Ingar-bingar dan demam Piala Eropa telah usai. Turnamen itu menyisakan decak kagum yang pantas diberikan bagi sang juara. Viva La Furia Roja! sebutan timnas Spanyol yang berhasil menaklukan Gli Azzuri (sebutan timnas Italia) dengan fantastis, 4-0! Kemenang itu membukukan Spanyol sebagai ti pertama dan satu-satunya yang pernah menjuarai tiga turnamen bergengsi berurutan (Euro 2008, Piala Dunia 2010 dan Euro 2012). Spanyol jua menjadi tim pertama yang menjuarai dua kali berturut-turut piala Eropa.
Keberhasilan La Furia Roja tentu tidak dapat dipisahkan dari sosok Vicente Del Bosque. Mantan pemain Real Madrid di era 1970-1984 ini. Para analis sepak bola mengatakan, melambungnya nama Del Bosque sebagai pelatih yang sulit tertandingin bahkan oleh Helmut Schon, pelatih legendaris yang menghantarkan Jerman menjadi juara dunia dan Eropa pada era 1964-1978, tak lepas dari kombinasi keberuntungan dan kepiawaiannya. Del Bosque beruntung, ia mempunyai pasukan dari generasi emas hasil pembinaan pemain muda dalam waktu lama. Sebagian besar timnas Spanyol berasal dari dua klub raksasa bergengsi; Real Madrid dan Barcelona. Dalam kompetisi liga Spanyol, dua tim ini selalu bersaing dan bahkan menjadi musuh bebuyutan. Namun, tangan dingin Del Bosque berhasil meramu anak-anak Spanyol ini dengan tujuan visi dan misi yang jelas. Juara! Dengan gemblengannya, ia berhasil mengubah dominasi klub-klub raksasa penuh ego menjadi semangat nasionalis. Terbukti, anak-anak asuh Del Bosque ini menjadi squad yang manakutkan bagi lawan-lawannya.
Vicente Del Bosque memanggil anak-anak Spanyol untuk tujuan yang jelas. Membela martabat bangsanya melalui sepak bola. Usahanya tentu tidak pernah berhasil jika tidak direspon dengan baik dan mereka hanya mementingkan ego klub atau bahkan egonya sendiri. Keberhasilan sepak bola adalah keberhasilan tim. Bukan kesuksesan diri sendiri.
Sepakbola mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Sepakbola mengajarkan juga tentang makna sebuah panggilan dan tujuan hidup. Ibarat Vicente Del Bosque, Yesus memanggil setiap orang meninggalkan ego, nafsu dan kebanggaan dirinya untuk bersekutu dengannya. Del Bosque menggemleng anak-anak Spanyol itu menjadi pasukan yang punya karakter permainan Tiki-Taka, gaya permainan sepakbola dengan umpan-umpan pendek dan pergerakan dinamis, memindahkan bola melalui berbagai arah dan mempertahankan penguasaan bola. Suatu perpaduan skill individu tingkat tinggi dan kerjasama tim yang solid. Itulah karakter dan jiwa yang terbentuk dalam setiap anggota squad La Roja.
Yesus melatih setiap orang yang merespon panggilanNya. Ia membentuk karakter baru, tentu bukan karakter tiki-taka. Karakter cita-kasih, karakter kepedulian, karakter belarasa terhadap yang menderita, karakter garam dan terang. Karakter itu tidak dapat terbentuk dengan sempurna, apabila masing-masing kita masih tetap suka dengan ego kita. Yang dibutuhkan kita - sama seperti anak-anak Spanyol itu – adalah kerelaan dan ketaatan. Yang pasti bahwa gemblengan itu tidak selalu mudah. Berat! Contohnya apa yang dialami Paulus. Ketika Paulus bersedia menerima panggilan Yesus, ada banyak tempaan termasuk “duri dalam daging” (2 Korintus 12:1-10). Tentu ia memohon kepada Tuhan agar hambatan dalam tubuhnya itu segera disingkirkan. Paulus mengatakan bahwa telah tiga kali ia memohon agar Tuhan menyingkirkannya. Namun, apa yang terjadi? Penyakit itu tetap ada. Meskipun demikian Paulus memandangnya dari sisi positif, “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justeru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna.” (ay.9) Umpama Del Bosque, Yesus terus melatih kita dengan tempaan yang tidak mudah, namun Ia tahu batas kemampuan kita.
Para murid mula-mula dipanggil Yesus, mereka mengikuti-Nya, mereka melihat sendiri apa yang diajarkan dan dikerjakan Yesus. Mereka melihat manakala Yesus melakukan banyak mujizat dan kebaikan. Tidak semua orang menerimanya bahkan orang-orang yang sudah nyata-nyata menyaksikan mujizat dan kebaikanNya itu, menolakNya hanya lantaran mereka tahu masa kecil, orangtua dan latar belakang Yesus. Yesus ditolak di Nazaret, kampung halamanNya sendiri (Markus 6:1-6a). Seolah Yesus mau mengajarkan kepada para murid bahwa mereka pun harus siap ditolak meskipun mereka memberitakan hal yang baik dan benar.
Seperti Del Bosque melepas anak didiknya menghadapi lawan. Demikian Yesus mengutus para murid-Nya ke dalam dunia ini (Markus 6:6b-13). Mereka diutus untuk memenangkan pertandingan. Pertandingan yang dimaksud tentu bukan sepakbola. Melainkan pertempuran melawan kuasa-kuasa jahat. Bahasa Markus “mengusir setan”. Mengusir setan bukan sesederhana dengan menengkingnya “di dalam nama Yesus keluarlah engkau!” Bukan, bukan sesederhana itu. Setan adalah kuasa destruktif. Ia menghancurkan hubungan harmonis antara manusia dengan Allah dan dengan sesamanya. Kuasa itu salah satunya dapat muncul dalam ego pada setiap orang, pementingan diri dan kerakusan. Kuasa itu hanya dapat dikalahkan dengan ketaatan pada Tuhan yang menuntut pertobatan dan penyerahan diri. Mustahil kita dapat mengusir setan sementara dalam diri kita juga terdapat “setan”, ya setan keegoisan dan kecongkakan. Mustahil kita meminta orang untuk bertobat namun diri kita sendiri tidak hidup dalam pertobatan.
Yehezkiel adalah contoh orang yang dipanggil Allah untuk menyatakan pertobatan kepada bangsanya, ia merespon panggilan itu meski medan yang akan ditempuhnya tidak mudah. Yehezkiel dipanggil dan diutus Allah kepada bangsa pemberontak. “Hai, anak manusia, Aku mengutus engkau kepada orang Israel, kepada bangsa pemberontak yang telah memberontak melawan Aku. Mereka dan nenek moyang mereka telah mendurhaka terhadap Aku sampai hari ini juga.”(Yeh. 2:3). Itulah misi yang harus diemban oleh Yehezkiel. Tugas itu dipercayakan kepada Yehezkiel oleh karena ia pantas menyandang gelar nabi. “-mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka.” (Yeh.2:5b). Tuhan telah memampukan dan meneguhkan Yehezkiel supaya tidak gentar berhadapan dengan bangsa pemberontak itu. Allah mengingatkannya juga untuk tetap setia dan tidak ikut-ikutan memberontak.
Pada dasarnya, setiap kita dipanggil dan diutus Allah untuk menjadi saksiNya. Dalam diri setiap orang pasti ada getaran-getaran kebenaran yang selalu bergema. Siapa pun manusia tidak akan sejahtera manakala melihat di sekelilingnya ada hal-hal buruk yang menentang kehendak Sang Adi Kodrati. Siapa pun orangnya mesti gelisah manakala ada ketidakadilan, ketidakbenaran, penindasan dan kebiadaban terjadi di sekitarnya. Apalagi jika diri kita menjadi pelaku, pasti guncangan suara Tuhan itu begitu hebat. Jangan diam! Lawanlah, karena kita diutus untuk mengalahkan itu! Takutlah hanya kepada Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar