“Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki dan perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak Menteri, anak jendral, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,…
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilangan tak habis dan tak putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat diinjak dan dilunyah lumat-lumat.”
(Sepenggal syair bait III karya Taufik Ismail dalam bukunya, “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”/ November 1998)
Sepertinya, tidak banyak berubah apa yang dipotret melalui lensa puitis Taufik Ismail 27 Tahun yang lalu dengan zaman kiwari, alih-alih catatan jurnalis, “nubuatnya” menemukan penggenapannya! Pemimpin, penguasa, dan orang-orang yang punya pengaruh memanfaatkan posisi mereka dengan nyaris sempurna untuk pemuasan naluri nafsu serakah! Mereka tidak sedang memimpin sebuah bangsa dan rakyat yang besar ke arah kemakmuran yang berkeadilan, alih-alih menjerumuskan pada jurang penderitaan!
Suara para Taufik Ismail mirip-mirip Yeremia di tengah bangsanya yang munafik. Retorika Yeremia yang berusaha diberangus oleh sang penguasa bagaikan pedang tajam yang menghujam jantung para penguasa, “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!... Maka ketahuilah, Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat…” (Yeremia 23:1,2).
Tidak kalah pedas, kata-kata Yeremia lebih tajam ketimbang diksi Taufik Ismail. Ia menggunakan kiasan dan figuratif, “berzina”, “memakan daging umat” dan “menyesatkan seluruh umat” untuk melukiskan para pejabat dan para penguasa. Tentu saja, di balik sikap para penguasa itu ada para penjilat yang menyelimuti diri dengan jubah penasihat spiritual. Nabi palsu! Mereka digambarkan bukan hanya gagal memimpin dengan benar, tetapi sebagai predator yang merusak moralitas umat.
Yeremia mengecam praktik-praktik kesalehan palsu, korup, dan penindasan. Tujuannya jelas, bukan untuk mengolok-olok atau mempermalukan tetapi untuk menimbulkan kesadaran serta mengajak umat untuk kembali kepada ketaatan terhadap TUHAN sambil mengajak umat menantikan datangnya Sang Gembala, Raja yang sesungguhnya akan muncul dari Tunas Daud. Sang Gembala ini akan memerintah sebagai raja yang bijaksana dan melakukan keadilan dan kebenaran (Yeremia 23).
Nyaris enam ratus tahun umat Allah itu menantikan Sang Gembala, Raja yang akan mengangkat keterpurukkan mereka dari titik nadir moralitas dan penderitaan. Kini, sosok itu muncul! Ia berbeda dari raja-raja yang lain, baik penampilan, gaya kepemimpinan apalagi minat yang diperjuangkan-Nya! Wajar kalau orang banyak mengoloknya, “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” (Lukas 23:37).
Umumnya, raja dan penguasa akan mengorbankan rakyatnya untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bukankah para penguasa terbiasa memandang rakyatnya hanya sebagai komoditi yang memberi nilai profit bagi diri mereka? Raja yang ini berbeda! Lukas banyak menceritakan bahwa Ia bergaul dengan orang-orang miskin, tersisih, asing, menderita dan berdosa. Bukan untuk mencari popularitas seperti para penguasa politik. Ia menyahabati mereka agar mereka mengalami seperti apa dikasihi, dicintai dan dipulihkan. Ia mengorbankan diri, sesuai dengan janji-Nya bahwa Gembala baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya!
Hari ini kita merayakan Minggu Kristus Raja. Ya, tepat! Raja yang bukan penakluk, bukan penguasa lalim yang selalu mencari celah untuk mengagungkan diri, mencari kemuliaan, hidup dalam kenyamanan dan memuaskan segala keinginan. Yesus adalah Raja sekaligus Sang Gembala Agung yang mendamaikan, memulihkan, mengasihi, dan memberi ruang terbuka bagi siapa saja untuk mengalami cinta kasih dan kehadiran Allah.
Sang Raja dan Gembala itu tidak menggunakan kekuasaan-Nya untuk memuluskan apa yang dimimpikan oleh dunia ini. Namun, dengan efektif Ia menggunakannya untuk kebaikan orang-orang yang dikasihi-Nya. Bahkan pada saat terpojok sekalipun dan penyamun itu menggodanya, “Bukankah Engkau adalah Mesias selamatkanlah diri-Mu dan kami!” (Lukas 23:39b), Sang Raja bergeming! Caranya demikian lagi-lagi bukan untuk popularitas, mati konyol atau plying victim. Ia melakukannya dengan kesadaran bahwa pengurbanan diri-Nya akan menjadi berkat bagi kawanan domba gembalaan-Nya!
Kita berada di penghujung tahun gerejawi, “Kristus Raja”! Jelas, ini bukan pengakuan dan perayaan liturgis belaka. Rangkaian peristiwa Kristus seakan tidak pernah putus. Nah, ketika kita sejenak berhenti di sini, mari kita tanyakan pada diri sendiri, “Benarkah Kristus adalah Rajaku? Benarkah bahwa Dia adalah Gembalaku? Pengakuan utuh Yesus sebagai Raja dan Gembala akan mengubah perilaku, perjuangan, dan konsep tentang kekuasaan.
Pengakuan Yesus sebagai Raja, berarti kita memosisikan diri sebagai “rakyat” atau hamba yang mau diatur dan diarahkan oleh Sang Raja. Pengakuan kita bahwa Yesus adalah Sang Gembala, menyiratkan bahwa kita bersedia menjadi “kawanan domba” gembalaan-Nya. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah adalah mengaplikasikan rangkaian peristiwa gerejawi membuat kita benar-benar menjadi rakyat, hamba dan domba-domba Kristus? Rakyat dan domba yang bersedia mengikuti teladan-Nya dan berjuang dengan apa yang diperjuangkan-Nya!
Dalam bahasa Paulus, Yesus Kristus Sang Raja itu disebut “Ia kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama kali bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia lebih utama dari segala sesuatu.” (Kolose 1:18). Ia yang ada sebelum segala sesuatu diciptakan menghendaki bahwa semua orang dapat hidup dan membangun relasi dengan baik. Peduli dan mau berkurban untuk memulihkan tatanan yang dulu tercipta sungguh amat baik itu. Karena Ia adalah Kepada dan Sang Sulung, maka kita diajaknya untuk tunduk, meneladani, mempraktikkan dan memperjuangkan apa yang menjadi keprihatinan-Nya. Sebagai “tubuh” kita diajak untuk melihat Kepala dan Sang Sulung itu, sehingga kelak kita pun seperti Sang Sulung itu, mengalami kebangkitan!
Sang Raja dan Sang Gembala tidak pernah memberi contoh kepada kita untuk menjadi seorang penakluk, penikmat hawa nafsu, atau menutup telinga dan hati terhadap penderitaan sesama. Ia juga tidak pernah mengajari untuk berbahagia sementara di sekeliling kita banyak orang yang diperlakukan tidak adil dan menderita.
Merayakan Kristus Raja adalah saat yang tepat untuk kita tafakur dan bertanya, “Sungguhkah aku telah menjadikan-Nya Raja dalam hidupku?”
Jakarta, 20 November 2025, Minggu Kristus Raja Tahun C