Dalam abad, moderen bahkan sebagaian orang mengatakan jaman post moderen yang dipenuhi praktik bisnis, persaingan, profesionalisme, dan kemerosotan moral ini, manusia terhebat adalah manusia yang memiliki karakter, bukannya manusia yang memiliki uang bermilyar-milyar. Manusia yang memiliki hati! Manusia yang kuat adalah manusia yang memutuskan untuk melakukan hal-hal yang benar, manusia yang lebih mementingan kejujuran, merekalah yang bisa berdiri tegak di tengah-tengah masyarakat dan tampil di pentas dunia.
Karakter (καρασσω: to mark) arti harafiahnya: “menandai/mengukir”, yang memusatkan bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berprilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter buruk, sebaliknya orang yang jujur, suka menolong, peduli terhadap sesamanya disebut memunyai karakter mulia. Karakter adalah salah satu penggerak motivasi terdasyat di dunia. Dalam bentuknya yang paling mulia, karakter menunjukkan kodrat manusia dalam bentuknya yang teragung, karena karakterlah yang mengarahkan manusia menjadi dirinya dalam bentuknya yang terbaik. Dengan tidak adanya karakter yang baik, prilaku manusia tidak ubahnya seperti binatang; saling memangsa dan yang kuatlah yang menang. Bertindak tanpa moralitas dan etika! Manusia terbusuk adalah manusia yang memiliki banyak kekayaan material tetapi miskin dalam karakter.
“Karakter adalah ciri utama manusia yang membedakannya dari hewan. Karakter adalah diri kita sendiri, sedangkan reputasi adalah pendapat atau pandangan orang lain tentang diri kita”, demikian pendapat Sidney Newton Bremer (seorang motivator). Karakter terletak dalam jiwa kita masing-masing, sedangkan reputasi adalah kesan orang lain. Karakter memberikan nilai bagi diri kita sendiri sedangkan reputasi merupakan nilai yang diberikan orang lain terhadap kita. Pada umumnya orang lebih tertarik kepada pendapat orang lain tentang diri mereka ketimbang diri mereka yang sebenarnya. Akibatnya lebih suka membangun reputasi dan pencitraan ketimbang membangun karakter unggul.
Indonesia pernah punya reputasi yang membanggakan. Dunia internasional pernah memasukkan negeri di jamrud katulistiwa ini sebagai salah satu “Macan Asia” (di samping China dan India) dengan segala potensi yang dimilikinya. Namun, peristiwa 1998 adalah batu uji. Ternyata julukan Macan Asia bukanlah optimisme real. Macan itu tidak mampu menghadapi badai ekonomi, sosial, politik, keamanan apalagi badai moralitas, kebenaran dan keadilan. Macan itu tidak punya gigi, sehingga setiap kesempatan terlewatkan tanpa makna. Macan ompong! Tidak punya karakter. Indonesia, kita tampaknya lebih suka membangun reputasi ketimbang karakter.
Reputasi kita adalah negara Pancasila, bangsa yang toleran, bangsa agamis, ramah dan suka menolong: gotong-royang, dll . Pokoknya yang indah-indah didengar. Benarkah? Tentang hal ini, Anda tentu bisa berkomentar. Tengoklah seonggok masalah yang membuat dunia mencibir negeri ini: kasus GKI Taman Yasmin, HKBP Filadelfia, setumpuk kasus korupsi yang melibatkan penggede, pembalakkan hutan, dll. Reputasi, tentu tidak dapat diremehkan. Namun, mestinya bukanlah hal yang semu seperti yang alergi kita dengar: pencitraan. Melainkan buah dari karakter mulia yang terpelihara dengan baik.
Israel pada masa kekuasaan Raja Yerobeam II (786-750 sM) berada dalam masa kemakmuran, meskipun masih di bawah keemasan jaman Daud dan Salomo. Keadaan ini tidak dipakai sebagai kesempatan yang baik untuk membangun karakter. Yerobeam dan birokratnya lebih suka membangun reputasi. Hidup dalam kenyamanan semu. Pada masa itu banyak nabi dan imam yang selalu mendukung kebijakan penguasa. Mereka melegitimasi bahwa ibadah dan kebijakan yang dilakukan oleh raja berkenan kepada Tuhan. Dampaknya, Allah akan melimpahkan kemakmuran dan penyertaan kepada bangsa itu. Para nabi dan imam tidak pernah sedikit pun mengeritisi kondisi sosial dan spiritual bangsa itu. Padahal, yang sedang terjadi adalah: ketimpangan, ketidakadilan dan kemunafikan.
Pengusaha berkolusi dengan pejabat pemerintah, hakim memenangkan siapa yang bisa membayar lebih tinggi, para petani, rakyat miskin merupakan obyek lintah darat. Berikut ini sebagian gambaran moralitas Israel pada jaman itu:
“Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut; mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara; anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda, sehingga melanggar kekudusan nama-Ku; mereka merebahkan diri di samping setiap mezbah di atas pakaian gadai orang, dan minum anggur orang-orang yang kena denda di rumah Allah mereka.”(Amos2:6b-8)
Umat pilihan Allah ini sama sekali tidak punya karakter sebagai umat unggulan. Tidak lebih dari binatang! Namun, herannya dalam kondisi seperti ini, Para penguasa, nabi-nabi istana dan para imam Israel optimis Allah akan terus menyertai mereka asalkan mereka tetap memelihara ritual di Bait Allah dan menjamin kelangsungan hidup para ulamanya. Para ulama tersandera, bungkam! Para ulama berhasil mereka suap, lantas mereka berpikir Tuhan pun bisa disuap melalui ritual ibadah dan persembahan! Sungguh keliru, Tuhan membenci cara hidup seperti itu. Bacalah Amos 5:21-27, yang diberi judul oleh LAI, “Ibadah Israel Dibenci TUHAN.” Tuhan menghendaki, “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”(Am.5:24)
Kini muncullah seorang Amos. Petani dari desa Tekoa. Ia menyuarakan suara kenabian, Allah membenci praktek ibadah yang memisahkan ritual dari kehidupan sosial. Allah menolak ibadah seperti itu. Munafik! Dalam penglihatannya yang dicatat dalam kitab Amos 7:7-9, Tuhan memperlihatkan kepada Amos seutas tali sipat. Tali yang biasa dipergunakan oleh tukang bangunan untuk mengukur dan menimbang apakah tembok yang dibangun itu sudah tegak-lurus atau belum. Tembok tegak-lurus merupakan lambang keadilan dan kebenaran Allah. Allah akan menaruh tali sipat itu di tengah-tengah bangsa Israel. Artinya Allah sendiri akan menilai/menghakimi kehidupan umat Israel, apakah tegak lurus – sesuai dengan firman dan perjanjian Allah – ataukah sudah melenceng jauh dari kehendakNya.
Tentu saja, seperti tembok yang kedapatan miring dan harus dibongkar atau diruntuhkan, begitu juga umat Israel. Umat Israel yang tidak lurus ini harus diruntuhkan, dirombak total dan dibangun kembali bukan di atas dasar reputasi atau pencitraan apalagi kemunafikan tetapi dalam rasa takut dan hormat akan Tuhan. Karakter mereka harus dibangun ulang. Maukah bangsa itu melakukannya? Ternyata tidak! Dan “pembongkaran tembok” itu terjadi. Israel diluluhlantakkan bahkan Bait Allah yang menjadi kebanggaan mereka hancur dan dinistakan. Itulah jaman pembuangan Israel. Allah tidak segan merombak dan meruntuhkan apa yang salah!
Bercermin pada bangsa Israel ini, mestinya kita harus menata ulang. Membangun kembali karakter yang selama ini terabaikan demi mengejar reputasi dan ambisi. Membangun masa depan tidak cukup dengan optimisme bahwa kita sudah melakukan ritual dengan cermat. Ritual ibadah itu masih harus diuji oleh “tali sipat Allah”, yakni dalam kehidupan bermasyarakat. Ingatlah Allah tidak segan untuk merombak dan meruntuhkan yang salah, meskipun umat kesayanganNya sendiri. Bagaimana dengan kita? Bagaimana di negeri ini? Adakah keadilan dan kebenaran Allah itu terus bergulung-gulung seperti air dan selalu mengalir seperti sungai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar