Jumat, 28 Desember 2012

BERTUMBUH DI DALAM RENCANA-NYA

“Bertumbuh”, lazimnya kata ini digunakan untuk tanaman. Maka kita mengenal kata lain dari tanaman adalah “tumbuhan”. Manusia ibarat pohon. Dari bertemunya sel telur dengan sel sperma dalam rahim di situlah dimulai kehidupan. Hari demi hari janin membesar. Terus-menerus mengalami pertumbuhan! Sampai genap jabang bayi lahir. Sampai di sini kita sering mengerti pertumbuhan itu dalam arti fisik. Jika fisinya tidak bertumbuh sudah dipastikan mengalami masalah. Gagal bertumbuh akan mengalami kematian! Kita terus membicarakan pertumbuhan sang bayi itu lebih secara fisik ketimbang aspek lainnya.

Setelah kelahiran matanya mulai melihat, telingannya bisa mendengar, tangnnya mulai berlatih menggemgam, giginya mulai tumbuh, pendek kata secara fisik terus mengalami pertumbuhan. Seorang ibu akan begitu gelisah ketika anaknya belum bisa merangkak apalagi berjalan ketika telah melewati ulang tahun yang pertama, sementara anak sebelah yang lahir dalam minggu yang sama telah lincah berjalan sambil berceloteh. Orang tua mana yang tidak menjadi gelisah jika pertumbuhan anak secara fisik mengalami hambatan atau keterlambatan. Pasti mereka mencari solusi mencari dokter dan ahli gizi.

Padahal pertumbuhan fisik hanya sebagian kecil saja dari begitu banyak aspek dalam kehidupan manusia. Ada aspek berpikir logis (IQ), psikologis, emosional, spiritual atau iman, dan yang lainnya. Tragedi justeru banyak terjadi manakala manusia terfokus hanya pada pertumbuhan fisik dan lupa memperhatikan aspek yang lainnya. Banyak orang yang secara fisik terus bertumbuh dari bayi menjadi anak, remaja, pemuda, dewasa dan tua. Namun secara mental psikologis, emosi dan spiritual tidak mengalami pertumbuhan yang baik.

Perhatikan seorang anak kecil usia empat atau lima tahun. Kalau ia mempuyai mainan, umumnya ia akan memamerkannya pada semua orang. Mainan itu tidak boleh dipindahtangankan. Bahkan setiap mainan yang ia suka, harus menjadi miliknya! Ia harus menjadi pusat perhatian. Sikap egonya sedang bertumbuh. Anak yang sehat akan mengalami pertumbuhan yang seimbang. Semakin besar fisiknya, semakin ia menyadari bahwa di sekelilingnya ada juga orang lain yang mempunyai kepentingan dan membutuhkan ruang nyaman. Namun, yang terjadi banyak orng dewasa masih mempunyai prilaku kekanak-kanakan. Kalau anak empat-lima tahun gemar memamarken mainan, ada juga orang dewasa yang gemar pamer. Pamer harta bendanya, bukan untuk dibagikan tapi sebagai kebanggaan. Pamer kepandaiaannya, pamer kedudukan, jabatan atau prestasinya. Semua diakukan bukan untuk memberdayakan orang lain. Ia senang kalau orang lain kagum! Banyak pula orang dewasa berprilaku seperti anak kecil: yang bukan miliknya main rebut saja! Dari main rebut jabatan sampai rebut pasangan orang.

Ada pertumbuhan yang salah. Egosentisme yang dibiarkan terus tumbuh menguasai kehidupan manusia. Orang yang seperti ini akan merasa diri super dalam segala hal. Tidak mau kalah, asosial, selalu benar dan menang sendiri, pribadi yang tidak boleh diganggu-gugat. Orang semacam ini sagat sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Sulit bekerjasama apalagi mau melayani sesama. Dapat dibayangkan masa depan orang seperti ini. Tidak disukai orang lain! Kalau pun ada yang suka pasti bukan dengan ketulusan, melainkan karena terpaksa, takut atau karena mau mencari keuntungan. Lingkungan yang sama tidak dengan sendirinya menghasilkan pertumbuhan yang sama.

Alkitab menceritakan kisah yang sangat kontras. Hofni dan Pinehas adalah anak-anak imam Eli yang sudah pasti mengalami didikan seorang imam . Mereka tumbuh menjadi dewasa secara fisik namun tidak secara rohani. Mereka melakukan pelbagai kejahatan dan kekejian di hadapan TUHAN hanya untuk memuaskan nafsu dan keinginannya. Jabatan keluarga imam disalahgunakan! (1 Samuel 2:12-17). Di pihak lain, Samuel yang diserahkan orang tuanya ke dalam didikan Eli justeru mengalami pertumbuhan yang lengkap. Tidak hanya fisiknya! Sewaktu Samuel kecil ibunya dengan setia mewujudkan harapan agar anak ini menjadi pelayan Tuhan. Setiap tahun ia membuatkan jubah kecil buat Samuel.  Tentu ada banyak penafsiran mengapa anak-anak imam Eli sendiri mengalami pertumbuhan yang tidak diharapkan. Alkitab hanya mengatakan, “Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?

Dari teguran TUHAN ini dapat kita bayangkan bahwa Eli menjalankan tugas keimamamnya hanya sebagai “profesi” sehingga ia merasa berhak menikmati apa yang terbaik yang seharusnya untuk TUHAN. Bisa jadi prilaku imam Eli ini terbiasa dilihat oleh anak-anaknya. Sehingga teguran yang disampaikan Eli kepada mereka pun kehilangan daya sengatnya (1 Sam.2:22-24). Sedangkan Samuel, melihat begitu besarnya peran orang tua dalam mendukung dirinya menjadi pelayan di rumah TUHAN. Jadi, meskipun peran utama pemelihan Samuel menjadi abdi Allah adalah Allah sendiri. Tetaplah peran orang tua sangat berarti dalam pertumbuhan anak sehingga Samuel itu dikasihi TUHAN dan manusia (1 Sam. 2:26).

Kisah yang sama kita temukan dalam diri Yesus. Orang tuanya, Yusuf dan Maria memberikan perhatian serius untuk penddidikan iman-Nya. Setiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari Paskah. Yesus selalu ikut, minimal sampai usia 12 tahun, itu yang dicatat Lukas (Lukas 2:41-42). Tidak mengherankan pula pada usia relatif dini, 12 tahun, Yesus dapat bersoal jawab dengan para ulama di  Bait Allah. Para ulama tidak hanya mengakui tetapi juga mengagumi kecerdasan Yesus. Sama seperti Samuel,  Yesus terus bertumbuh, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi Allah dan manusia.” (Lukas 2:52)

Apa tanda-tanda pertumbuhan seorang manusia yang lengkap? Dicintai Tuhan dan sesama! Itulah pertanda pertumbuhan yang utuh! Bagaimana dengan kita? Apakah semakin lama; semakin tua, semakin banyak dicintai orang-orang di sekitar kita? Ataukah semakin lama, semakin orang tidak mau kenal dan bergaul dengan kita? Semakin dijauhi orang! Apakah semakin lama, kita juga semakin dicintai TUHAN? Apa buktinya semakin dicintai TUHAN? Bukan hanya harta benda, kedudukan, kemakmuran dan kesehatan sebagai tanda manusia disayang TUHAN. Jauh di atas itu ada kedamaian di hati dan semua orang mau dekat dan mengenal kita! Hidup tidak lagi egois. Ada kemauan yang terus-menerus menanam kebaikan untuk orang lain.

Jika selama ini kita lebih memperhatikan penampilan fisik. Cobalah kini lebih utuh lagi melihat dan membenahi seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita mau dicintai Tuhan dan sesama salah satunya kikislah sikap mau menang dan untung sendiri. Ubahlah sikap egois menjadi murah hati! Perhatikanlah orang-orang lain dan lakukanlah kebaikan untuk mereka. Jangan berhitung apa untungnya, karena kita adalah orang-orang yang sudah beruntung. Paulus memberikan resep jitu dalam Kolose 3:5-17, oleh LAI diberi judul “Manusia Baru”. Jadilah manusia baru yang tidak egois supaya kita makin lama makin dicintai Allah dan manusia.

Kisah yang satu ini mengajarkan suaya hidup tidak mementingkan diri sendiri saja. Pada suatu hari ada seorang anak muda terpelajar mengamati seorang yang sudah tua sedang menanam sebatang pohon mangga dengan keringat bercucuran. Anak muda itu menghampirinya dan bertanya, “Pak. Tua, untuk apa melakukan pekerjaan sia-sia menanam mangga. Apakah Pak Tua masih sempat menikmati buah pertama dari pohon ini?” Sambil tersenyum dan meneruskan pekerjaannya, Pak Tua itu menjawab, “Apakah yang kamu makan adalah hasil yang kamu tanam sendiri?” Dengan tersipu, pemuda itu meninggalkan Pak Tua. Apakah kita sekarang mirip dengan Pak Tua atau seperti anak muda itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar