Selasa, 24 April 2012

MEMBANGUN RUANG HATI: MEWUJUDKAN REKONSILIASI

Ibrani 12:12-17


Dalam setiap kelompok atau komunitas, tidak kecuali komunitas Kristiani, pasti ada anggota-anggota yang lebih unggul; lebih mapan, lebih matang di dalam iman dan pengalaman hidup. Sebaliknya ada anggota-anggota yang menghayati iman di bawah standar rata-rata. Kualitas iman yang mudah diombang-ambingkan oleh pelbagai ajaran, tantangan kesulitan hidup atau bahkan kenikmatan hidup sehingga mudah meninggalkan imannya. Di sinilah fungsi sebuah persekutuan atau paguyuban diuji. Ya, mereka yang “lebih kuat” imannya berkewajiban untuk membantu menyegarkan dan menguatkan “tangan” dan hati orang-orang yang lemah itu. “Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruhkanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan  terpelecok, tetapi menjadi sembuh.” (Ibrani 12: 12).

Menarik, dalam Ibrani 12 ini kata yang dipakai untuk ”tangan yang lemah” adalah sama dengan istilah yang dipakai untuk melukiskan umat Israel kuno yang ingin meninggalkan kesulitan perjalanan di padang gurun dan pulang kembali kepada kehidupan yang santai di Mesir. Sangat lumrah orang yang tidak mempunyai motivasi kuat atau iman yang teguh akan segera mengeluh dan berbalik meninggalkan imannya manakala badai hidup menerpa.

Membantu orang lemah merupakan tantangan yang tidak mudah. Namun, di balik tantangan itu sebenarnya ada anugerah Tuhan! Manusia akan merasa bahagia manakala ia berhasil membantu kesulitan orang lain, menopang dan memberdayakannya. Di sanalah manusia menemukan naturnya sebagai makhluk sosial. Cobalah Anda melakukannya. Bersihkan niat tulus di hati Anda untuk membantu orang lain, bukan sekedar pamer kesalehan atau investasi budi baik. Namun, semata-mata karena Anda menginginkan ia bangkit, berdaya dan punya pengharapan. Lihatlah kemudian hari ketika ia berhasil mengatasi kesulitannya malah sukses dalam hidupnya, kemudian dia dapat menolong orang lain juga. Pasti hati Anda akan diliputi kegembiraan tiada tara. Itulah anugerah Tuhan!

Pada dasarnya setiap agama membangun dua relasi. Pertama, penganutnya diajarkan untuk membangun relasi dengan Tuhannya dan yang kedua relasi dengan sesama manusia atau makhluk ciptaan lainnya. Relasi dengan Tuhan akan baik apabila diawali dengan kesediaan merendahkan hati, menunjukkan hati yang bersih dan hidup yang tulus. Sedangkan relasi terhadap sesama merupakan cerminan dari hubungan yang baik dengan Tuhannya. Ia akan menunjukkan cara hidup yang benar, tidak egois karena Tuhan yang disembahnya bukan Tuhan yang egois. Mengakui keberadaan sesama sebagai makhluk mulia dan dimuliakan juga oleh Tuhannya. Ia akan menerjemahkan apa yang diyakininya sebagai ajaran yang ilahi itu dalam peragaan hidup. Dengan cara hidup yang seperti ini ia akan menjadi teladan dalam memberdayakan orang-orang yang ada di sekitarnya ke arah kehidupan iman yang lebih baik!

Berangkat dari pemahaman ini, penulis Ibrani menunjukkan tujuan yang harus selalu ada dalam kehidupan orang beriman. Yakni:

a.       Setiap orang beriman atau setidaknya yang mengakui dirinya beriman ia harus menjadi agen atau alat pembawa damai sejahtera. Di mana pun ia hadir akan membawa aora damai sehingga orang yang ada di sekitarnya merasakan sejahtera. Perdamaian atau damai sejahtera  di sini mengandung dua arti: Pertama,  damai sejahtera adalah segala sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan yang paling tinggi untuk manusia. Jadi bukan kebahagiaan semu! Kebahagaiaan yang tertinggi ini dapat diraih dan dirasakan oleh manusia manakala ia mengenal pencipta dan menaati penciptanya sehingga ia tahu dan mengerti arah hidupnya. Kedua, damai sejahtera berarti terciptanya hubungan yang baik dengan sesama manusia. Damai sejahtera adalah kondisi di mana kebencian tidak mendapat ruang. Di buang jauh-jauh! Setiap orang beriman akan mengupayakan yang baik untuk sesamanya. Penulis Ibrani mengatakan,”Berusahalah hidup damai dengan semua orang….”(Ibr.12:14) Jelaslah damai sejahtera itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan diupayakan! Damai itu tidak datang dengan sendirinya. Tetapi ia merupakan buah kerja keras, keringat dan air mata.

Ayat di atas menegaskan untuk berdamai dengan semua orang, jadi tanpa kecuali. Termasuk di dalamnya mengupayakan damai sejahtera dengan orang-orang yang telah melukai kita. Berdamai dan mengasihi orang yang mengasihi kita itu mudah. Tapi bagaimana dengan mereka yang telah menjadi “musuh”? Tidak mungkin kita bisa berdamai dengan orang lain sementara hati masih terluka. Maka usahakanlah pulih. Berdamai dengan diri sendiri. Hal ini bisa terjadi jika hidup kita tidak selalu berorientasi pada diri sendiri. Di sinilah kita membutuhkan ruang hati yang luas. Secara iman Kristiani kita dapat mengatakan kita dapat mengampuni orang lain kalau kita terlebih dahulu telah merasakan pengampunan Tuhan.

Nah, jika seseorang mengaku beriman atau beragama namun dalam praktek hidup kesehariaannya yang terjadi adalah menyimpan akar kepahitan atau dendam-kesumat, menebarkan kebenciaan dan teror, sulit mengampuni orang lain, senang melihat orang mengalami hidup susah dan susah hati manakala melihat keberhasilah orang lain. Pertanyaannya, iman yang seperti apa yang sedang ia anut? Bukankah iman tanpa perbuatan itu pada hakekatnya mati?

b.      Menjaga hidup kudus. Kudus, hagios selalu berarti “dibedakan” atau “dipisahkan”. Apa artinya? Begini, meskipun orang beriman itu masih hidup di dunia ini, orang yang ‘hagios’ (orang yang berjuang untuk hidup kudus) senantiasa harus berbeda dengan dunia ini. Jika kebanyakan manusia atau dunia ini hanya mengasihi orang yang mengasihi dan membenci musuh serta berusaha melenyapkannya. Maka orang yang berjuang menuju hidup kudus itu akan mencerminkan nilai yang berbeda: Ia akan mengasihi semua orang termasuk yang telah membenci dan menyakitinya. Di sinilah damai sejahtera itu diperjuangkan, dipraktekan! Orang yang berjalan dalam koridor kekudusan akan hidup bukan lagi dengan norma-norma dunia atau tingkah-laku dunia tetapi ia akan hidup dari apa yang dipercayanya.

Bagaimana dengan kita? Apakah nilai-nilai iman itu telah mendarah-daging dan menjadi gaya hidup? Ataukah hanya sebatas wacana, angan-angan atau cita-cita saja?  Selagi hari masih siang jadilah agen-agen perdamaian! Tuhan beserta kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar