Sebut saja namanya Menuchah, tak pernah terbayangkan bahwa dirinya berada di rumah seorang terpandang. Panglima perang! Bukan dengan sukarela ia berada di rumah itu. Suatu ketika segerombolan orang dari negeri tetangga menyerang kampung halamannya. Mereka menjarah dan membunuh setiap orang yang berusaha melawan. Kampung halaman Menuchah porak-poranda dan dia sendiri terpaksa harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Menyakitkan, ia diboyong sebagai pesakitan ke negeri Aram. Di rumah sang panglima itu, seorang gadis remaja dijadikan jongos!!
Dapat Anda bayangkan, di negeri asing seorang gadis remaja harus melayani keluarga yang sebelumnya memporak-porandakan kampung halaman dan mimpi-mimpinya. Remuk redam hatinya! Namun, Menuchah tidak membiarkan diri dikuasai oleh kepahitan dan dendam. Padahal, dengan posisinya sebagai budak dari istri sang panglima ia bisa merancangkan pembalasan mematikan, menaruh racun di makanan majikan misalnya. Alih-alih membiarkan dendam itu beranak-pinak, Menuchah berusaha menjadi bagian dari keluarga sang panglima itu. Ia mencoba mengerti pergumulan yang bergejolak dalam keluarga itu.
Naaman, sang panglima yang gagah perkasa dan sangat piawai dalam taktik menaklukkan musuh kini dalam keadaan tidak berdaya. Kulit tubuhnya terserang penyakit yang menjijikan. Kegagahannya hilang seketika diganti perasaan malu dan tertekan. Merasa menjadi bagian dari rumah itu, Menuchah membuka percakapan dengan Nyonya Panglima, “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakit kulitnya.” (2 Raja-raja 5:3).
Bisa saja karena keputusasaan setelah berobat ke sana ke mari keluarga Naaman mau mendengar celotehan si gadis Israel itu. Namun, ada hal yang tampaknya lebih logis untuk kita pahami. Dalam keluarga Naaman rupanya telah terjalin komunikasi dan relasi yang baik. Mereka tidak lagi menganggap Menuchah sebagai seorang budak asing yang sehari-hari dapat dieksploitasi tenaganya, melainkan telah dipandang sebagai bagian utuh dari anggota keluarga. Tersirat pada narasi kitab 2 Raja-raja 5 ini bahwa Naaman – meskipun seorang Aram – ia berkenan kepada Allah. Perhatikan kalimat, “…, sebab melalui dia TUHAN telah memberikan kemenangan kepada Aram…” (2 Raja-raja 5:1b). Jadi tidak mustahil, meskipun Naaman tidak mengenal Allahnya orang Israel, ia adalah orang yang baik.
Mengapa ucapan Menuchah dapat dipercaya oleh majikannya? Padahal, bisa saja sang tuan menaruh curiga; ini bagian strategi agar sang panglima itu keluar dari negerinya dan masuk dalam perangkap raja Israel. Benar, ucapan Menuchah dapat dipercaya karena ia melayani dengan sepenuh hati. Majikannya percaya karena integritas dari pelayanan tulus yang dilakukan sang gadis itu. Untuk dapat dipercaya dan menjadi berkat, seseorang tidak harus menunggu dulu punya jabatan dan pendidikan tinggi. Setiap orang dalam kondisi apa pun dapat dipakai TUHAN ketika ia punya integritas dan empati!
Singkat kata, Naaman menuruti saran dari pelayan istrinya itu. Ia menghadap raja. Raja Aram memberi restu dengan membuatkan surat pengantar kepada raja Israel agar panglima kesayangannya itu pulih dari sakitnya. Bagaimana reaksi Raja Israel? Ia memandang kedatangan Naaman dengan surat perintah Raja Aram itu sebagai cara untuk membuat gara-gara agar konfliks Meletus. Bandingkan Menuchah yang hanya seorang jongos, yakin benar bahwa di Israel ada Nabi Allah yang dapat menyembuhkan penyakit tuannya. Sedangkan Raja Israel memandangnya sebagai cara Raja Aram memulai konfliks! Artinya, Raja Israel tidak tahu bahkan tidak percaya bahwa di wilayahnya ada kuasa TUHAN melalui Nabinya, yakni Elisa!
Sang Nabi mendengar kegaduhan di istana itu. Ia meminta agar raja mengirim Naaman ke rumahnya. Elisa meminta Naaman untuk nyebur, mandi tujuh kali di sungai Yordan. Rupanya bagi Naaman, perintah nabi ini terlalu merendahkannya. Ia membayangkan seperti praktik-tabib-tabib penyembuh di tempatnya bahwa sang nabi akan komat-kamit, mengucapkan jampe dan mantra lalu memanggil Allahnya dan mukjizat itu terjadi. Lagi pula sungai-sungai di negerinya jauh lebih indah! Buat Naaman ini melecehkan kebesarannya sebagai panglima perang. Naaman menolak dan balik kanan!
“Tunggu dulu tuan, bukankah Nabi itu memerintahkan bukan perkara yang sulit. Ayolah nyebur saja!” Kali ini Naaman menuruti saran pembantunya. Ia mandi tujuh kali di sungai yang dipandangnya tidak layak itu. Dan, Naaman pulih. Ia tahir dari penyakit kulitnya! Kerendahan hati dan ketaatan membuahkan mukjizat itu.
Apa yang dilakukan Naaman setelah pulih dari sakitnya? Ia melakukan tepat seperti satu orang dari sepuluh orang sakit kusta yang disembuhkan Yesus. Satu orang itu adalah orang Samaria. Ia kembali kepada Yesus berterima kasih dan mengucap syukur! Naaman kembali kepada abdi Allah, Elisa dengan sebuah pengakuan, “Sekarang aku tahu bahwa di seluruh bumi tidak Allah kecuali di Israel. Karena itu, terimalah pemberian dari hambamu!” (2 Raja-raja 5:15b).
Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk bersyukur kepada Allah. Salah satunya dengan taat kepada-Nya. Menuchah belajar taat meskipun ia seorang jongos dari sebuah bangsa yang pernah ditaklukkan oleh Aram. Ia taat dalam melayani. Ia bukan seorang munafik yang menyimpan dendam kesumat dalam hati. Dengan sikapnya yang sangat sederhana, ia dapat menunjukkan jalan agar tuannya pulih. Lebih jauh, tuannya mengenal TUHAN yang disembahnya.
Dalam keadaan tersakiti, ada dua pilihan: Anda menyimpan dendam dan mencari kesempatan untuk membalas setimpal bahkan lebih dari orang yang pernah menyakiti Anda. Atau, Anda berdamai dengan diri sendiri, berusaha mengendalikan keinginan membalas dendam. Diganti dengan sikap mau melayani dan mengasihi dengan tulus. Sehingga, orang yang telah membuat hidup Anda porak poranda itu justru mengenal kasih TUHAN dan mengakui kebesaran-Nya.
Ketaatan itu umumnya terjadi melalui proses. Naaman menjadi taat dengan merendahkan diri setelah melalui proses dari rasa sakit kemudian menanggalkan segala “kebesaran” dan kegagahannya. Mandi tujuh kali di sungai yang dipandangnya tidak layak bukankah merupakan sebuah proses penyangkalan diri? TUHAN memproses setiap orang untuk menjadi taat dan merendahkan diri tentu saja dengan cara yang berbeda-beda. “Sungai Yordan” setiap orang tidak sama. Beruntung, Naaman mempunyai para pegawai yang mampu memotivasi dan memperlihatkan kepadanya apa yang mudah untuk dilakukan.
Lihatlah, buah dari ketaatan itu adalah kebahagiaan. Naaman bahagia karena sakitnya sembuh. Anda dapat bahagia karena menemukan makna hidup yang sebenarnya. Jadi, jangan keras kepala memertahankan harga diri. Ada kalanya merendah jauh lebih mulia ketimbang orang yang membusungkan dadanya.
Jakarta, 09 Oktober 2025 Minggu Biasa XXVIII, Tahun C