Konon di California ada dua orang saudara yang menjual segala miliknya untuk mencari emas. Kebetulan mereka menemukan terowongan di sebuaah bukit yang mengandung emas. Mereka memutuskan untuk terjun dalam bisnis pertambangan emas itu secara serius.
Pada awalnya, semua berjalan lancar, namun kemudian ada sesuatu yang aneh terjadi. Terowongan yang mengandung emas itu tiba-tiba hilang. Mereka tidak menemukan lagi kandungan emas yang ideal. Mereka telah bekerja keras dari pagi hingga petang, tetapi tidak mendapatkan emas yang mereka harapkan. Usaha mereka tampaknya sia-sia. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri bisnisnya itu. Mereka menjual seluruh peralatan tambang dan lahan yang telah dibeli itu dengan harga yang sangat murah, dan mereka pulang ke kampungnya.
Sekarang lahan dan peralatan tambang menjadi milik investor baru. Ia membayar seorang insinyur pertambangan yang ditugaskan untuk mengadakan penelitian atas bebatuan di tempat tersebut. Atas dasar penelitiannya, sang insinyur menganjurkan kepada pemilik yang baru itu untuk menggali bekas galian semula lebih dalam lagi. Apa yang terjadi? Ternyata di lapisan bagian bawah, mereka menemukan emas! Seandainya dua orang bersaudara itu mempunyai kemauan yang lebih keras sedikit lagi, tentu mereka akan menjadi kaya raya. Sebenarnya, dalam diri setiap orang terdapat tambang emas. Untuk mendapatkannya kita harus bersedia tidak menyerah. Galilah lebih dalam!
Harriet Beecher Stowe (penulis AS 1811-1896) pernah mengatakan, “Ketika Anda sampai pada suatu tempat yang sempit dan segalanya seolah menekan Anda sehingga terasa seakan-akan Anda tak bertahan semenit lebih lama, janganlah menyerah, sebab tempat dan saat perubahan bagi Anda telah tiba.” Keuletan adalah kualitas keteguhan hati yang menghasilkan kesabaran merupakan senjata atau kekuatan ampuh dalam menghadapi kemalangan atau penderitaan. Inilah mental yang ‘jangan sekali-kali menganggap diri telah selesai’ dan ‘jangan menyerah di tengah perjalanan’.
Sayangnya ada banyak orang menyerah di tengah jalan. Pelbagai alasan baik yang dicari-cari atau pun yang terasa realistis. Bagaimana peranan iman dalam menjawab realita itu? Kisah Yesus membangkitkan gadis kecil, anak Yairus (Markus 5:21-43) menjawab pertanyaan itu. Bukankah merupakan alasan yang tepat dan logis bagi Yairus untuk berhenti dan menyerah ketika orang-orang berseru kepadanya, “Anakmu sudah mati, apa perlunya lagi engkau menyusah-nysahkan Guru?” (Markus 5:35b). Bila kematian datang, tak ada satu pun yang bisa dilakukan. Semua sudah berakhir!
Bayangkan Anda adalah Yairus; seorang ayah yang menjadi pejabat bahkan kepala rumah ibadat Yahudi, pemimpin umat yang sangat dihormati. Anak Anda sekarat, hampir mati. Usaha maksimal telah dilakukan. Anda sudah mengorbankan kehormatan sebagai kepala rumah ibadat. Sudah pasti Anda akan dikucilkan oleh sesama teman Yahudi karena Anda minta pertolongan kepada orang yang dianggap menitas agama Yahudi. Anda singkirkan semua perasaan malu dan harga diri Anda demi menyelamatkan putri Anda. Anda mulai berjuang menghampiri Yesus karena Anda yakin bahwa Yesus dapat menolong putri Anda. Berkali-kali usaha Anda terhambat karena banyak sekali orang yang mengerumuni Yesus. Akhirnya Anda berhasil, tersungkur di kaki Yesus dan memohon Yesus untuk datang dan menyembuhkan putri Anda. Namun, apa yang terjadi di tengah perjalanan? Kini perjalanan membawa Yesus ke rumah Anda begitu sulit. Orang banyak berbondong-bondong menghalangi jalan Yesus. Belum lagi si perempuan yang sakit pendarahan seolah memperlambat langkah Yesus dan sebaliknya mempercepat lonceng kematian bagi putri Anda. Dan...beberapa langkah lagi menuju rumah, orang-orang sekampung Anda mengatakan, “Putrimu sudah meninggal!” Dalam posisi ini sangat manusiawi jika Anda mengatakan, “Sudah tidak ada pengharapan lagi. Semua sudah berakhir!”
Namun, Yesus berkata, “Jangan takut, percaya saja!” Ada paradoks. Di sini ada suara putus asa pada satu pihak dan di pihak lain ada suara pengharapan. Bukankah seringkali hidup kita berada di antaranya? Hidup di antara tragedi dan pengharapan itulah peranan iman! Iman memampukan manusia untuk melihat harapan di tengah tragedi, kehidupan di balik kematian. Ralf Waldo Emerson (penulis/penyair 1803-1882) dengan tepat mengambarkan iman itu dalam kalimat, “Yang menunjukkan adanya Tuhan dalam diriku adalah bahwa Dia telah menguatkanku. Sebaliknya, ketiadaanNya membuat aku kecil dan tak berarti.” Dengan lain kata, jika kita mempunyai iman, maka kita akan yakin bahwa Tuhan memberi kekuatan kepada kita untuk mengatasi pelbagai masalah bahkan tragedi sekalipun hingga dapat mengatasinya. Itulah iman yang memulihkan! Sebaliknya, jika kita merasa tidak berdaya dan tidak berarti oleh karena pergumulan hidup ini, walaupun di mulut kita mengatakan beriman namun, hakikatnya kita tidak mempunyai keyakinan bahwa Tuhan itu saggup memberdayakan diri kita untuk mengatasinya.
Karena ketaatan dan keyakinannya, Yairus melihat kebangkitan dalam diri putrnya!
Iman bukanlah pasrah sempurna, terima nasib dan tidak mau berusaha hanya menunggu. Bukan! Bukan itu. Melainkan mengatasi setiap kesulitan dengan hati tertuju kepada Tuhan. Tuhan yang telah memberikan kemampuan dalam diri kita. Maka kita akan melihat matahari bersinar setelah badai lewat, pelangi di balik hujan; selalu ada pemecahan bagi setiap masalah, dan di tengah badai pun kita tidak akan kehilangan kegembiraan. Itulah yang terungkap dari penyataan Yeremia di tengah badai dan gelap-gulitanya harapan bagi bangsanya karena penindasan Babel. Di balik kekelaman itu, Yeremia tetap bisa melihat terang, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru setiap pagi; besar kesetianMu!” (Ratapan 3:22-23).
Ada pepatah mengatakan, “Sorga pun tetap berdiam diri, jika engkau tidak melakukan apa pun!” Kasih setia Tuhan tidak mungkin akan kita alami jika sebelum berperang kita sudah menyerah. Iman itu akan nyata menjawab tantangan manakala kita tidak lari dari masalah namun menghadapinya dengan keyakinan bahwa kita tidak sendiri. Ada lengan yang berkuasa menopang. Bukankah setelah melalui krisis yang hebat pemazmur dapat berkata, “TUHAN, Allahku, kepadaMu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku. TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur.” (Mazmur 30:3,4)
Filsuf David Hume mengatakan, “Kecenderungan untuk berharap dan bergembira adalah kekayaan yang nyata, sedangkan ketakutan dan kesedihan adalah kemiskinan yang nyata.” Masalah, krisis pergumulan bahkan tragedi akan senantiasa ada. Namun, buah iman yakni pengharapan dan sukacita akan memampukan kita mengatasinya.
Pengharapan dan kegembiraan bagi jemaat di Makedonia menjadi kekayaan nyata. Makedonia terhitung jemaat miskin secara materi dan sedang dalam penderitaan, Paulus mengambarkannya, “Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan.” (2 Korintus 8:2). Tepatlah yang dikatakan oleh Hume itu. Jemaat Makedonia membuktikan bahwa iman mereka mampu menjawab tantang dan krisis. Bahkan mereka mampu berbagi. Mereka miskin namun kaya; mereka menderita namun memberdayakan jemaat lain. Lalu bagaimana dengan iman kita? Sudahkah terbukti memulihkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar