Kamis, 28 Agustus 2025

LANGKAH KECIL HATI BESAR

Sebuah kamar kecil di Harvard, seorang mahasiswa sibuk mengetik di depan komputernya. Ia punya mimpi besar; bagaimana caranya mahasiswa di universitas itu bisa terhubung satu dengan yang lainnya, mereka bisa melihat profil teman-temannya secara online. Langkah kecil ini dimulai dengan meluncurkan Facemash, situs iseng yang membandingkan foto mahasiswa. Situs ini cepat populer, tetapi segera dibredel pihak kampus karena dianggap meresahkan.

 

Gagal, tidak membuat mahasiswa itu murung apalagi putus asa. Ia melihat ide dasar sebagai sumber motivasinya, bahwa manusia itu mempunyai kebutuhan untuk saling terhubung. Setahun berlalu, awal 2004 bersama sahabatnya, Eduardo Saverin dan beberapa teman sekamarnya, yakni Dustin Moskovitz, Andrew McCollum, Chris Hughes, meluncurkan apa yang kita sebut sekarang dengan Facebook!

 

Ya, mahasiswa yang punya ide besar itu adalah Mark Zuckerberg. Facebook lahir dari ide sederhana, setiap mahasiswa bisa membuat profil, mengunggah foto, dan terhubung dengan teman-temannya. Dahsyat, dalam hitungan minggu setengah mahasiswa Harvard sudah mendaftar. Viral, ia segera menyebar dari Harvard merambah ke Yale, Stanford, hingga kampus-kampus lain. Namun, kesuksesan ini bukan tanpa masalah. Beberapa senior Harvard, seperti: Cameron & Tyler Winklevoss, serta Divya Narendra, menuduh Mark mencuri ide mereka untuk situs HarvardConnection. Gugatan hukum pun terjadi. Di balik tantangan yang harus dihadapi, Mark yakin bahwa Facebook bisa lebih dari sekedar situs mahasiswa – ia bisa mengubah cara manusia berkomunikasi!

 

Pada tahun 2006 Facebook dibuka untuk umum, bukan hanya mahasiswa. Fitur-fitur seperti News Feed, Like Botton, dan Messenger membuat jutaan orang betah menikmati situs ini berlama-lam. Puncaknya, pada 2012 facebook resmi melantai di bursa saham dengan valuasi lebih dari $ 100 miliar, menjadikannya sebagai salah satu perusahaan teknologi terbesar sepanjang sejarah!

 

Visi besar itu lahir dari ruang kecil, dari kamar asrama sederhana, oleh orang-orang sederhana. Dari situ kampus menjadi jejaring sosial raksasa yang menyatukan miliaran orang di seluruh dunia. Mark Zuckerberg pernah berkata, “Facebook bukan hanya tentang teknologi, Ini tentang menghubungkan orang.” (Dari berbagai sumber).

 

Setiap orang punya kerinduan untuk berkembang dan menjadi besar. Punya nama besar, pengaruh besar, bisnis besar, dan seterusnya. Tidak ada yang salah untuk mimpi-mimpi besar. Namun, sering kali cita-cita besar tidak disertai dengan visi dan motivasi kuat yang mendasari untuk apa menjadi besar? Banyak orang lupa bahwa mimpi besar harus diimbangi dengan konsistensi, ketekunan dan tahan uji! 

 

Banyak orang mudah tergiur oleh keberhasilan, kemewahan dan hidup menterengnya orang lain. Lalu, membayangkan betapa mudahnya, nyaman dan enaknya hidup seperti mereka itu. Maka tidak mengherankan orang ingin cepat menjadi kaya, tenar, berkuasa dengan cara instan. Caranya? Suap, korupsi, gambling, menjilat, dan membunuh nurani! Hari-hari belakangan ini kita disuguhkan dengan banyak berita tentang bagaimana orang ingin menjadi cepat kaya, cepat berkuasa dan mempunyai nama besar. Ujungnya, berakhir tragis!

 

Berita firman Tuhan hari ini Amsal 25:6-7 mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan keinginan menjadi besar dengan motivasi dan cara yang keliru: "Janganlah berlagak di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar. Karena lebih baik orang berkata kepadamu, “Naiklah ke sini,” daripada engkau direndahkan di hadapan orang mulia.” 

Kata “berlagak” atau dalam bahasa Ibraninya teqaddem berasal dari akar kata qdm yang artinya "maju" atau "mengajukan diri ke depan". Dalam konteks ini, mengandung arti mencoba memaksakan posisi atau kedudukan yang belum sewajarnya, atau melangkah melewati batas kewajaran ke hadapan raja, alias terlalu ambisius untuk menduduki posisi tinggi sebelum waktunya. 

Frasa “berdiri di tempat para pembesar” atau dalam Ibraninya bemaqom livnei gadol secara harfiah berarti "di tempat anak-anak besar (orang-orang penting)." Maka artinya adalah, upaya untuk mengambil posisi atau kehormatan yang seharusnya dipersiapkan dan diberikan sesuai waktu yang tepat. Sehingga secara tekstual, pesan yang ingin disampaikan oleh penulis Amsal agar mawas diri terhadap kesombongan dan keinginan memaksakan diri untuk dihormati atau berdiri di posisi terhormat sebelum waktunya. 

Hari-hari ini kita – atau lebih tepatnya saya – muak dengan banyak orang yang merasa diri penting, berkuasa dan menuntut penghormatan. Nyatanya, bicara tidak sesuai fakta dan data, teknik menghitung lebih parah dari anak kelas enam SD, memberikan pernyataan yang merendahkan rakyat, dan kebodohan-kebodohan lain yang tidak perlu. Bukankah hal ini membuktikan kebenaran frasa “berdiri di tempat para pembesar, melewati batas kewajaran, dan berdiri di posisi terhormat sebelum waktunya.”? Apa hasil akhir dari semuanya ini? Tontonan memalukan!

Amsal menginginkan agar para pembacanya tidak dipermalukan atau lebih tepatnya mempermalukan diri sendiri. Amsal 25:6,7 mengajak kita untuk memahami dan menghargai sebuah proses. Untuk sebuah pencapaian maka harus ada proses yang dijalani. Proses atau usaha tidak pernah menghianati hasil atau pencapaian. Dengan kata lain, pencapaian atau hasil adalah buah dari setiap keuletan yang diperjuangkan sungguh-sungguh, maka dengan sendirinya penghargaan tidak usah dikejar. Penghargaan dan pengakuan hadir sebagai sebuah keniscayaan!

Benar, gaya hidup hedon yang mempertontonkan kemewahan selalu menggoda untuk orang berlomba secepat mungkin menjadi kaya, hebat dan berkuasa. Namun, Amsal melihat jauh lebih dalam ketimbang kebutuhan untuk diakui dan dihormati. Ia menawarkan makna hidup lewat kesederhanaan dan otentisitas. Jangan merasa rendah hati apabila Anda tidak terlihat sekeren dan kaya orang lain. Bangunlah reputasi Anda melalui hal-hal yang tampaknya sederhana, tetapi dengan kesungguhan hati yang besar. Tanamkan cinta dalam kesederhanaan bagi buah hati Anda sejak dini. Adalah jauh lebih berharga mengajarkan kecintaan terhadap sebuah mata pelajaran di sekolah ketimbang menuntut anak-anak mendapatkan nilai yang tinggi.

Jika Anda melihat keadaan bangsa negeri ini carut-marut, berhentilah mengeluh. Mulailah langkah kecil dalam keluarga Anda. Bukankah baik-buruknya sebuah bangsa sangat bergantung dari masyarakatnya. Dan, baik-buruknya masyarakat sangat bergantung pada keluarga! Di sinilah kontribusi Anda dan saya. Tanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, cinta, dan kepedulian melalui hal-hal kecil sederhana. Facebook dimulai dari kamar asrama kecil yang penghuninya rindu agar setiap orang dapat terhubung satu dengan yang lainnya dan akhirnya menguasai dunia. Ruang kecil rumah Anda sangat mungkin jadi “rahim” tempat orang-orang hebat diproses Tuhan dan Andalah orang-orang kepercayaan Tuhan untuk merawat tumbuh-kembangnya mereka sehingga tatanan dunia baru bukan lagi mimpi utopia, melainkan pengharapan yang logis!

Jakarta, 28 Agustus 2025 Minggu Biasa XXII, Tahun C (Ibadah Intergenerasi GKI SW- Jabar)

 

  

 

 

Kamis, 21 Agustus 2025

GEREJA YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA

Plato menulis dalam karyanya Republik tentang “tirani”. Menurutnya, tirani adalah bentuk pemerintahan terburuk, lahir dari demokrasi yang kebablasan, di mana satu orang terpilih berkuasa mutlak dengan cara manipulatif dan menakut-nakuti rakyat. Sedangkan Aristoteles menolak tirani karena merupakan bentuk penyimpangan dari monarki, yakni penguasa menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat. Singkatnya, tirani merupakan kekuasaan absolut yang kejam, sewenang-wenang, dan menindas.

 

Hal yang menyedihkan adalah ‘tiran’ ini bukan hanya sebuah bentuk pemerintahan, tetapi dapat muncul juga dalam berbagai bentuk strata sosial masyarakat, komunitas dan organisasi termasuk sistem keagamaan. Jika dalam organisasi profan, aturan hukum dan perangkatnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk menyingkirkan dan membunuh karakter lawan politik, maka dalam sistem keagamaan; syareat, kesalehan dan ritual menjadi senjata ampuh untuk menempatkan orang pada derajat mulia dan menunjuk yang lain sebagai pendosa yang layak disingkirkan.

 

Tiran, kata ini berasal dari kata tyrannos, semula berarti “penguasa tunggal” namun kemudian mendapat label negatif. Awalnya (sezaman Nabi Yesaya), penggunaan kata ini dalam budaya Yunani tidaklah negatif. Istilah tiran merujuk pada seorang yang memimpin dan berkuasa dalam sebuah komunitas tanpa mengikuti aturan tradisional, misalnya ia tampil bukan dari kalangan bangsawan atau keturunan raja sebelumnya. Contohnya, di banyak polis (kota – negara), kekuasaan biasanya dipegang oleh bangsawan (aristokrat). Kadang muncul seorang tokoh yang didukung oleh rakyat jelata menggulingkan aristokrasi dan memegang kekuasaan penuh. Kota-kota Yunani seperti Korintus, Athena, dan Samos pernah diperintah oleh tiran. Menariknya, beberapa tiran justru membawa stabilitas, pembangunan ekonomi, dan perlindungan bagi rakyat kecil. 

 

Dalam sejarahnya, baik tiran, demokrasi, monarki, apa pun itu sistem kekuasaan mempunyai pedang bermata dua. Ia bisa dipergunakan untuk memuaskan hasrat kekuasaan atau bisa dipergunakan untukmendistribusikan keadilan dan memanusiakan manusia. Ini terjadi tanpa kecuali bahkan dalam sistem kehidupan religius di mana gereja ada di dalamnya.

 

Dalam masyarakat Yudaisme mengenal purity system (sistem kemurnian/ ketahiran/ kekudusan). Ini bukan perkara kebersihan fisik saja, tetapi sebuah kerangka sosial religius yang mengatur siapa yang dianggap “murni”, suci (tahir) dan siapa yang dikelompokkan “najis”/tidak tahir. Ini akan menentukan status dan derajat kesalehan. Kekudusan diwujudkan dalam pemisahan. Misal, antara suci – najis; Israel – bangsa lain; laki-laki – perempuan; sehat – sakit, selanjutnya makanan, tubuh dan seksualitas, tempat suci dan ibadah, kematian). Purity system membentuk hierarki religius: Imam Besar ® Imam ® Orang Lewi ® Orang Israel ® orang najis ®pendosa ®kafir. Purity system dalam Yudaisme bukan sekedar aturan ritual, tetapi sebuah sistem sosial-religius yang mengatur identitas, batasan, dan relasi antar manusia dengan Allah serta sesamanya. Ia menciptakan lapisan-lapisan sosial: semakin dekat pada pusat (Allah dan Bait Allah) maka semakin kudus, terhormat dan mulia. Sebaliknya, semakin jauh, semakin najis dan berdosa.

 

Sama seperti sistem apa pun yang disusun oleh manusia, semua seperti pedang bermata dua, bisa untuk mencapai tujuan mulia, tetapi juga dapat dipakai untuk mengukuhkan kekuasaan, kebanggaan, dan status sosial. Hal ini berlaku juga dengan purity system Yudaisme. Ia bisa menolong masyarakat hidup untuk hidup kudus di hadapan Allah yang kudus. Namun, bisa juga dipakai untuk menindas orang-orang yang berada di luar sistem itu. Padahal, justru orang-orang seperti inilah yang perlu diraih dan dirangkul agar merasakan dan mengalami kasih Allah; orang-orang yang harus dikembalikan dalam martabat kemanusiaannya yang utuh!

 

Seperti tirannos yang mendobrak monarki dan didukung jelata. Yesus tampil berbeda dari para klerus di zamannya. Seolah tak peduli bahkan berhadapan dengan purity system Yudaisme, Yesus menyentuh mayat dan orang kusta, makan bersama orang berdosa sambil berkata, “yang menajiskan orang bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut, melainkan yang keluar dari hati seseorang!” Tak segan Ia mendemontrasikan pemulihan justru di hari Sabat pada saat setiap orang Yahudi tidak boleh melakukan apa pun selain beribadah. 

 

Tidak mengherankan jika pemimpin rumah ibadah itu tidak hanya gusar, tetapi marah ketika Yesus memulihkan seorang perempuan yang telah delapan belas tahun bungkuk lantaran dirasuk kuasa roh jahat. Ia tidak gembira dengan pemulihan itu. Ia mempertanyakan, perempuan itu tidak dalam kondisi kritis darurat. Buktinya, perempuan itu bisa menjalani hidup dengan kondisi demikian selama delapan belas tahun. Apa salahnya datang di luar hari Sabat! Yesus memandang kondisi delapan belas tahun bukan dengan aturan yang membelenggu. Ia berada pada posisi perempuan yang menderita cukup lama, dan inilah saatnya perempuan itu dipulihkan! Yesus seorang tiran yang mendobrak sistem ketahiran dengan mengutamakan belas kasih di atas ritual!

 

Sejarah tirannos yang berakhir konotasi negatf dan dibenci karena merujuk pada kekuasan yang menindas menjadi sinyal peringatan buat gereja. Gereja dapat terjebak menciptakan purity system baru dengan sederet aturan Tata Gereja dan turunannya untuk memagari dan mengukuh diri sebagai entitas yang berbeda, terhormat dan mulia. Rasanya bukan seperti ini yang Tuhan mau. Saya kira kita sepakat bahwa Yesus tidak membenci dan menentang tatanan hukum. Ia berjalan melampaui dan melandasi hukum. Hukum atau aturan adalah sarana untuk menolong agar harkat martabat manusia dipulihkan, bukan penghambat pemulihan itu terjadi.

 

Sama seperti Yesaya yang hendak mengembalikan ritual kesalehan bukan untuk kemegahan individu, tetapi berdampak bagi kemanusiaan dan kehidupan komunal. Yesus terang-terangan memanggil perempuan itu di tengah-tengah ruang ibadah. Seolah Ia menegaskan bahwa ruang ibadah itu adalah tempat manusia dipulihkan. Pulih dari stigma negatif bahwa ia seorang perempuan berdosa dan karena itu dirasuki roh jahat dan sakit. Sekaligus ia pulih dari penderitaan fisik yang menyengsarakannya selama delapan belas tahun. Bukankah ini patut disyukuri?

 

Hari ini kita merayakan kehadiran gereja kita GKI ke-37 yang berangkat dari penyatuan ketiga sinode yang sekarang disebut Sinode Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi Sinode Gereja Kristen Indonesia. Momentum yang baik untuk kita tafakur, apakah sampai hari ini GKI berada dalam derap yang sama dengan “Sang Tiran” yang memulihkan ataukah sedang sibuk membangun tembok-tembok mercu suar? Apakah ruang-ruang ibadah menjadi tempat demonstrasi pemulihanAtau kita sedang membangun tirani yang membatasi kasih karunia Allah yang memulihkan itu? 

 

Jakarta, 21 Agustus 2025, Minggu Biasa XXI, Tahun C (HUT GKI ke-37)