Kamis, 20 November 2025

SANG RAJA, SANG GEMBALA

“Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  berterang-terang curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki dan perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak Menteri, anak jendral, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,…

 

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilangan tak habis dan tak putus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat diinjak dan dilunyah lumat-lumat.”

 

(Sepenggal syair bait III karya Taufik Ismail dalam bukunya, “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”/ November 1998)

 

Sepertinya, tidak banyak berubah apa yang dipotret melalui lensa puitis Taufik Ismail 27 Tahun yang lalu dengan zaman kiwari, alih-alih catatan jurnalis, “nubuatnya” menemukan penggenapannya! Pemimpin, penguasa, dan orang-orang yang punya pengaruh memanfaatkan posisi mereka dengan nyaris sempurna untuk pemuasan naluri nafsu serakah! Mereka tidak sedang memimpin sebuah bangsa dan rakyat yang besar ke arah kemakmuran yang berkeadilan, alih-alih menjerumuskan pada jurang penderitaan!

 

Suara para Taufik Ismail mirip-mirip Yeremia di tengah bangsanya yang munafik. Retorika Yeremia yang berusaha diberangus oleh sang penguasa bagaikan pedang tajam yang menghujam jantung para penguasa, “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!... Maka ketahuilah, Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat…” (Yeremia 23:1,2).

 

Tidak kalah pedas, kata-kata Yeremia lebih tajam ketimbang diksi Taufik Ismail. Ia menggunakan kiasan dan figuratif, “berzina”, “memakan daging umat” dan “menyesatkan seluruh umat” untuk melukiskan para pejabat dan para penguasa. Tentu saja, di balik sikap para penguasa itu ada para penjilat yang menyelimuti diri dengan jubah penasihat spiritual. Nabi palsu! Mereka digambarkan bukan hanya gagal memimpin dengan benar, tetapi sebagai predator yang merusak moralitas umat.

 

Yeremia mengecam praktik-praktik kesalehan palsu, korup, dan penindasan. Tujuannya jelas, bukan untuk mengolok-olok atau mempermalukan tetapi untuk menimbulkan kesadaran serta mengajak umat untuk kembali kepada ketaatan terhadap TUHAN sambil mengajak umat menantikan datangnya Sang Gembala, Raja yang sesungguhnya akan muncul dari  Tunas Daud. Sang Gembala ini akan memerintah sebagai raja yang bijaksana dan melakukan keadilan dan kebenaran (Yeremia 23). 

 

Nyaris enam ratus tahun umat Allah itu menantikan Sang Gembala, Raja yang akan mengangkat keterpurukkan mereka dari titik nadir moralitas dan penderitaan. Kini, sosok itu muncul! Ia berbeda dari raja-raja yang lain, baik penampilan, gaya kepemimpinan apalagi minat yang diperjuangkan-Nya! Wajar kalau orang banyak mengoloknya, “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” (Lukas 23:37).

 

Umumnya, raja dan penguasa akan mengorbankan rakyatnya untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bukankah para penguasa terbiasa memandang rakyatnya hanya sebagai komoditi yang memberi nilai profit bagi diri mereka? Raja yang ini berbeda! Lukas banyak menceritakan bahwa Ia bergaul dengan orang-orang miskin, tersisih, asing, menderita dan berdosa. Bukan untuk mencari popularitas seperti para penguasa politik. Ia menyahabati mereka agar mereka mengalami seperti apa dikasihi, dicintai dan dipulihkan. Ia mengorbankan diri, sesuai dengan janji-Nya bahwa Gembala baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya! 

 

Hari ini kita merayakan Minggu Kristus Raja. Ya, tepat! Raja yang bukan penakluk, bukan penguasa lalim yang selalu mencari celah untuk mengagungkan diri, mencari kemuliaan, hidup dalam kenyamanan dan memuaskan segala keinginan. Yesus adalah Raja sekaligus Sang Gembala Agung yang mendamaikan, memulihkan, mengasihi, dan memberi ruang terbuka bagi siapa saja untuk mengalami cinta kasih dan kehadiran Allah. 

 

Sang Raja dan Gembala itu tidak menggunakan kekuasaan-Nya untuk memuluskan apa yang dimimpikan oleh dunia ini. Namun, dengan efektif Ia menggunakannya untuk kebaikan orang-orang yang dikasihi-Nya. Bahkan pada saat terpojok sekalipun dan penyamun itu menggodanya, “Bukankah Engkau adalah Mesias selamatkanlah diri-Mu dan kami!” (Lukas 23:39b), Sang Raja bergeming! Caranya demikian lagi-lagi bukan untuk popularitas, mati konyol atau plying victim. Ia melakukannya dengan kesadaran bahwa pengurbanan diri-Nya akan menjadi berkat bagi kawanan domba gembalaan-Nya!

 

Kita berada di penghujung tahun gerejawi, “Kristus Raja”! Jelas, ini bukan pengakuan dan perayaan liturgis belaka. Rangkaian peristiwa Kristus seakan tidak pernah putus. Nah, ketika kita sejenak berhenti di sini, mari kita tanyakan pada diri sendiri, “Benarkah Kristus adalah Rajaku? Benarkah bahwa Dia adalah Gembalaku? Pengakuan utuh Yesus sebagai Raja dan Gembala akan mengubah perilaku, perjuangan, dan konsep tentang kekuasaan.

 

Pengakuan Yesus sebagai Raja, berarti kita memosisikan diri sebagai “rakyat” atau hamba yang mau diatur dan diarahkan oleh Sang Raja. Pengakuan kita bahwa Yesus adalah Sang Gembala, menyiratkan bahwa kita bersedia menjadi “kawanan domba” gembalaan-Nya. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah adalah mengaplikasikan rangkaian peristiwa gerejawi membuat kita benar-benar menjadi rakyat, hamba dan domba-domba Kristus? Rakyat dan domba yang bersedia mengikuti teladan-Nya dan berjuang dengan apa yang diperjuangkan-Nya!

 

Dalam bahasa Paulus, Yesus Kristus Sang Raja itu disebut “Ia kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama kali bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia lebih utama dari segala sesuatu.” (Kolose 1:18). Ia yang ada sebelum segala sesuatu diciptakan menghendaki bahwa semua orang dapat hidup dan membangun relasi dengan baik. Peduli dan mau berkurban untuk memulihkan tatanan yang dulu tercipta sungguh amat baik itu. Karena Ia adalah Kepada dan Sang Sulung, maka kita diajaknya untuk tunduk, meneladani, mempraktikkan dan memperjuangkan apa yang menjadi keprihatinan-Nya. Sebagai “tubuh” kita diajak untuk melihat Kepala dan Sang Sulung itu, sehingga kelak kita pun seperti Sang Sulung itu, mengalami kebangkitan!

 

Sang Raja dan Sang Gembala tidak pernah memberi contoh kepada kita untuk menjadi seorang penakluk, penikmat hawa nafsu, atau menutup telinga dan hati terhadap penderitaan sesama. Ia juga tidak pernah mengajari untuk berbahagia sementara di sekeliling kita banyak orang yang diperlakukan tidak adil dan menderita. 

 

Merayakan Kristus Raja adalah saat yang tepat untuk kita tafakur dan bertanya, “Sungguhkah aku telah menjadikan-Nya Raja dalam hidupku?”

 

 

Jakarta, 20 November 2025, Minggu Kristus Raja Tahun C 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 13 November 2025

TETAP BERTAHAN

Nokia! Ah, pasti gen Z tidak mengenalnya. Padahal era 90-an sampai 2000 awal Nokia adalah raja ponsel dunia. Mereka menguasai lebih dari 40% pasar global. Nokia 3310, 6600 dan N95 merupakan tipe kebanggaan dalam genggaman pemiliknya. Brand Nokia identik dengan daya tahan, baterai awet, kualitas tinggi dan gaya hidup keren!

 

Nokia berada di atas angin, terlena dan nyaman dengan pencapaian yang berhasil meng-connicting people nyaris separuh pengguna ponsel dunia. Masalah mulai muncul setelah Apple meluncurkan iPhone (2007) dan Google merilis Android (2008). Nokia tetap nyaman pada ponsel fitur (feature phone)cdan sistem oprasi Symbian. Sementara, Apple dan Google menawarkan layar sentuh yang mulus dan ekosistem aplikasi yang menjadi daya Tarik pengembang dan pengguna.

 

Inilah awal kehancuran Nokia. Mereka terlalu over confidence menyepelekan iPhone dengan alasan tidak mempunyai key board fisik dan mencibir Android tidak stabil. Kehancuran total benar-benar terjadi pada 2013. Pasar Nokia anjlok tinggal di bawah 5%. Tahun 2014 Microsoft membeli divisi ponsel Nokia senilai $7,2 miliar. Ironisnya, dua tahun kemudian Microsoft sendiri akhirnya menutup bisnis ponsel Nokia! 

 

Akankah raksasa-raksasa bisnis seperti Apple, Microsoft, Google mengikuti jejak Nokia? Bisa jadi, jika: Terlalu nyaman di puncak kesuksesan, tertutup pada perubahan teknologi, budaya organisasi yang tertutup, anti kolaborasi dan merasa mampu menciptakan pasar sendiri.

 

Kehancuran biasanya dimulai dari rasa percaya diri berlebihan, nyaman di puncak kesuksesan dan tertutup pada situasi kekinian. Berita kehancuran memang menyakitkan. Namun, setidaknya menyadarkan orang untuk tetap waspada dan tahu diri. Berita kehancuran pada situasi nyaman tentu menuai konfrontasi dan penolakan. Maleakhi menyerukan berita kehancuran bukan ketika Israel berada pada titik nadir pembuangan ke Babel. Justru, ketika mereka telah kembali dan membangun peradaban kembali. Meski tidak seperti zaman keemasan Salomo, mereka sedang menikmati sedikit kemakmuran. 

 

Bayangkan, Anda bersama dengan semua orang sedang membangun, menata kembali kehidupan yang lebih baik setelah porak-poranda oleh Babel. Hasilnya mulai terlihat, ada panen, ada ternak, dan kehidupan ekonomi mulai berkembang. Tiba-tiba, “Bahwa sesungguhnya hari itu datang menyala seperti perapian,…”Nubuat kehancuran! Apa reaksi mereka? Sudah dapat ditebak, sebagian besar seperti para petinggi Nokia! 

 

Mereka merasa baik-baik saja, tidak mungkin terjadi kehancuran. Bukankah pada zaman itu mereka sedang menikmati berkat Tuhan? Sulit bagi mereka untuk menerima nubuat Maleakhi ini. Nubuat itu sama sekali tidak digubris dan mereka menjalani hidup seperti biasa. Yang berbisnis melakukan bisnisnya seperti biasa, pejabat memperlakukan rakyatnya seperti biasa, kehidupan moral tidak lebih dari sebelum bangsa itu mengalami pembuangan. Tidak ada yang perlu dirisaukan!

 

Mereka gegabah terhadap hidup diri sendiri maupun komunal. Inilah yang dikhawatirkan oleh Maleakhi, “…, maka semua orang gegabah dan setiap orang yang berbuat fasik menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang itu, firman TUHAN semesta alam, sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabang mereka.” Mengerikan!

 

Meski dalam konteks berbeda, berita penghancuran ini nyaris sama seperti yang disuarakan Yesus, “…. – akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.” Waktu itu banyak orang, termasuk para murid Yesus mengagumi bangunan monumental Bait Allah. Keindahan dan matrial mewah menunjukkan kemakmuran umat itu. Rasanya tidak masuk akal, bagaimana mungkin Yesus bicara tentang kehancuran Bait Allah sekaligus umat pilihan Allah itu. Bukankah di sana Allah bertakhta, berdaulat dan, ya… kemakmuran itu tanda bahwa Allah berkenan kepada umat-Nya? Lagi-lagi mereka berpikir seperti para petinggi Nokia!

 

Nokia hancur bukan karena tidak ada yang mengingatkan, namun mereka terlalu percaya diri. Terlalu percaya diri membuat lupa diri. Demikian Israel pada dua zaman; Maleakhi dan Yesus. Mereka terlena dengan kehidupan yang selama ini dijalani. Justru dalam kondisi ini mereka harus selalu waspada. Hidup tidak boleh kendur. Ikat pinggang iman harus tetap terjaga! Dan, bila saatnya benar-benar tiba, kewaspadaan itu harus tetap dijaga. Jangan mudah terombang-ambing oleh berita hoax yang justru akan semakin dalam menjerumuskan mereka.

 

Masa sulit bahkan diambang kehancuran adalah konsekuensi dari hidup ugal-ugalan yang tidak lagi peduli dengan norma moral dan kaidah hukum Tuhan. Yesus mengingatkan akan terjadi perang, bencana, gempa bumi, kelaparan, dan epidemi sebagai bagian dari tanda-tanda sulit jelang akhir zaman. Para murid akan mengalami penganiayaan, persekusi, penangkapan, fitnah, penganiayaan dan pengkhianatan. Yesus mengingatkan para murid untuk tidak gentar. Mereka akan mampu menghadapinya dengan kekuatan dari Allah sendiri dan disertai dengan kesanggupan mereka untuk bertahan.

 

Kesanggupan mereka bertahan (hupomone) tidak hanya dapat menciptakan situasi sulit menjadi ladang kesaksian, tetapi sekaligus juga akan memelihara mereka untuk memperoleh hidup yang kekal. Tekun dan sabar bukan pasif menunggu. Atau membiarkan penderitaan merampas kebahagiaan sambil berharap; di dunia ini saya tidak mendapatkannya, nanti di surga Tuhan sediakan. Bukan seperti itu! Hupomone adalah sikap teguh dan konsisten di tengah kesulitan sambil berupaya berjuang mengatasi kesulitan dan penderitaan, bahan bakarnya adalah api semangat pengharapan. Hupomone bukanlah sikap pasrah menantikan kehancuran, melainkan bekerja keras di jalan Tuhan dan andai kata perjuangan itu terhenti di lembah kematian, Tuhan menyediakan hidup yang kekal! 

 

Hupomone akan membuat seseorang tetap berbahagia walaupun realita penderitaan berkelindan dalam hidupnya. Bisa saja pada saat ini Anda sedang berada “ di atas” angin. Jangan terbuai dan lupa diri. Tetap kencangkan ikat pinggang iman, jangan menganggap enteng pelanggaran-pelanggaran kecil. Jangan mengabaikan peringatan-peringatan Tuhan melalui siapa pun peringatan itu sampai padamu. Tetap serius dan setia sekalipun pada perkara-perkara yang tampaknya sepele.

 

Sebaliknya, ketika Anda berada pada titik nadir, hidup dirundung derita dan air mata. Ingatlah bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Situasi ini bisa mengangkat derajat Anda. Anda bisa mengubahnya menjadi lahan kesaksian tentu saja bukan dengan kekuatan sendiri. Kekuatan Allah akan bekerja bila Anda menyiapkan sarananya, yakni hupomone. Sabar, bertahan dalam penderitaan dan tetap yakin bahwa Tuhan adalah Sang Pemelihara jiwamu. Berimanlah dengan tetap teguh, jangan goyah. Landasi iman percayamu dengan cinta kasih kepada-Nya, itu yang akan menolongmu untuk tetap teguh bertahan dalam berbagai musim kehidupan!

 

Jakarta, 13 November 2025, Minggu Biasa XXXIII Tahun C