Kamis, 20 Desember 2012

INDAHNYA BEREMPATI TERHADAP MEREKA YANG LEMAH

Syahdan, ada seorang Syekh yang hidup sederhana. Ia makan sekedar apa yang dibutuhkan tubuhnya. Karena profesinya sebagai nelayan, pagi-pagi ia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, ia membelah ikan-ikan itu menjadi dua; batang tubuh ikan-ikan itu dibagikan kepada para tetangganya, sementara kepalanya ia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan, maka ia dijuluki “Syekh Kepala Ikan”. Ia seorang Sufi yang memiliki banyak murid. Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan Syekh Kepala Ikan ini mempunyai seorang guru Sufi besar di sana. “Tolong mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,” pesan Syekh kepada muridnya.

Si murid pun pergi untuk berdagang. Setiba di Mursia, ia mencari-cari rumah si Syekh itu. Dalam benaknya, terbayang akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Namun ternyata orang menunjukkannya ke sebuah rumah besar dan luas. Ia tidak percaya, mana ada seorang Sufi besar tinggal di bangunan mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan, dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Ia terheran-heran. “Guru saya hidup dengan sederhana, sementara orang ini sangat mewah, bagaimana ia bisa menjadi gurunya guru saya?” Gumamnya dalam hati.

Ia pun masuk dan menyampaikan tujuan kedatangannya. Ia menyampaikan salam dari gurunya dan memintakan nasihat untuk gurunya di kampung. Syekh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia.” Si murid tambah bingung dan sedikit kesal karena tidak bisa mengerti. Syekh ini hidupnya demikian kaya raya dan ketika diminta nasihat oleh orang yang hidupnya sederhana, malah menyuruh jangan memikirkan dunia?

Sekembalinya sang murid ke kampung halamannya, ia menyampaikan nasihat yang diperolehnya kepada gurunya. Sang guru menanggapi dengan sedikit tersenyum dan terlihat sedikit sedih. Si murid semakin tidak mengerti. Apa maksudnya nasihat seperti ini? Gurunya menjawab, “Syekh Akbar itu benar. Menjalani tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh kekayaan yang dimiliki dan tetap terpaut kepada Allah. Bisa jadi seseorang miskin harta terus, tetapi hatinya memikirkan dunia. Saya sendiri, ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan betapa enaknya memakan dagingnya!” (Syekh Besar dalam kisah ini adalah Ibn Arabi, seorang Sufi tersohor lahir 28 Juli 1165 di Al-Andalus, Spanyol).

Meminjam Jusuf Sutanto, pengarang “Kearifan Timur”, kisah ini mengajarkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi (baca: spiritualitas yang baik) dan menjadi miskin tidaklah otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufi. Dalam bahasa yang sama, menjadi orang kaya tidak mesti egois dan egosentris serta menindas yang lemah. Dalam kekayaannya seseorang malah punya banyak kesempatan untuk berempati, berbagi dengan sesama. Sebaliknya dengan kemiskinannya, seorang yang miskin tidaklah harus memposisikan diri sebagai orang yang berhak menerima kebajikan dan menghalalkan pelbagai cara untuk mengatasi kemiskinannya. Sayangnya kebanyakan penguasa dan orang kaya dalam kisah Nabi-nabi Perjanjian Lama, alih-alih peduli kepada yang papa, mereka menindas dan memerasnya.

Alkitab banyak bicara tentang kepedulian Allah terhadap mereka yang lemah dan miskin. Mereka yang sederhana! Namun, kalau seksama kita perhatikan bukan kriteria miskin saja yang utama sehingga Allah mau peduli dan berkenan. Adalah mereka yang tulus hatinya dan berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi korban penindasan! Pada zaman Nabi Mikha (733-701 SM), misalnya. Mikha mengutuk para pemimpin dan orang-orang kaya. Mikha melawan mereka bukan lantaran mereka kaya dan berkuasa, lalu ia ngiri dengan posisi mereka. Bukan, bukan itu! Ia melawan mereka karena mereka memberontak terhadap Allah dan didukung oleh nabi-nabi palsu (Mikha 3:9-12).  Mereka memeras dan menindas rakyat, mereka korup dan memiskinkan rakyatnya! Dalam kondisi inilah Mikha mengajak kaum miskin dan papa untuk percaya kepada TUHAN dan mencari tatanan yang benar dari Kerajaan-Nya. Tetap hidup benar walau tertindas. Di sinilah muncul benih-benih pengharapan akan datangnya Mesias.

Mikha mempunyai pengharapan bahwa akan datang saatnya kelaliman sirna dan pemerintahan baru yang mendirikan Kerajaan Allah terjadi. Raja itu akan memerintah dengan baik. Ia akan menjadi gembala yang bekerja dengan kekuatan dan keagungan Tuhan. Musuh-musuh tidak akan mampu menyerang dan melawannya. Namanya besar sampai ke ujung bumi.  Kerajaan-Nya kekal untuk selama-lamanya. Ia adalah Mesias (Mikha 5:3-7)

Alkitab menyatakan dan orang Kristen mengamini bahwa Mesias yang dinantikan itu lahir dari buah rahim orang sederhana. Maria! Ia bukanlah anak bangsawan atau pejabat melainkan wanita biasa. Wanita yang tunduk dan taat kepada Allah. Maria memberi tempat utama untuk rencana Tuhan dalam hidupnya. Ketika Malaikat Gabriel memberi tahu rencana Allah untuk kelahiran Sang Mesias itu, Maria telah mempunyai rencana. Ia telah bertunangan dengan Yusuf!  Namun, rencananya ia letakan di bawah rencana Allah (Lukas 1:26-38). Inilah yang kemudian menjadi nyanyian refleksi Maria, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.” (Lukas 1:46-49). Maria memberi tempat untuk rencana Tuhan maka Tuhan berkenan kepadanya. Tuhan meninggikan orang-orang yang rendah hati dan merendahkan diri.

Jika Allah sedemikian rupa peduli dan memperhatikan manusia-manusia sederhana baik pada zaman Nabi Mikha, maupun Maria. Mestinya kita dapat melihat bahwa Allah ingin umat-Nya meneruskan kepedulian yang sama. Mereka yang tersisih bahkan disisihkan oleh penguasa yang korup, oleh pengusaha yang serakah, yang matanya tertutup oleh Rupiah dan Dollar, sehingga tidak lagi melihat bahwa di dalam diri sesamanya itu ada gambar Allah. Mereka itulah yang seharusnya menjadi kepedulian gereja! Gereja mestinya menunjukkan belarasa dan empatinya terhadap mereka.

“Syekh Kepala Ikan” dalam hidupnya menunjukkan empati luar biasa terhadap para tetangganya yang miskin hingga ia rela hanya memakan kepala ikan karena daging ikan yang lezat telah ia bagikan kepada mereka yang memerlukannya. Namun, sayang sebenarnya dalam hati ia menginginkan daging ikan itu. Ada banyak tindakan yang kelihatannya sebuah kepedulian (empati) namun di dalamnya terselip popularitas yang ia dambakan. Ada banyak tindakan gereja yang kelihatannya menerjemahkan “keberpihakan Tuhan kepada yang lemah” namun di dalamnya terselip motif-motif tertentu: supaya gereja dikenal sebagai lembaga yang peduli kepada yang lemah, atau supaya gereja aman dari tindakan anarki dan kecemburuan sosial, bisa juga motif mudah-mudahan saja mereka tertarik pada kebaikan gereja dan menjadi anggota gereja. Masih adakah motif itu didasarkan pada cinta kasih yang setulus-tulusnya seperti Tuhan mencintai kita? Tanpa pamrih!

Bukti Tuhan mencintai kita tanpa pamrih adalah ketika Ia sendiri memberikan diri-Nya sebagai korban persembahan yang sempurna melebihi apa pun. Ibrani 10 : 5-10 mencatat bahwa kedatangan Yesus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan apa yang telah ada dalam Perjanjian Lama, khususnya mengenai korban bakaran dan korban penghapus dosa. Hewan yang telah ditentukan dalam tradisi Perjanjian Lama dapat dijadikan sarana penggati manusia yang berdosa. Hewan itu diserahkan kepada imam untuk dikorbankan. Mestinya manusia menyadari ketika melihat hewan yang dipotong itu. Manusia berdosa itulah yang seharusnya mati.  

Tradisi Perjanjian Lama itu menghantar kepada korban yang sesungguhnya, yakni Yesus Kristus. Yesuslah korban itu! Ia mengatakan, “Sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu.” (Ibr. 10:9) Sehingga penulis Ibrani menyimpulkan, “Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus.” (Ibr.10:10) Dalam nas ini kita belajar bahwa Allah mengasihi manusia dalam diri Yesus Kristus yang mau berkorban tanpa pamrih, mestinya kita pun mengikuti teladanNya.  

Ketika kita berkecukupan, ingatlah bahwa dalam rejeki kita terkandung sebuah amanat untuk berbagi terhadap sesama. Sekali lagi bukan dengan motivasi yang akhirnya berpulang kepada kemuliaan diri sendiri. Seolah-olah kita sedang “menanam saham budi baik.” Namun seperti cinta kasih Tuhan. Cinta yang tanpa pamrih! Sebaliknya ketika kondisi kita kurang beruntung. Bukan menjadi alasan untuk tidak dapat berbagi dan berempati.Tuhan banyak memakai orang-orang sederhana untuk rencana-Nya.  Jadilah seperti Maria yang tetap rendah hati, taat dan setia dalam rencana Tuhan.  Di sinlah kita akan merasakan indahnya hidup dalam rencana Tuhan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar