa Allah yang tak terbatas mau mengikatkan diri dan tentu dengan demikian menjadi terbatas? Bukankah Ia Maha segala-galanya, bukankah dengan kekuasaa-Nya, Allah dapat memerintahkan semua makhluknya termasuk manusia untuk menuruti apa yang diingini-Nya tanpa repot-repot mengadakan perjanjian? Benar, tema Allah mengikatkan diri dalam perjanjian dengan manusia bukanlah tema sederhana. Rumit dan sulit dimengerti! Dalam keterbatasan, kita memahami bahwa “perjanjian” adalah bahasa Allah untuk menyapa manusia. Manusia yang pernah diciptakan segambar dengan-Nya dan kini telah merusak gambar itu. Allah ingin merangkai kembali serpihan-serpihan gambar yang hancur itu menjadi utuh. Manusia kembali kepada firtahnya sebagai gambar atau citra Allah!

Tujuan dari perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah untuk kebaikan umat itu sendiri. Sasaran akhir perjanjian itu bukan semata-mata untuk kepentingan Allah, melainkan untuk keselamatan umat manusia. Keselamatan itu bukan hanya milik suatu bangsa (Israel) melainkan seluruh umat manusia. Allah sudah berjanji kepada Abraham bahwa melalui dia semua kaum dimuka bumi akan mendapat berkat. Di dalam pelbagai perjanjian yang dibuat Allah dengan manusia berlaku dua prinsip:
1.       Allah sendiri yang menetapkan janji-janji dan kewajiban-kewajiban yang menyertai perjanjian ini. Allah menjanjikan kehidupan yang terberkati dan pada ujungnya keselamatan dan kehidupan yang kekal.
2.       Manusia diharapkan memenuhi perjanjian ini dengan iman dan ketaatan. Tidak pernah manusia mempunyai posisi tawar-menawar dalam perjanjian ini.

Dalam sejarah yang dicatat Alkitab, Allah setia pada perjanjian-Nya namun manusia kerap gagal menjaga perjanjian itu. Manusia sering tergoda baik dengan materi, kekuasaan dan ilah-ilah yang ada di sekitarnya. Allah setia maupun harus berkorban dan pada saatnya mengorbankan yang terbaik, yakni Anak-Nya sendiri. Kisah ini menarik untuk kita simak. Kisah ini mengajarkan kesetiaan pada sebuah janji.

Di Kerajaan Hashemite Yordania, dua pemuda Bedouin terlibat perkelahian, berguling-guling di tanah dalam amukan kemarahannya. Salah seorang dari mereka mengeluarkan pisau, menusukkannya ke dada lawannya sehingga orang itu sekarat. Dalam ketakutan, ia menyelamatkan diri melintasi padang pasir, melarikan diri dari upaya balas dendam sanak keluarga lawannya yang terbunuh. Ia melarikan diri untuk menemukan rumah ibadat Bedouin. Rumah ibadat itu sebuah “tenda pengungsian”, yang dirancang oleh hukum bagi mereka yang membunuh secara tidak sengaja atau dalam tekanan kemarahan. Seseorang dapat masuk “tenda pengungsian” itu dan mendapat perlindungan.

Akhirnya, dia mencapai sebuah tempat pengungsian itu. Tempat perkemahan dari sebuah suku yang berpindah-pindah. Anak laki-laki itu menghempaskan dirinya di kaki pemimpin suku itu, seorang syekh yang sudah tua, dan memohon kepadanya, “Saya telah membunuh seseorang dengan tekanan kemarahan, saya memohon dengan sangat perlindungan darimu. Tolonglah, saya mencari perlindungan di kemahmu ini!”

“Jika Allah menghendaki,” jawab lelaki tua itu, “saya memberikan kepadamu, selama engkau tetap berada bersama kami.”

Beberapa hari berselang, sanak keluarga yang hendak membalas dendam itu mengikuti buronan tersebut hingga ke tempat “tenda pengungsian” itu. Mereka menjelaskan kepada lelaki tua itu mengenai buronan berikut ciri-cirinya yang telah membunuh kerabatnya. Lalu mereka bertanya,  “Apakah Anda telah melihat lelaki itu? Apakah dia ada di sini? Karena kami mau menangkap dan membalaskan dendam, nyawa ganti nyawa!”

“Ia ada di sini!” Kata orang tua itu, “tetapi kalian tidak akan pernah mendapatkan dan menjamahnya!”

“Akan tetapi, dia telah membunuh, dan kami saudara sedarah anak yang dibunuh itu akan merajam dia sesuai dengan hukum yang berlaku! Keluarkan dia, berikan kepada kami!” Teriak mereka.

“Tidak! Anak itu meminta perlindungan, saya menjanjikannya. Anak itu mendapat perjanjian dari saya! Kata orang tua itu, “saya telah memberikan kata-kataku, janjiku untuk menjadi tempat perlindungan baginya.”

“Namun, Anda tidak mengerti,” desak sanak keluarga itu, “Pak tua, pemuda yang engkau lindungi itu telah membunuh cucumu sendiri!” Orang tua itu terdiam seribu basa. Semua mata tertuju kepadanya, tidak ada seorang pun berani berbicara. Kemudian dalam kesedihan yang sangat jelas terlihat, dengan air mata yang membasahi wajahnya, orang tua itu berdiri dan berbicara dengan begitu pelan, nyaris tak terdengar, “Cucuku! Cucuku satu-satunya telah meninggal?”
“Ya, cucumu satu-satunya itu telah meninggal. Dan..penyebabnya adalah orang yang sekarang mendapat perlindunganmu!”

“Lalu...,”kata orang tua itu, “lalu anak ini, anak yang di dalam tenda pengungsian ini, ia akan menjadi cucuku. Dia diampuni, dan ia akan tinggal bersama kami sebagai milikku. Pergilah sekarang, sebab urusannya sudah selesai!” 

Ya, kita bukan pembunuh. Namun, bukankah kita juga telah merusak gambar Allah, mencaik-cabiknya dengan penghianatan demi penghianatan. Kita sering memberontak dan melanggar perjanjiannya, seperti Yakub, seperti bangsa Israel yang berulang kali menyakiti-Nya. Namun kasih-Nya tetap setia tidak pernah berubah!

Jumat, 18 Juli 2014

PERJUMPAAN DI TENGAH PELARIAN

Alkisah ada seorang pengembara yang memulai perjalanan dalam pencariannya untuk mendapatkan kedamaian, kegembiraan dan cinta. Pengembara itu melewati jalan panjang, berliku dan tentu saja  melelahkan. Perlahan tetapi pasti, langkah muda yang penuh semangat, berangsur menjadi pelan dan  berat. Jalan yang dilalui oleh sang pengembara tidaklah penuh dengan kegembiraan. Jalan mirip-mirip seperti yang dilalui Yakub di tengah pelariannya menghindar dari murka sang kakak yang pernah ditipunya.

Sang pengembara ini harus melewati wilayah peperangan, perselisihan, penolakan, perpecahan dan kesakitan. Negeri yang sepertinya makin dipenuhi dengan orang-orang yang terasuki keyakinan. Semakin mereka berperang semakin mereka harus bertahan dan menyerang sesamanya. Kerinduan mereka akan kedamaian menyebabkan mereka mengangkat senjata dan berperang. Kerinduan mereka akan hidup dalam cinta kasih menyebabkan mereka membangun tembok-tembok ketidakpercayaan di sekitar mereka. Kerinduan mereka untuk hidup menyebabkan mereka berjalan lebih jauh ke dalam kematian. Ya, sebuah paradok nyata yang sering didukung oleh dokma-dokma sempal.

Cerita sang pengembara menjadi lain. Suatu pagi yang indah, sang pengembara itu melihat sebuah padepokan yang menarik perhatiannya. Tempat itu berada di pinggir jalan besar. Ada sesuatu dari tempat itu yang memaksanya mengayunkan langkah. Tempat itu seakan memiliki sesuatu yang menghidupkan dari dalamnya. Tempat itu ibarat magnet yang memaksa dirinya mendekat dan masuk ke dalamnya, dan di dalam padepokan itu ia menemukan sebuah toko kecil. Di balik meja counter berdiri seorang pramuniaga, ia tidak bisa menduga berapa umurnya, bahkan sulit juga untuk menentukan apakah ia pria atau wanita. Ada yang aneh ketika ia berada di tempat itu. Rasanya waktu menjadi hampa. Diam tak bergerak!

“Apa yang Anda inginkan?” tanya penjaga toko dengan ramah.
“Persediaan apa yang Anda punya di sini?” Sang pengembara balik bertanya.
“Oh,...kami mempunyai semua yang Anda rindukan dalam hidup ini!” jawabnya. “Katakan saja apa yang menjadi hasrat paling besar di dalam hidup Anda!”

Sang pengembara mengalami kesulitan, ia bingung untuk memulai dari mana, banyak hal yang melintas di dalam benaknya. Meskipun demikian ia mencoba mengutarakannya, “Saya ingin kedamaian, selama ini kata itu sudah menjauh dari kehidupan saya. Saya mengalami konflik dalam keluarga, tanah kelahiran saya berubah menjadi suatu tempat mengerikan dan tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Saya ingin kedamaian bukan hanya di kampung saya tetapi di semua tempat yang saya singgahi. Sesudah itu saya ingin membuat sesuatu yang baik dalam hidup saya!”

Selanjutnya Sang Pengembara itu menyampaikan daftar keinginannya:
“Saya ingin, diri saya menjadi seorang penyembuh bagi orang-orang yang sedang sakit dan menjadi sahabat bagi orang-orang yang sedang kesepian.”
“Saya ingin menjadi orang yang dapat menghadirkan makanan bagi orang-orang yang sekarat kelaparan.”
“Saya ingin setiap anak yang terlahir di dunia ini boleh mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan.”
“Saya ingin semua orang hidup dalam kedamaian, saya ingin dunia ini menjadi kerajaan cinta kasih!” Ia berhenti sebentar untuk memeriksa kembali daftar belanjanya itu.

Perlahan sang penjadi toko menyela, “Maafkan saya,” katanya lirih, “saya seharusnya menjelaskan, “kami tidak menyediakan buah yang siap dinikmati di sini, yang kami sediakan hanya bibitnya saja.”

Kita mudah terjebak dengan budaya instan. Mengenal, mengikut dan beribadah kepada Tuhan akan mendapatkan ganjaran kebaikan. Ternyata tidak selalu seperti itu. Ada bagian yang sudah dikerjakan Tuhan. Namun, pada pihak lain ada bagian yang harus kita usahakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam ilustrasi perumpamaan-Nya (Matius 13:24-30, 36-43), Yesus menyebutkan bahwa bagian Allah adalah memberikan/menaburkan benih gandum. Benih makanan, bibit yang baik untuk kehidupan manusia. Benih itu ditaburkan di ladang. Benih itu adalah anak-anak manusia, anak-anak Kerajaan Allah dan ladang itu adalah dunia.  Namun, di dunia ini ada juga yang menaburkan bibit yang jelek, yakni bibit lalang. Keduanya, dibiarkan tumbuh dan berhimpitan, suatu saat, dari buahnyalah kita akan tahu mana gandum dan mana ilalang.

Dunia ini penuh dengan ilalang adalah benar, penuh dengan kekejian dan kejahatan, namun bagi orang percaya bukanlah untuk ditakuti apalagi diratapi. Betapa susah untuk gandum bertumbuh dengan baik dan pada waktunya menghasilkan buah. Betapa orang baik sering kali mengalami kesulitan untuk menyatakan kebaikan dan kebenaran, namun ketika seseorang menyadari bahwa dirinya berasal dari “biji gandum” maka ia akan dengan sekuat tenaga tumbuh, ya tumbuh di tengah ilalang.

Meminjam ilustrasi di atas, kita ibarat sang pengembara itu. Ia mengalami perjumpaan dengan pemilik toko benih. Tidaklah mungkin untuk mendapatkan kedamaian, cinta kasih, menjadikan diri sendiri berkat buat orang lain dengan cara instan. Kita harus mengupayakan, merawat, menjaga agar setiap benih kebajikan itu dapat tumbuh dengan baik. Di sini yang diperlukan adalah keberanian, berani untuk tumbuh bahkan bila diperlukan berani menentang arus. Ingatlah cerita Sang Pengembara yang lain. Kisah Yakub yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Yakub mengembara dan melarikan diri oleh karena ia telah membuat kekeliruan besar dalam hidupnya: menjadi penipu. Benar, Allah telah menetapkan dia kelak sebagai ahli waris dari Ishak dan Abraham, namun caranya seperti itu, membawanya dalam masalah besar. Ancaman sang kakak yang merasa ditipu.

Bersyukurlah Yakub karena Allah terus menyertai dirinya. Bahkan Allah mengingatkan kembali jati diri Yakub, jati diri sang benih itu, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, kemana pun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.”(Kej. 28:15). Sekelumit kisah perjumpaan Yakub di tengah pengembaraannya dengan Allah kemudian mengubahkan dirinya. Selanjutnya, Yakub berani menghadapi kenyataan untuk berjumpa dengan Esau, sang kakak.

Dalam kehidupan ini, bukankah kita semua juga adalah “sang pengembara” Tuhan dengan pelbagai cara terus berusaha untuk menjumpai kita. Ia mengingatkan kita untuk menyadari tentang jati diri kita, jati diri yang baik “benih gandum” untuk tidak kalah menghadapi tantangan jaman, untuk tidak layu sebelum berkembang. Hari Minggu ini, khususnya di jemaat-jemaat lingkup GKI SW Jawa Barat, kita merayakan delapan windu berdirinya lembaga pendidikan PENABUR, tepatnya tanggal 19 Juli enam puluh empat tahun silam. Saya kira penamaan PENABUR pasti berkaitan juga dengan kisah perumpamaan yang diucapkan Yesus dalam Matius 13. Menyadari itu, maka kita terpanggil untuk terus mengingatkan PENABUR untuk menjadi sarana atau alat di tangan TUHAN untuk terus merawat, menjaga, memupuk, mendidik dan mengajar agar “benih-benih” itu terus tumbuh dengan baik. Agar benih-benih itu tidak dikalahkan oleh ilalang. Agar kelak benih-benih itu menjadi buah-buah perdamaian, cinta kasih dan berkat bagi banyak orang. Semoga!

Jumat, 11 Juli 2014

RIVALITAS VS SOLIDARITAS

Alkisah, ada dua kerajaan yang berbatasan satu dengan yang lainnya. Di negeri yang pertama mereka memuja Matahari, sedangkan di negeri satunya mereka menyembah Bulan. Berangkat dari perbedaan kepercayaan, mereka saling mengejek, merendahkan yang lain, menganggap diri paling benar, dan mengkafirkan yang lain. Dapat diduga, pertikaian tidak terhindarkan dan akhirnya perang terjadi. Masing-masing menyiapkan amunisi, mengumpulkan angkatan bersenjata dan kemudian bertemu di medan perang. Sinar matahari berkilauan memantul dari pedang, tombak dan pakaian perang mereka, berhadapan satu dengan yang lainnya, siap untuk mati!

Di setujui oleh masing-masing pihak untuk mengirim jawara mereka dan bertarung satu lawan satu. Terkuat, paling handal, paling tangkas dan perkasa dari masing-masing angkatan perang dipilih. Dua orang maju dengan wajah sangar, dengan pedang di tangan dan perisai di tangan yang lainnya. Di dada mereka ada lambang Matahari dan lambang Bulan pada yang satunya.

Kini mereka saling berhadapan dan kemudian bertarung seperti kesetanan. Mereka bertarung sepanjang pagi, siang, di bawah panasnya sinar matahari. Mereka bertarung terus dan terus sampai matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Mereka benar-benar seorang yang kuat, gagah perkasa dan ahli berperang, sehingga keadaan seri, tidak ada yang kalah. Mereka terus bertarung begitu dekat, sangat dekat, sampai akhirnya matahari terbenam. Mereka kelelahan, jatuh ke tanah, bahkan tidak cukup kuat untuk merangkak kembali ke tenda masing-masing. “Saya benci kamu!” geram jawara Matahari. “Saya juga benci kamu!” jawab jawara Bulan. “Saya harus membunuh kamu,” kata jawara Matahari, “di rumah saya punya anak dan isteri yang mencintai saya. Anak saya ingin menjadi pejuang seperti saya. Saya harus melindungi mereka dari orang-orang seperti kamu!”

“Saya juga mempunyai seorang isteri,” jawab jawara dari negeri yang memuja Bulan, “rakyatmu telah membunuhnya dalam perang yang lalu. Kini, bagaimana pun juga aku harus membalaskan dendamnya. Aku harus membunuhmu dan bila perlu anak isterimu juga!”

Jawara dari negeri yang memuja Bulan bangkit. Kemudian, jawara dari negeri yang memuja Matahari bertanya, “Seperti apakah rupa isterimu?” Jawara dari negeri yang memuja bulan menjawab, “Dia sangat cantik. Kami berpacaran sejak kami masih kecil. Aku sering bermain dengannya di hutan dekat sini.”

“Sepertinya kau memiliki masa kecil yang bahagia,” timpal jawara dari negeri yang memuja Matahari. “Tidak seperti saya. Aku hidup serba kekuarangan, ayahku selalu menyuruh kami bekerja di sawah setiap hari dan dia akan memukul kami bila kami membangkang.”

“Saya turut sedih mendengarnya,” jawab jawara Bulan.

Selanjutnya, entah kenapa, seolah mereka bertemu teman lama. Mereka berbincang-bincang tentang masa kecil, tentang sanak dan kerabat, tentang negeri yang dicintai, dan segala macam pengalaman masa lalu mereka. Mereka berbincang dan terus berbincang-bincang sampai bulan semakin tinggi. Mereka masih juga asyik berbincang ketika bulan mulai tenggelam di barat. Hanya tinggal satu, dua jam  untuk mereka beristirahat malam itu. Mereka tertidur dengan saling bersisihan, pedang dan tameng mereka tergeletak di samping mereka.

Langit mulai terang, lalu warna jingga mulai muncul di ufuk timur. Suara dan aroma sarapan yang berasal dari kedua kamp mulai tercium. Kedua jawara mulai terbangun oleh hangatnya sinar mentari yang menerpa wajah mereka. Letih, kesakitan, mereka meregangkan badan. Mereka saling menatap satu sama lain. Kemudian mereka berpelukan meninggalkan pedang-pedang dan tameng-tameng mereka, lalu berputar dan kembali ke pasukan masing-masing. Mereka sudah tidak lagi mampu bertarung. Bagaimana mungkin bertarung ketika kamu kenal baik dengan lawan tarungmu!

“Bagaimana mungkin kamu bertarung menyakiti bahkan membunuh lawanmu, ketika kamu kenal baik lawan tarungmu!” Itulah moral cerita di atas. Janganlah heran ketika musuh besar suatu saat dapat menjadi sahabat. Sebaliknya, saudara sekandung pun berpotensi menjadi musuh bebuyutan. Mengapa? Hal itu terjadi karena masing-masing tidak mau mengenal, tidak mau mengerti dan memahami satu sama lain. Sedekat apa pun, jika rasa peduli dan mengerti tidak ada maka sesama saudara dapat menjadi musuh. Kisah Esau dan Yakub (Kejadian 25:19-34) menggambarkan dengan tepat kondisi itu. Dalam satu rahim yang sama, rahim Ribka, mereka saling sikut dan saling mendominasi satu terhadap yang lainnya. Bahkan Alkitab menceritakan kisah selanjutnya keturunan mereka terus-menerus berperang, menjadi rival satu terhadap yang lain.

Apa sebenarnya yang membuat manusia sulit memahami dan mengerti keadaan orang lain? Tidak lain adalah memanjakkan keinginan diri sendiri. Paulus membahasakannya dengan keinginan daging. Orang yang menuruti keinginan daging adalah mereka yang tunduk pada nafsunya. Nafsu itu bisa bermacam-macam: ada nafsu berkuasa, nafsu seksual, nafsu menjadi kaya, nafsu ingin dipuja, nafsu hedonisme dan lain sebagainya. Pendekatan kehidupan nyaman dan nikmat dan dihormati! Siapa pun bisa tergoda dan terjerumus. Ketika kita masuk dalam perangkap kedagingan ini maka siapa pun yang dipandang dapat menghalangi untuk mewujudkan keinginanya akan menjadi rival, musuh yang harus disingkirkan.

Hari-hari belakangan ini kita prihatin. Pemilihan umum presiden dan wakilnya menyita banyak perhatian dan menguras emosi. Ada yang tadinya kawan dan sahabat, tiba-tiba karena beda pilihan menjadi lawan, kisah ini banyak sekali kalau mau ditelusuri. Jangan-jangan virus kedagingan itu sedang merasuk, menjalar ke semua elemen anak bangsa negeri ini sehingga tidak ada lagi tata krama kesopanan, etika dan spiritualitas, semuanya luluh lantak oleh nafsu ingin menang dan berkuasa! Bagaimana menangkalnya?

Paulus memberikan resep bahwa lawan dari nafsu kedagingan adalah tidak lain dari hidup menurut Roh. Roh yang dipercaya bekerja di dalam hati manusia, sekarang orang dapat memilih untuk tidak melakukan perbuatan dosa oleh karena kekuatan dari Roh itu. Lebih dari itu, Roh yang sudah membangkitkan Kristus itu, “...akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu...”(Roma 8:11). Tubuh adalah bentuk ragawidari manusia yang biasanya dianggap sebagai penjara, bisa binasa dan dipandang oleh para fisuf zaman perjanjian baru tidak terlalu berharga, sekarang menjadi begitu bernilai dan mulia ketika digerakkan dan dikuasai oleh Roh Kristus. Apa yang baik, apa yang mulia, yang surgawi dan ilahi itu bisa hadir dalam kehidupan duniawi. Orang yang hidup dipimpin oleh Roh dengan sendirinya akan mempunyai sifat-sifat, karakter-karakter dan budi pekerti luhur karena mengalami perubahan mind set, mengalami perubahan mental mendasar!

Ketika seseorang menyatakan diri hidup beriman kepada Kristus maka secara sadar ia akan membiarkan Roh Kristus itu bekerja dengan leluasa di dalam dirinya. Hidupnya bukan dirinya lagi tetapi Kristus yang hidup di dalamnya. Dampak hidup seperti ini akan menghasilkan semua yang positif, membangun, menghadirkan damai sejahtera, dan menghargai kemanusiaan. Hidup beriman seperti ini hanya bisa terjadi jika kita membiarkan diri menjadi “tanah yang gembur dan subur” ketika ditaburi Firman-Nya. Dan bukan sebaliknya, tanah tandus dan kering sehingga benih itu tidak pernah tumbuh dengan baik. Hanya memahami, mengerti dan manggut-manggut sesaat kemudian terlupakan. Untuk dapat menjadi tanah yang gembur, kita perlu mengelolanya. Berjuang untuk menggali, memupuk dan menjaganya. Hati kita, bila mau di samakan dengan analogi “tanah yang subur”, diperlukan kerja keras sehingga benih itu akan terus tumbuh dan akhirnya menghasilkan buah.  

Anda dan saya dapat mengubah rivalitas menjadi solidaritas kalau berhasil menanggalkan kedagingan dan diganti dengan hidup dikuasai Roh Kristus, sebab dalam kamus Kristus tidak ada lawan yang tidak dapat dicintai!