Sabtu, 19 Mei 2012

KELUARGA YANG TAHU BERTERIMAKASIH ADALAH KELUARGA YANG BERIMAN

Kapan terakhir Anda mengucapkan terimakasih kepada seseorang: entah itu isteri, suami, orangtua, anak, kakak, adik, atau siapa saja di dalam keluarga Anda? Dan untuk alasan apa Anda berterimakasih? Sebuah surat ditulis oleh seorang ayah yang sudah berusia lanjut untuk anaknya. Demikian isi surat tersebut:

Aku tidak dapat berbuat banyak lagi bagimu, bagi isterimu dan anak-anakmu. Kadang-kadang aku dapat membantumu menyelesaikan urusan-urusan kecil. Tetapi aku tahu bahwa kadang-kadang merepotkan dan bahkan menjengkelkan kamu karena usia lanjutku.
Kamu dapat saja mencari pemecahan lain, tiga tahun yang lalu ketika ibumu meninggal. Kamu dapat saja menitipkan aku di rumah jompo. Tetapi kamu telah menerima aku dalam kondisiku sekarang apa adanya. Masih kuingat sapaan isterimu: Papa, sekarang papa tetap tinggal bersama kami untuk seterusnya. Pada saat itulah aku merasa menemukan rumah tangga baru dan diterima serta dicintai sampai hari terakhir hidupku.
Apabila kau baca suratku ini setelah kematianku, ketahuilah aku berterimaksih kepadamu, kepada isterimu, dan anak-anakmu atas kasih sayangmu dan aku merasakan setiap hari di rumahmu sebagai anugerah yang berharga. Terimakasih untuk segalanya!”
Alangkah indah dan bahagianya sang kakek ini di hari tuanya!

Ketika kecil, saya masih mengingat jika papa, mama, kakak atau siapa saja yang memberikan sesuatu atau menunjukkan kasih sayangnya kepada saya, saya selalu diajari untuk mengatakan, “terimakasih!”. Sampai sekarang pun saya mengajarkan pada anak saya. Ketika masih kecil, baru bisa bicara ada yang memberikan sesuatu kepadanya. Kami selalu berkata kepadanya, “Ayo, bilang apa?” Biasanya dengan cekatan ia akan segera menjawab, “makacih!” atau “thank you!” Mengapa setiap orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berterimakasih? Jawabannya sederhana: Menghargai pemberian dan perhatian orang lain, mengakui keberadaan orang lain dan bersyukur bahwa dirinya disayang.

Ketika saya beranjak dewasa ada banyak anomaly yang terjadi. Seharusnya kebiasaan mengungkapkan terimakasih terus berlangsung. Namun, yang terjadi teman-teman dan orang-orang dewasa di sekitar saya sulit untuk mengatakan “terimakasih”. Ada apa? Rupanya ada sebagian besar orang beranggapan bahwa mengucapkan terimakasih dipandang sebagai sikap lemah. Mengapa lemah? Karena dengan mengucapkan terimakasih berarti mengakui peranan dan keunggulan orang lain sehingga dapat membantu dan menolong kita.

Kesulitan kehidupan yang semakin besar dan memojokkan hidup manusia, seringkali membuat manusia bersandar kepada kekuatan pribadinya. Orang dapat merasa hebat dan puas, karena ia telah melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Untuk itu, orang seringkali tidak mau mengakui bahwa keberhasilannya itu datang melalui peran serta orang lain. Bahkan seringkali keluarga, pasangan hidup dan orangtua dirasakan tidak ada peransertanya malahan menjadi penghambat.

Sikap enggan berterimakasih kepada sesama, membuat enggan pula berterimakasih kepada Tuhan. Upaya untuk melihat bahwa semua keberhasilan itu berasal dari kekuatan pribadi, menghalangi manusia untuk melihat dan mengamini bahwa sesungguhnya semua itu berasal dari pertolongan Tuhan. Banyak contoh dapat kita lihat orang menjadi lupa diri di tengah keberhasilannya. Maka tidaklah mengherankan bahwa kian hari kian orang menjadi egois.

Sulit berterimakasih tampak juga dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 17:11-19). Yesus berada di perbatasan Galilea dan Samaria, ketika berjumpa dengan sekelompok orang kusta. Kesepuluh orang kusta ini berdiri jauh, menurut hokum Yahudi mereka harus mengambil minimal jarak 45 meter dari orang sehat. Mereka dikucilkan dari masyarakat. Orang-orang kusta memiliki kerinduan untuk sembuh. Mereka meminta belaskasihan Yesus. Yesus memahami penderitaan mereka. Yesus memberikan apa yang mereka butuhkan. Sembuh dari kusta! Semua penderita kusta itu sembuh! Namun, sayangnya hanya satu orang yang kembali pada Yesus untuk berterimakasih. Yang lain lupa. Entah karena terlalu girang dengan kesembuhan itu atau memang tidak perlu berterimakasih.

Mengucapkan terimakasih adalah hal yang penting, tetapi seringkali dianggap remeh. Berterimakasih berarti menyadari bahwa kondisi yang ia terima adalah berkat dan kepedulian serta kuasa dari Tuhan. Sikap berterimakasih menunjukkan bahwa setiap orang selalu membutuhkan Tuhan dan orang lain dalam hidupnya. Tidak ada yang bisa mengerjalan segala-galanya tanpa pertolongan orang lain. Sikap berterimakasih menunjukkan bahwa seseorang menghargai kehadiran orang lain yang melengkapinya. Dalam konteks penyembuhan orang-orang kusta berarti ia menghargai kehadiran Yesus yang mengubah dan memulihkan hidupnya.

Yesus mengartikan ungkapan terimakasih orang kusta itu sebagai ungkapan untuk memuliakan Allah. Pekerjaan Allah telah dinyatakan dalam kehidupan mereka, maka memang sudah seharusnya mereka semua (10 kusta) memuliakan Allah. Sebab, semua itu tidak akan pernah terjadi jika bukan karena kebaikan Tuhan. Tetapi sayangnya hanya satu orang yang ingat berterimakasih! Yesus menyatakan satu orang yang berterimakasih itu adalah buah tindakan iman (ayat.19b). orang beriman adalah orang yang tahu berterimakasih kepada Allah. Dan keluarga yang beriman adalah keluarga yang tahu berterimakasih kepada Allah! Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Anda? Bagaimana dengan keluarga Anda. Apakah layak disebut orang beriman dan keluarga yang beriman kaena tahu berterimakasih? Ataukah keluarga kita adalah keluarga yang miskin dengan pujian dan ungkapan terimakasih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar