Kamis, 29 Maret 2012

HOSANA! HOSANA! (Prapaskah VI / Palmarum)

Kondisi ekonomi memburuk, kemiskinan dan penderitaan terjadi di mana-mana, kejahatan bak jamur di musim hujan, hukum berpihak kepada yang berkuasa dan beruang, hak azasi manusia diinjak-injak, moralitas amuradul, korupsi merajalela, hedonisme dijunjung tinggi, kondisi seperti ini membuat rakyat kecil dan orang benar menjerit! Dalam kondisi seperti inilah rakyat yang terjepit dan orang benar mengharapkan ada sosok figur tampil sebagai pemimpin yang membarui keadaan. Pemimpin yang tegas dan berani pahlawan yang perkasa untuk menegakan keadilan dan kebenaran, menghancurkan kelaliman serta memulihkan hak-hak mereka.

Israel mengharapkan sosok perkasa itu, manakala bangsanya dijajah oleh Siria, di bawah kekuasaan Antiokhus yang berusaha untuk membuat wilayah jajahannya takluk mengikuti maunya: berbudaya, berpikir dan beragama secara Yunani, bila perlu dengan cara paksa dan kekerasan. Ketika berhasil menaklukan Palestina, ia menajiskan ruang-ruang Bait Suci. Antiokhus memerintahkan untuk mengadakan ibadah kepada dewa Zeus dan menaruh babi di mezbah  Bait Suci. Ia menjadikan ruang-ruang di sekeliling Bait Suci menjadi kamar-kamar pelacuran. Ia melakukan apa saja yang dapat dilakukannya untuk menista tempat suci dan ritual ibadat Israel, tentu dengan tujuan menghancurkan iman mereka dan mengganti dengan tradisinya.

Saat genting itulah tampil Yudas Makabeus, ia berhasil menaklukan Antiokhus dan membersihkan kembali Bait Suci pada tahun 163 SM. Peristiwa itu dikenang sebagai peristiwa Hari Raya Penahbisan Kembali Bait Allah atau Pesta Hanukah. Pujian Mazmur 118 dikumandangkan. Madah yang berisi pujian kepada Yang Mahabesar yang memberi kemenangan kepada Israel ini ditulis untuk merayakan hari penyucian yang agung tersebut sekaligus untuk mengingat peperangan yang dimenangkan oleh Yudas Makabe. Dua puluh tahun setelah Yudas Makabe berhasil mengalahkan Antiokhus, adiknya yang bernama Simon Makabe mengukuhkan kemenangan kakaknya ini dengan mendirikan dinasti Hasmonean. Ketika Simon Makabe memasuki Yerusalem, setelah mengalahkan musuh-musuh Israel dalam peperangan. Simon Makabe dielu-elukan sebagai pahlawan. “Pada tanggal dua puluh tiga bulan kedua tahun seratus tujuh puluh satu maka Simon memasuki puri itu dengan kidung dan daun palem, diiringi dengan kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah dan gita. Sebab musuh besar Israel sudah digempur” (I Makabe 13:51)

Rupanya murid-murid Yesus dan mereka yang mengelu-elukanNya merindukan hal yang sama. Seruan “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang. Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Markus 11:10) yang merupakan kutipan dari Mazmur 118 :26, semula seruan “hosana” dipakai sebagai sebuah doa yang berarti “selamatkanlah kami”  dalam konteks si pendoa atau orang yang mengucapkannya berharap agar Allah bertindak sebagai penyelamat. Namun, kemudian ketika mereka melihat Yesus yang sudah kadung diidolakan sebagai Mesias menurut idealisme mereka, seruan hosana tidak lagi tepat sebagai seruan doa. Hosana kini berubah arti menjadi pekik  yel sambutan yang ditujukan kepada seorang pahlawan atau pembesar yang mereka idolakan. Mereka berharap Yesus sama seperti Simon atau Yudas Makabe yang berhasil menaklukan si penindas.

Seruan-seruan yang disampaikan oleh khalayak ramai terhadap Yesus memerlihatkan kepada kita bagaimana sebetulnya jalan pikiran dan pengharapan mereka. Mereka berharap bahwa Yesus, Sang Mesias adalah sosok yang mampu mengenyahkan penderitaan khususnya yang disebabkan oleh kekuasaan lalim asing yang sedang mendera mereka, yakni imperium Romawi. Mereka telah mendengar pelbagai tindakan penyembuhan dan pengusiran roh jahat serta pengajaran yang penuh kuasa tentang Kerajaan Allah. Mereka sadar, Dia ini Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu. Harapan mereka, Allah akan segera membuat Sang Mesias itu menunjukkan kebesaranNya. Sangat wajar dan manusiawi bila seseorang yang sedang tertindas mengharapkan pembebasan dan kemenangan. Sangat logis pula ketika mereka mengorbankan pakaian mereka, menggelarnya di jalanan yang akan dilalui oleh keledai yang membawa sang mesias.

Seruan hosanna dan sambutan yang cenderung berlebihan itu rasanya tidak seberapa, kelak akan terbayar lunas manakala mesias itu menunjukkan kekuasaannya. Orang banyak yang berseru menyambut Yesus adalah cerminan manusia pada umumnya. Menyambut, memuji dan mau berkorban oleh karena mereka mempunyai pengharapan bahwa orang yang disanjungnya itu kelak akan memenuhi keinginannya. Lihatlah para pemimpin masa kini: dipuja-puji, disanjung apabila mereka mampu memenuhi segala yang diidam-idamkannya. Tetapi sebaliknya jika tidak sanggup memenuhi keinginan, mereka siap mencerca dan menghujat. Sanjungan hosana segera berubah menjadi “Salibkan! Salibkan Dia!” Ketika ternyata versi mesias mereka berbeda dengan visi Mesias yang diperankan Yesus, dengan serta-merta mereka menghujatNya.

Yesus menaiki keledai dan masuk Yerusalem bukan untuk menang secara politik atau kekerasan, melainkan untuk melangkah menuju sengsara dan berujung dengan kematian. Berkali-kali Yesus menyatakan diriNya sebagai Mesias namun dengan cara yang berbeda dari harapan para pengikutNya, hal itu Ia lakukan untuk memerlihatkan bahwa ide populer mengenai Mesias yang diterapkan kepada diriNya keliru. Namun para penggemarNya itu tidak ngeh. Sambutan yang mereka gelar tidaklah cocok untuk Mesias Raja Damai. Melainkan lebih cocok untuk penakluk yang akan membinasakan musuh-musuh Israel. Yesus bukan pahlawan duniawi seperti Yudas dan Simon Makabe atau raja duniawi yang haus kekuasaan. Seandainya Yesus membawa ambisi menjadi raja duniawi kekuasaanNya pastilah terbatas, lagi pula tidaklah mungkin terwujud nubuat-nubuat Perjanjian Lama, salah satunya Yesaya 50:4-9 tentang ketaatan hamba Tuhan. KekuasaanNya pasti hanya satu dua generasi seperti dinasti Daud atau dinasti Hasmonean. Tidak langgeng!

Jadi dalam peristiwa Yesus dielu-elukan ini, Yesus membenarkan bahwa diriNya adalah Mesias. Namun, Ia ingin menunjukkan Mesias versiNya dan bukan mesias maunya orang banyak. Mesias yang membawa misi damai! Mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah. Mesias yang memahami dan mengerti akar penderitaan yang membawa maut. Dosa! Bukankah karena dosa maka terjadi penderitaan? Manusia saling memangsa antar sesamanya. Manusia rela mengorbankan apa dan siapa saja untuk memenuhi ambisi dan hawa nafsunya. Manusia tidak lagi mau peduli dengan sesama dan ciptaan yang lain. Inilah akar dosa yang telah menggurita. Tidaklah mungkin solusi untuk mengatasi penderitaan yang akarnya adalah dosa dan pemberontakan manusia terhadap Allah, lalu Allah mengutus mesias model Yudas atau Simon Makabe! Solusinya adalah Yesus, Mesias yang menderita agar manusia melihat bahwa buah dari dosa adalah penderitaan, penghukuman dan maut. Agar manusia dicelikan tentang ketaat dan kesetiaan serta pengosongan diri: belajar dari teladan Yesus (Filipi 2:5-11)

Hosana! Apakah ungkapan itu masih ada dalam diri dan hidup kita? Hosana, sanjungan yang diberikan kepada Tuhan bukan dalam pemahaman aku mau memuji dan menyanjungNya asalkan Dia yang dipuji itu dapat memenuhi segala keinginanku! Bukan, bukan karena itu! Melainkan, karena di dalam Dia, aku telah menemukan dan mengalami kasih karunia Allah. Di dalam Mesias itulah aku didamaikan dengan Allah. Aku, karena dosa dan kesalahanku, sesungguhnya pantas dan layak layak dihukum dan mengalami kematian, namun itu telah ditanggungNya. Oleh bilur-bilurNya, aku telah sembuh! Jadi “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” Dengan tulus, sepenuh hati, dalam kata dan karya dan selama hayat dikandung badan, tidak akan berubah menjadi “Salibkan Dia!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar