Alkisah, ada dua kerajaan yang
berbatasan satu dengan yang lainnya. Di negeri yang pertama mereka memuja Matahari,
sedangkan di negeri satunya mereka menyembah Bulan. Berangkat dari perbedaan
kepercayaan, mereka saling mengejek, merendahkan yang lain, menganggap diri
paling benar, dan mengkafirkan yang lain. Dapat diduga, pertikaian tidak
terhindarkan dan akhirnya perang terjadi. Masing-masing menyiapkan amunisi,
mengumpulkan angkatan bersenjata dan kemudian bertemu di medan perang. Sinar
matahari berkilauan memantul dari pedang, tombak dan pakaian perang mereka,
berhadapan satu dengan yang lainnya, siap untuk mati!
Di setujui oleh masing-masing
pihak untuk mengirim jawara mereka dan bertarung satu lawan satu. Terkuat,
paling handal, paling tangkas dan perkasa dari masing-masing angkatan perang
dipilih. Dua orang maju dengan wajah sangar, dengan pedang di tangan dan
perisai di tangan yang lainnya. Di dada mereka ada lambang Matahari dan lambang
Bulan pada yang satunya.
Kini mereka saling berhadapan
dan kemudian bertarung seperti kesetanan. Mereka bertarung sepanjang pagi,
siang, di bawah panasnya sinar matahari. Mereka bertarung terus dan terus
sampai matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Mereka benar-benar seorang yang
kuat, gagah perkasa dan ahli berperang, sehingga keadaan seri, tidak ada yang
kalah. Mereka terus bertarung begitu dekat, sangat dekat, sampai akhirnya
matahari terbenam. Mereka kelelahan, jatuh ke tanah, bahkan tidak cukup kuat
untuk merangkak kembali ke tenda masing-masing. “Saya benci kamu!” geram jawara
Matahari. “Saya juga benci kamu!” jawab jawara Bulan. “Saya harus membunuh
kamu,” kata jawara Matahari, “di rumah saya punya anak dan isteri yang
mencintai saya. Anak saya ingin menjadi pejuang seperti saya. Saya harus
melindungi mereka dari orang-orang seperti kamu!”
“Saya juga mempunyai seorang
isteri,” jawab jawara dari negeri yang memuja Bulan, “rakyatmu telah
membunuhnya dalam perang yang lalu. Kini, bagaimana pun juga aku harus
membalaskan dendamnya. Aku harus membunuhmu dan bila perlu anak isterimu juga!”
Jawara dari negeri yang memuja
Bulan bangkit. Kemudian, jawara dari negeri yang memuja Matahari bertanya, “Seperti
apakah rupa isterimu?” Jawara dari negeri yang memuja bulan menjawab, “Dia
sangat cantik. Kami berpacaran sejak kami masih kecil. Aku sering bermain
dengannya di hutan dekat sini.”
“Sepertinya kau memiliki masa
kecil yang bahagia,” timpal jawara dari negeri yang memuja Matahari. “Tidak
seperti saya. Aku hidup serba kekuarangan, ayahku selalu menyuruh kami bekerja
di sawah setiap hari dan dia akan memukul kami bila kami membangkang.”
“Saya turut sedih mendengarnya,”
jawab jawara Bulan.
Selanjutnya, entah kenapa,
seolah mereka bertemu teman lama. Mereka berbincang-bincang tentang masa kecil,
tentang sanak dan kerabat, tentang negeri yang dicintai, dan segala macam
pengalaman masa lalu mereka. Mereka berbincang dan terus berbincang-bincang
sampai bulan semakin tinggi. Mereka masih juga asyik berbincang ketika bulan
mulai tenggelam di barat. Hanya tinggal satu, dua jam untuk mereka beristirahat malam itu. Mereka
tertidur dengan saling bersisihan, pedang dan tameng mereka tergeletak di
samping mereka.
Langit mulai terang, lalu
warna jingga mulai muncul di ufuk timur. Suara dan aroma sarapan yang berasal
dari kedua kamp mulai tercium. Kedua jawara mulai terbangun oleh hangatnya
sinar mentari yang menerpa wajah mereka. Letih, kesakitan, mereka meregangkan
badan. Mereka saling menatap satu sama lain. Kemudian mereka berpelukan
meninggalkan pedang-pedang dan tameng-tameng mereka, lalu berputar dan kembali
ke pasukan masing-masing. Mereka sudah tidak lagi mampu bertarung. Bagaimana
mungkin bertarung ketika kamu kenal baik dengan lawan tarungmu!
“Bagaimana mungkin kamu
bertarung menyakiti bahkan membunuh lawanmu, ketika kamu kenal baik lawan
tarungmu!” Itulah moral cerita di atas. Janganlah heran ketika musuh besar
suatu saat dapat menjadi sahabat. Sebaliknya, saudara sekandung pun berpotensi
menjadi musuh bebuyutan. Mengapa? Hal itu terjadi karena masing-masing tidak
mau mengenal, tidak mau mengerti dan memahami satu sama lain. Sedekat apa pun,
jika rasa peduli dan mengerti tidak ada maka sesama saudara dapat menjadi
musuh. Kisah Esau dan Yakub (Kejadian 25:19-34) menggambarkan dengan tepat
kondisi itu. Dalam satu rahim yang sama, rahim Ribka, mereka saling sikut dan
saling mendominasi satu terhadap yang lainnya. Bahkan Alkitab menceritakan
kisah selanjutnya keturunan mereka terus-menerus berperang, menjadi rival satu
terhadap yang lain.
Apa sebenarnya yang membuat
manusia sulit memahami dan mengerti keadaan orang lain? Tidak lain adalah
memanjakkan keinginan diri sendiri. Paulus membahasakannya dengan keinginan
daging. Orang yang menuruti keinginan daging adalah mereka yang tunduk pada
nafsunya. Nafsu itu bisa bermacam-macam: ada nafsu berkuasa, nafsu seksual,
nafsu menjadi kaya, nafsu ingin dipuja, nafsu hedonisme dan lain sebagainya.
Pendekatan kehidupan nyaman dan nikmat dan dihormati! Siapa pun bisa tergoda
dan terjerumus. Ketika kita masuk dalam perangkap kedagingan ini maka siapa pun
yang dipandang dapat menghalangi untuk mewujudkan keinginanya akan menjadi
rival, musuh yang harus disingkirkan.
Hari-hari belakangan ini kita
prihatin. Pemilihan umum presiden dan wakilnya menyita banyak perhatian dan
menguras emosi. Ada yang tadinya kawan dan sahabat, tiba-tiba karena beda
pilihan menjadi lawan, kisah ini banyak sekali kalau mau ditelusuri. Jangan-jangan
virus kedagingan itu sedang merasuk, menjalar ke semua elemen anak bangsa
negeri ini sehingga tidak ada lagi tata krama kesopanan, etika dan
spiritualitas, semuanya luluh lantak oleh nafsu ingin menang dan berkuasa!
Bagaimana menangkalnya?
Paulus memberikan resep bahwa
lawan dari nafsu kedagingan adalah tidak lain dari hidup menurut Roh. Roh yang
dipercaya bekerja di dalam hati manusia, sekarang orang dapat memilih untuk
tidak melakukan perbuatan dosa oleh karena kekuatan dari Roh itu. Lebih dari
itu, Roh yang sudah membangkitkan Kristus itu, “...akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu...”(Roma 8:11).
Tubuh adalah bentuk ragawidari manusia yang biasanya dianggap sebagai penjara,
bisa binasa dan dipandang oleh para fisuf zaman perjanjian baru tidak terlalu
berharga, sekarang menjadi begitu bernilai dan mulia ketika digerakkan dan
dikuasai oleh Roh Kristus. Apa yang baik, apa yang mulia, yang surgawi dan
ilahi itu bisa hadir dalam kehidupan duniawi. Orang yang hidup dipimpin oleh Roh
dengan sendirinya akan mempunyai sifat-sifat, karakter-karakter dan budi
pekerti luhur karena mengalami perubahan mind
set, mengalami perubahan mental mendasar!
Ketika seseorang menyatakan
diri hidup beriman kepada Kristus maka secara sadar ia akan membiarkan Roh
Kristus itu bekerja dengan leluasa di dalam dirinya. Hidupnya bukan dirinya
lagi tetapi Kristus yang hidup di dalamnya. Dampak hidup seperti ini akan
menghasilkan semua yang positif, membangun, menghadirkan damai sejahtera, dan
menghargai kemanusiaan. Hidup beriman seperti ini hanya bisa terjadi jika kita
membiarkan diri menjadi “tanah yang gembur dan subur” ketika ditaburi
Firman-Nya. Dan bukan sebaliknya, tanah tandus dan kering sehingga benih itu
tidak pernah tumbuh dengan baik. Hanya memahami, mengerti dan manggut-manggut
sesaat kemudian terlupakan. Untuk dapat menjadi tanah yang gembur, kita perlu
mengelolanya. Berjuang untuk menggali, memupuk dan menjaganya. Hati kita, bila
mau di samakan dengan analogi “tanah yang subur”, diperlukan kerja keras
sehingga benih itu akan terus tumbuh dan akhirnya menghasilkan buah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar