“Datanglah kerajaan-Mu,
jadilahlah kehendak-Mu”, membaca kalimat ini, setiap orang Kristen ingatannya
akan tehubung dengan doa yang diajarkan Yesus kepada para murid-Nya. Doa Bapa
Kami. Saking hafalnya, kita tidak tahu lagi makna mendasar dari kalimat itu. Kerajaan
seperti apa yang diharapkan kedatangannya itu? Dan kehendak yang bagaimana yang
harus terjadi?
Jelas, yang dimaksud dengan “kerajaan-Mu”
itu adalah Kerajaan Allah sendiri. Nah, kalau begitu menjadi jelas pula “Raja”-nya adalah Allah
sendiri. Jadi hanya Allahlah yang boleh berkuasa, yang lain tidak! Setiap orang
yang berharap akan kedatangan Kerajaan Allah ini, pastilah mempunyai kerinduan untuk memuliakan Allah sebagai Rajanya. Hanya
dialah yang patut disembah dan diagungkan! Dan kalau Kerajaan Itu datang, semua
akan mengalami damai sejahtera. Tidak ada lagi tekanan dan penindasan. Keadilan
dan kebenaran akan menjadi landasan Kerajaan Itu. Pengharapan tentang datangnya
Kerajaan Allah mengisyaratkan bahwa kehidupannya kini belum sepenuhnya melihat
atau mengalami bahwa Kerajaan itu nyata-nyata sudah terwujud. Sebab kalau sudah
terjadi untuk apa mengharapkan lagi kedatangan Kerajaan Itu.
Harapan inilah yang didambakan
umat Israel ketika tak berdaya di bawah jajahan Asyur. Israel (Yehuda) kala itu
bagaikan berjalan dalam kegelapan dan diam dalam kekelaman. Tidak ada harapan!
(Yesaya 9:1) Semua ketidakadilan, penindasan dan pelbagai tindakan kejahatan
harus mereka alami setiap saat. Jangankan menjadi bangsa merdeka dan kembali
seperti kejayaan Daud, identitas sebagai bangsa pun kini nyaris punah. Namun,
Allah tidak membiarkan bangsa ini terus berjalan dalam kegelapan. Kini mereka
akan melihat seberkas cahaya. Pertanda pengharapan! Harapan itu ada dalam
kelahiran seorang bayi. “Seorang bayi
telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang
pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat
Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”(Yesaya 9:5).
Siapakah manusia yang berhak menyandang gelar itu? Yang oleh-Nya Kerajaan Itu
digenapi? Tidak ada manusia yang sanggup! Kalau demikian, siapakah gerangan?
Ya, hanya Allah yang memenuhi kriteria itu. Allah sendiri yang harus
menggenapinya. Mungkinkah Allah sendiri
lahir dalam wujud seorang bayi, seorang putera, menanggung sengsara demi
manusia?
Dalam mitologi Yunani sebelum
Socrates (470-399 SM) ada cerita mengenai seorang dewa bernama Promotheus. Ia
tidak tahan melihat dunia menderita. Musim dingin melanda begitu hebat sehingga
setiap makhluk menderita menanti ajal. Padahal di surga setiap dewa hidup penuh
kenyamanan. Masing-masing mempunyai tungku api di depannya untuk menghangatkan
tubuh mereka. Ada peraturan bahwa tungku itu tidak boleh dipindahtempatkan.
Karena ibanya terhadap
penderitaan makhluk di bumi, Promotheus tidak bisa menahan lagi dirinya untuk
mengangkat tungku itu dan memindahkannya ke bumi agar bumi tidak lagi
menderita. Perbuatannya itu melanggar hukum sorga sehingga ia harus dihukum. Promotheus
diikat dengan rantai di pegunungan Kaukasius. Setiap hari datang burung gagak
yang mematuk “hatinya” yang selalu tumbuh, supaya tidak bisa berkembang menjadi
hati yang penuh belas kasihan.
Suatu hari datanglah seorang
dewa lain menolong membuka rantai tersebut. Perbuatan dewa ini tidak bisa
dikatakan melanggar aturan sorga karena ia tidak seperti Promotheus yang
membawa-bawa tungku sorga ke bumi. Lalu Promotheus memberikan api, yang
dianggap sebagai bahan dasar dari semua hal, kepada seorang Filsuf Heraklitus
(540-480 SM) yang kemudian “membakar” alam semesta sehingga menjadi hangat dan
kondusif bagi tumbuhnya kehidupan. Ia mengajarkan bahwa alam semesta selalu
mengalir dalam perubahan abadi (panta rei kai ouden menei).
Kisah Promotheus mencerahkan
orang Yunani pada zamannya bahwa ada sosok ilahi yang peduli terhadap
penderitaan makhluk hidup di bumi. Dewa itu rela meninggalkan kenyamanannya di
sorga, bahkan menerima hukuman demi keberpihakannya pada penderitaan makhluk di
bumi. Allah di dalam Kristus lebih dari sekedar Promotheus! Ia rela
meninggalkan Sorga, memilih palungan sebagai tempat pembaringan-Nya karena manusia
tidak memberi tempat bagi-Nya (Lukas 2:7). Bila burung gagak terus mematuk hati
Promotheus supaya tidak lagi tumbuh hati yang berbelas kasihan. Bukankah
sepanjang kehidupan Krisuts ada banyak “burung-burung” gagak yang berusaha
merampas kasih belarasa Kristus kepada dunia ini. Farisi dan ahli Taurat
merusaha melenyapkan Kristus hingga berakhir di kayu salib. Namun kasih-Nya
tetap nyata dan Kerajaan-Nya tetap ada hingga sekarang!
Kelahiran dan eksistensi-Nya
di dunia ini menandakan bahwa Kerajaan Allah itu telah dimulai. Yesus
menegaskan bahwa kehadiran diri-Nya di dunia ini adalah untuk menggenapi
pengharapan akan datangnya Kerajaan Allah. “Tetapi
jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan
Allah sudah datang kepadamu.” (Matius 12:28) Itu kata Yesus ketika orang
Farisi menuduh-Nya berkolusi dengan Beelzebul, si penghulu setan. Lagi pula
dalam kelahiran-Nya, para malaikat dan sejumlah besar bala tentara sorga memuji
Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di
tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang
berkenan kepada-Nya.” (Lukas 2:14).
Nah, sekarang setelah Kristus
lahir, menandakan bahwa Kerajaan Allah itu sudah datang. Mengapa kita masih
mengucapkan doa “Bapa Kami” yang di dalamnya ada permohonan supaya Kerajaan
Allah itu datang? Kerajaan yang mana lagi? Wajar jika kita bertanya demikian. Tapi
mari kita melihatnya seperti ini: Dalam sebuah kerajaan pasti ada rajanya, ada
wilayah kekuasaannya dan rakyatnya, serta ada undang-undang yang harus ditaati.
Dalam hal Kerajaan Allah. Allahlah yang menjadi Rajanya. Dia yang berkuasa
tidak ada yang lain. Dialah yang harus ditaati dan diagungkan. Namun, sampai
saat ini kenyataannya tidak semua makhluk di bumi ini mengakui Allah sebagai
Raja dan tunduk kepada-Nya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Allah itu adalah segenap
alam raya. Karena alam raya ini punya Dia dan diciptakan oleh-Nya, realitanya
tidak semua ciptaan Allah itu mengagungkan-Nya. Firman Tuhan, dalam hal ini
Alkitab, kita yakini sebagai aturan dan kehendak Allah. Namun, kenyataan-Nya
tidak atau belum semua “undang-undang” Kerajaan Allah ini dipatuhi bahkan oleh
orang-orang yang mengaku sebagai orang percaya sekali pun!
Di sinilah setiap orang
percaya terpanggil untuk memujudkan harapan itu sehingga seisi dunia ini
merasakan dan berperan serta dalam Kerajaan Allah: keadilan, perdamaian dan
keutuhan ciptaan. Maka kalimat kedua dalam tema di atas menjadi relevan, “jadilah
Kehendak-Mu.” Sebagaimana Promotheus menyerahkan “api” dari tungku sorga itu
kepada Heraklitos, lalu Heraklitos menyalakan api itu. Ia menggunakan hikmatnya
untuk “menerangi” dunia. Jika Heraklitos diam maka tidak mungkin ada Parmenides
yang menentangnya dan tanpa pemikiran Parmenides tidak mungkin juga pemikiran
Aristoteles dan Plato berkembang mempengaruhi filsafat Yunani bahkan dunia
sampai sekarang ini.
Tugas setiap orang Kristen
adalah meneruskan terang yang sudah datang itu dengan melakukan kehendak Allah
di dalam Kristus. Berani memohon “jadilah kehendak-Mu” berarti bersedia
melakukan kehendak Tuhan itu. Tuhan menghendaki agar semua manusia
terselamatkan (Titus 2:11) dan mengalami damai sejahtera itu. Jadi setiap orang
percaya terpanggil untuk menjadi saksi-Nya dengan menjauhi kefasikan dan hidup
dalam ketaatan kepada-Nya hingga benar-benar tergenapi Kerajaan Allah itu.
Tepatlah apa yang dikatakan oleh Paulus, “Ia
mendidik kita supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan
supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini
dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan
pernyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus,..”(Titus
2: 12,13)
Mohon dukungan doa untuk saya sudah 5 tahun sakit stroke dan insomnia. Terima kasih. Melchior Suroso
BalasHapus