Belakangan santer terdengar
dari mulut para politikus, “Dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin, semua
bisa terjadi! Hari ini kawan, besok lusa jadi lawan begitu sebaliknya.”
Pernyataan ini muncul ketika kedua kubu kandidat presiden yang diusung oleh
beberapa partai mendeklarasikan dukungan mereka. Bahkan, salah satu kubu
menyatakan diri bahwa kualisi mereka adalah kualisi permanen. Lantas, para
pengamat politik menyatakan: dalam politik tidak ada yang permanen, kecuali
kepentingan menggapai kekuasaan itu sendiri. Demi meraih kekuasaan manusia
tidak lagi memerhatikan etika, moralitas, apalagi memahami perasaan orang atau
pihak lain. Hati nurani seolah telah kehilangan tahtanya! Itulah yang sedang
dipertontonkan belakangan ini. Entah sampai kapan sandiwara ini berakhir.
Walaupun semua sudah tahu bahwa
sisi wajah buruk politik memperlihatkan karakter seperti itu, toh banyak orang
yang terus menggandrunginya. Dan tentunya, selihai apa pun seseorang bermain di
ranah ini, tetap saja kalau seseorang atau sebuah partai dibohongi dan
dihianati, janji-janji politiknya dianggap tidak berlaku lagi lalu ditinggalkan
pada saat “kapalnya hampir karam” tentu menjadi geram. Setiap orang tidak
senang ditipu dan dihianati bahkan seorang penipu ulung pun tidak akan suka
kalau dirinya ditipu!
Yakub, si penipu ulung. Bapak
dan abangnya sendiri berhasil ia tipu! Pada gilirannya, ia pun tidak merasa
senang ketika diperdayakan oleh sang paman yang kelak menjadi mertuanya, Laban.
Bayangkan, demi Rahel orang yang ia cintai dan ingin dimilikinya, Yakub rela
membayarnya bekerja selama tujuh tahun. Namun, apa yang terjadi setelah tujuh
tahun? Bukan Rahel yang diberikan Laban, melainkan Lea dengan alasan tidak
lazim menikahkan dulu sang adik sementara si kakak masih lajang, jika masih
tetap mengingini Rahel, Yakub harus menebusnya dengan tujuh tahun lagi bekerja.
Demi cinta matinya itu, Yakub menyanggupi. Ia bekerja tujuh tahun lagi demi
mendapatkan cinta sejatinya. Ya, demi cinta apa pun dilakukan.
Manusia dapat berjanji namun
sering tidak mampu memenuhi janji-janji itu. Perjanjian yang telah dibuat
diingkari begitu saja apabila dipandang merugikan dirinya. Sebaliknya, jika
keuntungan menanti, maka ia akan mati-matian untuk menjaga dan
mempertahankannya. Perjanjian dagang, perjanjian pendirian usaha bahkan ikatan
pernikahan dapat begitu saja dihianati demi menuruti nafsu egoisme. Perjanjian
adalah kata yang paling rawan untuk dihianati. Namun, lewat apa yang rawan ini
Allah mengambil resiko menyapa umat-Nya. Ia mempertaruhkan kepercayaan kepada
manusia yang memang diketahui-Nya sebagai pihak yang sering ingkar janji!
Allah mengikatkan diri-Nya
melalui perjanjian dengan manusia, mungkinkah? Mengapa Allah yang tak terbatas
mau mengikatkan diri dan tentu dengan demikian menjadi terbatas? Bukankah Ia
Maha segala-galanya, bukankah dengan kekuasaa-Nya, Allah dapat memerintahkan
semua makhluknya termasuk manusia untuk menuruti apa yang diingini-Nya tanpa
repot-repot mengadakan perjanjian? Benar, tema Allah mengikatkan diri dalam
perjanjian dengan manusia bukanlah tema sederhana. Rumit dan sulit dimengerti!
Dalam keterbatasan, kita memahami bahwa “perjanjian” adalah bahasa Allah untuk
menyapa manusia. Manusia yang pernah diciptakan segambar dengan-Nya dan kini
telah merusak gambar itu. Allah ingin merangkai kembali serpihan-serpihan
gambar yang hancur itu menjadi utuh. Manusia kembali kepada firtahnya sebagai
gambar atau citra Allah!
Tujuan dari perjanjian Allah
dengan umat-Nya adalah untuk kebaikan umat itu sendiri. Sasaran akhir
perjanjian itu bukan semata-mata untuk kepentingan Allah, melainkan untuk
keselamatan umat manusia. Keselamatan itu bukan hanya milik suatu bangsa
(Israel) melainkan seluruh umat manusia. Allah sudah berjanji kepada Abraham
bahwa melalui dia semua kaum dimuka bumi akan mendapat berkat. Di dalam
pelbagai perjanjian yang dibuat Allah dengan manusia berlaku dua prinsip:
1. Allah
sendiri yang menetapkan janji-janji dan kewajiban-kewajiban yang menyertai
perjanjian ini. Allah menjanjikan kehidupan yang terberkati dan pada ujungnya
keselamatan dan kehidupan yang kekal.
2. Manusia
diharapkan memenuhi perjanjian ini dengan iman dan ketaatan. Tidak pernah
manusia mempunyai posisi tawar-menawar dalam perjanjian ini.
Dalam sejarah yang dicatat
Alkitab, Allah setia pada perjanjian-Nya namun manusia kerap gagal menjaga
perjanjian itu. Manusia sering tergoda baik dengan materi, kekuasaan dan
ilah-ilah yang ada di sekitarnya. Allah setia maupun harus berkorban dan pada
saatnya mengorbankan yang terbaik, yakni Anak-Nya sendiri. Kisah ini menarik
untuk kita simak. Kisah ini mengajarkan kesetiaan pada sebuah janji.
Di Kerajaan Hashemite
Yordania, dua pemuda Bedouin terlibat perkelahian, berguling-guling di tanah
dalam amukan kemarahannya. Salah seorang dari mereka mengeluarkan pisau,
menusukkannya ke dada lawannya sehingga orang itu sekarat. Dalam ketakutan, ia
menyelamatkan diri melintasi padang pasir, melarikan diri dari upaya balas
dendam sanak keluarga lawannya yang terbunuh. Ia melarikan diri untuk menemukan
rumah ibadat Bedouin. Rumah ibadat itu sebuah “tenda pengungsian”, yang
dirancang oleh hukum bagi mereka yang membunuh secara tidak sengaja atau dalam
tekanan kemarahan. Seseorang dapat masuk “tenda pengungsian” itu dan mendapat
perlindungan.
Akhirnya, dia mencapai sebuah
tempat pengungsian itu. Tempat perkemahan dari sebuah suku yang
berpindah-pindah. Anak laki-laki itu menghempaskan dirinya di kaki pemimpin
suku itu, seorang syekh yang sudah tua, dan memohon kepadanya, “Saya telah
membunuh seseorang dengan tekanan kemarahan, saya memohon dengan sangat
perlindungan darimu. Tolonglah, saya mencari perlindungan di kemahmu ini!”
“Jika Allah menghendaki,”
jawab lelaki tua itu, “saya memberikan kepadamu, selama engkau tetap berada
bersama kami.”
Beberapa hari berselang, sanak
keluarga yang hendak membalas dendam itu mengikuti buronan tersebut hingga ke
tempat “tenda pengungsian” itu. Mereka menjelaskan kepada lelaki tua itu
mengenai buronan berikut ciri-cirinya yang telah membunuh kerabatnya. Lalu
mereka bertanya, “Apakah Anda telah
melihat lelaki itu? Apakah dia ada di sini? Karena kami mau menangkap dan
membalaskan dendam, nyawa ganti nyawa!”
“Ia ada di sini!” Kata orang
tua itu, “tetapi kalian tidak akan pernah mendapatkan dan menjamahnya!”
“Akan tetapi, dia telah
membunuh, dan kami saudara sedarah anak yang dibunuh itu akan merajam dia
sesuai dengan hukum yang berlaku! Keluarkan dia, berikan kepada kami!” Teriak
mereka.
“Tidak! Anak itu meminta
perlindungan, saya menjanjikannya. Anak itu mendapat perjanjian dari saya! Kata
orang tua itu, “saya telah memberikan kata-kataku, janjiku untuk menjadi tempat
perlindungan baginya.”
“Namun, Anda tidak mengerti,”
desak sanak keluarga itu, “Pak tua, pemuda yang engkau lindungi itu telah
membunuh cucumu sendiri!” Orang tua itu terdiam seribu basa. Semua mata tertuju
kepadanya, tidak ada seorang pun berani berbicara. Kemudian dalam kesedihan
yang sangat jelas terlihat, dengan air mata yang membasahi wajahnya, orang tua
itu berdiri dan berbicara dengan begitu pelan, nyaris tak terdengar, “Cucuku! Cucuku
satu-satunya telah meninggal?”
“Ya, cucumu satu-satunya itu
telah meninggal. Dan..penyebabnya adalah orang yang sekarang mendapat
perlindunganmu!”
“Lalu...,”kata orang tua itu, “lalu
anak ini, anak yang di dalam tenda pengungsian ini, ia akan menjadi cucuku. Dia
diampuni, dan ia akan tinggal bersama kami sebagai milikku. Pergilah sekarang,
sebab urusannya sudah selesai!”
Ya, kita bukan pembunuh. Namun, bukankah kita juga
telah merusak gambar Allah, mencaik-cabiknya dengan penghianatan demi
penghianatan. Kita sering memberontak dan melanggar perjanjiannya, seperti
Yakub, seperti bangsa Israel yang berulang kali menyakiti-Nya. Namun kasih-Nya
tetap setia tidak pernah berubah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar