“Aku sudah tidak bisa lagi bertahan dalam pekerjaan ini, lebih baik kembali pada pekerjaan lama!” Demikian gerutu seorang pekerja yang sedang penat karena tekanan pekerjaan yang membebaninya. Ya, ada beberapa alasan mengapa orang ingin kembali pada pekerjaan lamanya. Alasan itu, antara lain: Kenyamanan dan familiaritas, pekerjaan lama sering kali sudah familiar dan memberi rasa nyaman. Hubungan dengan kerabat dan dunia kerja bukan hal asing lagi. Sebaliknya, dalam pekerjaan baru yang sedang ditekuni tidak menemukan visi yang jelas, tantangan berat, dan merasa diri tidak kompeten.
“Kata Simon Petrus kepada mereka: ‘Aku pergi menangkap ikan.’ Kata mereka kepadanya: ‘Kami pergi juga dengan engkau.’” (Yohanes 21:3). Dialog singkat memberi kesan kuat bahwa Petrus yang dulu disebut Batu Karang itu ingin kembali menekuni perkerjaan lamanya, menangkap ikan. Menjadi nelayan! Aura kepemimpinannya belum luntur sepenuhnya. Terbukti, enam temannya masih mengikuti langkahnya.
Masuk akal kalau kita geregetan dan memandang sinis sikap Petrus dan keenam temannya itu. Bukankah mereka telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu? Minimal dua kali mereka berhadapan muda dengan Yesus dan Yesus telah memberikan mandat mengutus mereka, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu!” Yesus mengutus mereka bukan dengan tangan hampa. Mereka diberi kuasa dengan menghembuskan Roh Kudus! Jelas, Yesus mengutus mereka bukan ke danau Galilea untuk kembali menangkap ikan. Bukankah dulu, Ia memanggil mereka di danau itu untuk menjadi penjala-penjala manusia? Jadi, di mana iman kebangkitan itu? Ke mana perginya iman Paskah itu?
Sabar, sebelum geregetan dan sinis menjadi lebih akut, mungkin kita bisa berada dalam posisi mereka. Iman Paskah itu tidak serta-merta membuat Petrus kembali sekokoh batu karang dan teman-temannya berapi-api memberitakan kebangkitan itu. Sebagaimana Anda dan saya, setiap kali kita mengalami guncangan hebat dalam kehidupan ini, pemulihannya juga bertahap. Ini manusiawi! Tahapan yang menuju pada progres positif itu dapat kita lihat dalam setiap perjumpaan Yesus yang bangkit dengan murid-murid-Nya. Perjumpaan pertama ditandai dengan ketakutan luar biasa dari para murid sehingga mereka mengunci diri dalam sebuah ruangan. Mereka takut terhadap orang-orang Yahudi. Yesus muncul di tengah-tengah mereka dengan membawa damai sejahtera dan memperlihatkan luka-luka-Nya. Sayang, pada waktu itu Tomas tidak hadir bersama dengan mereka.
Ketidakhadiran Tomas membuka jalan untuk perjumpaan kedua. Benar, mereka masih berada dalam ruangan yang sama, tetapi kali ini sama sekali tidak ada gambaran bahwa mereka dilanda oleh ketakutan alih-alih mereka belajar untuk memberi kesaksian. Ya, kesaksian itu mereka tunjukan kepada Tomas. Sayang, Tomas tidak mau menerima mentah-mentah kesaksian teman-temannya itu. Namun, lagi-lagi ini membuka jalan untuk mereka, khususnya Tomas mengalami perjumpaan dan pemulihan. Dampak dari perjumpaan kedua ini, mereka semakin dipulihkan dari trauma ketakutan yang mengguncang mereka. Di sinilah terkenal pengakuan Tomas: “Ya, Tuhanku dan Allahku”. Perjumpaan ini pula yang menegaskan pernyataan Yesus: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya!”
Terbukti, mereka telah mengalami progres pemulihan. Mereka tidak lagi mengunci diri dengan depresi ketakutan. Mereka keluar dan beraktivitas layaknya semua orang yang harus berinteraksi, berelasi dan mencari penghidupan. Meskipun demikian, mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Seperti orang siuman, mereka bangun tetapi tidak tahu ada di mana dan mau ke mana. Bukankah, dalam kondisi seperti ini adalah wajar kalau kembali kepada dunia dan pekerjaan lama mereka, yakni : Galilea dan menjadi nelayan?
Di titik inilah perjumpaan dengan Yesus yang bangkit untuk ketiga kalinya terjadi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perjumpaan kali ini bukan lagi menghilangkan ketakutan mereka, melainkan meneguhkan kembali visi dan misi-Nya untuk segera dikerjakan para murid, khususnya Petrus. Dialog Yesus yang bangkit dengan Petrus sangat kaya untuk digali. Kali ini kita akan melihat dari tugas pengutusan yang diberikan Yesus kepadanya. Kita, masih ingat dalam perjumpaan pertama ketika Yesus menyatakan pengutusan kepada para murid: “Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu!”
Seperti Bapa mengutus Aku. Pengutusan Bapa terhadap Yesus itu ditanggapi holistik, menyeluruh baik dalam kata yang berupa ajaran, pernyataan dan pemberitaan Injil Kerajaan Allah maupun dalam perilaku kehidupan Yesus itu, dalam bentuk empati, pemulihan dan pengusiran setan. Yesus telah berhasil melaksanakan mandat dari Bapa-Nya itu dengan menjadi Gembala Baik yang memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi domba-domba-Nya. Dalam pemahaman ini, tentu saja ketika Yesus meneguhkan kembali visi dan misi-Nya kepada Petrus, Ia ingin Petrus menanggapi dan menjalaninya seperti apa yang sudah Ia peragakan.
Sama seperti Yesus menanggapi mandat dari Bapa-Nya dengan cinta kasih dan bukan dengan beban berat, tentu saja Ia berharap Petrus dapat menerimanya dengan kasih yang serupa. Maka, pertanyaan tentang “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” menjadi relevan.
Petrus telah belajar dari kegagalannya. Ia tidak memberikan jawaban yang sama seperti dahulu, “Tentu, saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu!” ia telah belajar untuk menjadi rendah hati. Kini ia mengenali kelemahan-kelemahannya dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya, yang dapat ia jawab, “Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu!” Yesus memintanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku!” Petrus sedih karena Yesus mengulang pertanyaan yang sama sampai tiga kali.
Dalam kesedihan yang memulihkan itu Petrus dipanggil untuk menggembalakan domba-domba Yesus. Iya, bukan domba-dombanya sendiri! Tugas untuk menggembalakan itu pertama-tama ditujukan untuk ‘anak-anak domba’, dapat diartikan bukan saja anak-anak secara fisik yang masih polos, tetapi juga mereka yang papa, miskin, cacat dan terpinggirkan. Tugas menggembalakan atau lebih tepat disebut pemeliharaan dengan cara memberi makan, tentu saja tidak harus diartikan secara harfiah, meski tidak bisa diabaikan. Petrus diminta untuk memberi perhatian kepada mereka, untuk ada bersama-sama mereka sama seperti dulu Yesus berada di tengah-tengah orang terpinggirkan, lapar dan menderita.
Selanjutnya, Petrus diminta untuk menggembalakan domba-domba dewasa. Petrus diminta untuk memberi arah yang jelas bagi kawanan domba dewasa itu. Ia harus dapat membimbing atau menyupervisi ke tempat-tempat di mana mereka bisa mencari makan sendiri.
Lalu, dengan cara bagaimana Petrus harus memberi makan dan mengarahkan mereka? Jelas, dengan kekuatan sendiri tidak mungkin ‘batu karang’ itu dapat bertahan. Tidak ada cara lain, kecuali dengan Yesus! Sebab, dalam diri dan firman-Nya, Yesus adalah makanan bagi semua domba-domba-Nya. Petrus dipanggil untuk menuntun orang-orang yang berkembang dalam iman pada arah yang benar. Satu-satunya pedoman untuk itu adalah firman-Nya sendiri. Petrus dipanggil untuk mengikuti dan meneladani Gembala Baik itu dengan cara menuntun kawanan, mencuci kaki orang lain, memberi mereka makan, dan untuk memberikan hidupnya bagi mereka yang dipercayakan kepadanya.
Petrus adalah kita, Petrus adalah gereja-Nya yang terus tumbuh, diutus ke dalam dunia yang penuh tantangan. Pemulihan itu tidak hanya berlaku bagi Petrus. Ia memulihkan kita juga. Sama seperti Petrus, kita juga pernah gagal dalam beriman. Kita pernah merasa tidak tahu lagi harus melakukan apa. Kita pernah ingin kembali kepada hidup lama kita. Kita adalah Petrus yang dicintai dan dipulihkan. Kini, Ia ingin kita sepertiPetrus yang siap untuk memberi diri bagi sebanyak mungkin orang sehingga mengenal Sang Gembala Agung yang penuh kasih karunia itu!
Jakarta, 2 Mei 2024 Minggu Paskah III, Tahun C