Alkisah ada seorang pengembara
yang memulai perjalanan dalam pencariannya untuk mendapatkan kedamaian,
kegembiraan dan cinta. Pengembara itu melewati jalan panjang, berliku dan tentu
saja melelahkan. Perlahan tetapi pasti,
langkah muda yang penuh semangat, berangsur menjadi pelan dan berat. Jalan yang dilalui oleh sang
pengembara tidaklah penuh dengan kegembiraan. Jalan mirip-mirip seperti yang
dilalui Yakub di tengah pelariannya menghindar dari murka sang kakak yang
pernah ditipunya.
Sang pengembara ini harus melewati
wilayah peperangan, perselisihan, penolakan, perpecahan dan kesakitan. Negeri
yang sepertinya makin dipenuhi dengan orang-orang yang terasuki keyakinan.
Semakin mereka berperang semakin mereka harus bertahan dan menyerang sesamanya.
Kerinduan mereka akan kedamaian menyebabkan mereka mengangkat senjata dan
berperang. Kerinduan mereka akan hidup dalam cinta kasih menyebabkan mereka
membangun tembok-tembok ketidakpercayaan di sekitar mereka. Kerinduan mereka
untuk hidup menyebabkan mereka berjalan lebih jauh ke dalam kematian. Ya,
sebuah paradok nyata yang sering didukung oleh dokma-dokma sempal.
Cerita sang pengembara menjadi
lain. Suatu pagi yang indah, sang pengembara itu melihat sebuah padepokan yang
menarik perhatiannya. Tempat itu berada di pinggir jalan besar. Ada sesuatu
dari tempat itu yang memaksanya mengayunkan langkah. Tempat itu seakan memiliki
sesuatu yang menghidupkan dari dalamnya. Tempat itu ibarat magnet yang memaksa
dirinya mendekat dan masuk ke dalamnya, dan di dalam padepokan itu ia menemukan
sebuah toko kecil. Di balik meja counter berdiri seorang pramuniaga, ia tidak
bisa menduga berapa umurnya, bahkan sulit juga untuk menentukan apakah ia pria
atau wanita. Ada yang aneh ketika ia berada di tempat itu. Rasanya waktu
menjadi hampa. Diam tak bergerak!
“Apa yang Anda inginkan?”
tanya penjaga toko dengan ramah.
“Persediaan apa yang Anda
punya di sini?” Sang pengembara balik bertanya.
“Oh,...kami mempunyai semua
yang Anda rindukan dalam hidup ini!” jawabnya. “Katakan saja apa yang menjadi
hasrat paling besar di dalam hidup Anda!”
Sang pengembara mengalami
kesulitan, ia bingung untuk memulai dari mana, banyak hal yang melintas di
dalam benaknya. Meskipun demikian ia mencoba mengutarakannya, “Saya ingin kedamaian,
selama ini kata itu sudah menjauh dari kehidupan saya. Saya mengalami konflik
dalam keluarga, tanah kelahiran saya berubah menjadi suatu tempat mengerikan
dan tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Saya ingin kedamaian bukan hanya di
kampung saya tetapi di semua tempat yang saya singgahi. Sesudah itu saya ingin
membuat sesuatu yang baik dalam hidup saya!”
Selanjutnya Sang Pengembara
itu menyampaikan daftar keinginannya:
“Saya ingin, diri saya menjadi
seorang penyembuh bagi orang-orang yang sedang sakit dan menjadi sahabat bagi
orang-orang yang sedang kesepian.”
“Saya ingin menjadi orang yang
dapat menghadirkan makanan bagi orang-orang yang sekarat kelaparan.”
“Saya ingin setiap anak yang
terlahir di dunia ini boleh mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan.”
“Saya ingin semua orang hidup
dalam kedamaian, saya ingin dunia ini menjadi kerajaan cinta kasih!” Ia
berhenti sebentar untuk memeriksa kembali daftar belanjanya itu.
Perlahan sang penjadi toko
menyela, “Maafkan saya,” katanya lirih, “saya seharusnya menjelaskan, “kami
tidak menyediakan buah yang siap dinikmati di sini, yang kami sediakan hanya
bibitnya saja.”
Kita mudah terjebak dengan
budaya instan. Mengenal, mengikut dan beribadah kepada Tuhan akan mendapatkan
ganjaran kebaikan. Ternyata tidak selalu seperti itu. Ada bagian yang sudah
dikerjakan Tuhan. Namun, pada pihak lain ada bagian yang harus kita usahakan
untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam ilustrasi perumpamaan-Nya
(Matius 13:24-30, 36-43), Yesus menyebutkan bahwa bagian Allah adalah
memberikan/menaburkan benih gandum. Benih makanan, bibit yang baik untuk
kehidupan manusia. Benih itu ditaburkan di ladang. Benih itu adalah anak-anak
manusia, anak-anak Kerajaan Allah dan ladang itu adalah dunia. Namun, di dunia ini ada juga yang menaburkan
bibit yang jelek, yakni bibit lalang. Keduanya, dibiarkan tumbuh dan
berhimpitan, suatu saat, dari buahnyalah kita akan tahu mana gandum dan mana
ilalang.
Dunia ini penuh dengan ilalang
adalah benar, penuh dengan kekejian dan kejahatan, namun bagi orang percaya
bukanlah untuk ditakuti apalagi diratapi. Betapa susah untuk gandum bertumbuh
dengan baik dan pada waktunya menghasilkan buah. Betapa orang baik sering kali
mengalami kesulitan untuk menyatakan kebaikan dan kebenaran, namun ketika
seseorang menyadari bahwa dirinya berasal dari “biji gandum” maka ia akan
dengan sekuat tenaga tumbuh, ya tumbuh di tengah ilalang.
Meminjam ilustrasi di atas,
kita ibarat sang pengembara itu. Ia mengalami perjumpaan dengan pemilik toko
benih. Tidaklah mungkin untuk mendapatkan kedamaian, cinta kasih, menjadikan
diri sendiri berkat buat orang lain dengan cara instan. Kita harus
mengupayakan, merawat, menjaga agar setiap benih kebajikan itu dapat tumbuh
dengan baik. Di sini yang diperlukan adalah keberanian, berani untuk tumbuh
bahkan bila diperlukan berani menentang arus. Ingatlah cerita Sang Pengembara
yang lain. Kisah Yakub yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Yakub mengembara
dan melarikan diri oleh karena ia telah membuat kekeliruan besar dalam
hidupnya: menjadi penipu. Benar, Allah telah menetapkan dia kelak sebagai ahli
waris dari Ishak dan Abraham, namun caranya seperti itu, membawanya dalam masalah
besar. Ancaman sang kakak yang merasa ditipu.
Bersyukurlah Yakub karena
Allah terus menyertai dirinya. Bahkan Allah mengingatkan kembali jati diri
Yakub, jati diri sang benih itu, “Sesungguhnya
Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, kemana pun engkau pergi,
dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan
meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.”(Kej.
28:15). Sekelumit kisah perjumpaan Yakub di tengah pengembaraannya dengan Allah
kemudian mengubahkan dirinya. Selanjutnya, Yakub berani menghadapi kenyataan
untuk berjumpa dengan Esau, sang kakak.
Dalam kehidupan ini, bukankah kita semua juga adalah “sang
pengembara” Tuhan dengan pelbagai cara terus berusaha untuk menjumpai kita. Ia
mengingatkan kita untuk menyadari tentang jati diri kita, jati diri yang baik “benih
gandum” untuk tidak kalah menghadapi tantangan jaman, untuk tidak layu sebelum
berkembang. Hari Minggu ini, khususnya di jemaat-jemaat lingkup GKI SW Jawa
Barat, kita merayakan delapan windu berdirinya lembaga pendidikan PENABUR,
tepatnya tanggal 19 Juli enam puluh empat tahun silam. Saya kira penamaan
PENABUR pasti berkaitan juga dengan kisah perumpamaan yang diucapkan Yesus
dalam Matius 13. Menyadari itu, maka kita terpanggil untuk terus mengingatkan
PENABUR untuk menjadi sarana atau alat di tangan TUHAN untuk terus merawat,
menjaga, memupuk, mendidik dan mengajar agar “benih-benih” itu terus tumbuh
dengan baik. Agar benih-benih itu tidak dikalahkan oleh ilalang. Agar kelak
benih-benih itu menjadi buah-buah perdamaian, cinta kasih dan berkat bagi
banyak orang. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar