Seharusnya mereka menikah pada 11 Desember tahun ini. Kenyataan berkata lain. Dera, panggilan akrab Adetya Pramandira dan Fathul Munif (Dera – Munif) terpaksa harus mendekam di “hotel prodeo”. Dera sempat bingung, apa yang salah sehingga harus ditangkap dan berurusan dengan hukum. Namun, sejak 26 November 2025 ia mengendus ada kejanggalan. Hari itu, ia mendampingi petani Suberrejo, Jepara – Jawa Tengah untuk mengadu pada sejumlah kementerian di Jakarta. Mereka mengalami intimidasi dan kriminalisasi oleh sebuah perusahaan tambang.
Dera merasa dirinya ada yang mengawasi. Usai kunjungan ke Jakarta, ia kembali ke kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah di Semarang. Di sana ia bertemu dengan sang kekasih, Munif. Sejak itu, mereka tak pernah sempat pulang. Sebab, pada 27 November 2025 dini hari, sebanyak 24 anggota polisi bersenjata menyergap dan membawa paksa mereka. Munif, yang juga bagian dari aktivis Aksi Kamisan Semarang, menuliskan kronologi kejadian dalam surat yang dititipkannya kepada Tim Advokasi Suara Aksi. Ia mengatakan bahwa dirinya dipisahkan dan belum dapat bertemu lagi dengan Dera selama proses pemeriksaan berlangsung. “Saya tidak diberi kesempatan untuk bertemu Dera pagi itu (saat penangkapan berlangsung). Saya diantar dan ditahan di rumah tahanan Polrestabes Semarang. Saya juga mendapat kabar jika lokasi pemeriksaan Dera dipindah ke Polda Jateng. Semoga dia juga kuat melalui semua ini” tulis Munif.
Dera dan Munif adalah sepasang kekasih yang tidak rela lingkungan dan hutan rusak oleh tangan-tangan serakah. Mereka juga berjuang untuk hak-hak petani Sumberrejo. Ironis, di tengah krisis ekologis akibat aktivitas ekstraksi yang menimbulkan pelbagai kehancuran ekosistem, Dera dan Munif serta banyak lagi aktivis lain yang menginginkan seperti impian Nabi Yesaya “… mata air memancar di padang gurun, dan sungai-sungai di padang belantara. Tanah pasir yang hangat akan menjadi kolam dan tanah gersang menjadi sumber-sumber air; di tempat serigala berbaring akan tumbuh gelagah dan papirus” (Yesaya 35:6b-7), justru dibungkam dan dikriminalisasi!
Kriminalisasi merupakan metode kuno yang terus dipraktikkan untuk membungkam kebenaran. Yohanes Pembaptis, Si Suara Padang Gurun yang menggemakan pertobatan harus mendekap di dalam bui. Ia dengan gigih, tanpa tedeng aling-aling menunjuk batang hidung Herodes, sang penguasa boneka biadab yang mengambil istri saudaranya sendiri, Herodias! Tidak hanya dibui, aksi lantangnya, Yohanes harus membayar dengan kepalanya sendiri.
Begitu kerasnya Yohanes menyuarakan kebenaran sehingga baginya tidak ada kompromi. Ini jelas, bukan tanpa sebab. Yohanes memahami dirinya sebagai seorang yang dipersiapkan Allah untuk membuka jalan bagi kehadiran Sang Mesias. Mesias yang dipahaminya sebagai tokoh yang membawa kapak, siap menebang setiap pohon yang tidak berbuah. Artinya, Mesias itu akan membinasakan para pendosa yang tidak mau bertobat. Sesungguhnya di balik sikap keras Yohanes, ia tidak mau umat Tuhan itu “dibakar dalam api yang tidak terpadamkan”.
Di dalam penjara tentu saja Yohanes berharap seruan pertobatannya itu dilanjutkan oleh Sang Mesias yang telah dibaptisnya di Sungai Yordan itu. Kurang apa lagi kuasanya, mata kepalanya sendiri telah melihat Roh Allah hinggap dalam diri Sang Mesias itu. Dan, Suara Langit itu menegaskan bahwa Dia berkenan kepada-Nya! Namun, tidak pernah Yohanes mendengar aksi-aksi keras Sang Mesias itu, alih-alih membuka ruang terhadap orang-orang berdosa! Ia kerap berkumpul dengan pemungut cukai, menerima perempuan pezina.
Wajar jika dari dalam bui, Si Pembaptis nyentrik itu mengutus muridnya bertanya, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Yohanes sangat manusiawi. Ia mengharapkan Mesias bertindak tegas. Ketegasan itu bisa dilihat dalam penghakiman dan pembebasan secara politis. Andai seseorang berada pada posisi Yohanes pasti akan melakukan hal yang sama. Ketika bayangan kita tentang Mesias mempunyai pola dan impian yang kita bentuk sendiri, maka ketika tidak terwujud kita pun mempertanyakan, “Apakah ini Tuhan yang kepada-Nya aku berharap?”
Yesus tidak langsung menanggapi pertanyaan murid-murid Yohanes, alih-alih meminta para murid Yohanes untuk kembali kepada guru mereka, “…katakan kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” (Matius 11:4-5). Setelah murid-murid Yohanes itu pergi, di hadapan orang banyak Yesus memuji Yohanes, kata-Nya, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Surga lebih besar dari pada dia.” (Matius 11:11). Ini bukan sanjungan isapan jempol. Yesus memuji Yohanes bukan di depan Yohanes Pembaptis atau muridnya. Tidak! Ia tulus menyatakan itu bahkan ketika Yohanes tidak tahu. Artinya, sekalipun Yohanes meragukan peran-Nya sebagai Mesias, ia tetap seorang yang besar!
Dengar dan lihat! Alih-alih Yesus memperdebatkan kemesiasan-Nya, Ia menawarkan bukti otentik dari yang telah dikerjakan-Nya. Nubuat Yesaya 35 merupakan tanda monumental yang tidak bisa dibantah! Tidak ada yang keliru ketika orang menyuarakan kebenaran seperti Yohanes. Ini penting, membiarkan kebobrokan terus berlangsung sama saja dengan menyetujui perilaku amoral orang yang melakukannya. Apa yang dilakukan Yesus jelas tidak sedang merestui tindakan batil yang terjadi saat itu. Namun, Yesus memilih mewujudkan pemulihan dan pengampunan sebagai tanda kehadiran-Nya.
Apa yang kita harapkan dari Mesias? Sama seperti Yohanes Pembaptis dan orang-orang Yahudi umumnya pada zamannya. Mesias adalah tokoh yang dapat memenuhi semua angan kita! Di sini kita bisa terkecoh. Kita sulit menyambut-Nya mana kala subyektivitas kemauan kita telah menjarah apa yang sebenarnya disediakan Allah untuk pemulihan dan kebaikan kita. Pada titik inilah kita perlu mendengar dan melihat kembali apa yang telah dilakukan-Nya untuk kita! Bukankah pengorbanan-Nya telah membuktikan bahwa demi kita, manusia berdosa, Dia telah rela mati? Benar, kesesakan dan penderitaan – sama seperti Yohanes dalam penjara – dapat mengecoh kita sepertinya Sang Mesias tidak memberi harapan. Kita lupa bahwa Sang Mesias itu mengajak kita untuk mendengar lebih tajam dan melihat lebih dalam.
Sang Mesias mengajak kita untuk masuk dalam sebuah proses seperti seorang petani yang mengolah tanah, menanaminya, memelihara dengan telaten dan kemudian menghasilkan bulir untuk dipanen. Sukacita! Kesabaran berproses tentu akan menghasilkan kegembiraan luar biasa ketimbang segala sesuatunya serba tersedia.
Anda dan saya ingin lingkungan dan ekosistem pulih? Tentu jawabannya bukan sekedar doa saja. Ada upaya yang harus dikerjakan. Anda ingin pulih dari penyakit, jelas bukan hanya mengandalkan air anggur perjamuan kudus atau minyak urapan. Ada kesabaran dalam proses. Kesabaran dan kerja keras adalah sarana kita bersama Tuhan untuk mewujudkan tatanan dunia baru yang dapat mengubah “padang gurun pasir menjadi hutan subur dengan sungai-sungainya yang indah.” Semoga!
Jakarta, 10 Desember 2025, Gaudate – Minggu Adven III Tahun A