Kamis, 09 Oktober 2025

BERSYUKUR DALAM KETAATAN

Sebut saja namanya Menuchah, tak pernah terbayangkan bahwa dirinya berada di rumah seorang terpandang. Panglima perang! Bukan dengan sukarela ia berada di rumah itu. Suatu ketika segerombolan orang dari negeri tetangga menyerang kampung halamannya. Mereka menjarah dan membunuh setiap orang yang berusaha melawan. Kampung halaman Menuchah porak-poranda dan dia sendiri terpaksa harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Menyakitkan, ia diboyong sebagai pesakitan ke negeri Aram. Di rumah sang panglima itu, seorang gadis remaja dijadikan jongos!!

 

Dapat Anda bayangkan, di negeri asing seorang gadis remaja harus melayani keluarga yang sebelumnya memporak-porandakan kampung halaman dan mimpi-mimpinya. Remuk redam hatinya! Namun, Menuchah tidak membiarkan diri dikuasai oleh kepahitan dan dendam. Padahal, dengan posisinya sebagai budak dari istri sang panglima ia bisa merancangkan pembalasan mematikan, menaruh racun di makanan majikan misalnya. Alih-alih membiarkan dendam itu beranak-pinak, Menuchah berusaha menjadi bagian dari keluarga sang panglima itu. Ia mencoba mengerti pergumulan yang bergejolak dalam keluarga itu.

 

Naaman, sang panglima yang gagah perkasa dan sangat piawai dalam taktik menaklukkan musuh kini dalam keadaan tidak berdaya. Kulit tubuhnya terserang penyakit yang menjijikan. Kegagahannya hilang seketika diganti perasaan malu dan tertekan. Merasa menjadi bagian dari rumah itu, Menuchah membuka percakapan dengan Nyonya Panglima, “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakit kulitnya.” (2 Raja-raja 5:3).

 

Bisa saja karena keputusasaan setelah berobat ke sana ke mari keluarga Naaman mau mendengar celotehan si gadis Israel itu. Namun, ada hal yang tampaknya lebih logis untuk kita pahami. Dalam keluarga Naaman rupanya telah terjalin komunikasi dan relasi yang baik. Mereka tidak lagi menganggap Menuchah sebagai seorang budak asing yang sehari-hari dapat dieksploitasi tenaganya, melainkan telah dipandang sebagai bagian utuh dari anggota keluarga. Tersirat pada narasi kitab 2 Raja-raja 5 ini bahwa Naaman – meskipun seorang Aram – ia berkenan kepada Allah. Perhatikan kalimat, “…, sebab melalui dia TUHAN telah memberikan kemenangan kepada Aram…” (2 Raja-raja 5:1b). Jadi tidak mustahil, meskipun Naaman tidak mengenal Allahnya orang Israel, ia adalah orang yang baik.

 

Mengapa ucapan Menuchah dapat dipercaya oleh majikannya? Padahal, bisa saja sang tuan menaruh curiga; ini bagian strategi agar sang panglima itu keluar dari negerinya dan masuk dalam perangkap raja Israel. Benar, ucapan Menuchah dapat dipercaya karena ia melayani dengan sepenuh hati. Majikannya percaya karena integritas dari pelayanan tulus yang dilakukan sang gadis itu. Untuk dapat dipercaya dan menjadi berkat, seseorang tidak harus menunggu dulu punya jabatan dan pendidikan tinggi. Setiap orang dalam kondisi apa pun dapat dipakai TUHAN ketika ia punya integritas dan empati!

 

Singkat kata, Naaman menuruti saran dari pelayan istrinya itu. Ia menghadap raja. Raja Aram memberi restu dengan membuatkan surat pengantar kepada raja Israel agar panglima kesayangannya itu pulih dari sakitnya. Bagaimana reaksi Raja Israel? Ia memandang kedatangan Naaman dengan surat perintah Raja Aram itu sebagai cara untuk membuat gara-gara agar konfliks Meletus. Bandingkan Menuchah yang hanya seorang jongos, yakin benar bahwa di Israel ada Nabi Allah yang dapat menyembuhkan penyakit tuannya. Sedangkan Raja Israel memandangnya sebagai cara Raja Aram memulai konfliks! Artinya, Raja Israel tidak tahu bahkan tidak percaya bahwa di wilayahnya ada kuasa TUHAN melalui Nabinya, yakni Elisa!

 

Sang Nabi mendengar kegaduhan di istana itu. Ia meminta agar raja mengirim Naaman ke rumahnya. Elisa meminta Naaman untuk nyebur, mandi tujuh kali di sungai Yordan. Rupanya bagi Naaman, perintah nabi ini terlalu merendahkannya. Ia membayangkan seperti praktik-tabib-tabib penyembuh di tempatnya bahwa sang nabi akan komat-kamit, mengucapkan jampe dan mantra lalu memanggil Allahnya dan mukjizat itu terjadi. Lagi pula sungai-sungai di negerinya jauh lebih indah! Buat Naaman ini melecehkan kebesarannya sebagai panglima perang. Naaman menolak dan balik kanan!

 

“Tunggu dulu tuan, bukankah Nabi itu memerintahkan bukan perkara yang sulit. Ayolah nyebur saja!” Kali ini Naaman menuruti saran pembantunya. Ia mandi tujuh kali di sungai yang dipandangnya tidak layak itu. Dan, Naaman pulih. Ia tahir dari penyakit kulitnya! Kerendahan hati dan ketaatan membuahkan mukjizat itu.

 

Apa yang dilakukan Naaman setelah pulih dari sakitnya? Ia melakukan tepat seperti satu orang dari sepuluh orang sakit kusta yang disembuhkan Yesus. Satu orang itu adalah orang Samaria. Ia kembali kepada Yesus berterima kasih dan mengucap syukur! Naaman kembali kepada abdi Allah, Elisa dengan sebuah pengakuan, “Sekarang aku tahu bahwa di seluruh bumi tidak Allah kecuali di Israel. Karena itu, terimalah pemberian dari hambamu!” (2 Raja-raja 5:15b).

 

Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk bersyukur kepada Allah. Salah satunya dengan taat kepada-Nya. Menuchah belajar taat meskipun ia seorang jongos dari sebuah bangsa yang pernah ditaklukkan oleh Aram. Ia taat dalam melayani. Ia bukan seorang munafik yang menyimpan dendam kesumat dalam hati. Dengan sikapnya yang sangat sederhana, ia dapat menunjukkan jalan agar tuannya pulih. Lebih jauh, tuannya mengenal TUHAN yang disembahnya. 

 

Dalam keadaan tersakiti, ada dua pilihan: Anda menyimpan dendam dan mencari kesempatan untuk membalas setimpal bahkan lebih dari orang yang pernah menyakiti Anda. Atau, Anda berdamai dengan diri sendiri, berusaha mengendalikan keinginan membalas dendam. Diganti dengan sikap mau melayani dan mengasihi dengan tulus. Sehingga, orang yang telah membuat hidup Anda porak poranda itu justru mengenal kasih TUHAN dan mengakui kebesaran-Nya.

 

Ketaatan itu umumnya terjadi melalui proses. Naaman menjadi taat dengan merendahkan diri setelah melalui proses dari rasa sakit kemudian menanggalkan segala “kebesaran” dan kegagahannya. Mandi tujuh kali di sungai yang dipandangnya tidak layak bukankah merupakan sebuah proses penyangkalan diri? TUHAN memproses setiap orang untuk menjadi taat dan merendahkan diri tentu saja dengan cara yang berbeda-beda. “Sungai Yordan” setiap orang tidak sama. Beruntung, Naaman mempunyai para pegawai yang mampu memotivasi dan memperlihatkan kepadanya apa yang mudah untuk dilakukan. 

 

Lihatlah, buah dari ketaatan itu adalah kebahagiaan. Naaman bahagia karena sakitnya sembuh. Anda dapat bahagia karena menemukan makna hidup yang sebenarnya. Jadi, jangan keras kepala memertahankan harga diri. Ada kalanya merendah jauh lebih mulia ketimbang orang yang membusungkan dadanya.

 

Jakarta, 09 Oktober 2025 Minggu Biasa XXVIII, Tahun C

Kamis, 02 Oktober 2025

BERTUMBUH DALAM IMAN

Sangat wajar jika banyak orang – khususnya kaum muda –  pesimis, skeptis dan antipati terhadap ritual dan pengajaran yang berbau agama. Untuk apa banyak ritual, pelayanan religius dan semua yang mengatasnamakan Tuhan, kalau perilaku dan tabiat kehidupan sehari-hari para pelakunya sama saja dengan para begundal dan penguasa rakus yang lalim? Lihat saja di negeri ini, nyaris tidak ada tempat bagi orang yang tidak beragama. Masyarakatnya berlomba membangun tempat ibadah. Mereka gemar mengutip dan mendaraskan kitab suci. Namun, hakikat perintah agama itu dikangkangi, tidak dipergunakan dalam peradaban, alih-alih semakin biadab dan munafik! 

 

Sementara, kelompok muda yang lain mengatakan: Apakah Tuhan dan segala ritualnya masih relevan ketika ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi lebih bisa menjawab kegundahan jiwa dan rasa ingin tahun manusia? Agama dan ritualnya tidak hanya memboroskan waktu dan anggaran, tetapi juga banyak memberi harapan palsu!

 

Tentu saja kedua bentuk kekecewaan ini tidak perlu dibantah dengan kajian apologetik. Ini realita yang tidak hanya menggelitik nalar tetapi rasa dan pemahaman teologis. Ratusan tahun sebelum Yesus lahir, Nabi Habakuk merasakan kekecewaan serupa. Banyak penguasa yang terlihat taat beribadah namun perilaku mereka munafik dan lalim. Sebaliknya, orang yang taat dan saleh justru mengalami penindasan. Wajar kalau dia berteriak, “Berapa lama lagi, ya TUHAN, aku berteriak, tetap tidak Kau dengar; Aku berseru kepada-Mu tetapi tidak Kau tolong?” (Habakuk 1:2). Lebih jauh, Habakuk kecewa dan mempertanyakan keadilan TUHAN. Benar, bangsanya biadab tetapi mengapa TUHAN menghukum bersama-sama dengan orang-orang benar di negeri itu. Dan, mengapa TUHAN memakai Kasdim, sebuah bangsa yang lebih biadab untuk menghukum mereka?

 

Lalu, untuk apa beriman dan percaya kepada Tuhan?

 

Pertanyaan ini relevan dalam sepanjang sejarah manusia. Tantangan dan kekecewaan selalu membayangi kehidupan orang percaya. Percaya dan beriman bukan berarti tidak boleh berkelukesah, tidak boleh kecewa, tidak boleh mempertanyakan keadilan Tuhan. Orang beriman adalah insan yang bersedia bergulat dan bergumul sepanjang hidupnya antara kepastian dan ketidakpastian, antara pengharapan dan keputusasaan, antara keadilan dan ketidakadilan, antara kekelaman dan seberkas cahaya!

 

Bukankah sepanjang sejarah manusia terdampar di antara dua kutub itu: Kepastian dan ketidakpastian; pengharapan dan keputusasaan; gelap dan terang; dan seterusnya. Di sinilah iman yang benar akan mampu menolong seseorang untuk tetap berdiri teguh karena berlandaskan pada apa dan siapa yang tidak tergoyahkan! Iman yang benar akan memberi fondasi spiritual yang memberi ketenangan, keberanian namun bukan serampangan, semangat untuk tetap melihat kebaikan Tuhan di tengah kelamnya hidup sekalipun. 

 

Iman itulah yang menolong Habakuk untuk dengan sabar walaupun gelisah menantikan apa yang diperbuat Tuhan untuk jawaban kelu kesahnya. Iman juga yang membuat Daud mengajak umat Tuhan untuk tidak iri hati terhadap orang yang berbuat curang dan mempercayakan diri pada-Nya dengan melakukan segala yang baik. Iman seperti inilah yang diwariskan Lois dan Eunike kepada Timotius. Mereka lebih percaya iman ketimbang uang atau kekayaan untuk diwariskan!

 

Benar, tantangan yang dihadapi Timotius berat. Ia yang masih belia diperhadapkan pada budayanya yang menuntut usia kematangan untuk menjadi pemimpin dan banyaknya ajaran-ajaran palsu yang berseliweran dalam komunitasnya. Ia harus teguh dan menjadi inspirasi bagi komunitasnya. Peran Nenek Lois dan Mama Eunike sangat menentukan dalam pertumbuhan iman Timotius. Mereka dikenal sebagai perempuan-perempuan saleh dan taat kepada Allah yang sejak kecil mengajarkan iman kepada Timotius.

 

Paulus mengatakan bahwa iman Timotius punya akar kuat. Bak tumbuhan, iman itu ditanam dan dirawat dengan baik oleh Lois dan Eunike. Mereka menanamkan iman melalui pembacaan dan pengajaran Kitab Suci secara rutin dan teladan hidup yang saleh. Mereka menjadikan Kitab Suci sebagai tuntunan hidup bagi Timotius, membimbingnya menjadi anak yang takut akan Tuhan. Dari Paulus kita tahu bahwa nenek dan ibu dari Timotius senantiasa mengingat dan mendoakan Timotius. 

 

Beberapa pedagog merangkum strategi dan metode pengajaran iman yang digunakan Lois dan Eunike kepada Timotius. Pengajaran sejak masa balita: Lois dan Unike mengenalkan tulisan-tulisan Kitab Suci kepada Timotius. Ini jelas memerlukan waktu dan kesabaran agar anak dapat memahami dan meyakini firman Tuhan secara mendalam. Selanjutnya, mereka memberikan teladan hidup yang konsisten dan dapat dilihat terus-menerus oleh Timotius. Selain itu, mereka mendoakan dan memberi dukungan rohani yang mempunyai dampak menguatkan imannya dan mampu bertahan, tumbuh dalam dinamika tantangan dengan fondasi iman meskipun hidup tidak selalu mudah. Jadi, iman yang diwariskan kepada Timotius itu lengkap: Membaca Kitab Suci, Pengajaran verbal, doa, teladan yang diperagakan dalam keluarganya dan kasih sayang yang membangun!

 

Meminjam nasihat Yesus kepada murid-murid yang meminta ditambahkan iman kepada mereka lantaran ada banyak penyesatan yang harus dihadapi para murid, Timotius ini ibarat biji sesawi. Benih yang paling kecil yang dikenal pada saat itu akan tumbuh menjadi besar. Jelas, iman bukan perkara sekali jadi. Ini sebuah proses panjang dan melelahkan. Namun, dampaknya, seperti yang dikatakan Yesus, “…kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: ‘Tercabutlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu!” (Lukas 17:6b). Sesuatu yang tidak mungkin, dapat terjadi dalam kehidupan seseorang asalkan ia tumbuh dalam iman yang benar akan menjadi kenyataan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, ini terbukti pada Timotius. Ia masih muda, keturunan orang berada, hidup dalam tantangan banyak ajaran sesat namun ia tetap berdiri kokoh sebagai teladan!

 

Jika hari ini kita menemukan banyak anak-anak muda yang meninggalkan rumah, meninggalkan gereja dan komunitasnya dengan kecewa dan marah lalu mencari tempat-tempat yang dapat memuaskan dahaga jiwanya, jauh dari Tuhan. Jangan buru-buru salahkan mereka! Mungkinkah ada andil kita sebagai orang tua yang tidak benar-benar memelihara biji sesawi itu dengan baik? Bisa saja tanahnya tidak diolah terlebih dahulu sehingga ia cepat tumbuh tetapi akarnya tidak kuat dan ia gampang tumbang oleh kesenangan dunia dan ajaran keliru. Atau, kita lupa memberi pupuk dan menjaga dari hama yang menghampiri. Mereka tumbuh tetapi rentan jadi umpan pemangsa yang lihai dengan tipu dayanya.  Bisa juga kita hanya pandai bicara dan memberikan nasihat tetapi tidak dengan contoh konkrit. Kita tidak menampilkan diri sebagai teladan iman yang hanya puas dengan kata-kata nasihat. Ingat, anak-anak tampaknya tidak terlalu butuh dengan nasihat, tetapi teladan!

 

Lois dan Eunike telah melakukan hal yang tepat. Mereka mewariskan iman kepada generasi yang kemudian. Terbukti, Timotius tangguh! Ia tidak mudah menyerah atau goyah saat berdiri di tengah tantangannya sebagai pemimpin muda. Dunia membutuhkan banyak Timotius dan Tuhan telah menitipkan benih itu pada Anda dan saya. Sudahkah rumah kita menjadi tempat penyemaian biji sesawi yang kelak akan tangguh menghadapi pelbagai tantangan zaman?

 

Jakarta, 2 Oktober 2025 Minggu Biasa XXVII Tahun C (Dalam rangka Perjamuan Kudus Se-dunia dan Pembukaan Bulan Keluarga)