Jumat, 21 Desember 2012

DATANGLAH KERAJAAN-MU, JADILAH KEHENDAK-MU

“Datanglah kerajaan-Mu, jadilahlah kehendak-Mu”, membaca kalimat ini, setiap orang Kristen ingatannya akan tehubung dengan doa yang diajarkan Yesus kepada para murid-Nya. Doa Bapa Kami. Saking hafalnya, kita tidak tahu lagi makna mendasar dari kalimat itu. Kerajaan seperti apa yang diharapkan kedatangannya itu? Dan kehendak yang bagaimana yang harus terjadi?

Jelas, yang dimaksud dengan “kerajaan-Mu” itu adalah Kerajaan Allah sendiri. Nah, kalau begitu  menjadi jelas pula “Raja”-nya adalah Allah sendiri. Jadi hanya Allahlah yang boleh berkuasa, yang lain tidak! Setiap orang yang berharap akan kedatangan Kerajaan Allah ini, pastilah mempunyai kerinduan  untuk memuliakan Allah sebagai Rajanya. Hanya dialah yang patut disembah dan diagungkan! Dan kalau Kerajaan Itu datang, semua akan mengalami damai sejahtera. Tidak ada lagi tekanan dan penindasan. Keadilan dan kebenaran akan menjadi landasan Kerajaan Itu. Pengharapan tentang datangnya Kerajaan Allah mengisyaratkan bahwa kehidupannya kini belum sepenuhnya melihat atau mengalami bahwa Kerajaan itu nyata-nyata sudah terwujud. Sebab kalau sudah terjadi untuk apa mengharapkan lagi kedatangan Kerajaan Itu.

Harapan inilah yang didambakan umat Israel ketika tak berdaya di bawah jajahan Asyur. Israel (Yehuda) kala itu bagaikan berjalan dalam kegelapan dan diam dalam kekelaman. Tidak ada harapan! (Yesaya 9:1) Semua ketidakadilan, penindasan dan pelbagai tindakan kejahatan harus mereka alami setiap saat. Jangankan menjadi bangsa merdeka dan kembali seperti kejayaan Daud, identitas sebagai bangsa pun kini nyaris punah. Namun, Allah tidak membiarkan bangsa ini terus berjalan dalam kegelapan. Kini mereka akan melihat seberkas cahaya. Pertanda pengharapan! Harapan itu ada dalam kelahiran seorang bayi. “Seorang bayi telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”(Yesaya 9:5). Siapakah manusia yang berhak menyandang gelar itu? Yang oleh-Nya Kerajaan Itu digenapi? Tidak ada manusia yang sanggup! Kalau demikian, siapakah gerangan? Ya, hanya Allah yang memenuhi kriteria itu. Allah sendiri yang harus menggenapinya. Mungkinkah Allah sendiri  lahir dalam wujud seorang bayi, seorang putera, menanggung sengsara demi manusia?

Dalam mitologi Yunani sebelum Socrates (470-399 SM) ada cerita mengenai seorang dewa bernama Promotheus. Ia tidak tahan melihat dunia menderita. Musim dingin melanda begitu hebat sehingga setiap makhluk menderita menanti ajal. Padahal di surga setiap dewa hidup penuh kenyamanan. Masing-masing mempunyai tungku api di depannya untuk menghangatkan tubuh mereka. Ada peraturan bahwa tungku itu tidak boleh dipindahtempatkan.

Karena ibanya terhadap penderitaan makhluk di bumi, Promotheus tidak bisa menahan lagi dirinya untuk mengangkat tungku itu dan memindahkannya ke bumi agar bumi tidak lagi menderita. Perbuatannya itu melanggar hukum sorga sehingga ia harus dihukum. Promotheus diikat dengan rantai di pegunungan Kaukasius. Setiap hari datang burung gagak yang mematuk “hatinya” yang selalu tumbuh, supaya tidak bisa berkembang menjadi hati yang penuh belas kasihan.

Suatu hari datanglah seorang dewa lain menolong membuka rantai tersebut. Perbuatan dewa ini tidak bisa dikatakan melanggar aturan sorga karena ia tidak seperti Promotheus yang membawa-bawa tungku sorga ke bumi. Lalu Promotheus memberikan api, yang dianggap sebagai bahan dasar dari semua hal, kepada seorang Filsuf Heraklitus (540-480 SM) yang kemudian “membakar” alam semesta sehingga menjadi hangat dan kondusif bagi tumbuhnya kehidupan. Ia mengajarkan bahwa alam semesta selalu mengalir  dalam perubahan abadi (panta rei kai ouden menei).

Kisah Promotheus mencerahkan orang Yunani pada zamannya bahwa ada sosok ilahi yang peduli terhadap penderitaan makhluk hidup di bumi. Dewa itu rela meninggalkan kenyamanannya di sorga, bahkan menerima hukuman demi keberpihakannya pada penderitaan makhluk di bumi. Allah di dalam Kristus lebih dari sekedar Promotheus! Ia rela meninggalkan Sorga, memilih palungan sebagai tempat pembaringan-Nya karena manusia tidak memberi tempat bagi-Nya (Lukas 2:7). Bila burung gagak terus mematuk hati Promotheus supaya tidak lagi tumbuh hati yang berbelas kasihan. Bukankah sepanjang kehidupan Krisuts ada banyak “burung-burung” gagak yang berusaha merampas kasih belarasa Kristus kepada dunia ini. Farisi dan ahli Taurat merusaha melenyapkan Kristus hingga berakhir di kayu salib. Namun kasih-Nya tetap nyata dan Kerajaan-Nya tetap ada hingga sekarang!

Kelahiran dan eksistensi-Nya di dunia ini menandakan bahwa Kerajaan Allah itu telah dimulai. Yesus menegaskan bahwa kehadiran diri-Nya di dunia ini adalah untuk menggenapi pengharapan akan datangnya Kerajaan Allah. “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” (Matius 12:28) Itu kata Yesus ketika orang Farisi menuduh-Nya berkolusi dengan Beelzebul, si penghulu setan. Lagi pula dalam kelahiran-Nya, para malaikat dan sejumlah besar bala tentara sorga memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Lukas 2:14).

Nah, sekarang setelah Kristus lahir, menandakan bahwa Kerajaan Allah itu sudah datang. Mengapa kita masih mengucapkan doa “Bapa Kami” yang di dalamnya ada permohonan supaya Kerajaan Allah itu datang? Kerajaan yang mana lagi? Wajar jika kita bertanya demikian. Tapi mari kita melihatnya seperti ini: Dalam sebuah kerajaan pasti ada rajanya, ada wilayah kekuasaannya dan rakyatnya, serta ada undang-undang yang harus ditaati. Dalam hal Kerajaan Allah. Allahlah yang menjadi Rajanya. Dia yang berkuasa tidak ada yang lain. Dialah yang harus ditaati dan diagungkan. Namun, sampai saat ini kenyataannya tidak semua makhluk di bumi ini mengakui Allah sebagai Raja dan tunduk kepada-Nya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Allah itu adalah segenap alam raya. Karena alam raya ini punya Dia dan diciptakan oleh-Nya, realitanya tidak semua ciptaan Allah itu mengagungkan-Nya. Firman Tuhan, dalam hal ini Alkitab, kita yakini sebagai aturan dan kehendak Allah. Namun, kenyataan-Nya tidak atau belum semua “undang-undang” Kerajaan Allah ini dipatuhi bahkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai orang percaya sekali pun!

Di sinilah setiap orang percaya terpanggil untuk memujudkan harapan itu sehingga seisi dunia ini merasakan dan berperan serta dalam Kerajaan Allah: keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Maka kalimat kedua dalam tema di atas menjadi relevan, “jadilah Kehendak-Mu.” Sebagaimana Promotheus menyerahkan “api” dari tungku sorga itu kepada Heraklitos, lalu Heraklitos menyalakan api itu. Ia menggunakan hikmatnya untuk “menerangi” dunia. Jika Heraklitos diam maka tidak mungkin ada Parmenides yang menentangnya dan tanpa pemikiran Parmenides tidak mungkin juga pemikiran Aristoteles dan Plato berkembang mempengaruhi filsafat Yunani bahkan dunia sampai sekarang ini.

Tugas setiap orang Kristen adalah meneruskan terang yang sudah datang itu dengan melakukan kehendak Allah di dalam Kristus. Berani memohon “jadilah kehendak-Mu” berarti bersedia melakukan kehendak Tuhan itu. Tuhan menghendaki agar semua manusia terselamatkan (Titus 2:11) dan mengalami damai sejahtera itu. Jadi setiap orang percaya terpanggil untuk menjadi saksi-Nya dengan menjauhi kefasikan dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya hingga benar-benar tergenapi Kerajaan Allah itu. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Paulus, “Ia mendidik kita supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan pernyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus,..”(Titus 2: 12,13)

1 komentar:

  1. Mohon dukungan doa untuk saya sudah 5 tahun sakit stroke dan insomnia. Terima kasih. Melchior Suroso

    BalasHapus