Rabu, 04 April 2012

MERENDAHKAN DIRI, MELAYANI DENGAN PENUH KASIH (Kamis Putih)

“Melayani”, kata ini tampaknya kata yang mengalami devaluasi yang luar biasa besarnya. Kalangan manapun dapat menggunakan kata ini meski tak perlu memahami arti sesungguhnya. Dari pemerintah, partai politik sampai lembaga-lembaga sosial masyarakat. Dari restoran, rumah sakit, kepolisian sampai panti pijat dan rumah bordir, gemar menggunakan kata melayani.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan kata melayani dengan “membantu mengurus atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang, meladeni.” Orang yang melakukannya disebut: pelayan. Salah satu kata Yunani untuk pelayan adalah: δουλος (doulos), harfiahnya “hamba” namun lebih tepat “budak”. Pertanyaannya, adakah orang yang sungguh-sungguh mau menjadi pelayan, hamba atau budak? Bukankah sebaliknya, manusia cenderung ingin dilayani, disanjung dan diperlakukan dengan hormat?

Terminologi “melayani” beberapa hari belakangan ini menjadi populer ketika Pemerintah menggulirkan isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pemerintah menyatakan bahwa pilihan pahit itu terpaksa harus dilakukan agar perekonomian nasional tidak koleb karena membengkaknya subsidi BBM. Subsidi akan dialihkan sebagian untuk masyarakat miskin dan pembangunan inprastruktur serta program-program prorakyat lainnya. Kenaikan BBM hakikatnya untuk kesejahteraan rakyat! Partai-partai melihat isu kenaikan BBM ini merupakan isu seksi, maksudnya menjadi daya tarik luar biasa di tengah masyarakat. Para kader dari partai-partai politik baik di dalam gedung DPR, di media masa bahkan di jalanan berteriak, katanya membela kepentingan rakyat! Mereka, yang setuju atau tidak setuju dengan kenaikan BBM mengklaim berjuang untuk kepentingan rakyat. Menjadi pelayan rakyat! Pertanyaannya benarkah?

Mengatasnamakan rakyat miskin bukan hal yang baru. Yudas Iskaryot pun pernah memakai jargon ini. Ketika Yesus diurapi oleh seorang perempuan yang konon perempuan ini pernah diselamatkan Yesus saat hukum rajam batu lantaran ia kepergok berzinah tengah mengancamnya. Perempuan ini menuangkan setengah kati minyak narwastu murni ke kaki Yesus yang kemudian ia menyekanya dengan rambutnya sendiri. Melihat pemandangan yang dramatis itu, Yudas angkat bicara, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yohanes 12:5). Yudas melihat apa yang dilakukan oleh perempuan ini adalah pemborosan. Minyak wangi itu mahal, harganya tiga ratus dinar! Upah seorang buruh bekerja dalam sehari adalah satu dinar. Jadi untuk membeli minyak itu, perempuan itu harus bekerja kurang lebih tiga ratus hari. Jika saja upah buruh di Jakarta Rp. 50.000,- maka kira-kira harga minyak itu Rp. 50.000,-X 300 = Rp. 15.000.000,- jumlah yang tidak sedikit!

Sangat logis dan humanis jalan pikiran Yudas ini; mengapa uang itu diboroskan hanya untuk mencuci kaki Yesus? Sementara di luar sana masih banyak orang miskin yang kesulitan mencari makanan. Namun, apakah benar Yudas ini memerhatikan dan sangat peduli dengan nasib rakyat miskin? Oh, ternyata tidak! Yohanes 12:6 mencatat, “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memerhatikan nasib orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.” Selanjutnya Alkitab mencatat bahwa Yudas tidak hanya menjual nasib rakyat miskin tetapi ia rela menjual Yesus, gurunya itu hanya karena uang!

Bukankah apa yang sedang dipertontonkan oleh para pejabat dan wakil rakyat belakangan ini sebenarnya sedang “mencuri”. Mengatasnamakan nasib rakyak miskin namun sesungguhnya berinvestasi dengan pencitraan yang hasilnya akan dituai dalam bentuk dukungan suara pada pemilihan umum berikutnya. Demi kepentingan rakyat katanya, ada yang menjadi “kutu loncat”, mencla-mencle, “menukik di tikungan, menggunting dalam lipatan, membelot dalam “injury time”. Selalu ada perhitungan politik di balik ucapan, sikap dan tindakan. Lebih jauh, para pengamat politik berkomentar bahwa di balik kesepakatan-kesepakatan politik koalisi ditengarai ada “barter” kepentingan. Entah dengan dinyatakannya kasus Lapindo sebagai bencana yang kemudian negara harus menanggung kerugian dan mengucurkan dana santunan yang seharusnya ditanggung oleh Lapindo! Atau bargaining politik/kekuasaan lainnya.  Toh akhirnya rakyat tidak menerima faedahnya kecuali hiburan dagelan! Apakah prilaku demikian dapat disebut pejuang dan pelayan rakyat?

Bukankah kita juga sering berprilaku seperti itu? Mengatasnamakan kepentingan orang lain, demi menolong orang lain, atas nama pelayanan dan seterusnya, padahal yang terjadi sebenarnya adalah sedang berdiplomasi bagaimana mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dengan cara elegant. Agar orang melihat cara dan prilaku kita santun, menunjukkan seorang yang bermartabat dan bermoral, sekaligus tujuan utamanya tercapai. Munafik!  

Jelaslah, walapun memakai kosmetik, atas nama pelayanan bahkan atas nama Tuhan, hakekatnya bukan! Kosmetik itu suatu saat luntur dan terlihat aslinya. Seseorang tidak bisa melayani dengan setulus-tulusnya selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu egoisme dan egosentrisme. Tidak mungkin saya melayani orang lain jika saya sendiri merasa lebih terhormat dari orang yang saya layani. Mungkin sebutan kita kepada anggota DPR juga harus dikoreksi. Selama ini kita menyebutnya dengan “Anggota Dewan yang terhormat” makanya sulit untuk melayani dengan sungguh-sungguh. Merasa diri lebih terhormat justeru merupakan faktor penghalang terbesar dalam diri seseorang untuk melayani orang lain.

Apa yang tidak mudah itu Yesus kerjakan. Sebelum Hari Raya Paskah menurut tradisi Keluaran 12:1-14 mulai, Yesus mengadakan perjamuan bersama-sama dengan para muridNya. Perjamuan Paskah ini dilaksanakan pada tanggal 14 bulan Nisan saban tahunnya. Nisan adalah bulan pertama dalam sistem kalender Yahudi. Paskah ini dirayakan untuk menandai awal keluarnya bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Oleh sebab itu Paskah dirayakan oleh orang Yahudi sebagai perayaan pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Yohanes 13:1-20 mencatat peristiwa yang terjadi dalam perjamuan itu. Yesus merasakan bahwa saat semakin dekat bahwa Ia harus menuntaskan tugasnya dan kembali kepada BapaNya. Pada saat yang sama, Iblis juga bekerja membisikan rencana jahat kepada Yudas Iskaryot untuk melaksanakan penghianatannya.

“Lalu bangunlah Yesus, menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekaNya dengan kain yang terikat pada pinggangNya.”(Yoh.13:4,5). Yesus membasuh kami murid-muridNya! Membasuh kaki merupakan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pelayan atau budak. Pada saat menjelang Paskah itu tidak ada pelayan di ruangan itu. Pada saat yang sama tidak ada satu pun di antara murid yang secara sukarela berinisiatif melakukan tugas yang dikerjakan oleh pelayan atau budak. Sangat mungkin mereka gengsi untuk mengerjakan tugas pelayan, dan tidak mau dianggap rendah atau kecil oleh teman-temannya. Alih-alih mau melayani justeru mereka berebut tempat paling terhormat. Di tengah para murid yang saling menunggu untuk melayani, di situlah Yesus mulai membasuh kaki mereka satu per satu. Inilah contoh peragaan pelayanan sesungguhNya. Yesus mau menanggalkan jubahNya. Ia merendahkan diriNya. Yesus meninggalkan dan melupakan kehormatanNya, Ia mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang hamba, seorang doulos!

Dalam diri Yesus orang melihat melayani dalam arti sesungguhnya. Bukan untuk popularitas, atau mengharapkan keuntungan dari sesuatu yang dilakukanNya. Lebih jauh dari itu Yesus juga merelakan diriNya didera, dihina dan disalibkan. Ia tidak mempertahankan nyawaNya, melainkan memberikanNya sebagai tebusan untuk umat manusia. Itulah hakekat pelayanan.

Tidak banyak bicara, hanya sebuah pesan yang meluncur dariNya, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” (Yoh.13:14,14). Kita diminta Yesus untuk melayani seperti diriNya. Maka layanilah seorang akan yang lain dengan cinta kasih yang tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar