Jumat, 22 Juni 2012

TERLUPUT DARI BADAI

Invasi Normandia dengan sandi Operasi Overlord adalah sebuah operasi pendaratan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu pada Perang Dunia II. Tepatnya peristiwa itu terjadi tanggal 6 Juni 1944. Invasi ini dibuka dengan pendaratan parasut dan glider pada dini hari, disusul serangan udara dan artileri laut dan pendaratan pasukan amfibi . Pertempuran hebat untuk menguasai Normandia berlanjut lebih dari dua bulan. Invasi ini berakhir dengan dibebaskannya Paris dan jatuhnya kantong Falaise pada akhir Agustus 1944. Hingga kini invasi Normandia merupakan invasi laut terbesar dalam sejarah perang modern, dengan hampir tiga juta tentara menyeberangi Selat Inggeris menuju Perancis yang saat itu diduduki oleh Nazi Jerman. Sekutu berhasil. Mereka menang!

Banyak analisa ditulis untuk menjelaskan penyebab suksesnya pendaratan pasukan Sekutu itu. Salah satu sebab yang paling berarti namun jarang diketahui orang adalah fakta bahwa ketika pasukan sekutu diturunkan di medan perang, kapal yang memuat / membawa mereka kembali ke Inggeris. Ketika kapal itu kembali, praktis bagi pasukan Sekutu itu tidak ada lagi jalan keluar untuk melarikan diri. Sudah tidak ada lagi jalan keluar selain menghadapi pertempuran! Tidak ada tempat bagi mereka untuk mundur. Hanya ada satu jalan bagi mereka, yakni menelusuri pantai, mendaki karang yang terjal, dan selanjutnya melewati wilayah Perancis untuk menuju kemenangan. Inilah yang mereka lakukan!

Kebanyakan orang gagal dalam medan peperangan oleh karena mereka melihat masih ada celah untuk mundur. Mereka tidak menghancurkan “jembatan yang ada di belakang mereka”. Dengan semangat mereka merencanakan untuk meraih kemenangan, namun mereka juga tahu bahwa dalam keadaan sulit dan keras, mereka masih selalu bisa mundur dan menyerah.

Tidak ada seorang pun yang dapat mengeluarkan kemampuan yang terbaik di dalam dirinya, apabila dalam benaknya tetap ada pikiran untuk mundur. Begitu satu langkah diambil untuk maju, seharusnya tidak ada jalan untuk mundur. Begitu kita mempunyai rencana yang mantap, dan begitu tujuan utama ditentukan dengan tegas, maka bakarlah jembatan yang ada di belakang Anda dan majulah. Jangan sekali-kali menengok ke belakang.

Para murid gagal “membakar jembatan yang ada di belakang mereka”. Mereka tidak bisa menghadapi badai. Ketakutan di dalam diri merupakan badai yang sesungguhnya menghancurkan iman dan kemampuan mereka. Mengapa Yesus tertidur lelap di buritan perahu sementara badai sedang mengamuk? (Markus 4:35-41) Apakah Yesus tidak peduli dengan keselamatan para murid? Seperti protes para murid.”Guru, Engkau tidak perduli kalau kami binasa?”(Markus 4:38b). Ataukah Yesus tidak tahu sama sekali kalau para murid sedang berjuang melawan maut? Mengapa Yesus tertidur? Sebenarnya Yesus yakin dengan kemampuan para murid untuk mengatasi badai itu. Maka Ia membiarkan mereka untuk menghadapinya. Setidaknya perkataan Yesus, “Mengapa kamu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”

Ketakutan dan ketidakpercayaan adalah dua faktor dominan seseorang gagal menghadapi badai kehidupan. Tuhan telah memberikan kepada setiap orang kemampuan untuk bertahan bahkan dalam situasi tersulit sekalipun. Masalahnya, apakah ia berhasil mengolahnya menjadi daya andal untuk menghadapi tantangan itu atau sebaliknya melihat tantangan itu begitu mengerikan sehingga ia tidak percaya akan kemampuan dirinya bahkan tidak percaya bahwa Tuhan yang selama ini disembahnya adalah Tuhan yang tidak akan tinggal diam. Pasti Dia perduli!

Kadang Tuhan “tertidur” membiarkan kita menghadapi badai hidup ini. Apakah Dia tidak mau perduli lagi dengan kita? Rasanya tidak! Tuhan sudah melengkapi kita untuk menghadapi badai itu. Tuhan ingin kita mengalahkan ketakutan itu. Tuhan ingin kita jadi pemenang. Seorang pemenang adalah dia yang bisa tersenyum menghadapi kemalangan. Menjadi anak Tuhan, bukanlah membebaskan kita dari pelbagai kesulitan. Surat Ibrani 12:7,8 menegaskan justeru karena kita diakuiNya sebagai anak, maka Dia menempa bahkan menghajar kita agar bertumbuh dan menjadi pemenang. Jangan pernah berpikir karena aku adalah anak Tuhan maka aku dibebaskan dari penderitaan. Tidak! Orang sekaliber Ayub pun, yang begitu taat, saleh dan mencintai Tuhan, toh tidak luput dari badai hidup!

Iman yang tidak berpijak di bumi akan menisbikan “badai hidup” akibatnya menjadi tidak siap menghadapi kesulitan dan akhirnya gampang menyerah lalu kemudian menyalahkan dan menggugat Tuhan. Orang yang tidak siap melihat realita hidup ini akan dengan mudah menyerah terhadap segala macam rasa takut, frustasi, cemas, sedih dan depresi. Mengapa kita mesti melemahkan diri menghadapi badai kehidupan bila akhirnya kita tahu bahwa justeru dengan pelbagai kesulitan itu akan ada kemuliaan yang menanti?  Nahkoda kapal atau pilot pesawat terbang tahu fakta tentang terjadinya cuaca buruk dan dalam cuaca yang tidak beres itu mereka akan mengeluarkan kemampuan terbaik untuk mengatasinya. Para nahkoda dan pilot itu bukanlah orang-orang yang tidak pernah berhadapan dengan cuaca buruk. Mereka menjadi terampil karena menghadapi cuaca buruk, yakni kondisi tidak menguntungkan yang tak bisa ditolak. Bahkan ada seorang nahkoda senior berkata, “Lautan tenang dan teduh tidak mengajarkan apa-apa buat kami!”

Di tengah badai manusia dapat terus bertumbuh. Paulus memandang penderitaan yang dialaminya justeru membuatnya semakin menjadi manusia yang utuh. Tidak mudah goyah. Paulus berhasil mengubah badai itu menjadi tempatnya “bermain”. Di atas badai itu ia dapat menikmati hidup. Paulus bisa berselancar di atas badai. Perhatikan ungkapannya, “...ketika dianggap sebagai penipu, namun dipercayai, sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal, sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang yang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang yang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu.”(2 Korintus  6:8-10)

Ketika kacamata yang kita gunakan adalah kacamata negatif, apapun yang kita alami selalu dilihat dari sisi negatif, apalagi penderitaan. Namun, ketika kita melihatnya sebagai peluang dan pasti di dalamnya Tuhan telah melengkapi kita maka penderitaan sekalipun akan dilihat sebagai sebuah karunia dari Tuhan. Kita mampu bersyukur dan melihat kebaikanNya di tengah badai sekalipun. Jadi tidak selamanya badai itu harus dihindari. Hadapilah! “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik! Bahwasannya untuk selama-lamaNya kasih setiaNya.”(Mazmur 107:1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar