Hampir sebagian besar orang Kristen hafal akan isi dari Mazmur 23 yang bercerita tentang Tuhan adalah Gembala yang Baik. Oleh karena itu tidak heran bila ada banyak lagu-lagu gereja/rohani yang berkisah tentang Tuhan yang menjadi Gembala, misalnya: KJ 415 “Gembala Baik Bersuling nan Merdu”, KJ 407 “Tuhan Kau Gembala Kami”, “Tuhan Engkaulah Gembalaku”, dan sebagainya. Tentu saja pemahaman bahwa Tuhan adalah Gembala yang baik tidaklah salah karena pemahaman itu menolong kita untuk merelevansikan iman dengan kehidupan sehari-hari yang tidak luput dari kesulitan hidup. Namun, apakah kita benar-benar mengerti tentang personifikasi Tuhan sebagai gembala, khususnya kita yang tinggal dan hidup di kota-kota besar, yang melihat praktek hidup gembala itu pun tidak pernah? Atau jangan-jangan keyakinan itu hanya sekedar perasaan sentimental melangkolis belaka. Pernahkah kita berpikir dan mencoba menyelami kehidupan para gembala di padang gurun Palestina itu?
Mari sejenak kita menerawang kehidupan gembala di palestina itu. Gembala di Palestina sangat berbeda dengan gembala di negeri kita. Di negeri kita kambing atau domba di pelihara atau digembalakan dengan tujuan pada usia atau bobot tertentu kambing atau domba itu akan dijual atau dipotong, dikonsumsi dagingnya. Di Palestina umumnya domba dipelihara untuk diambil bulu wol atau susunya. Maka domba-domba itu akan hidup lama dengan si gembalanya, karena ia tidak disembelih. Di sanalah terjadi hubungan yang akrab antara gembala dan domba-dombanya. Sering kali si gembala memberi nama kepada masing-masing dombanya, entah itu Si Coklat, Si Belang dan sebagainya. Si gembala akan menjaga kawanan domba itu siang dan malam dari pelbagai ancama baik perampok atau binatang buas. Ia akan mempertaruhkan nyawanya itu tugasnya itu.
Kisah W.M. Thomson dalam bukunya The Land And The Book menolong kita memahami hubungan antara gembala dan kawanan dombanya: Gembala itu sebentar-sebentar memanggil dengan suara yang tajam untuk mengingatkan kawanan dombanya tentang kehadiran dirinya di tengah-tengah mereka. Domba-domba itu mengenal suaranya dan mengikutinya. Tetapi jangan coba-coba, seseorang yang tidak dikenal menirukan suara si gembala itu. Alih-alih mengikutinya, domba-domba itu segera berhenti dari aktifitasnya. Mereka akan segera mengangkat kepalanya dalam keadaan siap-siaga. Jika suara itu diulangi lagi, maka yang terjadi mereka akan berbalik arah dan melarikan diri. Mereka tidak mengenal suara orang lain itu. H.V. Morton menceritakan suatu kejadian yang dilihatnya dalam sebuah goa dekat Betlehem. Ada dua orang gembala memberikan perlindungan kepada kawanan domba mereka. Domba-domba itu disuruhnya berlindung di dalam goa sepanjang malam. Lalu keesokan harinya, bagaimana si gembala itu mengeluarkan domba-dombanya? Lihat, apa yang terjadi? Seorang gembala berdiri pada jarak tertentu dengan mengeluarkan suara panggilan yang aneh. Herannya, domba-domba itu seolah mengerti. Mereka mendengar suara itu dan lihat! Satu-per satu mereka keluar dari goa itu.
Tak pelak lagi Yesus dalam Yohanes 10: 11-18 mengklaim diri sebagai gembala. Karena analogi seorang gembala sangat pas dengan diriNya. Gembala adalah personifikasi diri yang menggambarkan kepemimpinan yang memelihara, melindungi dan sekaligus berkurban untuk pengikutNya. Yesus telah paripurna mengemban tugas yang tidak mudah itu. Bahkan Ia menyerahkan nyawaNya sendiri untuk domba-dombaNya dalam hal ini umat manusia. Jika kita mamakai gambaran gembala di Palestina; hubungan timbal-balik antara gembala dan domba akan berhasil dengan baik apabila masing-masing pihak menjalankan fungsinya secara tepat dan benar. Fungsi gembala dalam hal ini memimpin, mengarahkan, memelihara, mengayomi dan melindungi (Bandingkan dengan Mazmur 23 atau Yohanes 10:1-5).
Sedangkan sebagai domba, ia harus taat kepada sang gembala. Domba harus melakukan petunjuk dan arahan dari gembalanya. Ia harus mempercayakan dirinya pada sang gembala jika mau aman dan sejahtera. Yesus mengingatkan bahwa di sekitar kita ada banyak suara-suara lain yang mencoba menirukan suaraNya. Seperti yang dikisahkan oleh Thomson di atas. Mungkin saja suara itu menjanjikan kenyamanan, kenikmatan dan prestasi yang gemilang. Namun, kita tidak bisa menjamin apakah hal itu nantinya untuk kebaikan kita? Atau kita sedang dibujuk-rayunya untuk mengikuti suaranya lalu kemudian mencelakakan dan menjerumuskan kita.
Suara-suara itu seolah benar merupakan solusi bagi masalah yang membelenggu kita. Sebagai domba, kita sering diperhadapkan pada situasi seperti itu. Namun, domba yang baik pasti akan bisa membedakan mana suara gembalanya dan mana yang bukan. Dari mana kita dapat membedakan suara gembala yang asli dengan yang bukan? Tidak lain dengan kepekaan diri. Kepekaan itu dapat diasah manakala kita mau selalu akrab bergaul dengan Sang Gembala itu melalui firmanNya. Suara gembala itu akan jelas terdengar dalam nurani kita. Ia mengingatkan kita akan segala apa yang pernah dikatakan Sang Gembala itu. Melenceng sedikit saja dari apa yang diajarkanNya pasti membuat kita tidak sejahtera. Namun, betapa pun sulit dan terjalnya jalan yang kita tempuh, jika kita mendengar suaraNya pasti akan membuat kita sejahtera.
Hubungan yang akrab antara gembala dan dombanya digambarkan oleh Yesus seperti hubungan diriNya dengan Sang Bapa (Yoh.10:15). Apa artinya? Yang Mahakuasa disebut Bapa karena dapat dirasa dekat dan tampil sebagai asal kehidupan. Yesus hendak mengatakan bahwa Ia memiliki hubungan yang sedemikian dekat dengan asal kehidupan itu sendiri. Ia mengajak para muridNya, kawanan domba gembalaanNya agar berani melihat ke sana. Ketergantungan kepada Bapa bukan hanya untuk memanfaatkan kebaikanNya semata, melainkan pengakuan bahwa Sang Bapa itu merupakan sumber kehidupan. Yesus berani menyerahkan kehidupanNya kepada Bapa, karena Ia sadar bahwa diriNya tidak akan kehabisan segala yang baik, karena Ia sangat dekat dengan Sang Sumber itu sendiri. Yang dalam bahasa Mazmur 23: “…Ia membarikan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku..”. Yesus menginginkan agar apa yang dilakukan dan dialamiNya itu dikerjakan dan menjadi pengalaman bagi para dombaNya. Dekat dan intim dengan sumber kehidupan!
Bercermin dari Sang Gembala Agung ini, I Yohanes 3:11-15 mengajak kita untuk melakukan tindakan kasih yang serupa dengan Kristus. Karena di sekitar kita masih banyak domba yang belum mengenal Sang Gembala itu. Yesus sendiri menyambut dan memberi tempat bagi domba-domba seperti itu. Mereka mendapat perlakuan yang sama (Yohanes 10:16). Bagaimana cara kita menghantar mereka kepada Gembala Agung itu? Tidak lain dengan sikap dan prilaku yang meneladani Sang Gembala Agung itu, yakni dengan hidup saling mengasihi. Mau berkorban dengan tulus untuk menolong orang lain. Kasih itu bukan teori tetapi praktek, seperti yang Yesus lakukan. Dengan demikian kita akan terpelihara menjadi domba dari gembala yang baik dan memberi ruang bagi domba lain juga untuk merasakan kasihNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar