William Baush pernah bertutur
tentang fabel kelelawar. Fabel itu berkisah, pada jaman dahulu bangsa burung
berperang melawan binatang buas. Suatu ketika bangsa burung terdesak dan nyaris
kalah. Kelelawar bersembunyi di balik pohon, berdiam diri menunggu pertempuran
berakhir. Setelah reda, kelelawar menyatukan diri dengan binatang buas.
Pemimpin binatang buas menegur, “Loh, bukankah kamu seekor burung?” Kelelawar
spontan membela diri, “Oh, tidak! Aku bukan burung, aku binatang buas. Apakah
anda pernah melihat burung bergigi ganda!” Kelelawar lihai sekali mengangkal
dirinya dan ia berlindung di balik gigi gandanya.
Setelah beberapa lama gencatan
senjata, tiba-tiba bangsa burung menyerang pemukiman binatang buas. Semua jenis
burung ikut ambil bagian dalam penyerangan kali ini. Sekali lagi, kelelawar
hanya menyaksikan perang dari balik ranting pohon. Kali ini kaum burung menjadi
pemenangnya dan kelelawar ikut pulang ke perkampungan burung. “Hai, kamu
binatang buas!” Teriak komandan pasukan burung. Kelelawar mengelak, “Apakah
engkau pernah melihat seekor binatang buas mempunyai sayap?” Kali ini kelelawar
memakai kedua sayapnya sebagai topeng.
Yakub pernah memakai topeng,
dibantu sang ibu, ia membalut tangan dan lehernya dengan bulu domba
(Kej.27:16). Yakub menyamar sebagai Esau agar sang ayah memberkatinya sebagai
anak sulung. Sejak hari itu Yakub berusaha mendapatkan berkat, ya tentunya
untuk kepuasan dan kenyamanan diri. Namun, sejak saat itu pula, kehidupan Yakub
dipenuhi dengan kecemasan, kekuatiran. Ia takut Esau, sang kakak akan membalas
sakit hatinya oleh karena berkat yang sedianya untuk dirinya kini menjadi
bagian dari sang adik. Meski menerima berkat, hidup Yakub terus berada dalam
pelarian. Pelariannya itu menghantar ke rumah Laban sang, paman dan sekaligus
kelak menjadi mertuanya.
Di rumah Laban inilah, Yakub
menggantungkan nasibnya. Di rumah Laban ini juga sang penipu ditipu oleh calon
mertua yang tidak menepati janji memberikan Rahel setelah ia bekerja selama
tujuh tahun, belum lagi gajinya yang diterimanya tidak sesuai, Laban mengubah
sesuka hatinya. Keluarga Laban rupanya tidak lagi menyenangkan hati Yakub. Di
Haran ini juga Yakub mendapat dua anak Laban, Lea dan Ribka beserta anak-anak
mereka sampai kemudian Yakub menjadi
kaya. Namun, toh kekayaan dan kemakmuran yang sedang ia rasakan tidaklah bisa
membayar kedamaian di hatinya. Tuhan setia kepada janjinya dan menyuruh Yakub
untuk pulang ke negerinya (Kej.31:3). Gayung bersambut, Yakub begitu rindu
kampung halamannya. Dalam hatinya bergejolak: ia rindu pulang, namun di sana
ada sang kakak yang menantinya dengan kemarahan. Akhirnya, kehendak pulang
mengalahkan pergumulan itu. Kini, niat meninggalkan Laban, tanah Haran dan
pulang menuju Kanaan semakin bulat. Ia merancangkan perjalanan itu.
Menyadari kemarahan sang kakak,
Yakub menyuruh utusannya mendahuluinya untuk menyampaikan berita perdamaian.
Apa daya, sang utusan kembali dengan kabar tidak sedap. Sang kakak juga sedang
menempuh perjalanan dari Edom untuk menjumpainya dengan diiringi oleh empat
ratus orang. Dalam benaknya, kini ancaman itu semakin menjadi nyata. Kini,
Yakub memutar otak mengatur strategi. Tiga tindakan pengamanan diri ia gunakan.
Pertama, ia merendahkan diri dengan
berdoa. Kedua, ia mengirimkan banyak
hadiah kepada Esau dan ketiga, ia
menyusun rombongan sedekian rupa, untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Pada malam hari sebelum
perjumpaan dengan Esau, Yakub menghadapi ujuan paling menentukan dalam sejarah
hidupnya. Setelah membawa isteri dan anak-anaknya menyeberang sungai Yabok
dengan aman, Yakub berbalik ke pinggir utara sungai, dan berada sendirian dalam
kegelapan. Sungai Yabok bermuara pada sungai Yordan. Dalam kesendirian pada malam yang gelap itu,
Yakub berjumpa dengan seseorang yang kemudian bergulat denganya. Sesudah
bergulat, bergumul lama sekali, orang asing itu meminta Yakub melepaskan
dirinya. Namun, Yakub menolak permintaan itu, sebelum dirinya diberkati oleh
orang asing itu. Rupanya, Yakub melihat sosok orang asing ini adalah orang yang
hebat. Dan, Yakub tetaplah Yakub, ia membayangkan berkat yang akan diterima
dari Orang ini.
Akibat pergumulan hebat dan
lama itu sendi panggal paha Yakub terpelecok. Yakub kini pincang, ia tidak
dapat berlari lagi. Ia pernah lari menjauhi Esau dan saat ini pun ia sedang
dalam pelarian meninggalkan Laban, tetapi sekarang ia tidak dapat berlari lagi.
Jika selama ini, Yakub telah melarikan diri dari masalah, maka sekarang ia tidak
dapat lagi menghindar. Ia harus menghadapinya! Sebagai gantinya, ia menerima
sebuah hidup baru. Seiring dengan itu, sosok yang Ilahi itu mengganti namanya, “Namau
tidak akan disebut lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah melawan Allah
dan manusia, dan engkau menang.” (Kej.32:28)
Kemengan Yakub bukan berarti kekalah Allah. Melainkan kemenangan atas
dirinya sendiri yang mau kembali kepada jalan yang dikehendaki-Nya. Bukan
menjadi manusia yang dikuasai oleh ketakutan karena kesalahan masa lalu yang
tidak berani diselesaikan. Sebelumnya, Yakub tinggal di luar kehendak Allah
selama lebih dari 20 tahun. Allah pernah menampakkan diri di Betel namun Yakub
tidak merespon dengan baik. Selama bertahun-tahun Yakub hidup dalam pelarian di
Haran, bekerja untuk Laban. Bisa dibayangkan hidup dalam suasana seperti
itu pastilah jauh dari damai sejahtera. Pergulatan semalam suntuk itulah yang
kemudian mengakhiri ketiadaan damai sejahtera itu. Yakub menang bukan berarti
Allah kalah! Yakub memenangkan masa depannya karena ia berusaha keras, ia gigih
bertarung sampai fajar menyingsing!
Perubahan nama dari Yakub yang artinya “memegang tumit atau pengganti”
yang dikemudian hari identik dengan sang penipu, tidak ada yang dapat
dibanggakan dan tidak ada damai sejahtera di dalam kehidupan seperti itu. Nama
baru itu adalah Israel (Yisra’el) artinya “Allah bergumul” atau kata itu bisa
berarti “semoga Allah menampakkan diri sebagai TUHAN” atau “Allah yang besinar”. Pendeknya, nama
baru itu berarti kehidupan yang disertai atau disinari oleh Allah. Sejak itu
perubahan besar dialami oleh Yakub yang kini menjadi Israel. Kemudian Israel
menaimai tempat itu “Pniel” yang
berarti “wajah Allah”. “Aku telah melihat
Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong.”(Kej. 32:30). Kemenangan
Yabuk bukan hanya kemenangan atas kelemahannya dan berdamai dengan diri sendiri
tetapi pengalaman ini memampukannya untuk dapat berdamai dengan sang kakak.
Tidak berlebihan kemudian Yakub dapat melihat di wajah sang kakak tersirat
wajah ilahi. “Memang melihat mukamu
adalah bagiku serasa melihat wajah Allah.”(Kej. 33:10).
Yakub berganti nama Israel, untuk menuju perubahan itu tidak mudah.
Seperti kebanyakan orang, Yakub, hidupnya dikuasai oleh nafsu serakah yang
bersumber pada pementingan diri dan melarikan diri dari masalah. Kini,
perjumpaan melalui pergumulan semalam suntuk mengalami perubahan dasyat.
Perjumpaannya dengan sosok Ilahi membuatnya mengubah total arah hidupnya. Kini,
ia tidak lagi bisa melarikan diri, karena sendi pangkal paha yang terpelecok
itu. Kini ia bukan lagi seorang penipu
atau pecundang. Kini, ia bisa berdamai dengan diri sendiri dan pengalaman itu
yang membuatnya mampu melihat di dalam diri orang yang ditakuti dan dianggap
musuh ada sosok Ilahi.
Kisah
ini mengajarkan kepada kita, bahwa untuk membuka topeng kepalsuan dan
kemunafikan, untuk membersihkan ketamakan dan keserakahan yang bersumber pada
egoisme dan egosentrisme tidak cukup hanya dengan doa atau sekedar mengubah
nama supaya terdengar kerohani-rohanian. Diperlukan perjuangan, pergumulan atau
pergulatan melawan diri sendiri! Diperlukan pula kesediaan untuk mengalami
perjumpaan dengan Tuhan. Perjumaan dengan Tuhan itulah yang kemudian akan dapat
menemukan makna diri dan makna hidup yang sesungguhnya. Ketika ini terjadi maka
kita akan melihat di wajah orang-orang lain itu ada wajah Ilahi sehingga
dampaknya kita akan dapat melayani semua orang bahkan musuh sekalipun dengan
baik!
Yakub bertopeng kepalsuan kenapa jadi pemenang ?
BalasHapus