“Bertumbuh”, lazimnya kata ini
digunakan untuk tanaman. Maka kita mengenal kata lain dari tanaman adalah “tumbuhan”.
Manusia ibarat pohon. Dari bertemunya sel telur dengan sel sperma dalam rahim
di situlah dimulai kehidupan. Hari demi hari janin membesar. Terus-menerus
mengalami pertumbuhan! Sampai genap jabang bayi lahir. Sampai di sini kita
sering mengerti pertumbuhan itu dalam arti fisik. Jika fisinya tidak bertumbuh
sudah dipastikan mengalami masalah. Gagal bertumbuh akan mengalami kematian! Kita
terus membicarakan pertumbuhan sang bayi itu lebih secara fisik ketimbang aspek
lainnya.
Setelah kelahiran matanya
mulai melihat, telingannya bisa mendengar, tangnnya mulai berlatih menggemgam,
giginya mulai tumbuh, pendek kata secara fisik terus mengalami pertumbuhan.
Seorang ibu akan begitu gelisah ketika anaknya belum bisa merangkak apalagi
berjalan ketika telah melewati ulang tahun yang pertama, sementara anak sebelah
yang lahir dalam minggu yang sama telah lincah berjalan sambil berceloteh. Orang
tua mana yang tidak menjadi gelisah jika pertumbuhan anak secara fisik
mengalami hambatan atau keterlambatan. Pasti mereka mencari solusi mencari
dokter dan ahli gizi.
Padahal pertumbuhan fisik
hanya sebagian kecil saja dari begitu banyak aspek dalam kehidupan manusia. Ada
aspek berpikir logis (IQ), psikologis, emosional, spiritual atau iman, dan yang
lainnya. Tragedi justeru banyak terjadi manakala manusia terfokus hanya pada
pertumbuhan fisik dan lupa memperhatikan aspek yang lainnya. Banyak orang yang
secara fisik terus bertumbuh dari bayi menjadi anak, remaja, pemuda, dewasa dan
tua. Namun secara mental psikologis, emosi dan spiritual tidak mengalami
pertumbuhan yang baik.
Perhatikan seorang anak kecil
usia empat atau lima tahun. Kalau ia mempuyai mainan, umumnya ia akan memamerkannya
pada semua orang. Mainan itu tidak boleh dipindahtangankan. Bahkan setiap mainan
yang ia suka, harus menjadi miliknya! Ia harus menjadi pusat perhatian. Sikap egonya
sedang bertumbuh. Anak yang sehat akan mengalami pertumbuhan yang seimbang. Semakin
besar fisiknya, semakin ia menyadari bahwa di sekelilingnya ada juga orang lain
yang mempunyai kepentingan dan membutuhkan ruang nyaman. Namun, yang terjadi
banyak orng dewasa masih mempunyai prilaku kekanak-kanakan. Kalau anak
empat-lima tahun gemar memamarken mainan, ada juga orang dewasa yang gemar
pamer. Pamer harta bendanya, bukan untuk dibagikan tapi sebagai kebanggaan. Pamer
kepandaiaannya, pamer kedudukan, jabatan atau prestasinya. Semua diakukan bukan
untuk memberdayakan orang lain. Ia senang kalau orang lain kagum! Banyak pula
orang dewasa berprilaku seperti anak kecil: yang bukan miliknya main rebut
saja! Dari main rebut jabatan sampai rebut pasangan orang.
Ada pertumbuhan yang salah.
Egosentisme yang dibiarkan terus tumbuh menguasai kehidupan manusia. Orang yang
seperti ini akan merasa diri super dalam segala hal. Tidak mau kalah, asosial,
selalu benar dan menang sendiri, pribadi yang tidak boleh diganggu-gugat. Orang
semacam ini sagat sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Sulit bekerjasama
apalagi mau melayani sesama. Dapat dibayangkan masa depan orang seperti ini. Tidak
disukai orang lain! Kalau pun ada yang suka pasti bukan dengan ketulusan,
melainkan karena terpaksa, takut atau karena mau mencari keuntungan. Lingkungan
yang sama tidak dengan sendirinya menghasilkan pertumbuhan yang sama.
Alkitab menceritakan kisah
yang sangat kontras. Hofni dan Pinehas adalah anak-anak imam Eli yang sudah
pasti mengalami didikan seorang imam . Mereka tumbuh menjadi dewasa secara
fisik namun tidak secara rohani. Mereka melakukan pelbagai kejahatan dan
kekejian di hadapan TUHAN hanya untuk memuaskan nafsu dan keinginannya. Jabatan
keluarga imam disalahgunakan! (1 Samuel 2:12-17). Di pihak lain, Samuel yang
diserahkan orang tuanya ke dalam didikan Eli justeru mengalami pertumbuhan yang
lengkap. Tidak hanya fisiknya! Sewaktu Samuel kecil ibunya dengan setia
mewujudkan harapan agar anak ini menjadi pelayan Tuhan. Setiap tahun ia
membuatkan jubah kecil buat Samuel. Tentu
ada banyak penafsiran mengapa anak-anak imam Eli sendiri mengalami pertumbuhan
yang tidak diharapkan. Alkitab hanya mengatakan, “Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan
korban sajian-Ku, yang telah kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati
anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian
yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?
Dari teguran TUHAN ini dapat
kita bayangkan bahwa Eli menjalankan tugas keimamamnya hanya sebagai “profesi”
sehingga ia merasa berhak menikmati apa yang terbaik yang seharusnya untuk
TUHAN. Bisa jadi prilaku imam Eli ini terbiasa dilihat oleh anak-anaknya. Sehingga
teguran yang disampaikan Eli kepada mereka pun kehilangan daya sengatnya (1
Sam.2:22-24). Sedangkan Samuel, melihat begitu besarnya peran orang tua dalam
mendukung dirinya menjadi pelayan di rumah TUHAN. Jadi, meskipun peran utama
pemelihan Samuel menjadi abdi Allah adalah Allah sendiri. Tetaplah peran orang
tua sangat berarti dalam pertumbuhan anak sehingga Samuel itu dikasihi TUHAN
dan manusia (1 Sam. 2:26).
Kisah yang sama kita temukan
dalam diri Yesus. Orang tuanya, Yusuf dan Maria memberikan perhatian serius
untuk penddidikan iman-Nya. Setiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem
pada hari Paskah. Yesus selalu ikut, minimal sampai usia 12 tahun, itu yang
dicatat Lukas (Lukas 2:41-42). Tidak mengherankan pula pada usia relatif dini,
12 tahun, Yesus dapat bersoal jawab dengan para ulama di Bait Allah. Para ulama tidak hanya mengakui tetapi
juga mengagumi kecerdasan Yesus. Sama seperti Samuel, Yesus terus bertumbuh, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya,
dan makin dikasihi Allah dan manusia.” (Lukas 2:52)
Apa tanda-tanda pertumbuhan
seorang manusia yang lengkap? Dicintai Tuhan dan sesama! Itulah pertanda
pertumbuhan yang utuh! Bagaimana dengan kita? Apakah semakin lama; semakin tua,
semakin banyak dicintai orang-orang di sekitar kita? Ataukah semakin lama,
semakin orang tidak mau kenal dan bergaul dengan kita? Semakin dijauhi orang!
Apakah semakin lama, kita juga semakin dicintai TUHAN? Apa buktinya semakin
dicintai TUHAN? Bukan hanya harta benda, kedudukan, kemakmuran dan kesehatan sebagai
tanda manusia disayang TUHAN. Jauh di atas itu ada kedamaian di hati dan semua
orang mau dekat dan mengenal kita! Hidup tidak lagi egois. Ada kemauan yang
terus-menerus menanam kebaikan untuk orang lain.
Jika selama ini kita lebih
memperhatikan penampilan fisik. Cobalah kini lebih utuh lagi melihat dan
membenahi seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita mau dicintai Tuhan dan sesama
salah satunya kikislah sikap mau menang dan untung sendiri. Ubahlah sikap egois
menjadi murah hati! Perhatikanlah orang-orang lain dan lakukanlah kebaikan
untuk mereka. Jangan berhitung apa untungnya, karena kita adalah orang-orang
yang sudah beruntung. Paulus memberikan resep jitu dalam Kolose 3:5-17, oleh
LAI diberi judul “Manusia Baru”.
Jadilah manusia baru yang tidak egois supaya kita makin lama makin dicintai
Allah dan manusia.
Kisah yang satu ini
mengajarkan suaya hidup tidak mementingkan diri sendiri saja. Pada suatu hari
ada seorang anak muda terpelajar mengamati seorang yang sudah tua sedang
menanam sebatang pohon mangga dengan keringat bercucuran. Anak muda itu
menghampirinya dan bertanya, “Pak. Tua, untuk apa melakukan pekerjaan sia-sia
menanam mangga. Apakah Pak Tua masih sempat menikmati buah pertama dari pohon
ini?” Sambil tersenyum dan meneruskan pekerjaannya, Pak Tua itu menjawab, “Apakah
yang kamu makan adalah hasil yang kamu tanam sendiri?” Dengan tersipu, pemuda
itu meninggalkan Pak Tua. Apakah kita sekarang mirip dengan Pak Tua atau
seperti anak muda itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar