Syahdan, ada seorang Syekh
yang hidup sederhana. Ia makan sekedar apa yang dibutuhkan tubuhnya. Karena
profesinya sebagai nelayan, pagi-pagi ia memancing ikan. Setelah mendapat
banyak ikan, ia membelah ikan-ikan itu menjadi dua; batang tubuh ikan-ikan itu
dibagikan kepada para tetangganya, sementara kepalanya ia kumpulkan untuk
dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan, maka ia dijuluki “Syekh
Kepala Ikan”. Ia seorang Sufi yang memiliki banyak murid. Salah seorang
muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan Syekh
Kepala Ikan ini mempunyai seorang guru Sufi besar di sana. “Tolong mampir ke
kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,” pesan Syekh kepada
muridnya.
Si murid pun pergi untuk
berdagang. Setiba di Mursia, ia mencari-cari rumah si Syekh itu. Dalam
benaknya, terbayang akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Namun
ternyata orang menunjukkannya ke sebuah rumah besar dan luas. Ia tidak percaya,
mana ada seorang Sufi besar tinggal di bangunan mewah dan mentereng, penuh
dengan pelayan-pelayan, dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Ia terheran-heran.
“Guru saya hidup dengan sederhana, sementara orang ini sangat mewah, bagaimana
ia bisa menjadi gurunya guru saya?” Gumamnya dalam hati.
Ia pun masuk dan menyampaikan
tujuan kedatangannya. Ia menyampaikan salam dari gurunya dan memintakan nasihat
untuk gurunya di kampung. Syekh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu
memikirkan dunia.” Si murid tambah bingung dan sedikit kesal karena tidak bisa
mengerti. Syekh ini hidupnya demikian kaya raya dan ketika diminta nasihat oleh
orang yang hidupnya sederhana, malah menyuruh jangan memikirkan dunia?
Sekembalinya sang murid ke
kampung halamannya, ia menyampaikan nasihat yang diperolehnya kepada gurunya. Sang
guru menanggapi dengan sedikit tersenyum dan terlihat sedikit sedih. Si murid
semakin tidak mengerti. Apa maksudnya nasihat seperti ini? Gurunya menjawab, “Syekh
Akbar itu benar. Menjalani tasawuf
itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh
kekayaan yang dimiliki dan tetap terpaut kepada Allah. Bisa jadi seseorang
miskin harta terus, tetapi hatinya memikirkan dunia. Saya sendiri, ketika makan
kepala ikan, masih sering membayangkan betapa enaknya memakan dagingnya!”
(Syekh Besar dalam kisah ini adalah Ibn Arabi, seorang Sufi tersohor lahir 28
Juli 1165 di Al-Andalus, Spanyol).
Meminjam Jusuf Sutanto,
pengarang “Kearifan Timur”, kisah ini
mengajarkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan
sufi (baca: spiritualitas yang baik) dan menjadi miskin tidaklah otomatis
mendekatkan orang pada kehidupan sufi. Dalam bahasa yang sama, menjadi orang
kaya tidak mesti egois dan egosentris serta menindas yang lemah. Dalam kekayaannya
seseorang malah punya banyak kesempatan untuk berempati, berbagi dengan sesama.
Sebaliknya dengan kemiskinannya, seorang yang miskin tidaklah harus memposisikan
diri sebagai orang yang berhak menerima kebajikan dan menghalalkan pelbagai
cara untuk mengatasi kemiskinannya. Sayangnya kebanyakan penguasa dan orang
kaya dalam kisah Nabi-nabi Perjanjian Lama, alih-alih peduli kepada yang papa,
mereka menindas dan memerasnya.
Alkitab banyak bicara tentang
kepedulian Allah terhadap mereka yang lemah dan miskin. Mereka yang sederhana! Namun,
kalau seksama kita perhatikan bukan kriteria miskin saja yang utama sehingga
Allah mau peduli dan berkenan. Adalah mereka yang tulus hatinya dan berpegang
teguh pada kebenaran dan menjadi korban penindasan! Pada zaman Nabi Mikha
(733-701 SM), misalnya. Mikha mengutuk para pemimpin dan orang-orang kaya.
Mikha melawan mereka bukan lantaran mereka kaya dan berkuasa, lalu ia ngiri dengan posisi mereka. Bukan, bukan
itu! Ia melawan mereka karena mereka memberontak terhadap Allah dan didukung
oleh nabi-nabi palsu (Mikha 3:9-12). Mereka
memeras dan menindas rakyat, mereka korup dan memiskinkan rakyatnya! Dalam
kondisi inilah Mikha mengajak kaum miskin dan papa untuk percaya kepada TUHAN
dan mencari tatanan yang benar dari Kerajaan-Nya. Tetap hidup benar walau
tertindas. Di sinilah muncul benih-benih pengharapan akan datangnya Mesias.
Mikha mempunyai pengharapan
bahwa akan datang saatnya kelaliman sirna dan pemerintahan baru yang mendirikan
Kerajaan Allah terjadi. Raja itu akan memerintah dengan baik. Ia akan menjadi
gembala yang bekerja dengan kekuatan dan keagungan Tuhan. Musuh-musuh tidak
akan mampu menyerang dan melawannya. Namanya besar sampai ke ujung bumi. Kerajaan-Nya kekal untuk selama-lamanya. Ia
adalah Mesias (Mikha 5:3-7)
Alkitab menyatakan dan orang
Kristen mengamini bahwa Mesias yang dinantikan itu lahir dari buah rahim orang
sederhana. Maria! Ia bukanlah anak bangsawan atau pejabat melainkan wanita
biasa. Wanita yang tunduk dan taat kepada Allah. Maria memberi tempat utama
untuk rencana Tuhan dalam hidupnya. Ketika Malaikat Gabriel memberi tahu
rencana Allah untuk kelahiran Sang Mesias itu, Maria telah mempunyai rencana.
Ia telah bertunangan dengan Yusuf! Namun, rencananya ia letakan di bawah rencana
Allah (Lukas 1:26-38). Inilah yang kemudian menjadi nyanyian refleksi Maria, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku
bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab ia telah memperhatikan kerendahan
hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku
berbahagia, karena yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar
kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.” (Lukas 1:46-49). Maria memberi tempat
untuk rencana Tuhan maka Tuhan berkenan kepadanya. Tuhan meninggikan
orang-orang yang rendah hati dan merendahkan diri.
Jika Allah sedemikian rupa
peduli dan memperhatikan manusia-manusia sederhana baik pada zaman Nabi Mikha,
maupun Maria. Mestinya kita dapat melihat bahwa Allah ingin umat-Nya meneruskan
kepedulian yang sama. Mereka yang tersisih bahkan disisihkan oleh penguasa yang
korup, oleh pengusaha yang serakah, yang matanya tertutup oleh Rupiah dan
Dollar, sehingga tidak lagi melihat bahwa di dalam diri sesamanya itu ada
gambar Allah. Mereka itulah yang seharusnya menjadi kepedulian gereja! Gereja
mestinya menunjukkan belarasa dan empatinya terhadap mereka.
“Syekh Kepala Ikan” dalam
hidupnya menunjukkan empati luar biasa terhadap para tetangganya yang miskin
hingga ia rela hanya memakan kepala ikan karena daging ikan yang lezat telah ia
bagikan kepada mereka yang memerlukannya. Namun, sayang sebenarnya dalam hati
ia menginginkan daging ikan itu. Ada banyak tindakan yang kelihatannya sebuah
kepedulian (empati) namun di dalamnya terselip popularitas yang ia dambakan.
Ada banyak tindakan gereja yang kelihatannya menerjemahkan “keberpihakan Tuhan
kepada yang lemah” namun di dalamnya terselip motif-motif tertentu: supaya
gereja dikenal sebagai lembaga yang peduli kepada yang lemah, atau supaya
gereja aman dari tindakan anarki dan kecemburuan sosial, bisa juga motif
mudah-mudahan saja mereka tertarik pada kebaikan gereja dan menjadi anggota
gereja. Masih adakah motif itu didasarkan pada cinta kasih yang
setulus-tulusnya seperti Tuhan mencintai kita? Tanpa pamrih!
Bukti Tuhan mencintai kita
tanpa pamrih adalah ketika Ia sendiri memberikan diri-Nya sebagai korban
persembahan yang sempurna melebihi apa pun. Ibrani 10 : 5-10 mencatat bahwa
kedatangan Yesus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan apa yang telah ada
dalam Perjanjian Lama, khususnya mengenai korban bakaran dan korban penghapus
dosa. Hewan yang telah ditentukan dalam tradisi Perjanjian Lama dapat dijadikan
sarana penggati manusia yang berdosa. Hewan itu diserahkan kepada imam untuk
dikorbankan. Mestinya manusia menyadari ketika melihat hewan yang dipotong itu.
Manusia berdosa itulah yang seharusnya mati.
Tradisi Perjanjian Lama itu
menghantar kepada korban yang sesungguhnya, yakni Yesus Kristus. Yesuslah
korban itu! Ia mengatakan, “Sungguh, Aku datang
untuk melakukan kehendak-Mu.” (Ibr. 10:9) Sehingga penulis Ibrani
menyimpulkan, “Dan karena kehendak-Nya
inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan
tubuh Yesus Kristus.” (Ibr.10:10) Dalam nas ini kita belajar bahwa Allah
mengasihi manusia dalam diri Yesus Kristus yang mau berkorban tanpa pamrih,
mestinya kita pun mengikuti teladanNya.
Ketika kita berkecukupan,
ingatlah bahwa dalam rejeki kita terkandung sebuah amanat untuk berbagi
terhadap sesama. Sekali lagi bukan dengan motivasi yang akhirnya berpulang
kepada kemuliaan diri sendiri. Seolah-olah kita sedang “menanam saham budi baik.”
Namun seperti cinta kasih Tuhan. Cinta yang tanpa pamrih! Sebaliknya ketika
kondisi kita kurang beruntung. Bukan menjadi alasan untuk tidak dapat berbagi
dan berempati.Tuhan banyak memakai orang-orang sederhana untuk rencana-Nya. Jadilah seperti Maria
yang tetap rendah hati, taat dan setia dalam rencana Tuhan. Di sinlah kita akan merasakan indahnya hidup
dalam rencana Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar